• L3
  • Email :
  • Search :

27 Maret 2013

Inilah Karakteristik Walikota Bandung 2013-2018


Inilah Karakteristik Walikota Bandung 2013-2018
Oleh Gede H. Cahyana

Kata wali sudah demikian dekat dengan tubuh dan pikiran orang Bandung. Sebulan terakhir ini kata itu sudah masuk ke sudut-sudut RT/RW dan menjadi obrolan di pos ronda, warung kopi, terminal, kantor, kampus dan pasar. Spanduk, poster, leaflet, brosur, koran, majalah, tabloid, dan juga internet disarati kata wali(kota). Apa sesungguhnya makna kata wali itu? Bagaimana karakteristik walikota yang dibutuhkan Kota Bandung?

Sudah lama sebetulnya orang Indonesia, khususnya yang tinggal di Jawa, mendengar dan membaca kata wali. Yang paling terkenal adalah kata Walisongo, sembilan ulama yang sohor karena mengabdikan dirinya demi Islam. Yang juga sudah lama dikenal ialah kata walinikah. Perempuan yang menerima pinangan seorang lelaki perlulah berwali kepada orangtua, saudara lelaki, wali muhakam, ataupun walihakim. Relasi perwalian di sini erat kaitannya dengan kasih sayang.

Di buku raport murid SD s.d SMA pun didapati kata wali. Ada walikelas, ada walimurid di rumah. Keduanya adalah wujud dari tanggung jawab terhadap murid yang diasuhnya. Walikelas dan walimurid akan dengan senang hati membubuhkan tandatangannya di raport ketika melihat orang yang diwaliinya berhasil dalam sekolahnya. Rasa bahagia ini adalah cermin dari pengabdian dan tanggung jawab orang tua sebagai walimurid dan guru sebagai walikelas. Tanggung jawab adalah menanggung semua jawaban untuk orang yang diwaliinya dengan kasih sayang. 

Dari deretan kata atau frase yang berisi kata wali tersebut dapat disimpulkan bahwa fungsi utama wali dalam konteks pemerintahan ialah terima tanggung jawab. Seorang walikota adalah orang yang menanggungkan waktunya, tenaganya, pikirannya, bahkan uangnya untuk yang diwaliinya, yaitu masyarakat. Satu orang saja warganya yang sakit, maka secara normatif walikota mesti tahu dan menengoknya. Namun demikian, karena massa komunitas kota sudah besar, mencapai 2,5 juta orang, maka fungsi kepedulian ini ditransformasikan dalam bentuk kemudahan untuk berobat. Jumlah dan sebaran Puskesmas, posyandu, balai pengobatan berbiaya rendah karena disubsidi, dll menjadi tolokukurnya.

Begitu pun kalau ada anak usia sekolah yang belum sekolah karena tidak berbiaya, maka sebagai walinya, seorang walikota wajib menyantuninya, syahdan dengan uangnya sendiri dari hasil sawah-ladangnya, dari gajinya, bahkan dari warisan orang tuanya. Jika ada yang tidak bisa mencari sepiring nasi, menggelandang di perapatan jalan, dan tidur beratapkan langit berselimutkan desir angin malam, seorang walikota wajib memberikan makanan, minuman, selimut, dan perangkat lainnya.  

Haruskah demikian? Wali adalah pengayom, pelindung dan pemeduli orang yang diwaliinya. Dalam konteks pemerintahan, semua uang yang dikumpulkan dari masyarakat lewat instrumen pajak dan retribusi bisa dikerahkan untuk membiayai tugas kewalian seorang walikota. Kalau ada walikota yang bergelimang uang sementara rakyatnya menjelata di jalan, belumlah layak ia diamanahi sebagai wali. Oleh sebab itu, wajiblah walikota meniru Walisongo, misalnya Sunan Kalijogo. Beliau setia menjaga kali (sungai) sebagai simbol kesuburan. Jadi, selayaknyalah walikota terus berjaga (tidak tidur, artinya bekerja serius, tidur sebentar saja, pagi-pagi bangun dan keliling kota untuk incognito) dan menjadi “Kotajogo”.

Tentulah maknanya tidak harfiah. Walikota harus terjaga karena takut ada warganya yang sakit tetapi tidak punya uang untuk berobat, ada yang putus sekolah karena tidak beruang, ada yang kedinginan karena menggelandang tak punya rumah. Sunan Kalijogo rela berdingin-dingin, berpanas-panas sampai tubuhnya menghijau lumut dimakan waktu (ini dongeng lho, tapi bisa diambil hikmahnya). Sifat Kalijogo ini serupa dengan walimurid yang setia mengajari muridnya belajar, membiayai sekolahnya, memberinya makanan, minuman bergizi cukup. Walikota pun wajib demikian. Dengan kekuatan uang dalam APBD, tugas kewalian seorang walikota sebetulnya bisa dengan mudah dilaksanakan. Miliaran uang yang dikumpulkan dari masyarakatnya bisa dikembalikan kepada masyarakat juga dalam bentuk kemudahan sekolah (beasiswa, beamahasiswa), kesehatan, bekerja, dll. Semuanya harus hakiki dan bukan sekedar pemanis bibir (lips service).

Bagaimana di Bandung? Ada seorang wali yang bisa dijadikan rujukan oleh calon wali di Kota Bandung. Namanya Sunan Gunung Djati dan sudah dinisbatkan menjadi nama kampus di Bandung Timur, yaitu UIN Sunan Gunung Djati. Kewalian beliau betul-betul sejati. Cintanya kepada masyarakatnya dengan cinta sejati dan kekuatannya seperti kekuatan kayu jati. Tak pelak lagi, walikota yang layak bagi orang Bandung adalah walikota yang punya fenomena kewalian, senang berbagi kepada masyarakat, bukannya menerima apalagi meminta dari masyarakat.

