• L3
  • Email :
  • Search :

31 Juli 2015

(Jangan) Tutup TPA Sarimukti


(JANGAN) TUTUP TPA SARIMUKTI
Oleh Gede H. Cahyana


NIMBY, not in my back yard adalah sikap yang ingin enak sendiri. Sampahku adalah limbahmu. Timbulkan sampah sebanyak-banyaknya, tetapi ingin rumah tetap bersih. Bau asam menyengat diberikan ke tetangga. Bisakah diamalkan prinsip waste for one is added value for another? Sampah diubah menjadi bernilai tambah dan berkah? Teoretisnya bisa, tetapi praktisnya belum terlaksana. Penyakit NIMBY ini tidak hanya terjadi di keluarga tetapi juga “keluarga” dalam makna pemerintahan daerah. Pemerintah Kabupaten Bandung Barat (KBB), sebelumnya Kabupaten Bandung, merasa dijadikan tong sampah oleh Pemerintah Kota Bandung dan Kota Cimahi.

Kondisi Teknis
TPA Sarimukti bisa disebut sebagai korban “kekerasan dalam rumah tangga” pemerintah daerah. Betapa tidak, lokasi ini muncul sebagai tanggap darurat atas longsor TPA Leuwigajah pada 21 Februari 2005 dengan korban meninggal yang tercatat 176 orang. Karena darurat, tentu sifatnya sementara. Tetapi ternyata menjadi satu dekade. Ini tentu pelanggaran terhadap komitmen awal pada waktu itu, bahwa akan dibangun TPA berbasis sanitary landfill di suatu tempat di Bandung atau sekitarnya. Rentang waktu sejak bencana sampah sampai dengan medio tahun 2015 ini 10 tahun. Apalagi tidak ada yang namanya sel-sel sampah lahan urug saniter di Sarimukti. Bentuknya hanya gunungan sampah yang dibuang begitu saja tanpa pelapisan tanah urug atau material lainnya yang layak dan teruji. Open dumping. Sarimukti adalah open dump untuk 5.000 m3 sampah per hari. Kalau berat jenis sampah 0,25 maka rata-rata beratnya menjadi 1.250 ton per hari. Apabila berat seekor gajah adalah 1,25 ton maka di Kota Bandung timbul gajah “sampah” sebanyak 1.000 “ekor” setiap hari.

Jika merujuk pada Undang-Undang no. 18/2008 tentang Pengelolaan Sampah pasal 44, pemerintah daerah harus berupaya keras melaksanakan amanat undang-undang tersebut, yaitu menutup open dump. Tahun 2013 lalu adalah batas akhir bagi pemerintah untuk meninggalkan open dump seperti di Sarimukti. Ini adalah cara buruk dalam pandangan konservasi fungsi lingkungan. Dengan acuan tersebut, TPA harus hijrah dari tempat pembuangan akhir menjadi tempat pemrosesan akhir. Salah satu opsinya ialah sanitary landfill (sanfil) atau minimal controlled landfill (confil). Tempat Pemrosesan Akhir, yaitu tempat terakhir sampah dalam tahap pengelolaannya sejak di sumber, pengumpulan, pemindahan, pengangkutan, pengolahan, dan penimbunan (pembuangan). TPA ini selayaknya menjadi lokasi isolasi sampah yang aman sehingga tidak mengganggu lingkungan. Oleh sebab itu, perlu penyediaan fasilitas dan perlakuan yang betul agar keamanan tersebut dapat dicapai.

Mengacu pada definisi di atas, kondisi teknis yang melekat pada TPA Sarimukti sudah di luar marka perundang-undangan. Tampaknya aman-aman saja, seolah-olah tidak bergejolak, tidak bermasalah. Ini lantaran luput dari pemberitaan media massa cetak, media elektronik, dan media sosial FB dan Twitter. Apalagi mayoritas warga Bandung Raya belum pernah melihat langsung kondisi gunung sampah yang rawan longsor itu. Sekadar pembanding, tanah yang diikat akar pepohonan saja bisa longsor seperti terjadi di Desa Jemblung, Kecamatan Karang Kobar, Banjarnegara, Jawa Tengah pada 12 Desember 2014. Tentu tumpukan sampah yang tidak ada material pengikat antar komponennya lebih mudah longsor daripada tanah. Lagi pula, tumpukan sampah itu sudah sangat tinggi, bahkan Monas pun tenggelam jika ditusukkan ke dalam gunung sampah itu. Stadion Senayan pun masih kalah luas dibandingkan dengan Open Dump Sarimukti.

