• L3
  • Email :
  • Search :

31 Juli 2015

Anis Matta di Mata Saya

Anis Matta di Mata Saya
Oleh Gede H. Cahyana


Bukanlah kader PKS, saya ini. Bukan pula anggota. Bukan keluarga dari kader dan anggota PKS. Teman? Ya, betul. Beberapa teman saya adalah kader dan anggota dewan dari PKS. Tapi ada juga teman yang dari parpol lain. Jadi, biasa-biasa saja. Simpatisan saja, saya ini. Bersimpati pada perjuangan “mengajak kebaikan, melarang keburukan”. Mengajak muslim yang malas shalat menjadi rajin ke masjid. Mengajak membayar zakat, infak, sedekah. Mengajak belajar mengelola bisnis, mengelola sekolah, pesantren, mengelola ekonomi dalam lingkup keluarga, RT-RW, kelurahan, kecamatan, kabupaten/kota, provinsi, dan negara. Artinya, mengelola hal-hal tersebut adalah bagian dari ibadah, kewajiban sebagai muslim dengan tujuan “negara menjadi baik dan diampuni Sang Khalik”.

Tidak kenal saya pada pria dari Sulawesi Selatan ini. Sekadar tahu saja. Tahu dari artikel yang ditulisnya di majalah-majalah sejak dekade 1990-an hingga sekarang. Tahu dari buku-bukunya. Lantaran gaya tulisannya yang khas, yang lantang tanpa bertele-tele, sukalah saya “mengunyah” paparannya. Gestur dan mimik mukanya saat orasi, kala bicara, ketika berjalan makin menguatkan kekaguman saya padanya. Cerdas dan tangkas, ringan badan dan cekatan, bukan berlebihan apabila banyak khalayak yang berkata demikian. Sosok lincah dengan wajah lumayan tampan bagi ukuran orang Indonesia umumnya, menjadi gaya tarik magnet bagi pendengar ceramahnya. Fasih bahasa Arabnya dan dialeknya tak dapat dipandang sebelah mata. Ia Anis Matta, seorang presiden di partai yang lahir setelah Orde Baru runtuh. Kisah kasih bersama istrinya juga menjadi catatan khusus. Tentu, tidak bisa ditatap dengan mata nanar membelalak apakah keluarganya bahagia. Apa itu bahagia? Hanya Anis Matta yang tahu. Hanya istrinya yang tahu.

Persahabatannya dengan Prabowo, seorang pengukuh kekukuhan Kopassus, pada Pilpres 2014 makin meluaskan langkah dan area politiknya. Tidak sedikit yang iri pada keharmonisan dua orang ketua partai ini dan hendak diceraiberaikan. Namun, kematangan dalam politik, pengalaman di dunia akademik, menjadi pendidik, tentu tak mudah mengusik Anis Matta. Melihat dari jauh, jauh di seberang horison kehidupan,  ia layak lanjut di “tahta” dengan mahkota “presiden” PKS. Tak hanya IQ, tetapi juga EQ, dan SQ-nya yang kuat yang sertamerta mengukuhkan dirinya menjadi personal yang layak di tampuk kursi Presiden PKS. Anis Matta di nomor urut satu. Berikutnya, dalam kaca mata saya, sosok yang mampu menjadi panutan adalah Hidayat Nur Wahid. Yang ketiga…, belum tahu saya. Untuk saat ini, hanya dua orang tersebut yang mampu menjadi nahkoda PKS. Hanya AM. Atau, hanya ada satu opsi selain AM, yaitu HNW. *

Tidak ada komentar:

Posting Komentar