Akhir kata, tanyailah hati nur‘aini (mata hati) ketika menjatuhkan pilihan atas calon wali di Kota Bandung. Hati akan condong memilih calon wali yang karakter dan fenomenanya mendekati kewalian Walisongo. Hanya saja, nafsu dapat dengan mudah mengalahkan Sang Cahaya Hati dan nasib orang Bandung ke depan ada di hati warganya. Akankah Kota Bandung, Parijs van Java, diemban oleh pemimpin pengabdi, the servant leader? *

ReadMore »

24 Maret 2013

Ridwan Kamil, Sang Pemimpi

Ridwan Kamil, Sang Pemimpi
Oleh Gede H. Cahyana

Sebagai arsitek, sudah ia buktikan dalam karya desain di bidang bangunan, rumah, gedung, masjid, museum dan lainnya. Sebagai lulusan urban design, ia pun akrab dengan masalah dan opsi solusi sebuah kota dan wilayah. Sebagai pegiat sosial, ia larut di berbagai komunitas, termasuk komunitas bentukannya. Sebagai pemimpi, sudah terbukti pada “kelainan” pola rancangan arsitekturnya dan meraih sertifikat atau menjuarai seuntai lomba. Sebagai pemimpin atau public leader, inilah yang akan dijajalnya dalam pemilihan walikota dan wakil walikota Bandung.

Sebelum lanjut menulis, saya wartakan bahwa saya adalah nonpartisan. Oleh sebab itu, tulisan ini dijaga senetral-netralnya agar yang diketengahkan adalah sosok secara objektif, apa adanya. Tentu saja, dalam netralitas ini, sebagai WNI, saya punya hak pilih seperti WNI lainnya. Sama dengan harapan orang Bandung lainnya, saya pun ingin dipimpin oleh walikota/wakilnya yang memahami spirit kemajuan dan kemaslahatan  kota. Maka, ada satu pertanyaan substantif di hati semua warga Bandung: bagaimana sosok walikota yang dibutuhkan Bandung saat ini? Saya ulang lagi, pertanyaannya ialah “bagaimana”, BUKAN “siapa”. Kata “siapa” menuntut jawaban berupa sosok sehingga cenderung partisan dan subjektif. Sedangkan kata “bagaimana” lebih condong pada “karakter” seseorang dan ini tentu saja meliputi semua calon (delapan pasang).

Dengan mengedepankan kata tanya “bagaimana”, diharapkan pasangan yang terpilih dengan suara terbanyak sebagai walikota/wakil walikota Bandung mampu menuntaskan pekerjaan rumah yang masih menggayut dan selanjutnya merealisasikan rencana pembangunan dengan titik fokus pada tiga matra. Berikut ini dipaparkan dengan singkat tiga matra (Trimatra) penting yang selayaknya dijadikan prioritas walikota dan wakilnya di Kota Bandung, siapapun pemenangnya. Malah, eloknya lagi, yang tidak terpilih, tujuh pasang lainnya, ikut membantu dan terlibat langsung dalam mewujudkan Trimatra ini.  

Yang pertama ialah matra lingkungan. Di dalam matra ini terkandung peningkatan kualitas air, udara, reduksi sampah, dan optimalisasi tanah (lahan), penataan drainase dan hutan kota. Penguatan ilmu dan teknologi lingkungan ini diberikan lewat sekolah dalam pelajaran lingkungan, diikuti oleh praktikum lingkungan dalam berbagai skala menurut tingkat kelas dan sekolah. Program Mulok Lingkungan Hidup hendaklah diteruskan dan diperbaiki kekurangannya meskipun didera oleh kehadiran Kurikulum 2013. Dalam program ini, semua siswa hendaklah diberi pemahaman bahwa sampah adalah sumber daya, bukan beban yang harus dibakar di PLTSa. Risiko PLTSa demikian besar, hindarilah.  

Yang kedua ialah matra bangunan, baik bangunan bersejarah, heritage maupun bangunan baru. Karena Bandung sudah kadung kaya dengan bangunan, baik fungsinya sebagai hotel, mal, kantor, museum, ruko, dan tugu-tugu peringatan peristiwa tertentu, maka pemanfaatannya menjadi prioritas. Apapun warisan bangunan yang ada, baik bernilai sejarah sejak zaman Belanda maupun hasil pembangunan walikota sejak zaman Orde Baru sampai sekarang tetap dipelihara. Lebih bagus lagi adalah pemanfaatan ulang, redefinisi penggunaannya. Agar lebih fokus, perlu digagas badan/lembaga yang mengurusi pergedungan ini agar rencana dan keputusan yang dibuat menjadi tepat dan cepat.

Yang ketiga adalah matra perdagangan. Pola perdagangan yang meliputi dua karakteristik, yaitu tradisional dan modern (nontradisional) layak dipertahankan dan upayakan dikembangkan. Keduanya dibutuhkan oleh masyarakat sesuai dengan segmen ekonomi dan kepentingannya. Bersamaan dengan itu, bukalah peluang usaha dengan menyediakan lahan untuk semua orang yang hendak berjualan. Revitalkan lagi titik-titik PKL dengan opsi membuka lokasi baru sebagai pusat perkulakan di pusat-pusat keramaian dan olah raga. Lokasi keramaian yang rutin pada hari libur sebaiknya “disulap” menjadi area perdagangan semua kelas dalam strata sosial-ekonomi masyarakat. Api cemburu-ekonomi pun bisa diminimalkan dan tatasosial-politik menjadi kondusif.   

