• L3
  • Email :
  • Search :

18 Januari 2007

The World (Forest) Is Not Enough

The World (Forest) Is Not Enough
Oleh Gede H. Cahyana

“Banyak orang tahu tentang bulan tapi tak tahu luas hutan di bumi,” komentar Persson, 1974.


Hari Bumi - setiap 22 April - selalu menjadi perbincangan. Menjelang, pada saat atau setelah hari itu, selalu dipenuhi oleh kegiatan ilmiah pada tataran formal berupa seminar. Biasanya menghadirkan keynote speaker dari kalangan menteri, dirjen, dosen dan kelompok LSM atau yang setara dengan itu. Liputan media pun tak mau kalah. Penuh dengan jargon, ungkapan atau simbol yang diperolehnya pada seminar tersebut yang sama dengan tahun-tahun sebelumnya. Perubahannya hanya pada kata dan kalimatnya saja. Intinya ialah “Dengan Semangat ……. maka Mari Tingkatkan………. atau “Bumi Hanya Satu, Mari Peduli” atau “Mari Tingkatkan Devisa melalui Konservasi Hutan dan Air” dan jargon-jargon lainnya.

Lalu, mari kita cermati sedikit dari kondisi bumi ini. Apakah seminar penuh jargon yang selanjutnya lenyap terempas zaman dan ramai lagi setahun kemudian itu sudah cukup dan dapat memperbaiki Bumi kita? Sebab, menurut “Population Bulletin” Vol. 54 No. 1 Maret 1999, Bumi telah dihuni oleh lebih dari enam miliar orang yang semuanya butuh makan, minum dan perumahan. Sedangkan ketika KTT Bumi+5 tahun 1997 yang lalu -- seperti diturunkan Kompas 23/6/97 -- ada 1,3 miliar manusia di Bumi, 800 juta diantaranya tinggal di negara sedang berkembang, berada di bawah garis kemiskinan. Dua miliar orang tak memiliki akses air bersih dan 3,1 miliar orang tak memiliki fasilitas sanitasi yang sehat.

Sebuah laporan lain, dari The World Bank 1997, sekira 900 juta orang di 100 negara menghadapi masalah desertifikasi (penggurunan) disebabkan oleh interaksi kompleks antara faktor fisika, biologi, politik, sosial, budaya dan faktor ekonomi dengan kerugian mencapai US $42,3 miliar per tahun. Bahkan disinyalir, tahun 2025 nanti, desertifikasi akan dirasakan oleh 1,8 milyar orang karena sejak tahun 1960 lebih dari 1/5 hutan tropis hilang dan laju kehilangan hutan tropis pada dekade 1970 sebesar 11,3 juta ha per tahun meningkat menjadi 15,4 juta ha per tahun pada dekade 1980-an. Di Indonesia ? merujuk International Union Concervation for Natural (IUCN) -- kerusakan hutannya mencapai 2,4 juta kh/tahun dan kini tinggal 70 juta ha atau hanya 50%-nya. http://www.suaramerdeka.com/harian/0408/24/nas10.htm

Selanjutnya, keragaman hayati (biodiversity) daratan yang punah mencapai lebih dari 80% akibat pembukaan hutan dan pembakaran/kebakaran yang menyumbang 30% sumber emisi karbon atmosfer. Hal itu terjadi karena siklus bakar selalu terjadi di setiap belahan Bumi. Di Indonesia, pada tahun 1997, bencana nasional dengan taraf siaga satu, telah mengganggu kenyamanan hidup 20 juta orang dengan taksiran kerugian 4,4 miliar dollar AS. Dan itu terjadi di 25 provinsi, di semua pulau-pulau besar. Ada 176 perusahaan yang terlibat, lima di antaranya sampai ke pengadilan. Namun kasusnya tenggelam tanpa penyelesaian yuridis.

