• L3
  • Email :
  • Search :

22 April 2007

Dunia Lain Kartini

Oleh Gede H. Cahyana

Kartini dipingit, sudah luas diketahui. Beliau berkebaya, sudah pula diikuti. Dijadikan ikon oleh gerakan feminisme di Indonesia, bisa dianggap demikian. Lagu perihal “putri sejati” itu pun sering dinyanyikan anak TK dan SD. Buku kumpulan surat-suratnya, Habis Gelap Terbitlah Terang, boleh jadi tiada yang tak tahu. Tetapi pernahkah kita membacanya atau minimal melihat bukunya?

Ada satu hal lagi. Populerkah “dunia lain” Kartini di mata khalayak? Faktanya, sisi lain ini belum banyak diketahui, malah cenderung dientaskan. Tarung ideologis yang terus membebani psikisnya tak banyak diungkap. Ia menangis menatap kehidupan kaumnya yang ditindas penjajah. Adat Jawa pemasung wanita sebagai dampak buruk kolonial Belanda terus meluas. Sampai-sampai ia dibujuk untuk pindah agama oleh Ny. van Kol. Tegaslah jawabnya,”Yakinlah Nyonya, kami akan tetap memeluk agama kami yang sekarang ini. Serta dengan nyonya kami berharap dengan senangnya, moga-moga kami mendapat rahmat, dapat bekerja membuat umat agama lain memandang agama kami (Islam), patut disukai (21 Juli 1902).
 
Hal kedua yang nyaris tak bergema ialah semangat menulisnya. Kepandaiannya dalam olah kata ini jarang dipaparkan. Ketika jutaan orang Indonesia buta huruf pada akhir abad ke-19 itu, Kartini justru mampu menulis. Tak tanggung-tanggung, selain Zeehandelaar, sahabat penanya adalah keluarga J.H. Abendanon, M.C.E. Ovink Soer, T.H. van Kol, dll. Nilai plusnya kian bertambah lagi lantaran tak semua orang yang (sering) membaca akan mampu pula menulis (dalam arti mengarang) pada zamannya. Lantas, kenapa kepioniran Kartini dalam berkorespondensi tak dijadikan pemicu kemampuan baca-tulis kaum wanita khususnya dan masyarakat umumnya?

Aneh, memang! Padahal sepuluh hari setelah Hari Kartini, yaitu 2 Mei kita memperingati Hari Pendidikan Nasional. Tiga pekan berikutnya sudah pula disambut Hari Kebangkitan Nasional, 20 Mei. Terlebih lagi dimaklumi bersama, hanya lewat pendidikanlah kita bisa bangkit menjadi negara yang tekno-sainstifik. Hanya orang yang melek huruflah yang bakal berkembang ilmunya. Tapi nyatanya pejabat di Depdiknas dan Disdik belum juga optimal menumbuhkan spirit belajar, baik di kalangan guru maupun muridnya. Program yang dirilisnya terbukti sekadar politis dan lips service belaka. Sekali jadi lalu mati. 

Yang juga salah kaprah dan masih terkait dengan Hardiknas dan Harkitnas itu ialah bahwa bangsa ini “bangkit” lantaran kehadiran pergerakan Budi Utomo. Menurut sejarawan George McTuman Kahin, penulis buku Nationalism and Revolution in Indonesia, bukan Budi Utomo pelopor pembaruan pendidikan di Indonesia, melainkan Kartini. Alasannya, terang Prof. Ahmad M. Suryanegara dalam buku Menemukan Sejarah, Kartini tak hanya berjuang untuk perempuan, tetapi juga untuk membangkitkan bangsanya dari kehinaan. Jika ditilik dari waktunya, periode hidupnya memang mendahului periode Budi Utomo.

Namun sayangnya, spirit “pergerakan” Kartini hanya dimaknai secara selintas. Pola peringatannya sama dengan pola puluhan tahun lalu. Tiada kebaruan dalam upaya menghargai perjuangan Kartini. Yang banyak dipublikasikan justru hal remeh seperti kebaya, kain, sanggul dan konde. Anak-anak disuruh mengenakan kebaya sambil melenggang-lenggok. Parahnya lagi, murid lelakinya disuruh mengenakan baju perempuan dan berperilaku seperti perempuan. Lucu memang lucu, tetapi pola didik seperti itu mendekatkannya pada penyimpangan seksual kelak. Lomba itu pun isinya hura-hura, lepas dari aspek kognitif yang menjadi inti perjuangan Kartini. 