Pamungkas, “bagaimana” sosok yang mampu mewujudkan Trimatra Kota Bandung itu? Dari delapan pasang calon walikota dan wakil walikota Bandung, tentu semuanya berpeluang. Sebagai pribadi, saya telusuri rekam-jejaknya, maka sosok itu melekat pada Ridwan Kamil, Sang Pemimpi. Julukan ini saya sintesis dari satu di antara beberapa prinsip hidupnya: “jangan berhenti bermimpi”. Seorang arsitek memang harus terus bermimpi dalam jaga, bukan dalam tidur. Mimpi ini sudah ia leburkan dengan ilmu dan teknologi yang melatari pengembangan kota lewat karya arsitekturnya. Komunitas lingkungannya pun sudah dimapankan dan ia pun sebagai pelaku bisnis-perdagangan, dalam hal ini adalah biro arsiteknya. Akankah Sang Pemimpi ini berhasil menjadi Sang Pemimpin di Kota Bandung? *
ReadMore »

20 Maret 2013

Water Cooperation: Saatnya PDAM Open House


Oleh Gede H. Cahyana

Majelis Umum PBB mendeklarasikan tahun 2013 ini sebagai International Years of Water Cooperation. Di Indonesia peringatan Hari Air Dunia (HAD) pada 22 Maret 2013 ini bertema Water Cooperation: Save Water for Life. Tidak hanya pemerintah, lembaga swasta, LSM bidang lingkungan pun ikut memeriahkan peringatan HAD ini. Berbagai kegiatan digelar seperti teater terbuka, lomba, diskusi, dan seminar. Jurusan di perguruan tinggi pun punya agenda menyambut perayaan ini dengan temu wicara lokal atau diskusi internal institusi.

Sainstek Ke-PDAM-an
Air khususnya air minum di Indonesia tentu tak bisa lepas dari PDAM. Sebagai perusahaan yang meniti air setiap hari, selayaknya ikut bergerak menyambut HAD. Namun gaungnya tak terdengar. Yang mencuat sekarang justru kehilangan air yang mencapai 44% di PAM DKI Jakarta. Setelah banjir datanglah krisis air. Ironis. Lantas, adakah kegiatan HAD di PDAM? Tentu bukan seremonial yang dimaksud; bukan pula seminar di hotel atau gedung mewah yang pesertanya terbatas. Sebab, hanya kalangan yang pekerjaannya “berbasah-basah” dengan airlah yang hadir. Tak menyentuh masyarakat kebanyakan di akar rumput. Yang dimaksud ialah kegiatan demi mencerahkan pelanggan agar makin paham dan peduli air.

Memang ada satu-dua situs web PDAM yang menulis tentang HAD ini. Tetapi kebanyakan PDAM belum berhasrat menyambutnya. Apakah ini lantaran PDAM tak berdaya bergerak nyata di masyarakat? Tak berani membuka diri agar pelanggan “melek” air? Atau, gentar lantaran servisnya belum memuaskan? Dihantui rasa takut kegiatan itu bakal menjadi bumerang bagi PDAM? Kalau yang vakum dalam menyongsong HAD adalah PDAM kecil, bisalah diterima. Membiayai dirinya saja sudah berat. Apalagi harus keluar uang buat aktivitas tebar ilmu dan teknologi air buat masyarakat. Namun sebetulnya, soal uang atau dana bisa didapat dari pemasang iklan pendukung kegiatan. Bukankah PDAM banyak punya rekanan perusahaan? Dengan proposal bagus, dukungan pun mengalirlah. Apalagi HAD bisa membangun brand image PDAM dan pengiklan di mata masyarakat. Hanya saja, PDAM besar pun ternyata diam saja. Di mana idealisme memasyarakatkan PDAM agar tak dihujat terus?

Kalau dicermati, dengan tema Water Cooperation, kerjasama di bidang air, HAD adalah momen tepat bagi PDAM untuk meraih kepercayaan publik. Sebab, begitu banyak keluhan pelanggan atas layanan PDAM. Citranya nyaris selalu buruk di bidang kepegawaian, kondisi instalasi, luas area servis atau layanan, dan manajemen. Ditambah lagi soal utang yang kuat membelit. Catatan cacatnya seabrek di wajah pelanggan. Tiap hari di media cetak dan elektronik, di media sosial ada saja protes soal PDAM. Insan perusahaan keairminuman ini pasti mafhum akan protes-protes itu. Bahkan ada grup Facebook yang membahas tentang -per-PDAM-an dan tagar (#tanda pagar, #hashtag) di Twitter. Begitu pula di blog atau website pribadi maupun lembaga. 

Lantas, mengapa HAD tidak dimanfaatkan untuk merangkul kembali yang telanjur antipati kepada PDAM? Mereka mungkin saja langganan tapi hatinya kesal. Ini buruk bagi aktivitas jual-beli yang kontinyu setiap hari. HAD adalah momen tepat buat “membasuh” dosa PDAM. Kecuali itu, juga memberikan ilmu kepada masyarakat bahwa mengolah air perlu biaya lantas dikaitkan dengan tarif. Dengan demikian, pada saatnya kelak pelanggan sadar perihal tarif airnya. Boleh jadi pelangganlah yang mengusulkan kenaikan tarif karena sadar mengolah air, apalagi yang tercemar berat, butuh biaya mahal.

Open House
Adakah sarana promosi ketika HAD dan promosi rutin berkala yang dapat digagas PDAM? Open house! Tidak banyak PDAM yang melaksanakannya. Membuka diri kepada masyarakat; “menjamu” pelanggan dengan sainstek keairan. Misalnya, bagaimana cara mengolah air? Apa alat-alatnya, apa mesinnya, apa zat kimianya, bagaimana urutan pengolahannya, apa problemnya, berapa biayanya, bagaimana kesulitan operasi-rawatnya? Berapa sumber daya insaninya? Banyak lagi hal lain yang selama ini tak diketahui pelanggan dan potensial menimbulkan salah pengertian. Tak kenal maka tak sayang dan akhirnya, tak peduli. 

Kalau pelanggan berkunjung ke PDAM dan melihat alur prosesnya, wawasan barulah yang didapat. Menjadi tahu, betapa pengolahan air, selain perlu dana, juga perlu alat-alat mekanikal-elektrikal dan zat kimia yang harganya tak bisa dibilang murah. Bisa puluhan miliar rupiah. Ini di luar dugaan mereka. Selama ini banyak yang menyangka murah dan menganggap mudah-mudah saja, semudah minum air dari gelas. Ini positif, bukan? Kenaikan tarif dengan nilai tertentu akan diamini lantaran sadar mengolah air tak seperti yang mereka bayangkan.