Ini contoh lain. Satelit NOAA telah memantau ratusan titik panas (hotspot) pada Maret 2000. Yang dikatakan titik itu hakikatnya bukanlah noktah tetapi bentang api. Sudah belasan perusahaan di Sumatera dan Kalimantan pemegang konsesi disinyalir melakukan pembakaran. Dan jika memang hutan yang dibakar, berarti ancaman bagi ekosistem hutan hujan tropis yang kaya dengan keragaman hayatinya. Jika lahan yang dibakar maka kerusakan juga terjadi pada ekosistem di semak belukar itu, termasuk yang di dalam tanah. Terlepas dari apakah yang dibakar berupa hutan atau lahan, yang pasti asapnya telah mengepul menutupi langit biru di lima provinsi yakni Sumatera Utara, Sumatera Barat, Riau, Kalimantan Barat dan Kalimantan Tengah. Atau ada daerah lain yang akan menyusul?

Bulan Maret pada tahun itu, pemda Riau - provinsi terparah dengan ratusan bentang api - telah menyarankan warganya agar memakai masker jika ke luar rumah. Temperatur udara luar mencapai 38 derajat Celcius dengan rentang jarak pandang 200-500 m saja! Jelas penciutan visibilitas tersebut membahayakan transportasi darat, laut dan udara. Kecelakaan dapat saja terjadi sewaktu-waktu. Polusi asap ini pun, seperti tahun 1997, telah sampai ke negara jiran Malaysia dan Singapura. Tepatlah jika Presiden menyatakan bahwa kebakaran (pembakaran) hutan/lahan sebagai skandal nasional, menjadi cause celebre, karena tindakannya tak bertanggung jawab, melawan konsep ecodevelopment, merugikan ekonomi dan kesehatan rakyat. Juga mempercepat pemanasan global akibat gas CO2. Karena itu, pelakunya dikategorikan sebagai penjahat lingkungan.

Tapi sekarang kita bisa berlega hati karena sampai awal April 2006 ini, belum terdengar (mungkin saja sudah terjadi, tapi tak terberitakan di media massa) kasus kebakaran lahan atau hutan.

“Penyiksaan” hutan
Hutan, yang dalam pewayangan diekspresikan sebagai “gunungan” adalah lambang kemakmuran, gemah ripah loh jinawi. Fungsi estetika, dekoratif dan sosioekologinya mempengaruhi eksistensi manusia. Sebaliknya, manusia pun mempengaruhi kondisi lingkungan. Jadi ada saling ketergantungan. Di antara manfaat hutan yang paling terasa adalah sebagai sumber pangan dan papan (perumahan). Visualisasi keindahannya dipertegas lagi oleh keajaiban mekanisme reproduksinya yang berpasangan jantan-betina.

Interaksi historis hutan -- bagai baju dan ornamen bumi, kaya dengan dinamika populasi -- dengan manusia, sangat kompleks bahkan acap bertentangan (ambivalen). Di satu sisi, perannya sebagai sumber daya kehidupan (resources) tetapi di lain sisi sering dianggap perintang (obstacle), dikhawatirkan menjadi kendala dalam kesejahteraan. Pembabatan hutan untuk pertanian, perkebunan dan pemukiman adalah beberapa contohnya. Juga sering muncul konflik antara pemanfaatan hasil hutan dengan fungsi konservasi flora-fauna untuk riset dan rekreasi.

“Penyiksaan” hutan dalam ujud deforestasi, sebuah trend dominan di hutan tropis, sudah berjalan ribuan tahun (millennia) sejak ditemukan cara bertani dan berkebun. Sekelompok masyarakat yang homogen dalam perilaku sosial budaya, memiliki perspektif khas terhadap hutan. Model peladangan berpindah adalah satu fenomena yang masih berlangsung, dianut taat oleh sebagian suku di Indonesia. Cara pandangnya berasumsi bahwa hutan, sebagai bagian kehidupan, menjadi milik bersama dalam tradisi komunal kesukuan (tribalisme). Warga boleh mengambil manfaat dari semua komponennya tetapi dilarang keras merusaknya. http://www.kompas.com/kompas-cetak/0408/05/daerah/1190683.htm

Secara temurun, para peladang berpindah itu, memiliki kearifan yang tinggi, tidak serakah dan hanya untuk kebutuhan primer (subsistence goals). Selain itu, persepsi terhadap animisme dan dinamisme atau pada kalangan beragama yang percaya pada kekuatan supranatural atau mistik ikut melestarikan fungsi hutan. Mereka misalnya, takut menjamah (apalagi merusak) daerah yang dianggap keramat berpohon besar atau ada satwa yang dianggap titisan dewa. Beberapa karakter itulah yang mendukung mereka dalam pemulihan (recovery) hutan.