Dari sisi sosiologis juga terjadi pemarjinalan spirit Kartini yang jauh dari pola pikir kaum feminis sekarang. Mengatasnamakan pembelaan hak-hak perempuan mereka memlintir hakikat perjuangan Kartini. Di antaranya soal poligami. Tak pernah sekali pun digembar-gemborkan oleh pemerintah, apalagi oleh aktivis perempuan bahwa Kartini ketika menikah berstatus menjadi istri keempat. Djojoadiningrat, suaminya itu, sudah beristri tiga dengan tujuh anak ketika menikahi Kartini. Putri tertua suaminya hanya terpaut delapan tahun dengannya. Perkawinannya itu berlangsung pada 8 November 1903. 

Patut pula diakui, sebelumnya Kartini menentang praktik poligami. Tapi yang dicercanya ialah raja atau susuhunan yang istrinya puluhan. (NB: Amangkurat I menanggalkan gelar Sultan lalu menyandang gelar Susuhunan sebagai ekspresi penolakan atas pengaruh ulama yang bergelar Suhunan. Dia menambah suku kata “su” sehingga menjadi dua kali, yaitu Susuhunan sekaligus menolak syariat Islam termasuk hukum pernikahan: maksimum empat istri. Maka terjadilah perkawinan tanpa batas. Hal ini juga terjadi di Bali (zuriat raja-raja di Bali). Tak dapat dimungkiri, raja-raja itu memang memiliki berhektar-hektar tanah dan menerima “upeti” dari “rakyatnya” setiap panen. Kekayaannya, untuk lingkup lokal memang luar biasa. Membiayai 30 anak pun mereka mampu dan tanpa masalah!

Kembali ke soal Kartini. Justru di situlah letak masalahnya, yaitu fenomena yang menyeruak ke masyarakat dan dengan gegabah mengganti hukum syariat Islam dengan hukum adat yang mengizinkan lelaki menikahi perempuan sebanyak-banyaknya. Oleh sebab itu, ia menulis surat kepada Zeehandelaar yang isinya kisah nestapa perempuan Surakarta pada masa itu. Katanya,” Di sana hampir tiada seorang juga laki-laki yang perempuannya hanya seorang, dalam kalangan bangsawan, terutama lingkungan susuhunan seorang laki-laki sampai 26 orang perempuannya.Ini ditulisnya pada 23 Agustus 1900, tiga tahun sebelum ia menikah. Demikian tulis sejarawan Ahmad M. Suryanegara dalam buku tersebut.

Kegeramannya melihat jahiliah sosial itu akhirnya diabadikan dalam suratnya kepada Stella. “Aku hendak, aku mesti menuntut kebebasanku. Stella, aku hendak perdengarkan kepadamu. Manakah aku akan menang bila tiada berjuang. Manakah aku akan mendapatkan bila aku tiada mencari. Tiada perjuangan, tiada kemenangan; aku berjuang Stella, aku akan merebut kemerdekaanku. Aku tidak gentar karena keberatan dan kesukaran, perasaanku aku cukup kuat mengalahkan semuanya itu”. Curahan hatinya itu menjadi penguat betapa Kartini, waktu itu usianya 21 tahun (1879 – 1900), membenci hukum adat. Ia melawan dengan sekuat tenaga justru ketika perempuan lain sezamannya nrimo-nrimo saja dan terseret arus kebelanda-belandaan. 

Patutlah dikedepankan, sikap renaisans pemahaman Kartini itu dipicu oleh Qur’an. Ia menulis surat kepada anak Abendanon yang bernama E. C. Abendanon,” Alangkah bebalnya, bodohnya kami, kami tiada melihat, tiada tahu, bahwa sepanjang hidup ada gunung kekayaan di samping kami. Kartini telah mengikrarkan kitab suci agamanya sebagai gunung kekayaan (ilmu).” Kemudian hadirlah deretan kata yang “abadi” dan selalu dikutip pada Hari Kartini. Ini terjadi pada 17 Agustus 1902,” Sekarang ini kami tiada mencari penghibur hati pada manusia, kami berpegang teguh-teguh di tangan-Nya. Maka hari gelap gulita pun menjadi terang, dan angin ribut pun menjadi sepoi-sepoi.” Kata-kata “habis gelap terbitlah terang” itu bersumber pada Al Qur’an: minazh zhulumati ilan nur

Akhirnya, mari peringati Hari Kartini dengan cara yang mendidik, tak sekadar berkebaya, bersanggul-konde dan berjalan pelan bak siput. Jangan “racuni” anak TK dan SD dengan model jahiliah lantaran Kartini membenci kejahiliahan itu. Beliau justru ingin menerangi, agar habislah kegelapan ini menjadi keterangan. Gantilah pola perayaannya dengan lomba yang meningkatkan kualitas pikiran seperti lomba menulis (surat, cerpen, novel, artikel, pidato, dll) agar mampu menulis seperti Kartini. ***
ReadMore »

18 April 2007

IPDN: Olah Otot atau Otak?

