• L3
  • Email :
  • Search :

26 Desember 2006

Tsunami, Haji, dan Kematian

Tepat dua tahun lalu, pada 26 Desember 2004, pagi-pagi setelah fajar menyingsing, Aceh Utara dan Barat dikejutkan oleh deru air laut. Bubungannya begitu tinggi dan tampak gelap-hitam disesaki kayu, bambu, seng, perahu, kapal, dan... mayat. Smong atau tsunami, itulah yang terjadi. Pada hari yang sama di kawasan lain di pesisir Asia Selatan dan Tenggara juga mengalami hal serupa. Bahkan sampai ke pantai Timur Afrika, menyisir bibir pantai Tanzania hingga Somalia (negara yang saat ini sedang perang saudara dan melibatkan Ethiopia). Akibat smong itu korban pun jatuh, ratusan ribu orang tewas. Terbanyak di Aceh.

Hari ini, Selasa, 26 Desember 2006, dua tahun pascatsunami itu, Aceh Utara dan Timur sedang dilanda banjir. Banjir sebanjir-banjirnya! Hutan di kawasan Leuseur telah menipis secara signifikan, dengan percepatan deforestasi yang kian tinggi. Akibatnya: "di mana-mana air melulu, sawah dan ladang menjadi satu", kata lirik sebuah lagu. Dua tahun lalu air asin menyusup jauh ke darat dan kini air tawar melimpas deras menuju pantai. Baru saja usai pilkada yang dimenangkan oleh mantan aktivis GAM, bencana itu datang lagi. Bencana dan kematian terus saja menghampiri manusia. Lalu, adakah sesuatu yang patut disombongkan oleh manusia di hadapan Sang Khalik?

Di sela-sela berita duka itu, ada juga berita gembira. Sebentar lagi, yaitu pada 31 Desember 2006 untuk wilayah Nusantara ini, Idul Adha menjelang, terjadi tepat pada hari terakhir tahun 2006 dan mendekati detik-detik awal tahun 2007. Putaran Bumi mengelilingi matahari (revolusi) dimulai lagi dari titik awalnya dan ... akan terus demikian hingga tiba Hari Akhir (Yaumil Akhir). Revolusi Bumi ini demikian penting bagi kaum muslim untuk menentukan waktu-waktu shalatnya. Jadi, tahun baru bagi kaum muslim tak hanya 1 Muharram, tetapi juga 1 Januari. Edar atau rotasi bulan terhadap Bumi (atau kalender Qamariah) dan revolusi Bumi atas Matahari (atau kalender Syamsyiah) diperlukan untuk penentuan waktu ibadah umat Islam. Keduanya bermanfaat dan maslahat bagi kaum muslimin.

Dengan lantunan bismillaahir rahmaanir rahiim, saya ucapkan selamat Hari Raya Idul Adha 1427 H dan Tahun Baru 2007. Sekaligus juga Tahun Baru Hijriah, 1 Muharram 1428 H pada 20 Januari 2007. Jadi, bulan Januari 2007 nanti, umat Islam disambangi oleh dua tahun baru. Dan dua tahun lagi, kedua jenis tahun baru tersebut akan berimpitan, minimal berdekatan. Semoga Allah merahmati dan memberkahi kita.

Untuk menyambut hari raya qurban tersebut, di bawah ini ada tulisan yang berkaitan dengan ibadah haji dan kematian. Ternyata kita kian dekat pada kematian, garis finish yang pasti dilalui, syahdan tidak ke Mekkah. Kematian dan bencana bisa datang kapan saja. Ketika tsunami dulu, banyak jamaah haji asal Aceh yang selamat karena berada di Arab, sekaligus sedih karena semua hartanya lenyap dan tak punya lagi sanak famili. Artinya, yang pergi haji dua tahun lalu selamat dari tsunami dan masih hidup sampai sekarang tetapi kini mereka memperoleh ujian lagi berupa banjir air tawar nan besar. Subhanallah... inilah sesi kehidupan yang penuh rahasia. Allahu ‘alam.

*****

Dulu, ketika di Bali, saya sering bertanya-tanya dan terheran-heran kenapa orang-orang berduyun-duyun pergi ke Mekkah. Ada yang naik kapal selama berbulan-bulan berlayar ke Arab Saudi dan berbulan-bulan pula waktunya untuk kembali ke Indonesia. Mereka tinggalkan sanak famili dan keluarganya dalam tempo lama dan tak sedikit yang pulang hanya namanya. Ada yang meninggal di Mekkah, di Madinah, di Jeddah, di kapal atau di perantauan di negeri seberang.

Kalau tak salah, pada tahun 1978 ada pesawat jamaah haji meledak di Colombo, Srilangka yang menewaskan semua penumpangnya. Pernah pula terjadi tragedi terowongan Mina dan ribuan insiden desak-injak ketika jumrah. Jika semua tragedi tersebut dicermati bisa dikatakan bahwa haji adalah ibadah berisiko tinggi tetapi sarat peminat. Antrian calon jamaah haji demikian panjang. Tahun ini tak kurang dari 2,5 juta orang yang menjadi tamu Allah. Itu pun lantaran diberlakukan kuota yang direlasikan dengan jumlah penduduk suatu negara. Andai tanpa kuota bisa dipastikan jumlahnya jauh lebih banyak lagi dan otomatis kian menyibukkan pemerintah Saudi dalam melayani tamunya.

Membaca sejumlah insiden kecelakaan itu membuat saya "pusing" dan tak habis pikir. Betul-betul tak masuk akal bagi saya, paling tidak sampai saya tamat SMA. Apa sebetulnya yang mereka cari? Datang dari jauh berkorban daya, dana, tenaga, raga, dan bahkan jiwa hanya untuk mengelilingi Ka’bah dan diam duduk-duduk saja di tengah terik mentari padang Arafah. Meskipun bertenda, sengatan mentari Arab betul-betul tiada tara. Sungguh aneh bagi saya, ada yang rela berpanas-panas terik begitu. Apalagi ada dogma atau minimal anggapan sebagian masyarakat yang tak masuk akal bagi saya dan sering tak sejajar dengan prinsip agama. Seringlah saya bertanya dan terus saja bertanya-tanya.

Betulkah orang yang berhasil berangkat haji akan mampu "naik" ke surga? Barangkali inilah sebabnya ibadah haji pada masa Orde Baru disebut "naik haji" dengan harapan setelah mendapat "titel" haji mereka berhak "naik" ke surga. Apa betul surga bisa "dibeli" dengan naik haji? Bagaimana kalau ongkos pergi hajinya berasal dari uang MKKN (manipulasi, korupsi, kolusi, nepotisme)? Bagaimana kalau berasal dari uang sinetron, film, majalah yang tak sesuai dengan ajaran Islam, berjualan narkoba, judi, minuman keras, dll? Sebab, tak sedikit orang-orang yang berkecimpung di bidang tersebut juga ibadah haji dan umroh. Pertanyaan ini terus saja mengejar saya karena tak jua terjawab. Berbagai-bagai ustadz pernah saya tanyai dan rata-rata jawabannya stereotipe, standar normatif dan nyaris tanpa argumen baru.

Betulkah surga bisa dibeli dengan "naik" haji? Saya bimbang. Saya ragu. Terlebih lagi kalau sumber uangnya berasal dari kegiatan yang bertentangan dengan aturan Islam. Suatu kali saya mendengar kisah tentang orang yang gagal berangkat haji padahal uang dan bekalnya telah cukup. Bertahun-tahun sedikit demi sedikit laba hasil jualannya di pasar dikumpulkan sampai cukup untuk ongkos berangkat haji. Ketika hendak berhaji (sayang sekali atau mungkin juga untung sekali) tetangganya jatuh sakit. Sakit parah yang perlu biaya banyak tetapi tak punya cukup uang untuk berobat. Melihat hal itu, orang yang hendak ibadah haji tadi memberikan uangnya untuk pengobatan. Nyaris habis uang ongkos pergi hajinya itu untuk berobat dan operasi. Lantaran tak punya lagi uang, gagallah dia pergi haji. Sedihnya lagi, tetangga yang ditolongnya itu tiga bulan kemudian pulang ke rahmatullah.

Bayangkan, dia kumpulkan uang sepeser demi sepeser selama bertahun-tahun untuk ibadah haji dan telah pula memberitahu tetangga dan keluarganya bahwa dia akan berangkat ke Mekkah, tapi batal lantaran ada tetangganya yang sakit keras dan butuh biaya untuk operasi. Meskipun berhasil dioperasi namun Allah berketentuan lain. Dia mewafatkannya setelah jutaan rupiah uang dikeluarkan. Siapa yang tak sedih? Terlebih lagi bisa diduga, tahun depan pun belum tentu dia bisa berangkat haji karena harus mengumpulkan rupiah demi rupiah lagi hasil dagangannya di pasar. Tahun itu dia gagal ibadah haji yang telah puluhan tahun diharap-harapnya. Kalau demikian, jika dibanding-bandingkan, siapa yang berhasil ibadah haji, apakah orang yang menginjak tanah Arafah ataukah orang yang menolong berobat tetangganya tetapi gagal berangkat?

Menurut riwayat, orang yang gagal ibadah haji itu secara de jure justru mendapatkan predikat haji. Dia telah menerapkan spirit dan pola hidup orang yang berhaji walaupun de facto dia tidak ke Mekkah. Apalagi tujuannya berhaji bukanlah untuk meraih titel haji melainkan semata-mata demi ibadah, melaksanakan kewajibannya sebagai muslim setelah rutin menunaikan rukun Islam lainnya. Dia telah syahadat dan rutin pula syahadat ketika shalat. Dia telah shaum Ramadhan sebagai kendali penyaluran uang laba dagangnya setelah dibayarkan zakatnya. Tak hanya zakat yang ditunaikan, sedekah dan sumbangan sosial pun dia tebarkan. Tiada pengemis yang datang ke rumahnya kecuali ada sejumput makanan yang dibagikannya. Itulah karakternya yang bermetamorfosis dari uang laba dagangnya, uang halal yang sen demi sen dikumpulkannya.

Pada kali lain saya juga melihat orang yang berhaji, bahkan berkali-kali ibadah haji tapi justru menjadi penyakit masyarakat. Dia bertitel haji tapi perilakunya tak paralel dengan spirit hajinya, bertentangan secara diametral. Dia tidak shalat dan tidak zakat. Hanya puasa Ramadhan yang dia kerjakan tapi itu pun tak tahu pasti apakah betul-betul saum atau pura-pura. Pernah juga saya dengar orang yang sering berhaji tetapi berlakon sebagai rentenir atau senang bergunjing dan menjelek-jelekkan saudaranya, tetangganya.

Kerapkali pula saya dengar lontaran kalimat dari ustadz bahwa banyak orang yang sepulang haji menjadi haji tomat: tobat sebentar, paling lama 40 hari, lalu kumat lagi. Ia lupa akan ikrarnya di depan baitullah dan tak ingat lagi spirit jumrah yang telah dilaksanakannya. Bertubi-tubi batu dilemparkannya demi melawan karakter setan tetapi justru setelah kembali ke tanah air, dia bersahabat lagi dengan perilaku setan. Banyak pula orang berhaji agar bisa mendapatkan proyek dan jabatan “basah” di kantornya atau agar dirinya kembali menjadi selebriti terkenal setelah redup dikalahkan pendatang baru dan kembali berpenampilan "panas", melupakan baju ihramnya selama berhaji.

Haji-hajjah demikian, yaitu hajinya orang-orang yang berbuat maksiat dan tidak melaksanakan rukun Islam lainnya terutama shalat dan saum Ramadhan akankah mampu membuka pintu surga lalu masuk ke dalamnya? Karena penasaran, saya buka-buka Qur’an dan saya baca ayat 41 surat al-Hajj yang terjemahnya kurang lebih seperti ini. Bahwa seharusnya orang-orang yang sudah diteguhkan kedudukannya di bumi harus mendirikan (bukan hanya melaksanakan) shalat, menunaikan zakat, menyuruh berbuat yang ma’ruf dan mencegah perbuatan mungkar. (Perihal tafsirnya yang lengkap sudah ada di sejumlah kitab tafsir, baik karya ulama salaf, maupun yang kontemporer).

Jadi, paradoks nian apabila orang berhaji tetapi tidak shalat dan tidak zakat. Tambah ironis lagi jika mereka justru berbuat mungkar dan mencegah orang lain yang ingin berbuat baik atau sengaja menjerumuskan orang lain agar berbuat buruk seperti dirinya. Kalau ada anak buahnya yang rajin shalat, dia sengaja mencari siasat agar anak buahnya itu tak sempat shalat. Entah beban kerjanya diperberat dan disuruh ke sana-sini dan bahkan rapat pun sengaja digelar menjelang shalat Jumat. Harapannya, jika MKKN-nya terbongkar maka dia akan dapat menyeret semua orang ke dalam kasusnya dengan harapan kasusnya itu dipetieskan karena takkan tuntas disidik.

Lantas, manakah yang lebih layak naik ke surga, orang-orang yang gagal berhaji lantaran menolong tetangganya ataukah yang berhasil ke Mekkah? Satu pertanyaan lagi, seperti diungkap di atas, bagaimana kalau ongkosnya berasal dari aktivitas haram seperti MKKN atau berdagang dengan cara menipu dan tak jujur dalam menimbang? Apakah orang berhaji yang selalu menuliskan huruf H atau Hj di depan namanya lebih mulia ketimbang orang yang gagal berhaji sehingga tak punya huruf H atau Hj di depan namanya? Apalah arti sebuah huruf? Bagi perendah diri, dia sangat bergantung pada label dan titel untuk mendongkrak dirinya. Dia aktualkan dirinya di atas gelar dan merasa titel adalah kebutuhan teratasnya.