Perlihatkanlah kepada pelanggan air sungai yang kotor, lalu masuk ke deretan unit pengolah, ditambah zat kimia, akhirnya jernih di reservoir. Di hadapan pelanggan, ini bukan sulap, bukan sihir. Nyata di depan mata. Sampaikan juga problem distribusi yang kompleks lewat puluhan kilometer panjang pipa dan variasi topografi. Berilah penjelasan, itu terjadi berkat ilmu, teknologi, pegawai, dan uang. Tarif adalah kompensasinya. Sebab, PDAM, dalam hal ini pemerintah belum mampu menggratiskan air. Minimal pelanggan tahu bahwa rekening yang mereka bayarkan adalah ongkos jasa pengolahan air. Makin buruk kualitas air bakunya, makin mahallah biayanya. Tahulah mereka, air baku mesti dijaga bersama.

Kegiatan tersebut dapat dijadikan agenda tahunan pada peringatan HAD. Momen itu bisa dijadikan ajang kumpul pendapat dari beragam kalangan, baik pelanggan, LSM, akademisi, praktisi, pemerintah kab/kota, dan insan PDAM. Pada saat yang sama, semua anggota Dewan Direksi dan anggota Badan Pengawas hendaklah membeberkan fakta dan kondisi riil PDAM. Usahlah takut, ini bukan tabu. Silakan hadirkan juga pejabat lain untuk curah ide, brainstorming. Sah-sah saja, bukan? Dari diskusi, disertai argumentasi, akhirnya diperoleh optimasi solusi. PDAM jangan terlalu pelit mengeluarkan biaya untuk mengemas humasnya. Hubungan masyarakat ini justru menjadi ujung tombak atau mata pedang yang menjadi gerbang masuk pelanggan. 

Open house semata tentu saja takkan cukup. Perlu kegiatan lain seperti acara berkala bulanan. Sekadar contoh, bagi-bagi ilmu ke setiap kelurahan, digilir satu per satu. Semacam penyuluhan. Kalau Puskesmas saja bisa kenapa PDAM tidak? Ini bisa dicoba. Tingggal dikoordinasikan dengan pemkab/kota. Bentuknya bisa ceramah dan tanya-jawab dan/atau paparan audiovisual yang menarik agar masyarakat tertarik. Atau, ujudnya kursus kilat buat aparat desa/kelurahan, sampai RT/RW dan karang taruna. Jangan ketinggalan mengundang pelajar dan santri. Justru merekalah yang harus digarap serius. Pada masa depan, ketika generasi tua turun gelanggang (pensiun, meninggal), kaum muda itulah yang mengembangkan PDAM. Mudah-mudahan prestasinya melebihi seniornya sekarang.

Saya optimis, kegiatan di atas dan ide-ide lain, dapat mendekatkan pelanggan dengan PDAM, saling peduli, percaya dan mengerti posisi masing-masing, sekaligus peluang bagus bagi perkembangan PDAM dan asetnya, yaitu SDM yang mumpuni. Tak berlebihan jika jurusan Teknik Lingkungan dilibatkan, begitu juga asosiasinya, yaitu IATPI (Ikatan Ahli Teknik Penyehatan & Lingkungan Indonesia), dimintai tolong dalam kapasitasnya sebagai kelompok ahli dan asosiasi yang menyebarkan citra Teknik Lingkungan dan turut mengarakterisasikan masyarakat menjadi “melek” air bersih khususnya dan sadar lingkungan pada umumnya.

Mudah-mudahan dengan cara proaktif “menjual” diri itu PDAM bisa dekat di hati pelanggan. Janganlah pelanggan dibiarkan begitu saja, tak dipedulikan. Sebagai hukum alam, kausalitas, sebab-akibat, rasa peduli mampu menambah kuat kepercayaan pelanggan kepada PDAM. Keuntungan tetap saja akan berbalik ke pihak PDAM. Sebagai pembanding dan penyemangat, perusahaan sepatu, tas, kosmetik, makanan-minuman, dan jasa apa saja berupaya keras agar pelanggannya banyak dan langgeng. Digelarlah kegiatan sosial: khitanan massal, makan-minum gratis, show musik, talkshow, lombaTujuannya ada dua: menggaet pelanggan baru, melanggengkan yang lama. Eksistensi pun kuat, terpelihara dan citranya bernas di mata pelanggan. Mampukah PDAM bercitra demikian?

Pamungkas, sesuai dengan spiritnya, yaitu kerjasama (cooperation, kooperasi, koperasi) semoga peran PDAM bisa meluas, bekerjasama dengan berbagai elemen masyarakat dan menghasilkan cetak-biru keakraban (cooperation) pelanggan dengan PDAM. 

PDAM... kamu pasti bisa! *

ReadMore »

17 Maret 2013

Bisnis Buku di Balik Perubahan Kurikulum


Oleh Gede H. Cahyana

Berdasarkan catatan sejarah, ganti menteri diikuti oleh ganti kurikulum, ganti kurikulum berarti ganti buku. Bahkan nama departemen pun diubah menjadi kementerian dan nama Pendidikan dan Kebudayaan diganti menjadi Pendidikan Nasional kemudian beralih lagi menjadi Pendidikan dan Kebudayaan. Yang tetap hanya satu yaitu bisnis buku. Ganti buku sama dengan bisnis baru. Kurikulum 2013, apapun alasan yang disertakannya, pastilah memunculkan buku baru yang harus dibeli, meskipun buku itu sekadar ganti sampul (cover). Bisnis buku pelajaran sekolah adalah bisnis yang menggiurkan, jauh lebih menguntungkan daripada buku umum.