Dua hari berturut-turut saya sempat “mengawasi” kampus IPDN. Tak seperti biasanya setiap lewat di sana, pada hari itu hanya sedikit prajanya berada di depan kampus. Yang berjaga di gerbang tetap ada, duduk-duduk saja, tidak show of force. Pada Rabu (11/4) terjadi demo yang mengutuk serial kekerasan di kampus luas-megah itu. Tampak mobil Patwal dan polisi serta petugas lainnya. Kampus lengang. Tak lagi tampak “keangkeran”. Sejak bernama APDN, kampus peninggalan pola didik-asuh masa Orde Baru ini selalu setia pada tradisinya, yaitu olah otot.

Suatu kali, ketika masih bernama APDN saya sempat berbincang dengan enam orang mahasiswa APDN. Waktu itu kami berbincang di atas kapal yang mengantarkan kami melintasi Selat Bali. Saya pulang ke Bali dan mereka ke Lombok. Dari nada bicaranya, mereka bangga menjadi mahasiswa APDN. Pakaian dan atributnya lengkap. Spirit korpsnya tinggi. Seorang praja perempuan begitu percaya diri. Inikah didikan APDN ataukah murni sifatnya yang pemberani? Saya tidak tahu. Sebab, itulah pertemuan pertama sekaligus terakhir saya dengan mereka. Saya tak pernah bertemu lagi dengan mereka sampai sekarang.

Setelah melewati masa keemasan dengan mahasiswa dari seluruh Indonesia dan berbeasiswa, akademi ini akhirnya diubah menjadi STPDN. Jenjang stratanya naik menjadi strata satu (S1) sehingga alumninya berhak mencantumkan gelar sarjana. Sebagai sekolah tinggi tentu saja diharapkan kelak menghasilkan pegawai administratif dan menjadi penyelenggara pemerintahan di daerah. Mereka menjadi PNS di daerahnya masing-masing, daerah yang memberinya beasiswa dengan harapan dapat memajukan masyarakatnya, bukan membebaninya. Namun terbersit juga berita, ada KKN (khususnya nepotisme) dalam masa pengiriman itu. Di beberapa daerah justru terjadi penunjukkan langsung dan putarannya di kalangan saudara pejabat setempat.

Ketika menjadi STPDN itulah kegiatan plonco kian menjadi-jadi karena merasa dibutuhkan dan telah pula resmi sebagai pegawai negeri yang sarjana. Patut diakui, di berbagai perguruan tinggi juga terjadi perploncoan. Hanya saja, taraf “intimidasinya” tidaklah sedalam di STPDN. Senioritas memang ada, tetapi perlu digarisbawahi bahwa senioritas ini hanya berlaku ketika perploncoan saja. Setelah selesai dan kembali ke bangku kuliah, justru tak ada lagi senioritas. Malah tak sedikit mahasiswa yang memlonco itu ikut kuliah bareng dengan adik kelasnya dan justru adik kelasnya lebih pintar dan lebih bagus nilai akademiknya. Kakak kelas belajar kepada adik kelasnya.

Ternyata hal demikian tak terjadi di STPDN. Seolah-olah terjadi plonco selama menjadi mahasiswa. Senioritas lebih berkuasa daripada kekeluargaan. Yang muda harus “hormat” tanpa reserve kepada yang tua. Kalau tidak, hukuman yang diterimanya akan berat. “Dikeroyok” oleh seniornya. Ini pun menjadi bukti bahwa pihak kampus tak belajar atas kasus kematian praja pada masa lalu. Seolah-olah mati lantaran penyiksaan menjadi hal sepele. Mati memang hal biasa. Yang tidak biasa adalah cara menuju kematian. Apalagi kalau caranya dengan kekerasan. Itu sebabnya, rekan saya menyebut IPDN sebagai Institut Pukul dan Dendam Nasional. Tak adakah yang mampu mengubah tradisi buruk itu sehingga menganggap pukulan dan tendangan di perut dan dada sebagai snack? Bentakan dan makian sebagai nyanyian merdu dan intimidasi adalah kartu remi yang mesti dimainkan?