Pertanyaannya sekarang, maukah orang yang berhaji itu tidak memasang label H atau Hj di awal namanya dengan anggapan bahwa ibadah haji tak berbeda secara transenden dengan ibadah shalat dan puasa Ramadhan? Bedanya hanya dari sisi biaya dan makin murah jika jaraknya makin dekat ke Arab. Taruhlah biayanya 30 juta rupiah. Harga sekian itu setara dengan biaya kuliah plus biaya kos selama empat tahun untuk meraih gelar sarjana.

Adapun gelar haji/hajjah bisa diperoleh dalam waktu singkat, hanya beberapa hari. Kalau di dunia perguruan tinggi ada gelar palsu yang diraih secara instan, jangan-jangan banyak juga yang memperoleh gelar haji dan hajjah palsu. Andaikata ibadah itu dilandaskan pada gelar dan bangga menaruh gelar H atau Hj di depan namanya lantaran telah berhaji kenapa tidak meletakkan huruf S karena sudah shalat, huruf Z karena sudah zakat atau huruf PR karena telah puasa Ramadhan? Saya tidak tahu. Hanya Allahlah yang Mahatahu.

Haji dan Kematian

Sudah dimaklumi, haji identik dengan kebahagiaan sedangkan mati, bagi banyak orang, terkait dengan kesedihan. Orang yang beribadah haji sangat dekat dengan kematian, demikian kata orang. Itu sebabnya, sejak awal mereka sudah minta maaf atas kesalahannya, bahkan minta maaf kepada orang yang baru dikenalnya. Saya bertanya-tanya, betulkah demikian? Betulkah orang yang berhaji sangat dekat dengan malakul maut? (Konsekuensi logisnya, apakah orang yang tak pergi haji dan tinggal saja di negaranya akan jauh dari malakul maut?)

Akibat dogma kematian itu banyak orang kaya jadi takut pergi haji. Kalau dilihat hartanya, sudah bukan cukup lagi untuk biaya ke Mekkah tetapi bisa untuk membiayai puluhan orang dan mukim di sana selama dua bulan atau lebih. Sering saya dengar alasannya ialah hidayah. Katanya, mereka belum mendapat hidayah. Atau merasa belum siap, baik siap mental maupun siap ilmu. Juga ada yang merasa belum bagus dalam ibadah shalat sehingga merasa belum layak menginjak tanah Mekkah. Tapi ada juga karena takut menjadi saleh. Kenapa? Kalau menjadi saleh berarti segala perbuatan maksiatnya harus dihentikan. Mereka tak kuat menahan bujuk rayu teman-teman kerjanya dan merasa sudah kadung menjadi orang jahat. Merasa putus asa dari rahmat Allah dan ragu-ragu apakah Allah akan mengampuni dosa-dosanya.

Setahu saya, tak ada kaitan sama sekali orang yang berhaji lebih dekat dengan kematian daripada yang tidak berhaji. Tak ada kaitan sama sekali umur manusia dengan ibadah haji. Sebab, mati itu bisa menjemput kapan saja dan di mana saja. Malah waktunya sudah ditentukan ketika manusia baru saja lahir, bersama rizki dan jodohnya. Maka, dokter yang marah-marah kepada orang yang berhaji ketika sudah uzur atau pensiun, dapatlah disebut tidak simpatik dalam meladeni jamaahnya. Saya sedih mendengar dokter yang menjadi tim kesehatan jamaah haji berkata menakut-nakuti seperti itu. Bahkan ancaman kematian, kata dokter itu, makin tinggi di Mekkah dan kian tinggi lagi pada manusia usia lanjut (manula).

Betulkah kematian akan lebih senang menjemput manula? Kematian memang rahasia Allah dan tak seorang pun yang tahu. Jangankan meramal kematian orang, meramal kematian dirinya saja dia tidak tahu. Kalau ada yang merasa yakin bahwa seseorang akan mati pada hari, tanggal, bulan, tahun sampai detil ke jam, menit dan detiknya pastilah orang itu dusta. Jangankan yang detil, yang yakin dalam hitungan tahun saja, misalnya tahun sekian si Fulan akan mati, wajiblah tak mempercayainya. Tapi kalau hanya mengira-ngira kapan kematian berdasarkan kondisi kesehatan yang sangat parah tentu jangankan dokter, orang biasa di pihak keluarganya pun biasanya sudah siap akan kehilangan saudaranya.

Ada kisah nyata. Saya kenal seseorang yang divonis umurnya tinggal tiga bulan lagi ketika dirawat di sebuah rumah sakit di Bandung tapi masih hidup sampai sekarang. Padahal vonis itu dijatuhkan oleh dokter pada awal tahun 1990-an. Kini dia bekerja di sebuah toko buku di Bandung dan tampak menikmati hidupnya yang sederhana. Di pihak lain, ada juga orang yang merasa dirinya kuat, sehat-gagah dan merasa hidupnya masih lama lagi. Fisiknya kuat karena ikut bina-raga dan bulutangkis. Tapi yang terjadi, ketika dia naik mobil di jalan tol, sebuah truk yang tiba-tiba bannya pecah menjadi alat kematiannya. Tulang dan ototnya yang kuat tak jua mampu melindunginya, malah patah berdarah-darah.

Andaikata jamaah haji yang wafat di Mekkah, Madinah atau di tempat lainnya tidak berhaji apakah mereka tetap masih hidup? Ingatlah saya pada sebuah ayat tapi lupa ayat berapa dan di surat apa. Isinya menegaskan bahwa ke mana dan di mana saja kita sembunyi takkan mampu menghindari maut. Syahdan masuk ke peti besi atau ruang kedap apapun. Malah saya kira akan lebih cepat mati kalau masuk ke ruang sempit kedap udara tanpa kontak dengan alam. Sejak dulu dan sampai kapan pun manusia takkan mampu memahami fenomena kematian. Apakah ruhnya itu ke luar dari ubun-ubun, mata, ataukah dari kaki sambil tubuhnya meregang, melengkung sebentar lalu kaku tak bergerak? Saya beberapa kali melihat ayam meregang nyawa berkelojotan dan kakinya mencari-cari sandaran lalu diam tak bergerak. Seperti itukah?

Saya pribadi takut pada kematian. Saya takut kalau mati segera seperti halnya takut kalau anak-anak, istri, orangtua, saudara dan teman-teman baik saya dijemput maut. Saya belum siap untuk hal yang satu ini padahal sudah sering saya dengar dan saya baca bahwa kematian takkan mungkin bisa ditolak. Jangankan ditolak, ditangguhkan sedetik pun tak bisa. Artinya, rasa takut pun tiada guna. Tapi tetap saja saya takut. Takut mati boleh jadi lantaran iman saya masih lemah atau tak tahu akan ke mana setelah mati. Kalau pun tahu, yaitu surga atau neraka, justru yang ditakutkan adalah neraka. Tapi anehnya, tak kusiapkan amal sebaik-baiknya, sebenar-benarnya dan sebanyak-banyaknya. Aneh.... memang!
ReadMore »

20 Desember 2006

Poliandri: Kenapa Haram?

Saya menerima sutel (surat elektronik, e-mail) perihal poliandri dan diskusi poliandri di milis Mediacare. Kenapa poliandri tak diizinkan dalam Islam sebagai solusi menghindari zina?

Berbeda dengan poligami yang diharapkan dapat mencegah selingkuh atau zina, status poliandri justru dekat dengan perusakan nilai-nilai moral dan tatanan kehidupan masyarakat. Singkatnya, poliandri itu tak sesuai dengan fitrah perempuan, baik dari sisi fisiknya (fisiologis) maupun emosinya (psikologis). Sebelum membahas keburukan poliandri, saya hendak membuat analogi yang berupa binatang, yaitu ayam. Penting dipahami, pengambilan analogi ini tidak berarti manusia sama dengan binatang atau ayam. Sama sekali tak ada niat penyamaan demikian. Sebab, manusia adalah makhluk termulia yang Allah ciptakan di antara makhluk lainnya dari kelompok binatang, tumbuh-tumbuhan, benda-benda, dll.

Analogi saya seperti ini. Misalkanlah kita punya satu ayam betina dan empat ayam jantan. Kemudian lima ayam ini dimasukkan ke dalam satu kandang dengan asumsi tidak beradu terus. Aman-aman saja (tapi faktanya, ayam-ayam jago-jantan itu pasti terus bertarung sampai ada yang kalah. Untuk contoh kali ini, umpamakanlah semuanya akur-akur saja). Apa yang bakal terjadi sekian bulan kemudian? Dapat diduga, bahkan nyaris bisa dipastikan, ayam betina itu mulai bertelur. Sebutir sehari, lama-lama menjadi banyak. Setelah semua telurnya keluar, mulailah ayam betina itu mengeraminya. Dalam tempo 21 hari ke depan, satu demi satu menetaslah telur-telur itu menjadi anak-anak ayam yang lucu-lucu. Setelah semuanya menetas, bisakah kita menentukan siapa “bapak” anak-anak ayam itu?

Marilah berandai-andai. Andaikata hal demikian terjadi pada manusia, apa yang akan terjadi? Bukankah satu orang perempuan akan bisa diperistri oleh empat orang lelaki dalam satu waktu dan bahkan tinggal dalam satu rumah? Setelah menikah pertama kali, tak lama kemudian dia (menikah) dinikahi lagi oleh lelaki kedua, lalu oleh ketiga, dan oleh yang keempat. Lalu siapa yang menjadi bapak bagi bayi-bayi mungil nan lucu itu? Kira-kira akurkah keempat suaminya dalam menanti giliran koitus dan dalam mengasuh anak-anaknya? Siapakah yang wajib memberikan nafkah lahirnya? Yang banyak memasok uang buat istrinya bolehkah memiliki jatah lebih banyak bercumbu dengannya? Sehatkah persaingannya, jika boleh disebut demikian, antarsuami itu?

Perihal penetapan bapak bagi bayi-bayinya setiap kali melahirkan, bisakah dites dengan DNA? Sekarang, katanya, sudah bisa dan telah dilakukan untuk kasus-kasus kehilangan anak atau anak yang tertukar di rumah sakit atau dalam masalah hukum lainnya. Banyak yang kena kasus seperti ini, tak jelas siapa bapak bayinya, tetapi bukan lantaran poliandri melainkan selingkuh. Sampai-sampai ada yang membunuh bayinya atau digugurkan sebelum sempat lahir. Kembali ke soal tes DNA. Saya optimis, suatu saat kelak akan ditemukan juga kelemahan tes DNA ini sehingga hasilnya bisa meragukan siapa ayah sang bayi. Akurasinya akan dipertanyakan dengan temuan-temuan baru di bidang instrumentasi dan kontrol. Lagi pula, kasus-kasus yang muncul tentang tes ini tidak 100% diungkap di media massa dan ada yang tidak dipublikasikan dengan beragam alasan. Off the record, begitu kilah pelakunya.

Selain itu, apakah Sang Khalik tidak tahu bahwa akan ditemukan teknologi DNA pada abad ke-20 lalu untuk menduga siapa bapak bayi-bayi itu? Mustahil Al Khalik tak tahu apa yang bakal terjadi. Dia tahu apa yang bakal terjadi, bahkan sejak awal alam ini diciptakan-Nya. Karena tes DNA ini sangat mahal, mungkin juga dilakukan di luar Indonesia, bagaimana kalau orangnya tidak mampu membayar tesnya, lalu siapa bapak sang jabang bayi nan suci itu? Berapa lama ia harus menunggu? Padahal ia harus segera dibuatkan akta-lahir agar sah sebagai warga baru negara nyiur melambai ini atau negara lain tempatnya lahir.

Bayangkan kalau jutaan perempuan berpoliandri, apa yang akan terjadi pada negara ini dan negara-negara lainnya? Bagaimana pada berabad-abad lalu ketika tes DNA belum ada dan istilah DNA pun belum dikenal? Bagaimana kalau anaknya cacat, idiot, imbisil, kembar siam, dll, siapa yang harus menanggung biaya operasi separasinya dan biaya pendidikannya di Sekolah Luar Biasa, apakah suami A, B, C, ataukah D? Jangan-jangan semuanya lepas tangan dan pergi begitu saja lalu mencari lagi perempuan lain yang hendak berpoliandri dan begitu lagi terjadi berkali-kali. Habis manis, sepah dibuang dan bisa menimbulkan akumulasi janda-janda tua yang beranak banyak tetapi dalam kondisi yang lemah, miskin, menderita, tak bersekolah, dan tanpa kekuatan tawar secara sosial. Perempuan menjadi tak berharga sama sekali, sama persis seperti masa sebelum kenabian Muhammad.

Setelah kemelut membiayai sekolahnya dari SD sampai perguruan tinggi karena saling tunjuk dan tak mau mengakui itu anaknya atau sebaliknya suami-suami itu saling berebut anak ketika anaknya prestatif di sekolah, masalah lebih besar lagi datang menghadang setelah anak gadisnya hendak menikah. Siapa wali nikahnya? Bapak A, B, C, ataukah D? Lalu siapa yang akan menjadi ahli warisnya kalau salah satu suaminya meninggal? Adakah suaminya yang masih hidup berhak juga atas warisan harta suami yang meninggal? Jika ada suaminya pengangguran atau malas bekerja, bagaimana kira-kira respons suami-suaminya yang lain yang bekerja keras mencari nafkah terhadap suami penganggur itu? Bagaimana kalau yang penganggur itu fisiknya atletis dan tampan serta disayangi istrinya sehingga tiga yang lainnya menjadi kesal dan merencanakan konspirasi? Begitu juga dalam soal nafkah pangan, sandang, papan, dll, siapa yang wajib menanggungnya?