Sejarah mencatat, pada tahun 2008 pemerintah merilis 407 buku yang bisa digandakan dan dijual bebas dengan mengacu pada harga eceran tertinggi. Buku-buku yang sudah dibeli hak ciptanya oleh Depdiknas pada waktu itu menjadi acuan proses belajar mengajar di Indonesia. Hanya saja, buku tersebut mengurangi, bahkan menghapus peluang memperoleh uang dari “royalti” penjualan buku yang dihadiahkan oleh penerbit atau supplier. Sejak dulu tentakel gurita penerbit atau pemasok ini masuk ke sekolah. Dulu ada PP No. 11/2005 yang intinya pemberlakuan buku selama lima tahun. Tapi faktanya, buku tetap bergonta-ganti dari semester ke semester dan sekolah (Disdik) tak berkutik pada untaian uang yang dikibaskan penerbit. Godaan ini kian besar dari semester ke semester seiring dengan kian variatifnya jenis buku dan LKS yang diterbitkan pebisnis buku.

Aspek legal, mulai dari pemerintah pusat s.d pemerintah daerah sudah tak terhitung lagi. Sudah banyak peraturan tentang tataniaga buku pelajaran sekolah tetapi tidak ada yang menyentuh substansinya atau tak diacuhkan oleh guru dan kepala sekolah. Apalagi ada iming-iming komputer, motor, alat-alat laboratorium atau uang jutaan dari penerbit kalau guru dan kepala sekolah mau menggunakan bukunya, baik berupa buku pelajaran maupun lembar kerja siswa (LKS). Pemerintah daerah (cq. Disdik) seolah-olah tak menggubris peraturan dan keputusan pemerintah pusat karena merasa punya hak otonomi.

Itu sebabnya terus bermunculan modus operandi baru dalam penjualan buku di sekolah, misalnya penerbit atau pemasok datang ke sekolah menggunakan mobil display atau van. Tentu saja sebelumnya utusan penerbit sudah kontak dengan kepala sekolah dan guru-guru. Bukunya memang tidak dijualkan oleh guru tetapi murid-murid disuruh membeli langsung ke penerbit. Mobilnya pun tidak masuk ke halaman sekolah tetapi penerbit menjual buku-bukunya di luar sekolah. Untuk soal latihan, guru menyuruh murid mengerjakan soal-soal di buku LKS. Murid yang tidak punya buku dan LKS harus menulis soalnya dulu sehingga sering tidak selesai dan nilainya kecil.

Murid yang lemah ekonominya tidak dapat mengerjakan pelajaran dan tidak dapat menjawab soal LKS. Mau tak mau murid ini merengek ke orang tuanya agar dibelikan LKS. Namun sayangnya, buku berkategori LKS ini kerapkali hanya dibahas dua-tiga halaman lalu tidak pernah lagi dibahas oleh gurunya. Selama satu semester buku LKS itu hanya menumpuk di meja atau di rak buku murid dan tak pernah dibuka-buka lagi. Parahnya lagi, tahun berikutnya tak bisa digunakan oleh adiknya karena sekolah (guru) sudah beralih ke penerbit lain. Begitulah setiap semester atau setiap tahun. Dengan kata lain, guru menyuruh murid membeli buku dan LKS hanyalah demi “royalti” dari penerbit. Harganya pun tidak main-main, antara Rp 200.000 s.d Rp 400.000-an per semester per orang/murid. Bayangkan kalau satu keluarga beranak dua atau tiga orang, berapa juta rogohan ke dompetnya yang justru terjadi ketika ada gembar-gembor sekolah gratis?

Seiring dengan Kurikulum 2013 ini, sebetulnya tak masalah kalau sekolah (guru) menggunakan buku apa saja, yang penting sesuai dengan materi dalam kurikulum. Yang lebih penting lagi, dan ini mendukung sekolah murah (apalagi sekolah gratis) adalah harganya murah dan mudah diperoleh. Mudah diperoleh berarti kuantitasnya banyak di pasar, ada di mana-mana, dari kota sampai ke pelosok. Yang sering terlupakan, pemerintah hanya mengutamakan daerah perkotaan yang mudah aksesnya dalam memperoleh buku pelajaran. Acuan perubahan kurikulum pun lebih banyak ke sekolah dan murid/guru di kota-kota sedangkan yang di desa atau pelosok masih jauh tertinggal. Belum sempat mempelajari dan menerapkan kurikulum yang berlaku, kurikulum malah sudah diubah. Nyaris begitu setiap kali ganti menteri. Perubahan kurikulum itu bisa terjadi di awal jabatannya, bisa juga dilaksanakan pada tahun akhir masa jabatannya. Yang penting, ada perubahan. Mungkin begitu prinsip para menteri itu. *

ReadMore »

9 Maret 2013

Jawa Barat Selatan, Prioritas Gubernur Baru


Gede H. Cahyana

KPU Jawa Barat sudah mengumumkan hasil pemilihan gubernur dengan kemenangan pada pasangan Aher-Demiz 32,9 persen. Periode kedua jabatan Ahmad Heryawan sebagai gubernur hendaklah fokus ke Jawa Barat Selatan. Daerah selatan ini membutuhkan pembangunan intensif di bidang pendidikan, perekonomian, dan perikanan laut. Masyarakat menanti realisasi pembangunan pelabuhan dan jalan akses aorta ke arah utara. Namun demikian, pengembangan ekonomi, sosial dan budaya hendaklah mengikuti aturan eksploitasi yang melestarikan fungsi lingkungan. Lingkungan boleh berubah tetapi fungsinya haruslah langgeng.

Dengan ciri khas bentang alam berupa pantai dan perbukitan, Jawa Barat Selatan memiliki kelengkapan potensi sumber daya alam darat dan laut. Bibir pantai yang eksotis itu dengan garis ombak putihnya dapat dilihat dari perbukitan di Cianjur Selatan dengan elevasi 660 m dpl. Bentang alam yang eksotis ini berpotensi sebagai daerah tujuan wisata, selain memiliki keunggulan komparatif sebagai penghasil gula aren, kayu, pertanian, dan laut. Hasil laut seperti ikan, kerang, mutiara, udang, rumput laut, dll bisa juga dijadikan sumber daya alam yang unggul, termasuk potensi listrik energi ombak atau gelombang dan angin.