Faktanya, dan ini puncak gunung es, dari tahun ke tahun selalu saja ada nyawa yang melayang lantaran “keangkuhan” seniornya. Meskipun pemecatan menggema ke seantero nusantara, ternyata kasus penyiksaan dan intimidasi terus terjadi. Andaikata tak ada lagi praja yang meninggal maka IPDN tetap bergeming dalam pola lama, yaitu pola didik yang “menuhankan” otot ketimbang otak. Tak bisa dibantah, manusia memang harus sehat fisiknya. Namun demikian, seorang pamong tak perlu berotot kawat untuk dapat melaksanakan tugasnya. Dia tak perlu kuat mengangkat barang satu kwintal, tak perlu tegap seperti binaragawan. Yang terpenting, fisiknya sehat normal, tidak sakit dan dapat berpikir normal rasional. Inilah kunci pengabdian seorang pamong.

Apalagi tugasnya nanti sudah jelas, yaitu mengurus kepentingan masyarakat, lantas kenapa sifat-sifat kearifan tak dimulai dari dirinya? Kenapa mereka selalu melampiaskan kekesalan dan dendam kepada juniornya. Apakah dengan memukul telak dada seorang praja maka tubuhnya menjadi kuat? Apakah dengan memukul perut dapat mengekarkan ototnya? Padahal dalam binaraga dan tinju, pukulan itu dilakukan setelah perut dan dadanya dilatih khusus dalam waktu lama. Tapi ini justru terjadi pada praja muda yang baru saja masuk IPDN. Tentu tidak semua praja berfisik kuat dan berotot kawat. Buktinya, jatuh korban, tak hanya tewas tapi juga dirawat di rumah sakit atau mengundurkan diri, kembali ke orang tuanya dengan torehan luka fisik dan luka hati.

Bayangkan, apa yang akan terjadi kalau fisiknya biasa-biasa saja lantas dadanya dipukul dan perutnya ditendang. Sesak napas dan sakitnya tak perlu ditanyakan lagi. Andaikata tulang iganya retak atau organ tubuhnya terganggu bukankah ini berpotensi menimbulkan sakit. Kalau setelah lulus penyakitnya tambah parah tentu lulusan IPDN tak bisa bekerja optimal melayani warganya. Padahal sudah jutaan uang negara (rakyat) dipakainya ketika sekolah. Bukankah ini kontraproduktif atas kinerjanya yang diidam-idamkan sebelum menjadi mahasiswa dan itu pula perjanjian yang dibuat dengan pemerintah daerah yang mengirimnya. Wajarlah lantas ada pemerintah daerah yang tak bakal mengirimkan lagi warganya untuk kuliah di kampus yang berlokasi di Jatinangor itu.

Anehnya, jajaran Depdagri diam seribu basa. Mereka baru bereaksi setelah diketok oleh kematian praja, sama seperti kejadian sebelumnya. Kenapa deretan kematian itu tak jua mempan atau tak memberikan pukulan telak kepada sivitas akademikanya? Pasti ada rahasia dan orang luar tak tahu apa yang terjadi di asrama. Disinyalir, ada ratusan seks bebas, penganiayaan (keras, ringan), pelecehan seksual, dan narkoba. Informasi dari Inu Kencana patut dipertimbangkan. Secara berseloroh Koordinator Kopertis Wil. IV dalam sambutannya pada Penataran Akreditasi Perguruan Tinggi (BAN-PT, 10 – 12 April 2007) menyebutkan bahwa STPDN atau IPDN itu tak sesuai dengan UU Sisdiknas. Pasalnya, kampus itu tidak berada di bawah Depdiknas (Dikti). Dengan kata lain, menurut Prof. Dr. Ir. H. Rochim Suratman, sekolah calon pamong praja itu tidak sah alias ilegal. Ilegal dengan landasan UU Sisdiknas. Dengan bergurau beliau berkata, bubarkan saja.