Lantas, siapa yang mesti ditaati oleh istri ketika ada komando dari keempat suaminya untuk bepergian? Suami pertama ingin ke Bali, yang kedua ingin ke Bunaken, yang ketiga ingin ke Solo, yang keempat justru ingin di rumah saja karena kebelet ingin “yang itu tu”. Pada masa lebaran misalnya, juga pada hari-hari biasa lainnya, siapa yang akan dipatuhinya, apakah suami A, B, C, ataukah D? Tidakkah potensi bertengkarnya menjadi begitu besar? Padahal salah satu dari sekian banyak fungsi menikah adalah membangun rumah tangga agar terwujud cita-cita tertinggi, yaitu sakinah. Minimal anak-anaknya menjadi anak yang taat shalat, menunaikan zakat dan rajin sedekah, gemar membantu orang lain, dan banyak lagi yang lain, tak terbatas jumlahnya.

Satu hal lagi, semua perempuan pasti haid dan suatu saat akan menopause. Bagaimana nanti pada saat giliran suami A, dia haid? Begitu juga ketika giliran B, C, dan D dia haid padahal para suaminya sedang tinggi tegangannya. Tidakkah ini akan menimbulkan pertentangan dengan para suami lainnya? Atau, karena dalam satu rumah apalagi dalam satu tempat tidur, justru antarsuami itu berbaikan dan bermesraan sehingga terjadilah homoseksual di dalam rumah tangga itu? Begitu pula ketika menopause, bagaimana keempat suaminya memenuhi kebutuhan seksnya yang memang tak berbatas usia? (Bahkan pernah ada kakek berusia 78 tahun memperkosa anak SD saking kebeletnya). Apakah sang istri dicerai begitu saja dan tak satu pun yang rela menafkahinya dari sisi pangan, sandang, dan papan karena saling tuding bahwa dirinya paling sedikit berseraga dengan istrinya ketika belum menopause dan belum tua? Tidakkah ini potensial menimbulkan "perang" antarsuami?

Di sisi lain, elastisitas vagina perempuan pun berkurang kalau dia bersetubuh dengan lelaki lain secara berganti-ganti. Taruhlah dia punya empat suami, maka elastisitasnya akan berkurang dibandingkan dia memiliki satu suami. Jangankan empat pada saat yang sama (poliandri), empat lelaki yang berurutan (secara seri) karena kawin-cerai kawin-cerai terus, maka vaginanya bisa tidak elastis lagi. Kontraksinya melemah sehingga daya cengkeramnya juga melemah dan berpengaruh pada kepuasan suami-suaminya. Bagaimana kalau suami-suaminya itu lantas mencari lagi perempuan lain karena tak puas atas servis istrinya? Jika demikian, adakah poliandri yang mampu bertahan sampai istrinya berusia di atas 60-an tahun dan tetap berdaya melayani para suaminya yang terus saja “gagah” walaupun sudah 60 tahun bahkan 70-an tahun? Dan...... banyak lagi yang lainnya.

Bisa dilihat, betapa besar kontradiksi poligami dan poliandri, bertentangan bagai siang dan malam, bagai Bumi dan langit. Poligami itu halal dan diperbolehkan dengan syarat-syarat tertentu sedangkan poliandri haram. Poligami itu lebih mulia ketimbang jajan, zina, serong-selingkuh. Jajan termasuk zina dan menistakan perempuan. Perempuan hanya dibayar dengan sejuta dua juta rupiah per jam. Ada malah yang seratus ribu per jam. Malah konon ada yang mau dibayar dengan semangkok mi rebus campur telur plus sebotol bir di simpang lokalisasi. Inikah yang namanya memuliakan perempuan? Belum lagi potensi penyakit kelamin dan AIDS.

Itu sebabnya, hukuman zina begitu berat. Tentu saja harus ada saksinya atau pezina itu mengaku di depan hakim bahwa dirinya telah berzina. Nilai plusnya kalau dia dirajam atau didera, insya Allah di akhirat kelak dosa zinanya dihapus karena sudah dibayarkan di dunia lewat dera atau rajam itu. Yang lolos dari dera dan rajam dan terus saja berzina sampai akhir hayatnya, dia akan diganjar di akhirat kelak. Itu nanti urusan dia dengan "Tuhannya". Karena begitu beratnya hukuman zina itu dan merusak kesucian pernikahan, maka Islam memberikan spirit pencegahan yang disebut: laa taqrabuz zina: janganlah kau DEKATI zina. Jangankan berzina, mendekatinya saja dilarang.

Yang dimaksud mendekati zina misalnya berpacaran a la kekinian dan banyak lagi contoh lainnya yang sekarang merebak diberitakan media massa. Selain itu, zina juga menyebabkan kesemrawutan keturunan (anak-anak). Padahal salah satu fungsi seks, selain memenuhi kebutuhan syahwat, ialah berketurunan yang diharapkan menjadi anak-anak saleh sehingga dapat mendoakan orang tuanya agar diampuni dosa-dosanya (adakah orang yang tak berdosa?), terutama setelah orang tuanya meninggal. Diharapkan juga anak-anaknya berguna buat dirinya, buat saudaranya, buat orang lain dst. Maka wajarlah banyak orang tua yang bejat moralnya, misalnya MKKN (manipulasi, korupsi, kolusi, nepotisme) plus zina tetapi tetap mengharapkan anak-anaknya menjadi orang baik (saleh) dan tidak ikut-ikutan bapaknya yang cacat moral itu.

Demikian dan semoga bermanfaat.

Gede H. Cahyana
ReadMore »

15 Desember 2006

Iklan Tahun 1889

Kemarin saya anjangsana ke blog milik Pak Sarlito W. Sarwono. Saya temukan satu tulisan unik di blognya. Diambil dari Perpustakaan Nasional, demikian menurut psikolog ini, tulisan tersebut berupa iklan dari Gubernur Jenderal Hindia Belanda (Nederlandsch Indie Governor Generaal) untuk mencari buruh (boedak) dan satpam (tjentenk) yang akan dikirim ke beberapa daerah, termasuk ke Buleleng (atau Boeleleng?) Bali.

Kalau dilihat dari tahunnya, iklan ini dibuat lebih kurang enam tahun pasca letusan Gunung Krakatau di Selat Sunda tahun 1883. Letusan dahsyat yang debunya konon sampai ke Benua Eropa itu telah memangkas puncak gunung laut itu dan menimbulkan tsunami yang luar biasa. Namun jika dilihat dari isi iklannya, bisa diduga kehidupan masyarakat telah pulih dan perekonomian berjalan seperti “biasa” yang dikendalikan oleh penjajah Belanda. Buktinya, mereka merekrut tenaga buruh dan penjaga keamanan untuk projek-projek perkebunannya.

Namun ada satu hal yang layak direnungkan. Perhatikanlah besar upahnya dan pajak yang mesti dibayarkan. Jelas sudah, Belanda betul-betul pengisap darah, mirip lintah atas rakyat negeri ini: Indonesia.

Berikut ini adalah isi iklannya yang masih menggunakan ejaan masa itu dan berbahasa campuran Belanda-Melayu.

***

PENGOEMOEMAN!!!

DAG INLANDER,.....HAJOO OERANG MELAJOE,...KOWE MAHU KERDJA???
GOVERNEMENT NEDERLANDSCH INDIE PERLOE KOWE ENTOEK DJADI BOEDAK ATAOE TJENTENK DI PERKEBOENAN-PERKEBOENAN ONDERNEMING KEPOENJAAN GOVERNEMENT NEDERLANDSCH INDIE


DJIKA KOWE POENYA SJARAT DAN NJALI BERIKOET:
1. Kowe poenja tangan koeat dan beroerat
2. Kowe poenja njali gede
3. Kowe poenja moeka kasar
4. Kowe poenja tinggal di wilajah Nederlandsch Indie
5. Kowe boekan kerabat dekat pemberontak-pemberontak ataoepoen maling ataoepoen mereka jang soedah diberantas liwat actie politioneel.
6. Kowe beloem djadi boedak nederlander ataoepoen ondernemer ataoe toean tanah ataoe baron eropah.
7. Kowe maoe bekerdja radjin dan netjes.


KOWE INLANDER PERLOE DATANG KE RAWA SENAJAN DISANA KOWE HAROES DIPILIH LIWAT DJOERI-DJOERI JANG BERTOEGAS :

1. Keliling rawa Senajan 3 kali
2. Angkat badan liwat 30 kali
3. Angkat peroet liwat 30 kali

Kowe mesti ketemoe Mevrouw Shanti, Meneer Tomo en Meneer Atmadjaja. Kowe nanti akan didjadikan tjentenk oentoek di Toba, Buleleng, Borneo, Tanamera, Batam, Soerabaja, Batavia en Riaoeeiland.

Governement Nederlandsch Indie memberi oepah :
1. Makan 3 kali perhari dengan beras poetih dari Bangil
2. Istirahat siang 1 uur.
3. Oepah dipotong padjak Governement 40 percent oentoek wang djago.

Haastig kalaoe kowe mahoe..
Pertanggal 31 Maart 1889
Niet Laat te Zijn Hoor..
Batavia 1889
Onder de naam van Nederlandsch Indie Governor Generaal
H.M.S Van den Bergh S.J.J de Gooij

***

Kutipan iklan di atas dicuplik dari koran tahun 1889 yang ada di Perpustakaan Nasional oleh Sarlito Wirawan Sarwono.


Gede H. Cahyana
ReadMore »

11 Desember 2006

Poligami: Gadis atau Janda

Ada sejumlah sutel (surat elektronik, e-mail) yang saya terima dan isinya masih di sekitar poligami. Kali ini perihal status “biologis” perempuan yang diperistri, yaitu gadis atau janda. Mana yang lebih baik, begitu tanyanya, gadis ataukah janda? Mudah-mudahan tulisan di bawah ini juga dapat menjawab pertanyaan rekan-rekan di milis "Penulislepas" dan "Mediacare", dua milis yang saya kirimi artikel "Istri Kedua Aa Gym?" pada 1 Desember 2006.

***

Gadis ataukah janda, mana yang lebih baik?

Saya sebetulnya bertanya juga, "baik" itu dilihat dari sudut pandang apa? Kalau ditelisik dari sudut birahi, tentu banyak yang memilih gadis remaja, masih perawan tingting. Sesuai definisinya, gadis ialah perempuan yang belum pernah berhubungan seks, baik melalui pernikahan maupun perzinahan. Berapa pun umurnya: belasan, likuran, tiga puluhan, empat puluhan atau di atas lima puluhan, perempuan yang belum pernah berseraga disebut gadis. Ciri lainnya, selaput daranya masih utuh (atau kalaupun robek, itu disebabkan oleh kecelakaan seperti jatuh, tersangkut, olah raga, atau efek mekanis lainnya. Kalau ini kejadiannya, dia memang sudah tidak gadis lagi meskipun belum pernah koitus).

Kegadisan seorang perempuan pun tidak mudah diketahui atau dirasakan oleh lelaki ketika bersetubuh. Apalagi bagi lelaki yang baru kali pertama menikah dan pertama kali juga bersenggama. Kondisi "kulit" perawan (hymen) itu hanya dapat diketahui kalau dilihat langsung. Dokter kandungan dan bidan pasti tahu caranya. Bisakah "tetes darah pertama" di celana dalamnya atau di seprei menjadi bukti bahwa seorang perempuan memang masih gadis? Menurut dokter, bisa ya, tapi bisa juga tidak. Apalagi sudah ada teknologi untuk "mereparasi" selaput dara yang robek menjadi "kembali perawan". Boleh jadi ada perempuan yang berkategori gadis tetapi tidak "gadis".

Bagaimana dengan janda? Kebanyakan janda sudah digauli oleh mantan suaminya. Memang pernah ada kasus, seorang perempuan (gadis) menjadi janda lantaran ada masalah tertentu yang tidak disepakati oleh kedua pihak keluarga besar sehingga tak lama setelah pernikahannya, dia dicerai oleh suaminya. Kebetulan waktu itu mereka belum sempat menikmati malam pertama. Tetapi kasus ini, bisa diduga, tidak banyak jumlahnya. Yang lumrah terjadi, mayoritas janda sudah tidak perawan lagi. Ada yang tanpa anak, ada juga yang banyak anaknya. Ada karena kematian suaminya, ada juga karena cerai, baik dicerai oleh suaminya atau gugat cerai oleh pihak istri.

Jika berkaca pada poligami Nabi Muhammad, hanya satu perempuan yang status biologisnya masih gadis, yaitu Aisyah r.a. Selebihnya janda. Setelah Khadijah meninggal Muhammad lantas menikah dengan janda juga, bernama Saudah. Baru setelah itu, kira-kira lima tahun kemudian, Rasulullah menikah dengan Aisyah yang usianya enam tahun. Tetapi Aisyah masih tinggal dengan orang tuanya hingga berusia sembilan tahun. Seusia inilah Aisyah lalu pindah ke rumah Rasulullah. Menurut riwayat, beliau digauli pada usia 11 tahun, usia dewasa bagi rata-rata perempuan Arab waktu itu. Jadi, ada rentang waktu lima tahun sebelum malam pertamanya.

Hanya saja di masyarakat Indonesia berkembang pendapat bahwa menikahi gadis pada pernikahan kedua, ketiga, dan keempat selalu dianggap demi memenuhi syahwat semata. Apalagi kalau gadisnya cantik, indah tubuhnya, singset, dll. Tak dapat dimungkiri, pendapat seperti ini sudah dalam masuk ke hati kaum perempuan khususnya, dan sebagian kaum lelaki. Malah ada ibu-ibu yang dengan tandas "mengharuskan" agar perempuan kedua, ketiga, keempat itu berusia tua, jelek, dan bodoh. Mereka berkeinginan demikian karena takut suaminya "lengket terus" dengan madunya.