Selanjutnya, perkembangan populasi manusia memperberat “penyiksaan” terhadap hutan. Itu terjadi karena manusia memerlukan lahan dan fasilitas perekonomian. Di antaranya berupa kebutuhan pemukiman (daerah transmigrasi), perkebunan (sawit, karet, lahan gambut sejuta hektar yang gagal total) dan industri kayu (timber) dan yang berbasis kayu. Juga perubahan struktur sosial, pergeseran nilai budaya dan gaya hidup peladang yang terimbas westernisasi adalah kontributor peladangan yang destruktif.

Satu dampak perubahan pola peladangan dan konsep kepemilikan hutan, yang menjadi causa prima kerusakan hutan dan lahan adalah kebakaran (pembakaran) hutan. Mungkin, awalnya hanyalah untuk membuka areal pinggir hutan. Namun kondisi cuaca dan hembusan angin mengakibatkan terjadinya perluasan wilayah bakar. Faktor pendukung yang lain ialah kondisi geologi hutan (berbatubara), bergunungapi dan peristiwa alam (jarang terjadi di daerah tropis) seperti kilat. Juga gesekan ranting dan daun kering saat kemarau. Tentu penyebab terbesar adalah pembukaan lahan dengan pembakaran, seperti yang terjadi sekarang. http://pikiran-rakyat.com/cetak/0704/06/1103.htm

Kepemilikan dan regulasi
Hutan, sementara ini, dimiliki oleh “raja hutan”. Mereka, para raja itu (yang jumlahnya dapat dihitung dengan jari tangan) memegang konsesi yang sangat luas. Dekade 1980-an saja, ada lebih dari 500 konsesi mantap/ established. Tentang kepemilikan ini (ownership), ada baiknya kembali ke spirit yang diilustrasikan oleh pasal 33 UUD 1945 ayat 3. Bahwa negara-- empunya hutan -- wajib memanfaatkannya untuk kemakmuran rakyat Indonesia. Dengan gamblang tanpa perlu penafsiran panjang, dinyatakan bahwa hutan adalah milik negara (state ownership).

Memang, seperti halnya bahan tambang, dalam pemanfaatannya negara boleh melakukan kerjasama (joint ventures) dengan perusahaan swasta (domestik atau asing) yang punya modal dan teknologi. Namun selama ini, konsesi itu terlalu berat sebelah, tidak balance. Terlalu jauh merugikan negara dan rakyat (pekerja). Porsi keuntungan terbesar masuk ke saku “Sang Raja”. “Kepemilikan” hutan seolah-olah menjadi absolut. Rogohan tangan pengusaha terlampau dalam sehingga keluar dari koridor konstitusi. Tidaklah mengherankan jika kemudian para pengusaha (concession holders) tersebut memiliki akselerasi yang besar, menjelma menjadi konglomerat baru (yang sangat rapuh).

Sebetulnya, spirit dari pasal ekologi di atas adalah menjadikan hutan sebagai milik bersama (common property). Kepemilikan komunal dengan kepemilikan negara seperti dua sisi mata uang, tak dapat dipisahkan. Walaupun dari sisi historis, objek kepemilikan tersebut berbeda. Tujuan kepemilikan komunal atau kesukuan yang sudah berlangsung abadan (berabad-abad) hanyalah konsumtif belaka sedangkan orientasi negara (state ownership) lebih luas lagi meliputi ekonomi global, proteksi lingkungan, riset dan preservasi. Yang terakhir ini diperkuat oleh kesepakatan pada Konferensi Stockholm di Swedia, Bulan Juni 1972 dan dijadikan Hari Lingkungan Sedunia setiap tanggal 5 Juni.