Yang harus segera diwujudkan adalah peningkatan kualitas jalan sebagai urat nadi aktivitas masyarakat. Jalan ini dapat memperlancar arus barang yang berkaitan dengan pertumbuhan ekonomi dan pengentasan kemiskinan. Juga untuk meningkatkan dan memudahkan anak-anak bersekolah. Kondisi di atas nyaris merata di sepanjang Jawa Barat Selatan, mulai dari Pangandaran sampai ke Ujung Genteng. Karena meliputi minimal lima pemerintahan daerah, pemerintah pusat wajib memberikan dukungan finansial, selain pemerintah provinsi. Isu strategisnya, kesenjangan di berbagai sektor ekonomi, sosial, pendidikan akibat keterbatasan infrastruktur. Itu sebabnya, sekolah hendaklah dibangun mulai dari SMP hingga perguruan tinggi, minimal kursus dan sekolah kejuruan (SMK perkebunan dan kelautan).

Otorita Jabar Selatan?
Untuk mengawali percepatan pembangunan di Jawa Barat Selatan itu, perlu ada badan yang mengurusinya, misalnya dalam bentuk Otorita Jabar Selatan. Tugasnya menyusun rencana induk dan rencana pengembangan sarana dan prasarana serta pengembangan wilayah Jawa Barat Selatan. Juga mengupayakan pelabuhan untuk perikanan dan perdagangan di lokasi yang tepat secara geologis, geografis, dan sosio-ekonomis-ekologis. Badan ini pun harus membuat fasilitas yang dapat menstimulasi pertumbuhan ekonomi warga Jawa Barat Selatan dengan membangun jalan utama (aorta road) dan/atau kereta api Timur-Barat-Tengah Jawa Barat dan berhubungan dengan berbagai jalan tol eksisting. Bersamaan dengan implementasi tersebut, sediakan infrastruktur di bidang teknik lingkungan seperti air baku, air minum, air limbah, drainase, persampahan. Terakhir, sediakan berbagai-bagai sumber energi dan telekomunikasi.

Dengan demikian, pengembangan prasarana ekonomi dan sosial di wilayah Jawa Barat Selatan akan terintegrasi dengan pengembangan Jawa Barat bagian tengah yang memang sudah terhubung dengan Jakarta dan berbagai pelabuhan dan bandara di Jawa Barat. Objeknya ialah prasarana transportasi (jalan, jembatan, pelabuhan, bandara dsb); prasarana kesehatan (jaringan pipa air minum, drainase, air limbah, pengelolaan sampah); prasarana energi dan komunikasi (jaringan kawat transmisi dan pembagi, jaringan telepon). Di pelabuhan pun difasilitasi pergudangan untuk aktivitas ekspor-impor yang dirangkai dengan jaringan jalan arteri dan kereta api. Sekali lagi, pendirian sekolah dan pesantren akan meluaskan tingkat pendidikan dan cara berpikir masyarakat yang telah aktif berpartisipasi dalam pilkada.

Jika diretas, minimal ada empat sektor prasarana untuk mendukung pengembangan Jawa Barat Selatan. Yang pertama, penyediaan jalan dan prasarana penunjangnya. Pengembangan jaringan jalan harus berhubungan dengan sistem transportasi nasional dan regional. Kedua, kereta api, mulai dari Pangandaran hingga Ujung Genteng dan dikoneksikan dengan jaringan rel yang sudah ada, termasuk kereta api wisata. Ketiga, transportasi laut, dengan menyediakan pelabuhan skala internasional, nasional, regional, atau lokal. Keempat, transportasi udara. Pengembangan bandara domestik regional, terutama untuk pengangkutan hasil bumi dan perikanan, termasuk wisatawan.

Sektor penyokongnya ialah penyediaan energi dengan membangun instalasi pembangkit listrik tenaga air (mikrohidro), juga untuk menjaga pasokan sumber air baku air minum dan energi gas atau panas bumi. Pengembangan pembangkit listrik tenaga surya, gelombang dan/atau biogas yang berasal dari kotoran ternak, kebun dan hutan. Bersamaan dengan itu, kelengkapan utilitas water front city segera disediakan seperti instalasi pengolahan air minum lengkap dengan jaringan transmisi dan distribusinya, penyaluran air limbah, pengelolaan sampah, drainase, dan telekomunikasi.

Ecodevelopment
Kata kunci pembangunan Jawa Barat Selatan ialah bersahabat dengan lingkungan agar tidak menjadi bumerang pada masa depan. Konsepnya ada tiga, yaitu: berkelanjutan, bersahabat dengan lingkungan, dan timbal-balik dengan pembangunan sumber daya manusia. Salah satu faktor yang harus dihadapi untuk mencapai pembangunan berkelanjutan ialah memperbaiki kehancuran lingkungan tanpa mengorbankan kebutuhan pembangunan ekonomi dan keadilan sosial. Pembangunan berkelanjutan ini terdiri atas tiga tiang utama, yaitu pembangunan ekonomi, pembangunan sosial, dan keberlanjutan lingkungan yang mengutamakan hubungan berkesinambungan antara pembangunan wilayah dan konservasi lingkungan.

Berdasarkan konsep tersebut maka pembangunan, termasuk pembuatan pelabuhan harus mengacu pada keberlanjutan lingkungan agar jelas peruntukan daerahnya dan memiliki buffer zone untuk pelestarian fungsinya. Pembangunan ini pun harus mendukung industri kecil di daerah dengan menyediakan air bersih, menyalurkan air limbah, mengelola dan mengolah sampah, sehingga dapat memicu wisata bahari, wisata pantai dan pasar ikan skala nasional, internasional. Oleh sebab itu, pemilihan lokasi yang tepat untuk pelabuhan harus mempertimbangkan ekosistem, seperti ekosistem mangrove, ekosistem estuari, ekosistem perikanan pesisir, ekosistem pertanian, perkebunan, terumbu karang.