Lalu apa tolokukurnya? Dalam Islam tidak ada acuan yang mengharuskan memilih gadis atau janda, tak hanya pada pernikahan kedua, ketiga, dan keempat tetapi pada pernikahan kesatu pun tidak ada. Yang ada, setahu saya, silakan (anjuran) memilih gadis pada nikah pertama agar lebih "sreg". Hal ini dapat dilihat pada hadis yang diriwayatkan oleh Ibnu Majah dan Baihaqi yang bunyinya: Hendaknya kamu nikah dengan perawan (gadis) karena mereka lebih manis tutur katanya, lebih banyak keturunannya dst-nya. (Saya tidak tahu bagaimana status hadis ini, sahih, hasan, atau apa. Pembaca yang tahu silakan menuliskan komentar di bawah artikel ini).

Perihal memilih calon istri, yang menjadi titik tekan ialah kesalehahan (salehah), benar pemahaman dan pengamalan ajaran Islamnya. Oleh sebab itu, sebelum menikah silakan selidiki kehidupan ke-Islam-an calon istri, apakah rajin shalat, rajin zakat, rajin mencari ilmu (thalabul ‘ilmi) dll. Perempuan pun dianjurkan memilih lelaki saleh, benar paham dan amal ibadahnya, persis sama dengan kriteria di atas. Upayakan jangan seperti membeli kucing dalam karung, alih-alih untung yang terjadi malah buntung. Tetapi kalau sudah kadung buntung, tak perlulah putus asa atau menceraikannya (atau gugat cerai dari istri). Kalau mau berpikir positif, karakter buruk istri (atau suami) justru bisa dijadikan alat penambah ibadah dan sabar dalam mendidiknya agar berubah sedikit demi sedikit menjadi salehah (atau saleh).

Berkaitan dengan status gadis tersebut, ada tuturan Aisyah r.a seperti ini. "Di mana saja seharian ini?" tanyanya kepada Nabi Muhammad ketika beliau masuk ke rumahnya.

"Wahai Humaira (panggilan sayang, berarti kemerah-merahan), aku tadi di rumah Ummu Salamah."

"Apa engkau belum kenyang di rumah Ummu Salamah?" tanya Aisyah lagi. Beliau hanya tersenyum.

Lalu Aisyah berkata lagi,"Wahai Rasulullah, tidakkah engkau mau memberitahuku tentang dirimu? Andaikata engkau turun di dua lembah, yang satu belum pernah digunakan untuk menggembalakan ternak dan satunya lagi sudah digunakan untuk menggembalakan, manakah yang hendak engkau gunakan untuk menggembala?"

"Tentu saja yang belum pernah digunakan untuk menggembala," jawabnya.

"Aku tidak seperti seorang pun di antara istri-istrimu. Masing-masing di antara mereka pernah menikah, selain aku!" tegas Aisyah.

Bagaimana reaksi Muhammad Rasulullah? Beliau pun tersenyum mendengarnya.

Terakhir, ada beragam alasan seseorang berpoligami, baik kepada gadis maupun janda. Di antaranya: semata-mata seks tanpa mengindahkan tuntunan ajaran Islam, bahkan jumlahnya ada yang lebih dari empat orang istri. Ada yang ingin menolong sang janda, terutama membantu pendidikan anak-anak yatimnya. Ada juga yang ingin membuktikan kebenaran ajaran Islam dan mengubah image masyarakat atas poligami sehingga ikhlas menjadi "sampel atau percobaan". Tentu saja masih ada lagi alasan lainnya.

Pembaca budiman, saya sudahi dulu sampai di sini, semoga bermanfaat.
Wassalam.

Gede H. Cahyana
ReadMore »

7 Desember 2006

Hak Istri dalam Poligami

Hak Istri dalam Poligami

Respons kontra terhadap pernikahan Aa Gym ternyata tak hanya datang dari kalangan ibu-ibu tetapi juga dari pemerintah pusat. Kentara sekali emosinya, terutama ketika menghadapi tekanan publik yang antipoligami, sampai-sampai menitah Menteri Pemberdayaan Perempuan, Meutia Hatta untuk mengadakan konferensi pers atau pernyataan umum di media massa. Kata-katanya tendensius dan reaktif tanpa mau mempelajari dulu seluk-beluk dan alasan sang poligamis (yaitu Aa Gym) serta membawa-bawa terminologi "kyai" dalam konotasi negatif. Bung Hatta, setahu saya, tidaklah sereaktif itu, malah cenderung pendiam dan merespons kalau sudah lengkap informasinya.

Benang merah respons pemerintah tersebut adalah kekhawatiran pada "ketidakadilan" sang poligamis terhadap istri-istrinya. Takut perempuan Indonesia makin tak berdaya sehingga keberadaan Kementerian Pemberdayaan Perempuan dianggap mubazir dan tak ada gunanya sehingga harus dilikuidasi. Selain itu, ada indikasi bahwa kalangan tertentu yang memiliki hasrat penyebarluasan isu kesetaraan jender, tentu saja dengan dukungan penuh dana asing telah masuk ke pemerintahan. Kali ini, pemerintah kita tidak steril dari pengaruh mereka sehingga lantas setuju pada upaya antipoligami, bukan saja bagi PNS, TNI, Polri, tetapi juga bagi seluruh WNI. Anggapan bahwa poligami selalu menistakan perempuan sudah kadung merasuk ke selaput kelabu otak pengurus negeri ini sehingga menjadi paranoid. Mendengarnya saja sudah membuatnya takut luar-dalam. Padahal apa masalahnya, bagaimana mekanismenya, siapa saja pelakunya, mengapa harus dilakukan, dan kapan poligami (boleh) dilakoni belumlah dipahaminya.

Satu hal yang patut diingat, poligami adalah opsi (alternatif) dalam berumah tangga. Ia tidak wajib, juga tidak sunnah. Mau monogami..... silakan! Hendak poligami...... juga silakan. Baik yang monogami maupun yang poligami, kedua kubu ini tetap harus bertanggung jawab kepada istri dan anak-anaknya. Suami tetap harus memberikan kebutuhan pangan (nafaqah), sandang (kiswah) dan papan (suknah). Termasuk adil dalam menggilir. Yang monogami tentu saja tak serepot atau seberat yang poligami. Belum lagi kebutuhan ruhaninya, seperti sekolah dan pengetahuan agama, pembelajaran akhlak, dan hal-hal yang terkait dengan pembentukan kecerdasan emosi dan spiritualnya.

Namun demikian, lelaki yang "tinggi tegangannya", apalagi tetap "tinggi" walaupun sudah puasa (saum), tetap diizinkan berpoligami. Ini jauh lebih baik dan lebih mulia daripada zina dalam kondisi monogami. Artinya, berpoligami lantaran alasan seks semata demi kemuliaan yang lebih tinggi, yaitu tidak berzina apalagi seks bebas, selingkuh-dualingkuh, serong-serongan, jauh lebih mulia ketimbang “jajan sate” di lokalisasi, di hotel atau di kantor megah. Malah "pejajan sate" itu mestinya dihukum mati (rajam) atau didera jika dia belum menikah. Tentu saja harus ada saksi-saksinya. Pendeknya, harus sesuai pula dengan hukum Islam. Jika tanpa saksi (sekali lagi: TANPA SAKSI), maka tak bisalah mereka dirajam atau didera. Dia HARUS dibebaskan. Tinggallah sekarang urusan dia dengan "Tuhannya", kalau dia memang ber-Tuhan, bukan?

Kembali ke soal pemberdayaan perempuan dan ini adalah catatan untuk Menteri Pemberdayaan Perempuan. Janganlah negara kita ini dibandingkan dengan negara Inggris, Australia, Belanda, dll yang melarang poligami. Dengan aturan agama yang mayoritas dipeluk rakyatnya, sejak dulu mereka melarang poligami. Tetapi sudah menjadi rahasia umum pula, mereka menutup rapat-rapat matanya pada seks bebas dan pelacuran. Bahkan melegalkan pernikahan kaum homoseks dan lesbian. Alasan mereka, menikah itu ada konsekuensi logisnya, seperti hak waris, nafkah, asuransi, pertanggungan, dll sedangkan seks bebas suka-sama-suka dan pelacuran tidak demikian. Apalagi kalau pemuka agamanya sudah mengeluarkan hukum dari agama anutannya.

Baiklah, mari kita baca dan telaah, betapa tinggi apresiasi Islam atas kaum perempuan. Islam sudah memberdayakan perempuan ketika statusnya pada masa Nabi Muhammad dianggap warga kelas dua. Bahkan banyak yang dibunuhi karena malu memiliki anak perempuan. Begitu datang Islam, dan lewat pernikahan Muhammad dengan para janda yang alasannya ialah politik, humanisme, dan demi penerapan syari’at, maka tinggilah posisi atau maqam (bukan makam/kuburan) kaum perempuan. Perempuan Islam tak hanya setara dengan lelaki tetapi justru sangat dihormati. Dalam hadis nabi, ada tiga kali penghormatan kepada ibu, lalu setelah itu sekali penghormatan kepada bapak. Dalam perang pun perempuan selalu dilindungi bersama dengan anak-anak dan orang jompo. Bahkan surga pun ada di telapak kaki ibu. (Maaf, jangan menyuruh saya menunjukkan surga itu di telapak kaki ibu saya. Maaf...., ini sekadar intermezzo).

Di bawah ini adalah kewajiban suami atas istri-istrinya, sekaligus sebagai hak bagi kaum istri. Yang saya tulis di sini hanya beberapa saja. Sejatinya, jumlahnya jauh lebih banyak.

1. Hak pangan.
Makan dan minum adalah kebutuhan dasar manusia, kebutuhan yang oleh Abraham Maslow ditaruh di tempat terendah dalam piramida kebutuhannya. Kebutuhan fisiologis ini begitu mendesak dan sangat berpengaruh pada kesehatan tubuh. Namun demikian, kewajiban suami tidak sekadar mampu memberikan makanan pokok berupa nasi dan lauknya, tetapi juga harus bergizi sesuai dengan kemampuannya. Kekuatan ekonomi menjadi tolokukur kemampuannya dalam memberikan makanan yang memenuhi unsur kualitas, kuantitas, dan kontinuitas, terus?menerus sepanjang hayatnya.

Dimensi lain dari hak pangan ini adalah istri berhak menuntut keadilan suaminya dalam berbagi uang belanja dan disesuaikan dengan situasi dan kondisinya. Yang punya anak banyak tentu saja uang belanjanya harus lebih banyak. Yang punya bayi wajarlah menuntut uang beli susu, bubur bayi, vitamin, dll untuk kebutuhan bayinya. Yang anak-anaknya bersekolah wajar juga menuntut bekal untuk jajan es krim, bakso, dll. Semua itu harus dilakoni oleh suami dengan adil. Maka kian jelaslah bahwa adil itu bukanlah sama rata sama jumlah, melainkan disesuaikan dengan situasi dan kondisi istri dan anak-anaknya.

2. Hak sandang.
Tak bisa dimungkiri, demi kehormatan perempuan, suami wajib memberikan pakaian yang sesuai dengan syari’at Islam, yaitu menutup auratnya. Bahannya bebas saja asalkan mampu menutupi aurat, bukan membungkus tubuhnya sehingga lekuk-likunya masih tampak. Terhadap anak-anak gadinya juga harus sama, yaitu disediakan baju yang menutup aurat. Selain hak istri dan anak-anak gadinya, pakaian jilbab ini pun adalah kewajiban suami menyediakannya. Suami harus mampu membeli baju yang menutupi seluruh aurat istri dan anak gadisnya. Tak usah yang mahal dari butik terkenal, tetapi sesuaikan dengan isi kantong suami. Yang penting, menutup aurat.

Dalam memenuhi hak istri ini pun suami harus adil. Istri yang gemuk atau besar fisiknya tentu harus dibelikan baju atau kain yang lebar sehingga otomatis harganya lebih mahal. Biaya jahitnya pun lebih mahal sehingga istri yang kurus tidak boleh cemburu atau iri karena biaya menjahit bajunya lebih murah sehingga sedikit juga uang yang diberikan untuk menjahit bajunya itu. Yang punya anak remaja tentu berbeda juga harga bajunya dengan anak-anak yang masih kecil.

Sepatu, giwang, cincin, gelang, bedak, lipstick, eyeshadow dan semua perhiasan perempuan pun hendaklah disesuaikan dengan kondisi dan kebutuhan istri-istrinya. Prinsipnya adalah adil dan.... adil, tetapi bukan sama rata dan sama rasa. Yang penting aturlah agar rumah tangga itu menjadi akur. Istilahnya yang tepat ialah sakinah.

3. Hak papan.
Satu hal yang patut diingat oleh kaum lelaki, istri-istrinya berhak memperoleh tempat tinggal sesuai dengan kemampuannya. Kalau tak mampu membelikan rumah, maka menyewa atau kontrak rumah juga boleh-boleh saja. Yang penting istri-istrinya itu terlindungi dari ancaman air hujan, dingin angin, panas mentari, dan dilihat oleh orang-orang yang bukan muhrimnya. Besar kecilnya rumah juga harus adil. Yang anaknya banyak tentu perlu rumah yang lebih besar daripada yang anaknya sedikit.

Bolehkah menempatkan semua istrinya dalam satu rumah? Boleh-boleh saja asalkan mampu menjaganya. Suami dan istri-istrinya harus bisa berlapang hati kalau ada anak-anak yang berbeda ibu saling berkelahi. Jangan lantaran anak-anaknya bertengkar lantas antaristri juga bertengkar. Di tempat tidur juga begitu, sehingga walaupun satu rumah, kamar-kamar untuk istri sebaiknya terpisah. Bagaimana kalau satu kamar? Boleh-boleh saja asalkan semua istrinya setuju satu kamar.