Dari sisi peraturan, sebenarnya pemerintah telah memiliki perangkat hukum yang cukup. Paling tidak, sejak Konferensi Stockholm tersebut, produktivitas pemerintah pusat dan daerah sangat tinggi dalam merilis peraturan. Yang masih hangat, sebut saja Undang-Undang Lingkungan Hidup No. 23/1997 dan Undang-Undang tentang hutan tahun 1999. Namun kesulitan penegakannya mungkin karena ada tarik ulur berbagai kepentingan. Saling lempar tanggung jawab. Bahkan diisukan justru aparat penegak hukumnya yang lemah. Dan ini berlaku untuk semua kasus besar yang bermuatan politis dan antri di kejaksaan saat ini!

Di sinilah para pecinta dan pengamat lingkungan menghimbau good will pemerintah agar serius menangani masalah pelecehan lingkungan. Mereka, para pelanggar, selain melecehkan etika lingkungan dan menganggap sepi bahaya yang akan muncul (ignorance) juga serakah sebagai manusia ekonomikus. Selama ini, dengan alasan pertumbuhan ekonomi, tindakan hukum terhadap pelanggaran dinomorduakan. Mengejar target ekspor kayu gelondong dan olahannya, ekspor CPO (Crude Palm Oil) dan kebun karet yang butuh lahan luas, lebih diprioritaskan. Selain itu adalah isu signifikan pada ratusan ribu peluang kerja di sektor perkebunan dan industri berbasis kayu. Diakui bagaimanapun juga, sektor kehutanan memberi kontribusi besar pada pengembangan sosioekonomi Indonesia, setelah minyak bumi (dulu) dan gas.

Dari paparan di atas jelaslah bahwa kebijakan kehutanan (lingkungan) masih dicirikan oleh ketidakjelasan, kebingungan dan ketidakpastian. Banyak menarik perhatian namun kurang memegang komitmen dan agreement yang disepakati pada rumusan awal. Penegakan hukum berada di simpang jalan, ragu mengambil arah pasti. Ambillah contoh ancaman pembatalan konsesi atau pencabutan HPH seperti sering didengungkan. Jika dilaksanakan, dampaknya sangat luas. Ekspor hasil hutan dan olahannya pasti turun. PHK menjamur sehingga menambah biaya sosial masyarakat. Kejahatan pun meningkat. Namun jika hukum tidak ditegakkan, maka cita-cita Menteri LH dan Menhut, akan memfosil seperti sebelumnya. Justru inilah tantangannya untuk membuat solusi alternatif dan terobosan baru yang optimal.

Sekali lagi, survivalitas hutan (lingkungan) sangat tergantung pada kontrol dan regulasi. Berbagai kebijakan yang tertuang di dalam perundang-undangan, harus dijamah dan ditegakkan (enforcement) untuk mewujudkan pentaatan hukum (compliance). Diperlukan penaatan hukum yang kredibilitasnya tinggi dengan peraturan yang jelas dan tegas. Ada konsistensi sanksi, adil dan ada kemauan politik penguasa dan pengusaha. Setiap keputusan perlu mempertimbangkan aspek ekonomi dan sosioekologi karena masyarakat selalu terpojok menderita social cost yang besar termasuk kenyamanan hidup. Jangan ditunggu terjadinya gerakan massa, people power karena pengusaha dan penguasalah yang akan rugi. Mega kasus PT Inti Indorayon Utama, dapat dijadikan refleksi diri.

Sebuah harapan
Kembali ke kasus kebakaran hutan dan lahan. Terlepas dari apakah aparat proaktif ataukah reaktif terhadap kasus tersebut, ada nilai positif dari reaktivasi Bakornas Penanggulangan Bencana, pelibatan instansi lintas sektoral, tindakan aktual di lapangan dan peringatan keras kepada pelanggar. Hanya saja perlu diingat bahwa hal tersebut telah pula dilakukan oleh pemerintahan sebelumnya, dulu pada masa Orde Baru. Hikmahnya dijadikan pelajaran agar tidak menjadi macan ompong, kelihatannya buas namun tanpa daya (impoten). Dicari saat ini, aparat yang berani -- betul-betul berani melawan arus -- untuk mengganjar para penjahat lingkungan, secara administratif dan pidana. Mereka, saat ini adalah the most wanted.

