Anis Matta di Mata Saya
Oleh Gede H. Cahyana
Bukanlah kader PKS, saya
ini. Bukan pula anggota. Bukan keluarga dari kader dan anggota PKS. Teman? Ya,
betul. Beberapa teman saya adalah kader dan anggota dewan dari PKS. Tapi ada
juga teman yang dari parpol lain. Jadi, biasa-biasa saja. Simpatisan saja, saya
ini. Bersimpati pada perjuangan “mengajak kebaikan, melarang keburukan”.
Mengajak muslim yang malas shalat menjadi rajin ke masjid. Mengajak membayar
zakat, infak, sedekah. Mengajak belajar mengelola bisnis, mengelola sekolah,
pesantren, mengelola ekonomi dalam lingkup keluarga, RT-RW, kelurahan,
kecamatan, kabupaten/kota, provinsi, dan negara. Artinya, mengelola hal-hal
tersebut adalah bagian dari ibadah, kewajiban sebagai muslim dengan tujuan
“negara menjadi baik dan diampuni Sang Khalik”.
Tidak kenal saya pada pria
dari Sulawesi Selatan ini. Sekadar tahu saja. Tahu dari artikel yang ditulisnya
di majalah-majalah sejak dekade 1990-an hingga sekarang. Tahu dari
buku-bukunya. Lantaran gaya tulisannya yang khas, yang lantang tanpa
bertele-tele, sukalah saya “mengunyah” paparannya. Gestur dan mimik mukanya
saat orasi, kala bicara, ketika berjalan makin menguatkan kekaguman saya
padanya. Cerdas dan tangkas, ringan badan dan cekatan, bukan berlebihan apabila
banyak khalayak yang berkata demikian. Sosok lincah dengan wajah lumayan tampan
bagi ukuran orang Indonesia umumnya, menjadi gaya tarik magnet bagi pendengar
ceramahnya. Fasih bahasa Arabnya dan dialeknya tak dapat dipandang sebelah
mata. Ia Anis Matta, seorang presiden di partai yang lahir setelah Orde Baru
runtuh. Kisah kasih bersama istrinya juga menjadi catatan khusus. Tentu, tidak
bisa ditatap dengan mata nanar membelalak apakah keluarganya bahagia. Apa itu
bahagia? Hanya Anis Matta yang tahu. Hanya istrinya yang tahu.
Persahabatannya dengan Prabowo, seorang pengukuh kekukuhan Kopassus, pada Pilpres 2014 makin meluaskan langkah dan area politiknya. Tidak sedikit yang iri pada keharmonisan dua orang ketua partai ini dan hendak diceraiberaikan. Namun, kematangan dalam politik, pengalaman di dunia akademik, menjadi pendidik, tentu tak mudah mengusik Anis Matta. Melihat dari jauh, jauh di seberang horison kehidupan, ia layak lanjut di “tahta” dengan mahkota “presiden” PKS. Tak hanya IQ, tetapi juga EQ, dan SQ-nya yang kuat yang sertamerta mengukuhkan dirinya menjadi personal yang layak di tampuk kursi Presiden PKS. Anis Matta di nomor urut satu. Berikutnya, dalam kaca mata saya, sosok yang mampu menjadi panutan adalah Hidayat Nur Wahid. Yang ketiga…, belum tahu saya. Untuk saat ini, hanya dua orang tersebut yang mampu menjadi nahkoda PKS. Hanya AM. Atau, hanya ada satu opsi selain AM, yaitu HNW. *
Persahabatannya dengan Prabowo, seorang pengukuh kekukuhan Kopassus, pada Pilpres 2014 makin meluaskan langkah dan area politiknya. Tidak sedikit yang iri pada keharmonisan dua orang ketua partai ini dan hendak diceraiberaikan. Namun, kematangan dalam politik, pengalaman di dunia akademik, menjadi pendidik, tentu tak mudah mengusik Anis Matta. Melihat dari jauh, jauh di seberang horison kehidupan, ia layak lanjut di “tahta” dengan mahkota “presiden” PKS. Tak hanya IQ, tetapi juga EQ, dan SQ-nya yang kuat yang sertamerta mengukuhkan dirinya menjadi personal yang layak di tampuk kursi Presiden PKS. Anis Matta di nomor urut satu. Berikutnya, dalam kaca mata saya, sosok yang mampu menjadi panutan adalah Hidayat Nur Wahid. Yang ketiga…, belum tahu saya. Untuk saat ini, hanya dua orang tersebut yang mampu menjadi nahkoda PKS. Hanya AM. Atau, hanya ada satu opsi selain AM, yaitu HNW. *
Tidak ada komentar:
Posting Komentar