Lalu kalau mau senggama dengan salah satu di antaranya bagaimana? Untuk yang satu ini, memang harus ada musyawarah dulu agar istri yang lain pindah kamar dulu atau dicarikan waktu dan tempat yang pas. Semua istri dilayani dengan cara yang sama seperti itu. Musyawarah, ini prinsipnya. Sebab, dalam musyawarah itu pun ada nilai ibadahnya. Keridhaan adalah intinya dan minta pahala dari Allah adalah tujuannya. Artinya juga, suami harus punya kekuatan ekonomi. Ia harus mampu menyediakan rumah, baik sewa maupun beli sendiri untuk semua istrinya.

4. Hak didik.
Perihal pendidikan istri dan anak-anaknya bukan lagi hak tetapi menjadi wajib. Semua kaum muslim harus pintar dari sisi kecerdasan intelektualnya, juga cerdas emosinya, dan cerdas spiritualnya. Ini hanya bisa diperoleh kalau istri-istrinya mampu disekolahkan oleh sang suami, minimal dalam majelis taklim di masjid-masjid. Sebab, tak semua majelis taklim itu gratis, tetapi ada yang urunan menggaji gurunya. Ini bagus dan membuat semangat para ustadz mengajarkan ilmunya karena bisa pula menjadi sumber uang buat keluarganya. Membantu orang yang membuat kita berilmu tentu bernilai ibadah pula. Tak berbeda dengan belajar di sekolah formal dan gurunya memperoleh gaji dari pemerintah atau yayasan sekolah.

Tak hanya ilmu tentang agama seperti shalat, zakat, haji, puasa, berdagang, dll, tetapi suami pun harus berupaya mendidik istrinya dari sisi ilmu-ilmu seperti di sekolah umum. Semua biaya menuntut ilmu itu harus ditanggung oleh suaminya. Bahkan kalau sang suami berpendidikan S3, maka bolehlah dia menyekolahkan istrinya sampai S3 juga. Tentu saja kalau kemampuan intelektual istrinya memenuhi syarat dan lulus tes masuk. Pendek kata, istri berhak dan dalam hal tertentu menjadi wajib mencari ilmu agar makin kuat imannya, makin mampu hidup bermasyarakat, punya ilmu pendidikan anak, dan ilmu cara membahagiakan suaminya.

Itu sebabnya, suami hendaklah menganjurkan istri-istrinya belajar apapun yang bermanfaat buat keluarganya. Boleh kursus memasak, boleh belajar berbisnis, boleh belajar menjahit, buka salon, dll sekaligus membuka lapangan kerja buat orang lain. Training-training motivasi, misalnya ESQ Ary Ginanjar juga boleh diikuti oleh semua istrinya kalau uang suaminya memungkinkan.

5. Hak gilir.
Giliran dikunjungi suami juga menjadi hak istri. Jangan sampai ada istri, misalnya sudah menopause, disepelekan dan tidak diperhatikan. Walaupun sudah tak subur lagi, seorang suami wajib mengunjunginya dan tetap tidur bersamanya meskipun tidak bersenggama. Yang penting jangan sampai membuatnya sedih karena tidak disambangi. Sebab, istri yang sudah menopause, secara psikologis justru makin sensitif sehingga hatinya perlu dibesarkan agar merasa tetap diperhatikan.

Namun demikian, andaikata ada istri yang rela tidak digilir, baik sementara maupun selamanya, ini boleh-boleh saja. Ia bisa memberikan jatah gilirannya kepada madunya. Peristiwa ini terjadi pada istri Nabi Muhammad yang bernama Saudah. Ia memberikan jatah gilirnya kepada Aisyah ra. Yang penting, harus ada musyawarah, ada izin dari yang memiliki jatah giliran. Kalau dibicarakan (dimusyawarahkan), dan inilah ciri rumah tangga sakinah, oke-oke saja. Sebab, jika dilakoni dengan ikhlas maka pahalalah hasilnya.

Hal yang sama juga harus diterapkan pada istri yang sakit, haid, atau nifas (baru saja melahirkan). Suami harus menemaninya sekalipun tidak bersenggama. Apalagi menyenggamai istri yang haid atau nifas diharamkan dan berdosa. Tinjauan kesehatan reproduksi pun sependapat dengan tinjauan syari’at ini. Bermesraan tanpa senggama sambil ngobrol akan bisa menyenangkan hati istri. Apalagi titik tertinggi sensitivitas perempuan, katanya, ketika mereka sedang haid atau setelah melahirkan. Bagaimana kalau suami ngebet dan ingin bersenggama? Caranya, tutupi saja bagian vaginanya dan lakukan dengan apapun di tubuh istri asalkan jangan duburnya (anal sex) karena lubang ini diharamkan.

6. Hak pergi, safar.
Seorang suami yang sibuk pergi ke mana-mana, misalnya menjadi pakar dalam ilmu tertentu, maka hendaklah dia mengajak semua istrinya. Kalau tidak mampu dan berbagai kendala lainnya, sebaiknya tak seorang pun diajaknya. Kalau dia kuliah lagi di luar negeri dalam waktu lama, maka ini pun bisa dimusyawarahkan, siapa yang akan diajak. Jika tak ada titik temu dalam musyawarah, maka bisa diundi. Apapun hasilnya, semuanya harus ikhlas siapa yang akan menemani suaminya ke luar negeri. Pada saat suami studi di luar negeri, misalnya sampai empat tahun, semua istrinya harus tetap dipenuhi hak-haknya seperti pangan, sandang, papan seperti disebut di atas. Hanya giliran senggama saja yang dihentikan untuk sementara atas hasil musyawarah. Jika ikhlas, maka pahala pula balasannya.

Andaikata suami punya kekuatan ekonomi, bisa saja dia menggilirkan istri-istri dan bahkan anak-anaknya pergi ke luar negeri. Misalnya, tahun pertama adalah jatah istri pertama, tahun kedua untuk yang kedua, tahun ketiga untuk yang ketiga, dan tahun keempat untuk yang keempat. Ketika wisuda, silakan hadirkan semua istrinya untuk melihat dia diwisuda sambil jalan-jalan atau malah dilanjutkan pergi ke Mekkah untuk ibadah umroh sebagai rasa syukur sudah lulus studinya. Indah bukan? Atau, silakan saja atur menurut versi rumah tangga masing-masing asalkan ADIL. Sebab, rumah tangga setiap orang itu khas atau unik.

7. Hak perasaan dan cinta
Inilah yang dikecualikan oleh Allah dalam Al Qur’an. Keadilan dalam enam poin di atas mesti diupayakan dipenuhi oleh suami. Yang ketujuh ini, yaitu adil dalam perasaan dan cinta memang sulit karena abstrak. Siapa yang tahu dan mampu menilai perasaan seseorang? Itu sebabnya, dalam bersenggama, kualitas orgasme seorang istri sangat sulit disamakan atau diadilkan dengan istri yang lain. Suami memang harus berusaha agar semua istrinya orgasme ketika senggama. Tetapi ada yang berhasil sampai ke puncak, ada yang hanya pertengahan, dan mungkin saja ada yang gagal. Namun karena senggama itu bisa dilakukan berkali kali dalam waktu hari-hari berikutnya maka orgasme itu bisa diupayakan lagi.

Yang harus dilakukan suami, dia wajib melaksanakan permainan pendahuluan sebelum penetrasi. Beberapa menit dalam tahap awal ini sangat menentukan akhir permainan. Pihak istri pun harus berupaya menggugah syahwatnya sendiri agar dia bisa juga memperoleh orgasme. Istri harus berupaya keras menemukan titik-titik sensitif di tubuhnya lalu diberitahukan kepada suaminya agar titik-titik itu dirangsangnya. Kerja sama seperti inilah yang dibutuhkan oleh suami-istri sehingga mampu meraih mawaddah (senang, cinta dalam hubungan jimak/koitus dan berkaitan dengan birahi) dan juga memperoleh rahmah (kasih sayang nonbiologis, berasal dari fitrah ilahi yang sifatnya ar-Rahman).

Dengan demikian, seorang suami yang tak mampu memberikan orgasme kepada salah satu istrinya setelah dia berupaya seperti alinea di atas, dia tidak bersalah. Apalagi kalau istrinya memang sudah lanjut dan telah menopause sehingga sulit orgasme. Jadi tidak semata-mata kegagalan orgasme istri adalah kesalahan suami. Teknik senggama pun bisa dipraktikkan dengan beragam cara seperti dalam Kamasutra. Yang penting itu tadi, jangan dilakukan di dubur istri.

Terakhir, suami yang saleh akan berupaya sekuat tenaga tidak ejakulasi prematur dan kalah duluan. Sekali-sekali kalah boleh saja, asal jangan untuk seterusnya. Sebab, kepuasan senggama adalah HAK istri juga. Suami harus berupaya bertahan sampai batas-batas tertentu. Pendeknya, bahagiakanlah semua istri kalau sudah berpoligami.

Pembaca budiman, demikianlah hak-hak istri yang wajib ditunaikan oleh poligamis, lelaki yang berpoligami. Semoga bermanfaat.


Artikel yang berkaitan:

Istri Kedua Aa Gym?

Poligami: R. A. Kartini

Poligami Nabi Muhammad

Kanal Seks

Poliandri, Kenapa Haram?

ReadMore »

5 Desember 2006

Kanal Seks

Kanal atau channel atau canal adalah saluran yang biasa digunakan untuk mengalirkan air, baik air baku air minum, air hujan, maupun air limbah. Seperti halnya air, seks pun harus disalurkan agar ia berjalan di relnya yang halal. Kalau air tersebut tidak disalurkan di kanalnya maka bisa banjir dan merugikan manusia. Begitu pun seks, harus dikanalkan agar tidak merugikan manusia, baik di dunia (penyakit sifilis, GO, HIV-AIDS, dll) maupun di akhirat (siksa pedih nan abadi di neraka).

Bagaimana cara mengkanalkan seks. Satu-satunya cara ialah nikah. Pernikahan adalah satu-satunya cara menyalurkan hasrat seks yang menggebu-gebu. Memang, saum juga bisa, tetapi akan sangat berat kalau nafsunya sudah "di atas angin". Semua orang tanpa kecuali, sudah diberikan hasrat seks. Hasrat biologis atau nafsu seks memang sudah bawaan manusia dan ditegaskan di dalam surat Ali Imran (3):14. Dijadikan indah pada (pandangan) manusia kecintaan kepada apa-apa yang diingini, yaitu: wanita-wanita, anak-anak, harta yang banyak dari jenis emas, perak, kuda pilihan, binatang-binatang ternak dan sawah ladang. Itulah kesenangan hidup di dunia dan di sisi Allahlah tempat kembali yang baik (surga).

Hanya saja harus digarisbawahi bahwa nafsu seks tidak semuanya negatif. Ia bergantung pada kanalnya. Kalau dikanalkan pada yang halal (nikah) maka efeknya pasti positif, dapat nilai ibadah, dan enak. Sebaliknya, jika disalurkan pada pelacur, teman, pacar, apalagi pemerkosaan maka otomatis menjadi negatif, berdosa, potensial kena penyakit kelamin. Inilah orang yang diperbudak seks. Budak seks sangat banyak, mulai dari orang biasa seperti pemulung, gelandangan-pengemis, pengamen, PNS, karyawan swasta, polisi, TNI, jaksa, hakim, anggota DPR/DPRD, artis, "kyai", "ustadz", guru, dosen, pengusaha, menteri, presiden, dst-nya. Semua yang diperbudak seks itu sudah pasti imannya tipis atau bahkan hilang sama sekali.

Itu sebabnya, menikah adalah solusi bagi perbudakan seks. Seorang poligamis (lelaki pelaku poligami) jauh lebih mulia ketimbang seorang pelaku seks bebas. Apalagi kebutuhan seks setiap orang berbeda-beda. Ada yang rendah, ada yang tinggi. Yang tinggi silakan menikah hingga empat kali asalkan ia mampu adil dalam hal pangan (nafaqah), sandang (kiswah), dan papan (suknah). Keadilan di sini tidak disyaratkan secara perasaan dan cinta karena hal ini tidak mungkin. Adil di sini difokuskan pada adil secara lahiriah.

Namun demikian, adil lahiriah bukanlah sama rata sama jumlah. Yang anaknya lebih banyak tentu lebih banyak pula menerima pangan, sandang, papan dari suaminya. Anak yang kuliah tentu lebih besar kebutuhan dananya daripada yang masih SD. Istri yang sakit tentu lebih membutuhkan uang dan perhatian suami ketimbang yang sehat. Istri yang belum bisa (belum lancar) mengaji Qur’an tentu lebih banyak membutuhkan bimbingan suami daripada yang sudah lancar. Atau, istri yang sudah lancar membaca Qur’an mengajari madunya yang belum lancar (belum bisa). Ini akan menambah keakraban keluarga. Banyak lagi hal-hal lainnya. Semuanya harus disesuaikan dengan situasi dan kondisi suami, istri dan anak-anaknya. Karena itulah, poligamis wajib memiliki kemapanan ekonomi, kekuatan sosial, ketinggian ilmu (bisa baca Qur’an, memiliki ilmu pendidikan anak, pendidikan istri, kemasyarakatan, dll).

Kembali ke soal kanal seks (sex canal). Tujuan pembuatan kanal seks ialah ibadah. Berseraga, bersebadan, bersetubuh atau koitus antara suami istri adalah ibadah, selain menambah kesenangan dan kasih sayang. Sebab, jika dilakukan dengan pelacur, teman, pacar, apalagi memperkosa orang, maka disebut zina dan dosa besar. Dalam Islam tak tanggung-tanggung hukumannya, yaitu rajam (dilempari batu sampai mati) bagi yang sudah menikah dan hukuman dera bagi yang lajang (gadis). Beratnya hukuman zina itu karena Islam sangat memuliakan keturunan manusia dan tak ingin ada anak-anak tanpa ayah atau pembunuhan (pengguguran) kandungan lantaran seks bebas. Hal ini pun demi kejelasan garis nasab agar jelas pula hukum pewarisan dan perwalian saat menikah.