Marilah berandai-andai! Seandainya kasus pembakaran hutan/lahan ini berakhir antiklimaks seperti kasus 1997 dulu, tanpa penyelesaian yuridis proporsional, maka komitmen pemerintah sekarang (baca: politisi anggota kabinet) terhadap lingkungan menjadi ecotopia. Terjadi kontraproduktif pada kebijakan sosioekologi dan ekonomi pemerintah. Jika berlanjut terus, akan ada pemboikotan pada era perdagangan bebas yang menerapkan ecolabelling. Memang, sampai saat ini dampak negatif gegar dagang bebas itu belum terlalu kentara.

Akhir kata, setiap orang punya hak atas komponen lingkungan. Selain mengambil manfaatnya, dia wajib mencegahnya dari kerusakan. Maknanya, hutan boleh dieksploitasi namun harus tetap berada di dalam daya dukungnya. Fungsi kontrol dan manajemen sumber daya dijalankan dengan pendekatan integratif multidisiplin agar eksploitasi tidak destruktif. Masyarakat dilibatkan dalam fungsi kontrol karena dia sekaligus menjadi subjek dan objek di dalam lingkungan. Pembelajaran adalah salah satu caranya agar melek ekologi dan hukum. Jelaslah bahwa regulasi (hukum) dibuat bukan untuk menyempitkan ruang gerak tetapi untuk mengekalkan fungsi lingkungan agar tetap dapat menunjang mutu hidup generasi mendatang.

Kini, setujukah Anda jika hutan (lingkungan) adalah titipan dari anak-cucu kita?*
ReadMore »

4 Januari 2007

Banjir dan “Enviro-intelligence”

Artikel ini pernah dimuat di Pikiran Rakyat, 2 Januari 2007. Isinya adalah ajakan kepada semua orang, khususnya pejabat publik, untuk lebih peduli pada ekologi dan lingkungan hidupnya. Yang disentuh di sini tidak hanya pejabat di departemen, dinas, badan, lembaga yang berkaitan langsung dengan lingkungan, tetapi juga semua pejabat lainnya. Sebab, jangankan yang di luar "mata rantai lingkungan", yang berada di dalamnya saja banyak yang tak peduli dan hanya mengacu pada program-program (baca: projek) lingkungan yang memang ada uangnya.

Istilah Enviro Intelligence (En Q) atau Ecological Intelligence ini diilhami oleh kecerdasan yang lebih dulu populer, yaitu IQ, EQ, dan SQ. Mudah-mudahan En Q ini dapat memicu dan memacu kinerja pejabat publik kita.

*****
Habis kemarau terbitlah banjir. Habis tsunami meluaplah sungai. Aceh kembali dipapar "bencana". Namun kali ini lebih disebabkan oleh perbuatan manusia, yaitu pembabatan areal Hutan Leuser. Hal serupa terjadi di Sumatera Utara dan Selatan. Bagaimana di Jawa Barat, khususnya di Bandung Selatan? Ternyata banjir juga. Malah diduga daerah ini akan banjir "abadi". Sumber airnya tak lain dari luapan Citarum, seutas sungai sepanjang 270 km yang bermuara di pesisir Kabupaten Karawang. Sudah diketahui bahwa ada 14 kecamatan yang potensial digenangi banjir. Apalagi pada Januari-Februari 2007 intensitas hujan, menurut BMG, semakin tinggi dan nyaris mengguyur seluruh Jawa. Akankah seperti di Aceh Tamiang?

Selain banjir yang memutus transportasi dan merusak ekonomi yang memang sudah parah akibat penutupan pabrik di Bandung Selatan, erosi pun menjadi-jadi. Airnya coklat tua, makin keruh disarati lempung sehingga sedimentasinya kian tebal lantas mendangkalkan alur sungai dan waduk Saguling. Terancamlah pasokan listrik yang memang sudah defisit. Tanpa listrik, tak banyaklah kerja yang bisa dilakukan. Tidak hanya itu, sungai yang berhulu di Gunung Wayang Kabupaten Bandung ini pun "dikerubuti" air limbah (outfall) pabrik dan menerima limpasan air limbah domestik dari Kota Bandung, baik langsung dari anak-anak sungainya maupun efluen dari IPAL Bojongsoang. Bisa diukur, seberapa parah polutan organiknya dan berapa pula polutan logam beratnya.