Berbeda dengan warga Bandung, pemimpin daerah tidak hanya wajib blusukan ke lokasi TPA, tetapi juga agar makin yakin bahwa masalah sampah adalah penting & mendesak (crucial). Taman boleh dibangun di mana-mana, festival kuliner bisa digelar rutin setiap malam minggu, lukisan mural, grafiti menghiasi dinding-dinding kota. Ini semua positif. Sampah pun selayaknya lebih diperhatikan karena dampaknya luas. Gerakan Pungut Sampah (GPS) tentu positif, denda terhadap sopir angkot yang mobilnya tidak menyediakan wadah sampah sebagai pemberlakuan Perda K3 di Kota Bandung juga diapresiasi. Pertanyaannya, pernahkah para kepala daerah menatap gunung sampah di Sarimukti? Menghirup hawa khasnya saat kemarau? Seorang pemimpin akan merasa aman-aman saja kalau tidak pernah melihat langsung keruwetan dan risiko kerja operator di lokasi TPA. Empati akan muncul kalau pernah menyaksikannya. Blusukan ke TPA itu penting agar diperoleh gambaran aktual berkaitan dengan operasi, keadaan pemulung, kesehatan pekerja dan operator, serta kondisi alat-alat beratnya sebagai landasan pembuatan kebijakan.  

Selain kondisi urugan sampah, Sarimukti juga gagal dalam mengolah air lindinya. Instalasi Pengolahan Lindi (IPL) tidak mampu menurunkan pencemaran organik ke taraf yang aman bagi badan air penerima. Apatah lagi nitrogen, fosfat, dan logam-logam berat. Polutan ini bebas mengalir ke lingkungan di sekitar TPA dan mencemari air tanah dan air permukaan. Dari amatan di lokasi, ini terjadi lantaran keliru dalam mendesain hidrodinamika aliran lindi sehingga berpengaruh pada intensitas adukan secara hidrolis (Gambar 1).

Desain pengadukan (mixing) secara alamiah, tanpa bantuan mixer atau aerator (sehingga menjadi murah investasi, operasi, dan perawatannya) menjadi penentu keberhasilan proses pengolahan. Juga karena gagal “beternak bakteri” sebagai ciri khas dalam bioproses akibat derajat keasamannya (pH) tidak stabil dalam rentang basa, yaitu di atas tujuh.

Sebagai IPL berjenis bioproses, pengolahan di Sarimukti terdiri atas kolam stabilisasi (anaerobik), kolam fakultatif, dan kolam maturasi. Prinsipnya sama dengan IPAL domestik di Bojongsoang, Kabupaten Bandung. Bedanya, konstruksi IPL di Sarimukti berbahan beton sedangkan IPAL Bojongsoang berbahan tanah. Varian IPL juga ada, biasanya berupa unit biofilter atau wetland seperti tampak pada Gambar 2. Ada juga yang menyediakan kolam seeding. Namun demikian, unit yang lengkap seperti gambar tersebut ada juga yang gagal dalam operasi dan pemeliharaannya. Apa sebabnya? 

Kata kunci agar IPL optimal operasinya sesungguhnya sama persis dengan IPAL. Prosedur operasi dan pemeliharaan IPL harus dilaksanakan secara tepat, misalnya debit dan kualitas lindinya harus rutin dipantau. Debit lindi yang masuk ke IPL harus terkendali sehingga tidak menyebabkan gangguan pada proses pengolahan, terutama fluktuasi debit lindi. Namun, debit lindi yang lebih kecil daripada debit desainnya, biasanya tidak bermasalah selama kualitas lindinya relatif stabil. Yang bermasalah adalah ketika debitnya di atas debit desain, apalagi kalau jauh melampauinya..  