Hal tersebut selaras dengan konsep pembangunan yang harus meningkatkan kemampuan SDM, mengembangkan industri dan jasa yang menguatkan kinerja SDM, mengembangkan prasarana yang sesuai dengan prinsip pembangunan berkelanjutan. *

ReadMore »

7 Maret 2013

Letusan Tangkuban Parahu Timbulkan Hujan Asam


Letusan Tangkuban Parahu Timbulkan Hujan Asam
Oleh Gede H. Cahyana

Tangkuban Parahu meletus sejak Senin, 4 Maret 2013 dan berlanjut hingga Jumat. Tipe letusannya adalah freatik dengan melontarkan abu dan pasir vulkanik dari kawah Ratu. Selain itu juga melepaskan gas belerang yang memang kontinyu dirilis dari kawah itu. Gas inilah yang berpotensi memberikan asupan asam ke dalam air hujan sehingga disebut hujan asam.

Hujan asam ialah hujan yang airnya terasa asam, pH-nya bisa mencapai di bawah 5,6. Rasa asam ini disebabkan oleh gas-gas yang ada di atmosfer ditambah hasil erupsi gunung api. Udara adalah bagian dari atmosfer yang terdiri atas oksigen, CO2, uap air, gas mulia, NOx dan SOx. Menurut Gorham, dengan kadar CO2 di atmosfer 0,03% dari seluruh gas maka derajat keasaman air hujan sekitar 5,7. Penurunan pH air hujan dapat terjadi karena ada penambahan kadar asam yang berasal dari asam nitrat dan asam sulfat akibat letusan gunung. Sumber senyawa asam ini adalah gas SO2 dan NOx yang diemisikan dari berbagai kegiatan manusia dan sumber-sumber alamiah seperti letusan gunung.

Dampak Topografi
Bandung dikenal dengan sebutan Bunganya Kota Pegunungan di Nusantara. Ungkapan ini membuktikan bahwa Bandung adalah kota pegunungan, dikelilingi oleh deretan gunung. Dengan kondisi geografi yang berbentuk cekungan, udara di kota Bandung akan mengalami kesulitan dalam sirkulasinya. Pegunungan yang ada dapat menghambat arus udara dari luar Bandung menuju ke Bandung dan sebaliknya. Kondisi inilah yang dapat membahayakan apabila terjadi timbulan pencemar udara secara masif.

Kondisi topografi, geografi dan geologi tatar Bandung dengan gunung api Kuarter aktif di sekelilingnya berpotensi mengemisi gas SOx, NOx dan CO2. Dengan curah hujan rata-rata tahunan antara 1.500 – 3.000 mm ikut memberikan andil terjadinya hujan asam. Sejumlah dampak hujan asam diuraikan di bawah ini.

Dampak hujas (hujan asam) di antaranya:
1. Kerusakan kutikula vegetasi/hutan, pohon.
2. Gangguan pada kehidupan air, algae, ikan, udang.
3. Menimbulkan korosi pada bahan bangunan dan konstruksi.
4. Mengotori bahan pakaian, ornamen candi/patung.
5. Mengganggu kesehatan dan kenyamanan hidup.

Ada sejumlah cara yang dapat ditempuh untuk mengurangi hujan asam ini. Letusan gunung api tentu tidak bisa dihindari. Tetapi mengurangi emisi gas buang dari bahan bakar fosil seperti bensin, solar, minyak tanah dan batubara dapat diupayakan meskipun akan berdampak pada operasi industri. *

ReadMore »

2 Maret 2013

Islamic Book Fair, Antara Nasionalisme dan "Asingisme"


Oleh Gede H. Cahyana

Bertempat di Istora Senayan, Jakarta, Islamic Book Fair ke-12 dibuka oleh Menko Perekonomian Hatta Rajasa pada Jumat, 1/3/2013. Bukan pamerannya yang disorot tulisan ini, tetapi istilahnya yang menggunakan bahasa Inggris. Pameran yang akan berlangsung hingga 10 Maret 2013 itu terkesan tidak percaya diri karena menggunakan bahasa asing. Padahal bahasa sangat menentukan rasa nasionalisme sesorang. Gagah-gagahan, supaya dipandang gagah, “asingisme” merajalela di mana-mana, bahkan oleh lembaga resmi negara.

Lihatlah spanduknya yang disebar di sudut-sudut jalan atau lokasi komersial. Yang terbaca adalah Islamic Book Fair. Kenapa tidak berbahasa Indonesia? Mengapa? Apalagi ini adalah pameran buku yang kebanyakan buku berbahasa Indonesia. Bukan pameran mobil Jepang, bukan pameran komputer asal Eropa-Amerika. Andaikata itu pameran buku-buku asing, taruhlah buku berbahasa Inggris atau lainnya, dapatlah dimaklumi. Terserah mau menggunakan bahasa Inggris, Mandarin, Prancis, atau Arab, boleh-boleh saja.

Sekadar misal, pada tahun baru Imlek yang sudah menjadi libur nasional ini, kita temui banyak tulisan Cina dan bahasa Mandarin. Bahkan hari ini ada karnaval Cap Go Meh di Bandung. Ini bisa dimengerti. Ini memang ekslusif dan erat kaitannya dengan kechinaan atau ketionghoaan. Tetapi kalau jelas-jelas berupa pameran buku produk penerbit lokal, mengapa mesti berbahasa Inggris? Terlebih lagi mayoritas buku yang dipamerkan dan dijual berbahasa Indonesia. Pengunjungnya pun kebanyakan orang Indonesia. Penulis bukunya pun saya yakin penutur bahasa Indonesia. Memang ada penulis asing, tetapi bukunya sudah dindonesiakan bahasanya. Sudah diterjemahkan.