Dengan kata lain, bersenggama suami istri adalah perbuatan suci dan terpuji. Selain menyenangkan juga bernilai ibadah. Ada pahalanya. Juga memperoleh anak sebagai generasi penerus dalam melanjutkan dakwah Rasulullah. Maka, kanalkanlah seks di saluran yang benar, yaitu pernikahan. Mau monogami? Silakan. Ingin poligami? Juga silakan, asalkan syaratnya dipenuhi, yaitu adil dalam nafaqah, kiswah, dan suknah, termasuk pendidikan istri dan anak-anak. Jika tidak mampu demikian, sebaiknya jangan bermain api, bisa terbakar nanti.

Ada riwayat yang disampaikan oleh Abu Dzar r.a. Sekelompok sahabat menghadap Rasul lalu berkata," Ya Rasulullah, betapa bahagia orang-orang kaya. Kami shalat, mereka juga shalat. Kami saum (puasa), mereka juga puasa. Namun mereka melebihi kami karena bisa bersedekah dengan kelebihan hartanya".

Rasulullah lantas bersabda," Bukankah Allah telah memberi kalian kesempatan bersedekah (tanpa harta) yang bisa kalian lakukan? Sesungguhnya tasbih adalah sedekah, takbir juga sedekah, membaca laa ilaaha ilallah juga sedekah, tahmid juga sedekah, amar ma’ruf dan nahyi munkar juga sedekah, bahkan hubungan seks (dengan istrimu) pun termasuk sedekah".

Para sahabat bertanya lagi," Wahai Rasulullah, apakah jika memenuhi kebutuhan seks (syahwat) dan bersenang-senang dengan istri juga mendapat pahala?"

Dengan tandas Rasul menjawab," Bagaimana pandanganmu kalau ia salurkan syahwatnya kepada yang haram, bukankah berdosa? Maka, kalau disalurkan (dikanalkan) kepada yang halal (istri-istrinya) maka akan mendapat pahala". (H. R. Muslim).*

Silakan baca.
Istri Kedua Aa Gym?
Poligami Nabi Muhammad
Poligami: R. A. Kartini

ReadMore »

Poligami: R. A. Kartini

Pernikahan kali kedua Aa Gym menimbulkan polemik. Ada yang pro, ada yang kontra. Ketika berada di Kualalumpur Malaysia (Sabtu, 2 Desember 2006), lewat telepon yang disiarkan oleh radio MQ FM, Aa berkata bahwa sudah ada 3.000-an SMS yang diterimanya. Ada yang menghujat, ada yang memberikan selamat. Akhirnya, pada Sabtu sore di Jakarta, sepulang dari negeri jiran itu, Aa Gym dan Teh Ninih memberikan keterangan resmi di depan wartawan.

***

Sikap kontra yang muncul menandakan bahwa poligami dianggap negatif, terutama dari sudut pandang perempuan. Mereka ingin kesetaraan jender, ingin emansipasi seperti yang dikumandangkan R. A. Kartini. Spirit Kartini memang tinggi dalam memajukan perempuan dan bisa diketahui dari surat yang ditulisnya untuk Zeehandelaar yang isinya perihal wanita Surakarta pada akhir abad ke-19 atau awal abad ke-20. Kalimat ini saya kutip dari buku Menemukan Sejarah karya Prof. A. Mansur Suryanegara, seorang gurubesar sejarah di Universitas Padjadjaran Bandung. Begini isinya:

Di sana hampir tiada seorang juga laki-laki yang perempuannya hanya seorang, dalam kalangan bangsawan terutama lingkungan susuhunan, seorang laki-laki lebih 26 orang perempuannya (23 Agustus 1900).

Kalimat di atas bisa ditafsirkan dari tiga hal, yaitu (1) Kartini tidak setuju pada poligami yang tak terbatas istrinya, sampai puluhan atau ratusan; (2) Kartini tidak setuju pada poligami lebih dari empat orang atau Kartini setuju pada poligami empat orang; dan (3) Kartini menganut monogami. Jika dilihat dari tanggal suratnya maka bisa disimpulkan bahwa itu dibuat atau dikirim oleh Kartini kepada sahabatnya sebelum ia menikah. Ada juga data bahwa Kartini belajar tafsir Al Qur’an tetapi baru sampai beberapa juz saja. Boleh jadi Kartini sudah pernah membaca atau diberi tahu bahwa dalam Qur’an ada ayat yang membolehkan poligami. Itu pun hanya dengan empat perempuan. Jika tak mampu maka nikahilah satu perempuan saja.

Namun demikian, apa yang terjadi selanjutnya? Kartini ternyata mau menjadi istri keempat dari Djojoadiningrat yang sudah punya tujuh anak. Artinya, Kartini pun dipoligami. Konsekuensi logisnya, emansipasi itu bukanlah meniadakan poligami. Sebab, suatu saat kelak, hal apapun bisa saja terjadi, orang-orang yang keras melawan poligami justru akan melakoninya dan hidup bermadukan perempuan lain. Berikut ini saya kutipkan kolom di majalah Tempo, 17 April 2006.

Kartini menikah dengan Djojoadiningrat, yang sudah punya tiga istri dan tujuh anak. Bahkan putri tertua suaminya hanya terpaut delapan tahun dari sang Raden Ajeng itu. Perkawinan yang berlangsung pada 8 November 1903 itu
praktis menyudahi perlawanannya terhadap praktek poligami di masyarakat Jawa. Setelah diboyong ke Rembang menjadi raden ayu di kabupaten, Kartini tidak lagi bicara soal kedudukan perempuan atau menyerang poligami, bahkan juga cita-citanya mengenai pendidikan. Sangat boleh jadi ia sudah berdamai dengan lingkungannya. Ini memang aneh: seorang pemberontak bisa menjadi begitu lentuk.

Catatan.
Kalau kau benci sesuatu, janganlah kau terlalu membencinya. Sebab, suatu saat kelak boleh jadi kau justru akan memerlukannya. Kalau kau suka sesuatu, janganlah kau terlalu menyukainya. Sebab, suatu saat kelak boleh jadi kau akan membencinya.


Silakan baca.
Istri Kedua Aa Gym?
Kanal Seks
Poligami Nabi Muhammad

Gede H. Cahyana
ReadMore »

Poligami Nabi Muhammad

Tanggapan kontra atas pernikahan Aa Gym dengan Alfarini Eridani (37), janda dengan tiga anak, mencerminkan bahwa masih banyak kaum muslim Indonesia, khususnya perempuan, belum menerima 100% ayat-ayat Al Qur’an. Minimal mereka tidak menerima ayat perihal poligami dan meyakini ayat itu hanya berlaku pada masa nabi. Padahal kitab suci itu berlaku sampai akhir zaman dan mustahil Allah menurunkan peraturan yang mencelakakan manusia. Adakalanya manusia mencintai sesuatu padahal sesuatu itu dapat mencelakakannya; adakalanya manusia membenci sesuatu, padahal itu menguntungkan baginya.

Tulisan ini tidak akan mengangkat poligami Aa Gym, tetapi poligami yang dilaksanakan oleh Nabi Muhammad. Sebagai Rasulullah, beliau diizinkan oleh Allah menikah lebih dari empat kali. Sejarah mencatat, semua pernikahannya mendatangkan hikmah bagi perkembangan dakwah Islam. Jika ditelisik sebab-musababnya, pernikahan itu pun tidak didorong oleh nafsu tetapi dilatari oleh ibadah, manfaat bagi umat, dan perkembangan hukum Islam. Ada aspek politik, humanisme, dan syari’at.

Selama hidupnya, Muhammad memiliki 12 istri. Di antara sekian itu, hanya satu orang yang masih gadis ketika dinikahinya, yaitu Aisyah. Sembilan di antaranya masih hidup ketika penutup para nabi itu wafat. Istri-istrinya berasal dari berbagai suku dan beragam latar belakang. Ada yang masih muda, ada yang paruh baya, ada juga yang lanjut usia. Proses pernikahannya pun berbeda: ada yang memang dilamar oleh Rasulullah, ada yang dilamarkan oleh orang tuanya, ada juga sang wanita yang melamar beliau.

Berikut ini adalah istri-istri Nabi Muhammad yang saya rangkum dari buku Pola Rasulullah Dalam Membina Keluarganya karya ustadz H. Saifuddin ASM, seorang dosen di Universitas Islam Bandung (Unisba) dan perintis-pengembang acara Cakrawala Islam Radio Mara bersama Teh Leni Oemar.

1. Khadijah binti Khuwailid.
Tak ada yang tak tahu siapa Khadijah pada masa itu. Sebagai pengusaha yang kaya raya, beliau mempekerjakan Muhammad semasa remaja dan dewasa. Karena akhlaknya yang mulia, tertariklah wanita ini kepada Muhammad dan ingin dijadikan suaminya. Dengan kekuatan ekonomi Khadijah, dakwah Muhammad lantas memperoleh dukungan dan bisa mempengaruhi kalangan bangsawan.

Dari Khadijah, Muhammad memperoleh keturunan, yaitu Al- Qasim, Abdullah, Zainab, Ruqqayah, Ummu Kultsum, dan Fatimah. Selain Fatimah, anak-anak Rasulullah itu meninggal ketika beliau masih hidup. Yang berketurunan hanyalah Fatimah, hasil pernikahannya dengan Ali bin Abi Thalib, dan anak-anaknya bernama Hasan, Husein, dan Muhsin.

2. Saudah binti Zam’ah.
Beliau ialah janda dari Sukran bin Amr yang meninggal ketika pulang dari Habsyi. Lantaran keluarganya masih musyrik, demi menyelamatkan akidahnya, janda bangsawan ini akhirnya dinikahi oleh Muhammad. Saudah sudah berusia lanjut saat menikah dengan Rasulullah sehingga "gilirannya" dihibahkan kepada Aisyah.

3. Aisyah binti Abu Bakar
Lima tahun berselang pernikahan Muhammad dengan Saudah, barulah beliau menikahi Aisyah yang ketika itu berusia enam tahun (usia ini bagi ukuran orang Arab masa itu) dan baru berkumpul di rumah Rasul pada usia sembilan tahun, serta "digauli" pada usia sebelas tahun. Putri Abu Bakar Ashshidiq ini cerdas dan dewasa dalam usia sekian itu. Aisyah pulalah satu-satunya istri Rasul yang masih gadis ketika dinikahinya.

Banyak ayat Al Qur’an yang turun ketika Aisyah bersama Rasul. Malah ada ayat yang turun berkaitan dengan kesucian Aisyah, yaitu surat An Nur: 11 ? 20, yang dikenal dengan peristiwa Ifki. Rasulullah wafat pada waktu Aisyah berusia 18 tahun. Ada kurang lebih 12 tahun masa pernikahannya dengan Muhammad. Karena banyak waktunya bersama Rasul dan cerdas sekali, maka Aisyahlah yang paling banyak meriwayatkan hadits.

Sepeninggal Khadijah, istri yang sangat dicintai Rasulullah adalah Aisyah. Inilah sebabnya beliau sering menangis sewaktu "menghadap" Allah karena hatinya cenderung kepada salah satu istrinya dan tidak bisa adil. Padahal Allah memerintah berlaku adil seperti pada surat An Nisaa: 3. Itu sebabnya Muhammad berdoa: “Ya Allah, inilah kemampuanku dalam membagi. Jangan Kau paksakan pada apa yang tidak kumiliki”. Kemudian turunlah wahyu Allah, yaitu An Nisaa: 129 "Dan kamu sekali-kali tidak akan dapat berlaku adil di antara istri-istrimu walaupun kamu sangat ingin berbuat demikian. Karena itu, janganlah kamu terlalu cenderung kepada yang kamu cintai sehingga kamu biarkan yang lain terkatung-katung. Dan jika kamu mengadakan ishlah dan memelihara diri dari kecurangan, maka sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang".

Apa pelajaran yang dapat dipetik dari ayat tersebut? Ini perlu diingat dan dipahami oleh kaum perempuan (juga kaum lelaki), bahwa yang dituntut Allah BUKANLAH KEADILAN CINTA dan PERASAAN, melainkan keadilan dalam NAFKAH LAHIR seperti giliran, makanan (pangan, nafaqah), pakaian (sandang, kiswah), dan tempat tinggal (papan, suknah). Pada ayat di atas ditegaskan: jangan condong (cenderung) pada yang sangat dicintai. Perbedaan cinta itu diampuni Allah karena Allah Maha Pengampun dan hendaklah berusaha ishlah dan menjaga diri.

Catatan.
Sebelum turun ayat tersebut, poligami sudah ada bahkan dengan jumlah yang tak terbatas. Islam membatasinya sampai empat saja. Itu pun dengan syarat-syarat tertentu, seperti kemapanan ekonomi, kematangan emosi, dan kekuatan sosial. Malah sampai sekarang ada yang berpoligami lebih dari empat, sampai belasan istri. Ini tentu saja salah. Di luar Islam (muslim) poligami malah lebih dari empat dan dilakoni oleh para raja. Adapun rakyat biasa melakukannya sambil sembunyi-sembunyi alias selingkuh atau serong. Dalam pandangan Islam, maka yang selingkuh ini berkategori zina. Jangankan zina, mendekati zina saja dilarang keras oleh Allah.