IPL juga harus dipelihara dengan cara menjaga kebersihan kolam-kolamnya, bebas dari sampah, rumput-rumputan, eceng gondok, tidak berbuih, dan kedalamannya relatif tetap (tidak dangkal akibat lumpur). Untuk mencapai kondisi operasi dan pemeliharaan seperti itu, prosedur operasi IPL harus diikuti yang meliputi: cara start up, pengukuran debit lindi, pemantauan kualitas lindi di setiap unit operasi dan proses, pemeliharaan sarana pendukung IPL.

Start-Up
Kegagalan IPL biasanya diawali pada tahap start up. Ada IPL yang dioperasikan tanpa tahap ini karena mengira bahwa IPL itu seperti mesin yang siap bekerja setelah dibeli tanpa perlu pengondisian awal. Padahal semua unit bioproses, tahap start up diperlukan ketika memulai operasi dan setelah terjadi kegagalan proses pengolahan (restart up). Ada beberapa hal yang harus ditempuh untuk memulai langkah ini.

1. Isilah bak Anerobik dengan air tanah (sungai) sampai penuh. Cek dan catat pH-nya.
2. Alirkan lindi ke dalam bak tersebut, cek dan catat pH-nya. Pantau pH setiap hari.
3. Apabila pH kurang dari tujuh, tambahkan alkali (kapur tohor, NaOH atau sejenis) sampai pH menjadi tujuh atau lebih. Jika digunakan kapur, pembubuhan dilakukan dengan mencampurkan kapur dan air di dalam ember sebelum diituangkan di lokasi inlet.
4. Cek dan catat COD setiap hari. Kondisi tunak tercapai kalau diperoleh perbedaan angka COD efluen sekitar 10%. Dalam kondisi normal proses ini berlangsung dua sampai tiga bulan.
5. Laksanakan cara yang sama di bak fakultatif dan bak maturasi.
6. Selama start up, pantau parameter pH, BOD, COD.
a. pH cairan di bak (kolam) dijaga antara 7 – 9. Apabila kurang dari tujuh, maka tambahkan alkali ke dalam bak sampai pH-nya minimal tujuh.
b. BOD dan COD efluen dicek setiap hari sampai fluktuasi 10% (kondisi tunak).

Pengukuran Debit
Fluktuasi debit berpengaruh pada kualitas pengolahan. Debit yang melebihi desain atau batas atas debit desain dapat menggagalkan pengolahan. Pelapisan dasar pada awal konstruksi TPA sangat menentukan debit lindi, terutama pada musim hujan. Gambar 3 memperlihatkan kekeliruan dalam pelapisan dasar pada awal konstruksi TPA Sarimukti. Jaringan pipa induk dan lateral langsung diletakkan di atas tanah, tidak dialasi geotekstil dan geomembran.

Setiap IPL memiliki syarat debit lindi yang mampu diolahnya. Akurasi debit ini berpengaruh pada kualitas air olahan. Tetapi faktanya, nyaris 99% IPL tidak dilengkapi dengan alat ukur debit. Alat ukur ini ada yang sederhana seperti alat ukur Thompson. Apabila alat ukur tersebut tidak dipasang, maka dapat dilakukan dengan cara sederhana, yaitu menggunakan ember dan stopwatch. Prosedur pengukuran debit di alat ukur Thompson sebagai berikut.
1. Bersihkanlah sampah di sekitar alat ukur agar tidak menghalangi skala pada mistar.
2. Catatlah tinggi muka air lindi di bagian hulu alat ukur.
3. Hitung debit dengan pendekatan rumus Q = 1,4.H5/2.

Prosedur dengan menggunakan ember:
1. Siapkan ember yang diketahui volumenya.
2. Tampung lindi di dalam ember sambil diukur waktunya.
3. Debit adalah volume lindi di dalam ember dibagi kebutuhan waktu untuk memenuhi ember.