Lalu apa alasannya? Adakah itu mengacu pada brand image? Ini pun istilah bahasa Inggris yang padanannya, lebih-kurang, citra atau pencitraan. Ingin membangun citra yang wah dengan bahasa Inggriskah? Kenapa citra dibangun dengan kosakata asing? Bukankah kosakata Indonesia ada dan tinggal dicari di dalam kamus. Apalagi seharusnya citra itu dibentuk oleh kinerja dan/atau kualitas, bukannya kosakata. Untuk apa dong pelajaran bahasa Indonesia di Kurikulum 2013 yang menuai kontroversi itu dan Mendikbud begitu menggebu-gebu ingin meluncurkan pemberlakuannya tahun ini juga? Untuk apa dong ada Pusat Bahasa kalau arahan dan pedoman yang dirilisnya tidak diindahkan justru oleh kalangan yang berkecimpung di dunia perbukuan? 

Maka, apapun alasannya, khusus pameran buku yang dominan berbahasa Indonesia sebaiknya menggunakan bahasa Indonesia. Ini tanggung jawab penerbit yang 99% (kalau tak mau ditulis 100%) menerbitkan buku berbahasa Indonesia. Dalam dugaan saya, jangan-jangan nama pameran itu tak pernah dikomunikasikan dengan penerbit yang turut dalam pameran. Jangan-jangan penerbit pun tak pernah menanyakan kenapa namanya dalam bahasa asing. Jangan-jangan penerbit justru setuju penggunaan kosakata asing itu. Kalau ini terjadi, sungguh menyedihkan karena sudah berlangsung duabelas tahun.

Seharusnya penerbit menjadi ujung tombak dalam pemakaian bahasa Indonesia. Jika tidak bisa atau belum mampu berbahasa sesuai dengan EYD, teruslah berupaya. Apalagi, boleh jadi, tak seorang pun yang luput dari kesalahan berbahasa, termasuk pakar bahasa sekalipun. Itu sebabnya, pameran seperti ini sebetulnya menjadi sarana bagus buat memasyarakatan bahasa Indonesia, agar masyarakat lebih dekat ke bahasanya.

Marilah kita belajar dari pameran buku di Jerman. Istilah yang digunakan adalah Frankfurter Buchmesse. Sebutan dalam bahasa Inggrisnya, Frankfurt Book Fair, memang ada. Tetapi itu di negeri manca, negara orang lain yang semangat nasionalismenya berbeda dengan Indonesia. Terkait dengan spanduk itu, di negara Indonesia ini, adakah yang berbahasa Indonesia? Total berbahasa bahasa kesatuan kita?

Saya yakin, Pameran Buku Islami lebih elok dan mengena di hati dan benak pembaca ketimbang Islamic Book Fair. Orang awam, katakanlah berpendidikan sekolah menengah atau mahasiswa yang belum akrab berbahasa Inggris, tidak sampai mengernyitkan dahi hingga berkerut-kerut. Sebab, kecuali penghargaan atas bahasa persatuan kita, kebanyakan lidah orang Indonesia sulit mengucapkan nama asing itu.

Kalau tidak penerbit dan insan buku yang memulai dan mencintai bahasa Indonesia, lalu siapakah yang memakai bahasa ini? Kita sudah tak bisa lagi berharap pada nama-nama perusahaan seperti kawasan komersial yang sangat-sangat berpedoman pada kosakata asing. Pasar swalayan atau supermarket (ini juga bahasa Inggris) nyaris semuanya Inggris minded (ini juga asing). Tak heran kalau ada istilah bahwa orang yang bahasanya “sakit” akan sakit juga jiwanya.

Itulah penyakit kronis penggerogot otak. Orang bilang, dalam istilah Inggris, terlalu asing minded, sangat asing oriented. Asingisasi” (ini juga salah karena tidak ada imbuhan “isasi” dalam bahasa Indonesia, tetapi sengaja saya buat sebagai penggaet-mata). Selayaknyalah dunia pendidikan menjadi pelopor penggunaan bahasa Indonesia. Jangan karena ingin gagah-gagahan lantas bahasa asing diutamakan. Apalagi embanan pameran ini sarat akan misi dakwah. Dari temanya, terlihat kaitannya dengan pendidikan takwa, tingkat tertinggi dalam khasanah ketaatan muslim kepada penciptanya.

Bisa diduga, pemakaian istilah asing itu karena kita merasa rendah diri di mata hal-hal yang berbau asing. Lihat saja sinetron atau acara di televisi, selalu saja yang berbau bule dielu-elukan. Bahkan ada acara yang judulnya berisi kata bule. Bule inilah, bule itulah. Pokoknya bule. Bule menjadi majikan, sedangkan orang kita, diwakili oleh para pelawak itu, menjadi jongos. Padahal banyak juga hal-hal asing yang buruk. Video porno kebanyakan diperankan oleh bule. Syahdan pemain film porno ini ke Indonesia, anehnya, sangat dihormati oleh sejumlah kalangan di Indonesia, diwawancara dan dijadikan pemain sinetron/film. Di bidang bisnis, tingkat KKN dan kejahatan yang dilakukan perusahan asing tak kalah banyak. Pendeknya, dan ini pasti kita yakini, tidak semua yang beraroma dan bernama asing itu baik buat warga (asli) negara Indonesia.

Namun demikian, mampu berbahasa asing, baik Inggris, Prancis, Jepang, Arab atau yang lainnya, tetap dibutuhkan. Hanya saja, dalam acara khusus perbukuan, hendaklah tetap memakai kosakata bahasa Indonesia. Kalau insan perbukuan saja tidak cinta pada bahasa Indonesia, siapakah lagi yang mengabadikannya? Padahal buku yang diterbitkannya berbahasa Indonesia. Di luar itu semua, marilah kita sambut pameran buku ini dengan antusias. Yuk beli buku dan… baca. Jangan sekadar dikoleksi. *

ReadMore »