Memang, sejak awal dekade 1990-an, kerusakan hulu Citarum telah menyentak pemerintah pusat dan daerah. Berbagai upaya dilakukan di antaranya pengerukan. Hanya saja, dikeruk tanpa peduli pada sumber erosi, yaitu kondisi hutan di hulunya, maka kegiatan itu menjadi sekadar projek tanpa hasil jangka panjang. Yang terjadi: banjir lagi banjir lagi. Mengapa pemerintah (seolah-olah) bergeming menatap laju deforestasi dan degradasi ekologi Citarum? Tak hendakkah pemerintah merevolusi pola peduli lingkungan atas dirinya, industrialis dan warga tatar Bandung selaku pejabat publik, PNS, pegawai swasta, rakyat biasa? Apa kabar Citarum Bergeutar (bersih, geulis, lestari)? Sudah bersihkah dikau? Cantikkah? Lestarikah (fungsi) lingkunganmu? Apa kabar Gerakan Cikapundung Bersih? Pada skala nasional, apa kabar Prokasih (program kali bersih)?

Banjir Citarum adalah skala besar. Tetapi yang skala kecil pun (cileuncang) terjadi dan nyaris merata di Bandung. Sumber petakanya tak lain daripada sampah. Padahal Perda K3 sudah dirilis tetapi belum menjadi alat kendali perilaku warga. Onggokan sampah tampak di mana-mana. Yang terdekat ialah sampah di rumah dan di kantor. Ada kantor yang menyediakan dua bak sampah berdampingan. Yang satu untuk sampah basah (sisa makanan) dan satunya lagi untuk sampah kering (kertas, plastik). Coba perhatikan, sampah di bak itu pasti bercampur. Berani "bertaruh?". Yang seharusnya masuk ke bak sampah kering malah dibuang ke bak sampah basah. Begitu sebaliknya. Padahal perintah dan keterangannya sudah dibuat bagus dan hurufnya besar-besar. Buta hurufkah? Tidak juga. Ironis, bukan?

Yang juga berkaitan dengan banjir ialah hutan kota atau pohon penyejuk kota. Kalau banyak pohonnya, secara alamiah tak perlulah dibuatkan sumur atau bidang peresap. Apalagi tidak semua daerah cocok dibuatkan sumur peresap. Tapi apa yang terjadi? Pohon-pohon besarnya banyak yang ditebang lalu diganti dengan yang kecil-kecil. Tak lama berselang, banyaklah yang mati. Sepatutnya ditanam dulu pohon yang agak besar, dipelihara, lalu sekian tahun kemudian barulah yang besar ditebang. Ikuti saja slogan nan elok, yaitu esa hilang dua terbilang. Tebang satu, tanamlah dua. Ini demi peduli ekologi, konservasi air, dan penangkal banjir. Terlebih lagi pepohonan itu mampu mengubah karbon dioksida menjadi oksigen dan menambah kenyamanan psikologis warga kota. Bukankah nyaman duduk-duduk di bawah pohon rindang?

Enviro-intelligence
Mengapa masalah klasik seperti banjir belum juga usai dan disinyalir takkan tuntas? Kekerapan banjir, longsor, diare, dan krisis beras menjadi bukti keidiotan kita secara enviro-intelligence atau ecological-intelligence. Paparan di atas meneguhkan bangsa kita sebagai tancerdas secara lingkungan-ekologis. Tak punya rasa memiliki dan tak peduli pada apa yang akan terjadi, apalagi kalau bencana itu tidak menimpanya. Misalnya, ada cukong kayu yang tinggal di Jakarta tetapi menguasai berhektar-hektar hutan di berbagai daerah. Raihan uangnya milyaran rupiah tanpa harus susah payah menanam pohon dan tak pernah kena banjir.