 

Pantauan Rutin
IPL harus dipantau agar kinerjanya optimal. Pemantauan kinerja ini bisa secara fisika dan biokimia. Parameter fisika yang dipantau adalah bau dan warna sedangkan biokimianya: pH, BOD, COD.

Untuk mendiagnosis kinerja pengolahan, ada tiga kondisi yang dijadikan acuan:
1. Apabila warna lindi tidak berubah, bau tidak berubah, pH tetap, tetapi penyisihan BOD, COD makin rendah maka disimpulkan bahwa waktu tinggal lindi di unit IPL terlalu singkat. Cek kedalaman kolam dan kuraslah sebagian lumpurnya.
2. Apabila warna lindi menjadi kuning (pucat) baunya menyengat, penyisihan BOD, COD rendah, pH kurang dari 5, maka disimpulkan ada zat racun di dalam lindi. Cara penanggulangannya ada dua:
     a). Hentikan aliran lindi ke IPL, alirkan lindi (bypass) ke kolam berikutnya, ganti lindi dengan air sungai atau air tanah. Ulangi langkah start up.
     b). Cara kedua: biarkan lindi yang kuning tersebut (pH kurang lebih 5), kemudian tambahkan alkali ke dalam kolam lindi. Jaga pH-nya agar lebih besar atau sama dengan tujuh. Dalam waktu dua sampai dengan tiga bulan, kondisi akan pulih kembali.
3. Terjadi reduksi volume kolam karena akumulasi endapan. Kejadian ini dapat mempersingkat waktu tinggal lindi sehingga kinerja IPL menurun. Tanggulangi dengan cara mengecek tinggi endapan dengan tongkat (bambu, kayu) di bagian inlet, tengah dan outlet unit IPL. Apabila endapannya tinggi, maka perlu dikuras atau ditiriskan dengan pompa dan lumpurnya dibiarkan mengering. Setelah kering, gunakan alat berat untuk mengeruknya atau dicangkul secara manual.

Tindakan di atas bersifat kuratif, dilaksanakan setelah terjadi penurunan kinerja pengolahan. Upaya preventifnya dengan cara memantau rutin. Prosedurnya: 1. Gunakan pH-meter atau lakmus untuk mengecek pH lindi di setiap unit IPL. 2. Jika pH lindi kurang dari tujuh, maka tambahkan alkali (basa) untuk menaikkan pH hingga minimal tujuh. 3. Pertahankan pH tetap minimal tujuh. 4. Cek BOD dan COD efluen IPL. Kalau terjadi perubahan yang mencolok, ulangi prosedur start up.
  
Berdasarkan bahasan di atas, kinerja IPL ini berubah-ubah dan kerapkali gagal. Atas kondisi ini, pengelola TPA tidak bisa serta merta menyalahkan operator. Siapapun yang menjadi operator di Sarimukti, pasti tidak akan berdaya mengendalikan kualitas lindi yang masuk dan yang keluar dari instalasi. Ini lantaran kondisi TPA bukanlah sanitary landfill dengan rangkaian pipa kolektor lindi, pipa gas, dan pelapisan sel sampah. Debit lindi tidak bisa diduga atau diperkirakan, apalagi pada saat hujan. Debit yang jauh melebihi kapasitas desain IPL otomatis akan merusak komunitas mikroba, andaikata sudah tumbuh dan berkembang sehingga operasi IPL mulai lagi dari awal (start up). Kejadian ini bisa terjadi berkali-kali, bergantung pada kondisi cuaca. Terlebih lagi kalau tidak ada operator khusus IPL, yaitu orang yang bertugas hanya di IPL, tidak rangkap tugas sebagai pengatur lalu-lintas truk dan urusan titik bongkar sampah atau pencatatan masuk-keluar truk di TPA.