4. Hafshah binti Umar bin Khathab
Ia adalah putri Umar bin Khathab, janda Hanis bin Khuzaifah yang syahid pada perang Badar. Ketika suaminya gugur di medan Badar, Hafshah begitu sedih. Menjanda dalam usia 18 tahun dan terus berduka membuat ayahnya sedih dan khawatir sehingga Umar lantas menemui Abu Bakar agar sudi memperistri anaknya. Abu Bakar tidak memberikan jawaban. Umar lantas menemui Utsman bin Affan. Beliau pun tak hendak memperistri putri Umar. Akhirnya Umar mengadu kepada Rasulullah perihal kekecewaannya itu.

Rasul menasihati Umar agar jangan sedih, jangan marah, dan jangan kecewa sebab nanti ia akan memperoleh menantu yang lebih baik daripada yang dibayangkannya. Umar heran, sebab tak ada orang yang lebih mulia daripada Abu Bakar dan Utsman kecuali Rasulullah Muhammad. Yang terjadi kemudian, Rasulullah menikahi Hafshah sehingga membuat Umar bahagia dan bersyukur atas kesediaan Rasul menikahi putri kesayangannya.

5. Zainab binti Jakhsy
Bernama asli Barrah, perempuan bangsawan cantik yang masih sepupu Rasulullah ini bersuamikan seorang keturunan budak dari suku Badui. Zaid bin Haritsah, suaminya, adalah anak angkat Muhammad. Sebetulnya Zainab tidak berkenan menikah dengan Zaid karena tidak sesuai dengan kebiasaan Arab, yakni bangsawan menikah dengan keturunan budak. Akhirnya Zainab rela menikah karena Zaid sudah diangkat menjadi anak oleh Rasululah sehingga Zainab merasa menjadi "menantu" Rasul.

Sejalan dengan perputaran waktu, pernikahan mereka ternyata tak bisa dipertahankan. Keduanya minta izin kepada Muhammad untuk bercerai. Allah lantas menurunkan wahyu yang membolehkan mereka bercerai. Setelah habis massa iddahnya, pada tahun 5 H, Rasul lantas menikahi Zainab.

6. Zainab binti Khudzaimah.
Beliau adalah janda dari Abdullah bin Jakhsy yang meninggal saat perang Uhud. Hilanglah dukanya akibat kematian suaminya setelah Muhammad SAW menikahinya. Usia pernikahannya dengan Rasul hanya delapan bulan. Artinya, beliau wafat ketika Rasul masih hidup.

7. Ummu Salamah (Hindun).
Hindun menjanda setelah perang Uhud karena suaminya Abdullah bin Abdul-Asad gugur dalam pertempuran itu. Lantaran anak-anaknya masih kecil, seringlah ia berdoa agar memperoleh suami yang lebih baik. Terkabul doanya karena Rasul menikahinya pada tahun 4 H.

8. Juariyah binti Harits.
Beliau adalah putri bangsawan Bani Musthaliq. Suaminya, yaitu Musafi’ bin Shafwan, meninggal dalam keadaan kafir sehingga Juariyah menjadi tawanan. Kemudian Rasul membebaskannya lalu menikahinya. Setelah itu, semua tawanan Bani Musthaliq dibebaskan oleh kaum muslimin.

9. Shafiyah binti Huyai.
Putri seorang bangsawan Bani Nadhir yang ayahnya dibunuh oleh Bani Quraidhah ini bersuamikan Salam bin Masykam. Mereka akhirnya cerai. Shafiyah lantas menikah lagi dengan Kinanah bin Abi Haqiq yang akhirnya meninggal dalam perang Khaibar. Rasul membebaskan dan memulangkan Shafiyah ke kabilahnya. Karena kabilahnya masuk Islam, akhirnya Rasul menikahi Shafiyah. Banyaklah anggota kabilah itu masuk Islam.

10. Ummu Habibah (Ramlah).
Pada masa itu, Ramlah adalah anak Abu Sofyan, bangsawan kafir yang memusuhi Islam. Ketika hijrah ke Habsyi, suaminya justru murtad. Ia tak punya siapa-siapa lagi. Rasul lantas menikahinya demi menyelamatkan akidahnya.

11. Maria Al-Qibthiyah.
Sebagai budak raja Muqauqis di Mesir, Maria diberikan kepada Rasul. Demi mengangkat derajatnya dan menghapus perbudakan, Rasul lantas menikahinya. Dari Maria, menurut riwayat, Muhammad SAW memperoleh anak bernama Ibrahim yang mengingatkan kita pada Nabi Ibrahim, nenek moyang beliau, yang juga memperoleh hadiah budak bernama Hajar, justru dari istrinya (Sarah).

12. Maimunah binti Harits.
Menjanda dalam usia 50 tahun, Maimunah dinikahi Rasul agar kabilahnya mau masuk Islam. Akhirnya keponakannya, yaitu Khalid bin Walid yang berjuluk Pedang Allah menjadi panglima perang Islam yang terkenal.

Pembaca yang budiman, demikianlah sekilas istri-istri Nabi Muhammad. Semoga ada manfaatnya dan membuka cakrawala berpikir kita perihal sebab-musabab Muhammad berpoligami dan apa hikmahnya. Sebetulnya deretan hikmahnya sudah ditulis oleh ustadz H. Saifuddin ASM, tetapi panjang sekali sehingga saya belum sempat merangkumnya.


Silakan baca:
Poligami: R.A. Kartini
Istri Kedua Aa Gym?
Kanal Seks

Gede H. Cahyana
ReadMore »

4 Desember 2006

Reposisi Textbook Pendidikan Tinggi

Reposisi Textbook Pendidikan Tinggi

Oleh Gede H. Cahyana
(Sudah dimuat di koran Pikiran Rakyat, 24 Februari 2001)

Pendidikan tersier kita sudah usang dan basi! Siapa yang tidak masygul dengan ujaran tajam ini? Bagai petir di siang bolong, selain kuping jadi panas, juga menohok akademisi; 2,5 juta mahasiswa, 150 ribu dosen di 77 PTN dan sekitar 1.300 PTS. Termasuk, tentu saja, pembuat kebijakan di Depdiknas, utamanya Ditjen Dikti. Atau, mestikah mereka yang bertanggung jawab karena semua peraturan dari situ? Atau, perlukah UU No. 2/1989 tentang Sistem Pendidikan Nasional yang condong sentralistik itu direformasi?


Mutu dan Anggaran
Kualitas pendidikan tinggi, kita tahu, tak lepas dari mutu pendidikan di SD-SMU. Dan kita pun sadar, lulusan SMU banyak yang tidak siap ke perguruan tinggi. Tolok ukurnya adalah calon mahasiswa di PTN atau terlebih di PTS. Tak semuanya memang karena ada juga yang baik. Tapi yang terbanyak, justru yang ilmunya kurang memadai. Ini bergantung pada mutu guru, prasarana dan sarana sekolahnya.

Mutu pendidikan primer-sekunder itu, tidak dikupas di sini. Tidak juga parameter mutu lainnya seperti Tridharma, eksistensi perguruan tinggi, atau yang lagi in, status kampus ber-Badan Hukum Milik Negara (BHMN). Yang disorot ibaratnya udara untuk bernafas. Ialah textbook! Lantaran inilah, industri pendidikan kita belum juga tinggal landas. Menjadi utopia, jauh panggang dari api. Jangankan sejajar dengan negara yang mapan tradisi saintek-nya, dengan yang berkembang saja, kita tak mampu. Maka, banyaklah yang mirip kerakap tumbuh di batu, mati enggan, hidup tak mau.

Masalah textbook (buku-induk) yang ditinggal zaman (out of date) itu, hulunya di alokasi anggaran pendidikan tinggi yang sangat rendah. Dengan jatah hanya 25% dari 6% APBN atau sekitar 1,5% APBN, siapa pun, akan sulit memungkiri anggapan di atas. Bandingkan misalnya dengan Amerika Serikat yang mencapai 55% anggaran universitas. Bahkan Inggris, tak tanggung-tanggung, hingga 90%. Selain itu, juga akibat dari penyakit kronis dikotomi “anak mas-anak tiri” PTN-PTS dan dosen yayasan-kopertis, selama ini. Lantas, kalau saat AFTA 2003 nanti banyak job chief executive perusahaan domestik ditimang orang Singapura, dan sederetan dominasi lainnya, tak usah sewotlah.

Reposisi Buku-induk
Meski demikian, bagi yang optimis, peluang pembenahan tetap ada, belum terlambat. Yaitu, kreasi kesiapan otot, memacu kemampuan otak, bervisi futuristik, menyusun dan menciptakan peluang. Utamanya, mereposisi perbukuan termasuk buku-induk. Tak hanya di universitas tapi juga pra-universitas. Benar, banyak jalan menuju Roma, selagi kiamat belum tiba. Paling tidak, ada tiga jalan yang bisa ditempuh.

Kesatu, revisi buku-induk. Buku kuno yang menoreh ukiran sejarah, kita tahu, harganya bisa selangit di pusat-pusat lelang. Diburu bukan saja karena isinya tapi juga karena nuansa historisnya. Selain tak lekang oleh waktu, juga tua-tua keladi, makin tua makin menjadi (mahal). Mau lihat? Datanglah ke museum, atau ke pameran dan festival lontar atau ke balai lelang dan seremonial rekor literasi. Atau, ke kolektor yang di lemari kacanya, tergeletak sepi membisu buku dan manuskrip kuno.

Tapi, buku-induk (textbook) bertajuk teknologi tua, justru sebaliknya. Harganya malah jatuh 50% di toko, tersisa 25% di pasar loak, atau yang tragis, jadi pengaput kue serabi. Kalau tetap dijadikan buku-ajar, jadi sarapan mahasiswa, garapan dosen, acuan substansi dan bukan historisnya, tak pelak lagi, alumninya bakal gagap teknologi. Adakah kita seperti itu? Sebab itulah, perlu revisi buku-induk tua termasuk yang edisi-baru isi-kuno, untuk reparasi proses belajar-mengajar. Memang tidak semuanya, hanya jurusan-jurusan teknik tradisional, konvensional ataupun ilmu sosial yang usang karena teori baru.

Diakui, ide revisi ini tak semudah membalik telapak tangan. Lembaga revisi yang unsurnya para pakar, mesti diujudkan dulu. Dimulai dengan membentuk gugus tugas atau tim revisi yang unik per jurusan. Setelah tim ini masif, bisa beranjak ke, misalnya, soal pemilihan buku. Sedangkan soal dana, pemerintah mesti turun tangan. Kalau tidak, jangan berharap pihak universitas atau yayasan (apalagi yang profit oriented atau yang tak peduli pada lembaganya, asal jalan saja) akan proaktif soal ini. Caranya, jadikan anggaran segmen pendidikan, 25% APBN, agar tiada tuduhan konservasi kebodohan dan kemiskinan.

Kedua, impor buku. Meskipun mahal, tapi instan dan cepat saji. Yang penting pemerintah punya kemauan dan, itu tadi, dukungan dana. Kemudian, hibahkan ke segenap universitas. Atau, lulusan dari mancanegara membawanya ke sini, difotokopi oleh mahasiswa. Jalan pintas dan melawan paten, tentu saja. Tapi itulah realitas. Dan jujur diakui, kita pun kerap melakukannya. Mereka, para pengusaha fotokopi, jasa duplikasi ini, di satu sisi menolong, di lain sisi merugikan penulis dan penerbit. Termasuk ci-luk-ba dengan polisi, sehingga bussiness as usual lagi. Tetap marak hingga kini. Salah siapa?

Kembali ke soal impor buku. Jepang, contohnya. Pada masa Meiji (1868-1912), negara sakura ini banyak mengadopsi buku dari Eropa. Belajar sendiri, percaya diri, hal utama bagi mereka. Wajarlah ekonominya tumbuh sprint, awal abad lalu. Juga terbukti, dengan memodifikasi teknologi, mereka hasilkan teknologi baru yang mutunya lebih baik. Dan kita tahu, betapa cepat gurita ekonominya bangkit jadi naga raksasa pasca ledakan bom atom ketika PD II.

Yang juga patut dicontoh adalah India. Selain impor buku, negara semilyar orang ini pun memupuk penulisan buku. Banyak karya terjemahan dan tulisan asli penulis domestiknya. Negara yang akrab dengan banjir dan gempa ini, cepat tanggap dalam absorbsi saintek. Risetnya pun banyak yang primer, jadi kajian global, mengisi jurnal mondial. Bahkan menyebar ke Asia Tenggara termasuk Indonesia, ada di perpustakaan universitas kita. Jadi referensi skripsi, tesis dan disertasi kita. Itulah ujud ajaran tokohnya, Mahatma Gandhi.

Karenanya, kalau betul optimis, kinilah saatnya pemerintah membanjiri universitas dengan buku impor, dari mana pun asalnya. Sebuah adi karya, memang. Dan sebuah awal yang baik. Tapi, ada yang lebih baik. Ada yang lebih elegan, lebih bergengsi, lebih percaya diri sekaligus mengibarkan panji mutu SDM kita di atmosfer literasi dunia. Ialah mencetak buku sendiri.

Ketiga, mencetak buku. Projek peningkatan perbukuan, utamanya buku-induk universitas, ikhlas diakui, banyak yang asal jadi. Lebih-lebih karya terjemahan. Seleksinya kurang ketat sehingga sebenarnya, tak semuanya layak cetak. Selain kaku tuturannya juga kerap menyimpang dari makna aslinya. Sebab, kualifikasi penterjemah dan editornya sering bias dengan kebutuhan. Juga karena tidak diujicobakan ke jurusan terkait di perguruan tinggi, yang mapan maupun yang sedang tumbuh. Tapi, langsung saja terbit dan diedarkan.