Melihat fenomena tersebut, cerdaskah bangsa kita? Kalau ditilik dari intelektualnya, dari strata sekolahnya, dapat dikatakan sudah cerdas tanpa menafikan 13 juta orang yang masih buta huruf. Artinya, yang bodoh secara harfiah memang ada; tetapi yang bodoh dalam arti jahil, dan ini yang justru berbahaya, jauh lebih banyak jumlahnya. Umumnya mereka bergelar sarjana, magister, doktor, profesor, jenderal, peneliti, guru, dosen, pengusaha, dan pejabat publik. Bisa dipastikan, koruptor kelas kakap ialah manusia pintar. Kalau tidak pintar atau tidak cerdik pasti cepat ketahuan dan ditangkap. Namun demikian, bukan orang pintar yang kita butuhkan melainkan orang jujur yang pintar. Minimal orang jujur yang biasa-biasa saja kecerdasan intelektualnya, asalkan tidak imbisil.

Lantas secara emosi, cerdaskah bangsa kita? Emosi ialah ukuran hati (kalbu). Kerapkali kita saksikan ribut-ribut adu mulut dan tinju di masyarakat, juga perseteruan antarwakil rakyat dan birokrat, dan antarsesepuh masyarakat. Perilaku itu berhulu di hati yang tidak peka, tak peduli, dan tidak partisipatif. Tipis empatinya (empathy). Simpulnya ialah belum cerdas-emosi. Masih diperbudak oleh nafsu dan ambisius dengan cara menihilkan peran kolega kerja. Egoismenya kental dan senantiasa mencurigai orang lain. Mereka memosisikan orang lain sebagai musuh. Suka tak suka, orang lain harus di belakangnya dan harus mengikutinya perintahnya. Soliter dan individualis.

Bagaimana secara spiritual? Istilah spiritual di sini lebih diarahkan pada makna menghidupkan atau memberikan kehidupan. Kata spiritual berakar pada kata Latin "spiritus" yang artinya sesuatu yang memberikan kehidupan, pemberi vitalitas. Merujuk pada artinya itu, di sini spiritual diartikan sebagai upaya menghidup-hidupkan warga bangsa dalam setiap tugasnya masing-masing. Dengan kata lain, spiritual di sini tidak diarahkan pada agama, tetapi cenderung pemberian nilai pada hidup manusia secara sosial dan negara sebagai institusi, termasuk menghidupkan hati dari kebekuan kecerdasan lingkungan-ekologis.

Dengan menggabungkan ketiga jenis kecerdasan itu maka masyarakat, terutama pejabat publik akan dapat membangun kecerdasan lingkungannya. Tidak berpikir jumud dan mengerahkan kecerdasannya untuk kemaslahatan lingkungan-ekologis. Kekuasaan yang digenggamnya dijadikan alat bela-lingkungan dan tegas (emphatic) melawan pelanggar peraturan dan memenjarakannya dengan denda setinggi-tingginya. Kekuatan politiknya juga diterapkan untuk mengerahkan dukungan politis dan boikot terhadap perusak lingkungan, seperti industrialis dan pengusaha cacat moral. Satu syaratnya, dia harus menjadi orang "bersih" terlebih dulu. Jika dia "kotor", mustahillah dia mampu "membersihkan" orang lain.

Sudah waktunya kita memilih pejabat eksekutif, legislatif, yudikatif, dan hankam yang “bersih” dan berorientasi pada enviro-intelligence. Setelah mumpuni secara intelektual, hendaklah belajar mencerdaskan emosinya lalu menguatkan spiritualnya dengan tujuan mengukuhkan enviro-intelligence. Andaikata kecerdasan enviro tak jua berhasil, maka dalam lingkup Jawa Barat ini, jadikan saja Citarum sebagai sungai sakral seperti Sungai Gangga di India. Mungkinkah? Yang pasti, sulitlah berenang (menyelam) di air banjir nan keruh: you should never dive in the murky water!

Cara lain, terjemahkan saja angka 2007 menjadi: dua kali lebih kreatif, lebih jujur, dan lebih amanah dalam bertugas. Lalu 007 dijadikan jimat a la James Bond agar menjadi orang kreatif pelawan perusak lingkungan, siapa pun mereka, termasuk pejabat yang idiot enviro-intelligence-nya. Semoga bertambah umur bertambah pula kecerdasan lingkungannya.*

Artikel yang berkaitan.
ReadMore »