(Jangan) Tutup Sarimukti
Menurut perundang-undangan yang berlaku seperti disebut di atas, warga dan LSM di KBB tidak perlu bersusah payah menuntut penutupan TPA Sarimukti. Protes ini sering terjadi, seperti tampak pada Gambar 4. Secara otomatis sebetulnya TPA itu sudah harus ditutup dan sampah Kota Bandung dan Kota Cimahi dialihkan ke lokasi lain yang selayaknya lebih baik daripada kondisi Sarimukti. Peran Pemprov. Jawa Barat tetap dibutuhkan sebagai fasilitator untuk mempertemukan tiga pemerintah daerah yang terkait dengan sampah ini. Prinsip pengelolaan sampah adalah win win solution, bukan NIMBY.

Selain warga dan LSM setempat, DPRD KBB pun pada November 2014 menuntut pembicaraan kembali tentang nota kesepahaman (MoU) TPA Sarimukti. Ini wajar saja lantaran mereka adalah wakil masyarakat tempat minta tolong apabila ada kasus dan kondisi yang merugikan ekonomi dan kesehatan warga. Salah satu tugas utama dewan di KBB adalah menuntaskan TPA ini agar diperoleh solusi yang menguntungkan bagi tiga pihak (KBB, Kota Bandung, Kota Cimahi) dan melapangkan jalan tugas dan fungsi Pemprov. Jawa Barat. Terlebih lagi, warga sudah melek informasi (dari ponsel, Facebook, Twitter, radio, televisi, dan koran) berkaitan dengan audit keuangan dan Kompensasi Dampak Negatif (KDN).

Distribusi dana KDN tersebut juga menjadi pertanyaan warga di sekitar TPA dan warga yang dilewati truk-truk sampah. Setiap truk yang lewat selayaknya diperhitungkan retribusinya terhadap warga terdampak, baik melalui mekanisme di pemerintahan maupun langsung kepada pejabat desa setempat yang diketahui oleh warga. Di Sarimukti juga ada jembatan timbang yang mencatat rutin jumlah truk dan berat sampah yang diangkutnya. Dicatat pula sumber sampahnya dari mana, kelurahan apa, kecamatan, dan kabupaten atau kota. Data di jembatan timbang ini bisa dijadikan acuan tiga pihak yang bersengketa ini asalkan pencatatan dan pelaporannya sesuai dengan SOP (standar operasi – prosedur) yang sudah disepakati. Saling percaya dan dicatat secara komputasi. Bahkan bisa di-sharing online kepada semua SKPD yang terkait di tiga pemerintahan dan provinsi pada detik ketika truk di atas jembatan timbang selesai didata.

Kesimpulan, pertama, peraturan negara ini sudah menegaskan bahwa open dumping seperti TPA Sarimukti harus ditutup secepat-cepatnya, terlepas dari lancar tidaknya atau dibayar-ditunggak dana untuk KDN. Tiada lagi alasan yang bisa memperpanjang lifetime Sarimukti. Kedua, Pemprov. Jawa Barat membantu Kota Bandung dan Cimahi agar memiliki TPA sanitary landfill, baik bekerja sama dengan KBB, Kab. Bandung, maupun kabupaten lainnya. Ketiga, dan ini adalah alasan kemanusiaan untuk warga Kota Bandung dan Cimahi, jangan tutup dulu TPA Sarimukti sebelum sanfil-nya siap digunakan. Berapa lama waktunya? Bergantung pada gerak cepat Pemprov. Jawa Barat dan kabupaten – kota terkait.

Jika demikian, tanda kurung judul tulisan ini bisa dihapus sehingga menjadi “Jangan Tutup TPA Sarimukti” untuk sementara ini dengan alasan humanisme, estetika, dan kesehatan warga. Pada saat yang sama pemerintah Kota Bandung melunasi tunggakan dan memberikan kompensasi kepada warga terdampak di sekitar lokasi. Semoga ini menjadi win win solution bagi semua pihak dan dapat terwujud pada tahun 2015, sepuluh tahun setelah kasus Leuwigajah, bencana terbesar TPA sampah di Asia Tenggara. *

Tidak ada komentar:

Posting Komentar