Sedangkan yang ditulis oleh penulis domestik, sangat sedikit. Selain soal royalti dan kemampuan, juga kurang perhatian pada unsur kekinian (aptuditas), dominasi buku-induk tua, sedikit unsur riset dalam-luar negeri, dari jurnal dan disertasi. Termasuk dosen yang fanatik pada madzhab atau buku tertentu. Ia wajibkan, meski tersirat, muridnya jadi Nak Turut. Kalau berbeda, dianggap salah. Padahal, samudra ilmu demikian luas dan dalam. Boleh jadi, dosennya belum tahu, tapi siswanya sudah. Inilah diktator literasi.

Mencetak buku, sejauh ini, banyak perniknya. Juga, tidak semua penerbit punya idealisme, mau mencetak buku non-fiksi, utamanya buku-induk. Labanya belum terang benar karena konsumennya eksklusif, kalangan mahasiwa dan dosen saja. Lama habisnya. Harganya pun tidak kompetitif dengan kemampuan masyarakat. Kecuali, tentu saja, buku paket sponsor pemerintah atau buku “pedoman” koneksitas birokrat, yang melanda pendidikan primer dan sekunder kita.

Posisi Non-Buku-Induk
Bicara buku, tentu tak lepas dari buku yang non-buku-induk. Terbukti, tiras penjualan jenis buku ini lebih besar sehingga lebih menjanjikan laba. Misalnya, buku riset sosio-budaya, ekonomi ataupun politik, tentang peristiwa silam atau sekarang. Gegar buku awal reformasi sudah menjawabnya. Mulai dari yang kacangan, guntingan - suntingan berita koran, yang buku bukan buku (non-book book), hingga yang berbobot serius. Semuanya laris manis dan sah-sah saja. Malah ikut jadi kontributor pembelajaran rakyat.

Yang juga lagi marak, sekaligus menarik saat ini adalah “Buku Putih”. Banyak yang telah menerbitkannya dan isinya pun unik. PWI Jawa Barat, misalnya, pada 1989 pernah menerbitkannya. Dan kini, kasus memorandum DPR kepada Presiden pun, dibukuputihkan oleh PKB. Hanya sayangnya, tidak semua “Buku Putih”, isinya “putih”, bahkan kerap hanya apologi, tidak memuat kebenaran (the holy and truth). Karenanya, laku atau tidak, sering kali bukanlah soal. Yang penting uneg-uneg tersampaikan.

Tetapi, pembukuputihan, secara akademis, sangat baik dan elegan. Malah, polemik dan debat dengan data akurat seperti itu, harus dipupuk agar subur. Inilah pembelajaran ihwal penulisan dan argumentasi yang terstruktur, bertanggung jawab. Pada saatnya nanti, ia adalah warisan untuk generasi berikutnya. Sedangkan soal, mana yang benar dan mana yang salah, biarkan waktu yang membuktikannya, yang akan menjawabnya. Sementara, proses hukum tetap berlangsung.

Artinya, jangan ada lagi pencekalan dan pelarangan buku atau apapun jenisnya. Biarkan tumbuh sebebas-bebasnya, kalau kita menghargai nalar. Kalau tidak sependapat, jawablah dengan buku lagi atau tulis artikel di media massa. Masyarakat seperti inilah yang mesti kita tuju. Masyarakat berpengetahuan (knowledge society). Bukan masyarakat perusak apalagi masyarakat kriminal. Mestinya, artikel dijawab dengan artikel atau buku dijawab dengan buku. Pendeknya, tulisan dijawab pula dengan tulisan.

Yang terakhir dari segmen ini adalah buku fiksi. Inilah yang paling menjanjikan laba bagi penerbit. Tanpa menafikan pengarang lokal, sederetan nama bisa disebut. Agatha Cristhie, Danielle Steel, Tom Clancy dan Roald Dahl. Fiksi, tetap penting untuk habitasi membaca, membantu penalaran masyarakat, sekaligus menghibur. Selain mahasiswa dan dosen, pembelinya juga adalah masyarakat umum yang terdidik, kalangan pelajar dan ABG.

Atau, jika dikaitkan dengan buku-induk, bisakah ia difiksikan, semacam sainfiksi sehingga menjadi populis? Atau, dipopulerkan semacam buku fenomenal, A Brief History of Time-nya Stephen Hawking, Sang Fisikawan. Demikian. *

ReadMore »

1 Desember 2006

Istri Kedua Aa Gym?

Bakda Subuh, Jumat 1 Desember 2006, saya menyimak radio MQ FM Bandung. Ada seorang ibu yang menelepon dan mengutarakan ketidaksetujuannya atas poligami yang dilakukan Aa Gym. Saya sempat kaget mendengarnya. Aa Gym menikah lagi? Saya belum tahu berita ini. Tetapi dari nada suaranya, ibu itu pun masih ragu-ragu apakah Aa Gym betul-betul sudah menikah lagi ataukah sekadar gosip.

Terlepas dari betul tidaknya berita itu, sebab Aa Gym tidak tegas-tegas membantahnya, saya lantas membuka komputer dan menulis tentang poligami ini.

***

Adakah perempuan yang mau dipoligami? Bertolak dari sisi psikologis manusia, khususnya perempuan, saya yakin tak seorang perempuan pun mau berbagi suami dengan perempuan lainnya. Mereka ingin memonopoli suaminya. Jangankan perempuan zaman sekarang, zaman ketika berembus angin kesetaraan jender di semua segi kehidupan, pada masa Nabi Muhammad pun itu terjadi. Malah pernah muncul di keluarga nabi akhir zaman itu. Kisahnya bergini.

Aisyah pernah dibakar api cemburu sehingga ia berkata, "Khadijah lagi... Khadijah lagi... Seperti tak ada perempuan lain saja." Mendengar ujaran itu, Muhammad lantas pergi. Selang beberapa waktu, Beliau kembali lagi. Pada saat itu ibunda Aisyah, yaitu Ummu Rumman sedang ada di sana. "Wahai Rasulullah, ada apa engkau dengan Aisyah? Ia masih sangat muda dan selayaknya engkau maklumi."

Muhammad lantas mendekat dan memegang dagu Aisyah seraya berkata," Bukankah engkau yang berkata seolah-olah di dunia ini tak ada lagi wanita selain Khadijah?"

"Tapi untuk apa engkau mengingat-ingat perempuan tua itu yang ujung mulutnya sudah merah padahal Allah sudah menggantinya dengan yang lebi baik bagimu?"

"Demi Allah, Dia tak pernah mengganti dengan yang lebih baik daripada Khadijah. Ia beriman ketika semua orang mendustakanku. Ia bagikan hartanya ketika yang lain menahannya. Ia memberiku anak tetapi yang lainnya tidak."

Andaikata Khadijah masih hidup dan bermadukan Aisyah, kira-kira apa yang bakal terjadi? Terhadap madu-madunya yang lain pun, seperti Shafiah dan Ummu Salamah, Aisyah cemburu. Artinya, perasaan cemburu itu pasti ada pada setiap perempuan. Hanya saja, ada yang mampu mengendalikannya, ada yang tidak.

***

Sebagai muslim, saya yakin Aa Gym pun ingin lebih banyak beribadah. Tak hanya ibadah ritual (mahdhah) tetapi juga ibadah sosial (ghair-mahdhah). Itu sebabnya, lewat berbagai perusahaan yang dimilikinya, Aa Gym sudah membuka ribuan lapangan kerja. Perusahaannya membentang mulai dari percetakan, penerbitan, toko buku, penginapan, radio, televisi, biro travel dan KBIH, training sampai air minum kemasan bermerek MQ Jernih. Ada lagi yang lainnya, tetapi saya tidak hafal semua.

Ketika Aa Gym sudah mampu melaksanakan ibadah ritual dan sosialnya dan bahkan nilainya jauh di atas rata-rata orang sekarang, barangkali Aa Gym pun ingin beribadah lainnya. Salah satu bentuknya ialah menikah lagi. Bukankah Allah Swt mengizinkan lelaki memiliki istri lebih dari satu dengan jumlah maksimum empat orang? Apalagi kalau istri pertamanya setuju. Bagaimana relung hati terdalamnya, apakah Teh Ninih setuju? Untuk hal ini, yang tahu hanyalah Allah dan yang bersangkutan. Yang bisa dinilai adalah tampak luarnya, yaitu lewat kata-kata dan sikapnya. Jika dua hal ini sudah menampakkan gejala setuju maka tak ada alasan lagi orang lain berburuk sangka. Bahwa ada sebersit rasa tak setuju atau cemburu, sebagai manusia biasa tentu bisa dimaklumi. Jika yang ada berupa rasa bahagia mendapatkan "teman" baru untuk suami tercintanya, ini tentu menjadi nilai plus yang balasannya, menurut Islam, adalah jannah atau surga.

Bagaimana dengan protes dari masyarakat, terutama kaum perempuan? Ini pun bisa dimaklumi. Sebab, mereka protes karena di lubuk hati terdalamnya takut suaminya ikut-ikutan berpoligami. Aa Gym sudah diproklamasikan sebagai figur publik. Apapun yang dilakukannya akan mendapatkan banyak perhatian dan sorotan. Apalagi kalau poligami ini (kalau betul Aa sudah menikah lagi) diikuti oleh lelaki lain. Inilah yang dikhawatirkan oleh ibu-ibu rumah tangga. Mereka menentang keras poligami. Demi menghalangi poligami itu malah ada ibu rumah tangga yang rela suaminya "membeli sate" saja daripada harus "memelihara kambing" di rumahnya. Pernah tersiar kabar, ada istri yang rutin mencarikan perempuan untuk "digauli" oleh suaminya asalkan tidak menikah lagi. Ada juga istri yang mengizinkan suaminya membawa perempuan ke rumahnya asalkan tidak dinikahinya sehingga harta suaminya tak harus dibagi dengan perempuan itu.

Ada juga ibu-ibu yang protes dan mengatakan bahwa poligami membuat perempuan menderita dan tidak adil. Mereka yakin poligami akan menghancurkan keluarga dan membuat anak-anak kucar-kacir. Rupanya mereka lupa bahwa betapa banyak orang yang monogami juga hancur rumah tangganya. Ada artis yang memang monogami tetapi dia sudah berkali-kali kawin-cerai. Ada artis yang rumah tangganya sarat dengan selingkuh dan bahkan sengaja saling selingkuh-menyelingkuhi agar pasangannya kesal dan marah. Begitu pun orang-orang biasa, bukan dari kalangan artis, banyak juga yang hancur pernikahannya padahal monogami. Kawin cerai begitu banyak terjadi di beberapa daerah dalam usia di bawah tiga puluh tahun.

Jadi, hancur tidaknya rumah tangga itu tidak disebabkan oleh status pernikahan yang mono atau poligami. Tak sedikit yang berpoligami tetapi rumah tangganya justru aman-aman saja dan tampak akur rukun. Yang monogami malah sering berantakan dan ditayangkan di televisi. Ada monogami yang tampak awet, tetapi sebetulnya mirip bara dalam sekam. Mereka tak ingin kekalutan rumah tangganya diketahui oleh orang lain karena menjadi figur publik, pejabat, atau orang-orang yang memiliki massa. Mereka bermain sandiwara atau "sinetron" dengan akting yang bagus.

***

Hari ini, 1 Desember 2006 adalah peringatan Hari AIDS Sedunia. Sindrom ini sudah meluas ke semua tempat dan makin parah. Penderitanya makin banyak. Salah satu sebabnya adalah seks bebas, baik dengan pelacur maupun dengan pacar, teman, dll. Yang perlu dicatat, perluasan AIDS tak bisa ditahan dengan penggunaan kondom. Kampanye kondom justru berbalik menjadi bumerang dan membentuk image di otak remaja kita perihal pembolehan seks bebas asalkan memakai "sarung" itu.

Memang, untuk kasus HIV/AIDS lantaran tertular dari tranfusi darah, kelahiran bayi, atau kejadian lain yang bukan perilaku amoral, saya juga prihatin. Kasihan sekali mereka kena HIV/AIDS padahal tak berbuat buruk. Kejadian buruk yang menimpa mereka mudah-mudahan dapat menghapus dosa-dosanya. Mau tak mau, demi mengurangi tingkat stres penderitanya, anggaplah itu sebagai takdir yang mesti dilalui. Keikhlasan seperti ini akan lebih bermanfaat daripada marah dan menyesali diri. Begitu pun yang menderita AIDS karena seks bebas dan narkoba, tak perlu lagi berkeluh-kesah. Tinggal tobat dan menyesali perbuatan buruk selama ini dan terus mohon ampun kepada Sang Khalik. Soal mati, tak perlulah takut. Sebab, kalau belum waktunya, mati itu takkan terjadi. Bahkan banyak orang sehat yang berotot lebih dulu mati ketimbang orang yang sakit parah.

Jika dikaitkan dengan AIDS, maka poligami dapat mencegah potensi perluasan AIDS akibat "jajan" sembarangan dan berdosa dari sudut pandang agama apapun. Sebaliknya, apabila poligami dilaksanakan dengan niat ibadah, sang istri juga menerima dengan niat ibadah walaupun berat seperti kasus Aisyah di atas, maka pahalalah yang diperoleh. Lagi pula, tak satu agama pun mengizinkan umatnya berzina, kecuali sekte-sekte sesat yang pernah ada di Amerika Latin, Amerika Serikat dan Skandinavia.

Akhir kata, saya pun bertanya kepada salah satu guru saya, yaitu Aa Gym. "Aa, betulkah sudah menikah lagi?" Sampai artikel ini di-upload di http://gedehace.blogspot.com, saya memang belum tahu perihal itu. Saya hanya berdoa, ya Allah berikanlah yang terbaik untuk Aa Gym dan jadikan keluarganya sakinah. Aamiin.*

Gede H. Cahyana
ReadMore »