Perlukah dibubarkan? Dalam hemat penulis, ada jalan tengah, yaitu ubahlah menjadi sekolah tinggi yang berada di lingkup Depdiknas dan pola rekrutmennya diubah 180 derajat. Tak perlu ada asrama untuk semua mahasiswa. Sebaiknya mahasiswa berbaur dengan masyarakat di sekitar kampus dan ini pasti makin memperkuat daya juangnya untuk warganya nanti. Mereka harus tahu kehidupan nyata masyarakat yang sering dipersulit ketika berurusan dengan pemerintah (daerah). Begitu pula, beasiswa jangan untuk semua mahasiswa tetapi berikan secara selektif untuk yang prestatif, lemah ekonomi dan dapat menunjukkan pengabdiannya kepada warga di sekitar kampus. Apapun bentuknya, yang penting bernilai positif.

Ubah pula seragamnya. Tak perlu memakai seragam ketat itu. Selain mengurangi kelancaran peredaran darah, seragam seperti itu cenderung egosentris dalam kelompok. Setiap kelompok mahasiswa yang berbaju seperti itu akan cenderung punya spirit korps yang berlebihan sehingga menimbulkan perasaan sombong. Merasa hebat dan kuat serta merasa paling “berkuasa”. Kalau sejak di bangku kuliah saja mereka dipola dengan cara buruk seperti itu maka pemerintahan (daerah) pasti akan rusak justru oleh pamongnya. Intimidasi atas kepentingan masyarakat bakal menjadi kebiasaan. Inikah yang diharapkan oleh Depdagri?

Kalau demikian, apa yang mesti dikedepankan dalam mereformasi IPDN? Jawabnya hanya satu dan ini seperti perguruan tinggi lainnya, yaitu otak dan inklud di dalamnya adalah hati. Otak dan cahaya hati jauh lebih berguna ketimbang kekuatan otot. Kita tahu petinju Mike Tyson yang terlalu mengandalkan kekuatan ototnya bisa dikalahkan oleh petinju yang cerdik meskipun fisiknya tak sekuat Tyson. Kita juga tahu kisah Daud dan Goliath, betapa Daud menang meskipun fisiknya kalah jauh dibandingkan lawannya itu. Kita pun tahu Stephen Hawking, seorang yang fisiknya cacat total tetapi otaknya bersinar terang, seterang matahari dalam makrokosmos yang dirisetnya.

Terlebih lagi kalau dikaitkan dengan pelayanan masyarakat, maka kekuatan otak dan hati jauh lebih berguna ketimbang otot. Dalam tugasnya seorang pamong praja lulusan IPDN atau apa pun namanya takkan bertugas sambil berlari-lari. Pasti yang dibutuhkan adalah kecerdasan otaknya. Misalnya, mampu membuat konsep baru dalam layanan masyarakat dan membarukan peraturan usang yang merugikan warganya. Pamong peduli warga inilah yang justru dibutuhkan pada masa kini. Jadi, kekuatan fisik seperti binaragawan atau petinju tak perlu lagi. Yang diperlukan ialah kekuatan otak dan hati.

Akhir kata, semoga IPDN dapat mengubah dirinya sebelum berencana mengubah masyarakatnya. Mulailah dari diri sendiri dan tunjukkan kepada masyarakat bahwa perilakunya sudah humanis. Kalau memanusiakan kawan sendiri (junior) saja tak mampu apatah lagi memanusiakan warganya yang tak dikenal, bukan? Selamat berubah. *
Gede H. Cahyana
ReadMore »

15 April 2007

Cascade: The Art of Aeration

Cascade, The Art of Aeration
Oleh Gede H. Cahyana

Dimuat di Majalah Air Minum edisi 138, Maret 2007, bulan keberadaan Hari Air Sedunia, World Water Day, yang tahun ini bertema Coping with Water Scarcity.

Jadi..., ini yang namanya instalasi? Kok kotak-kotak semua? Baknya kaku dan kurang bersahabat. Apa nggak bisa agak nyeni sedikit?” demikian keluh seorang mahasiswa ketika sempat melihat instalasi PDAM.

Tak salah penglihatan mahasiswa itu. Faktanya demikian. Kebanyakan instalasi pengolah air, baik air minum maupun air limbah, memang berbentuk bak-bak saja dan terkesan kaku bersudut. Namun sebetulnya ada juga yang sudah diupayakan berseni dengan membuatnya berbentuk lingkaran dan konfigurasinya simetris, selain untuk meraih keuntungan hidrolis, juga artistik. Yang dibuat segienam (heksagonal) pun ada meskipun kinerjanya masih perlu dievaluasi. Terlepas dari itu, upaya ke arah penyenian area instalasi sudah ditempuh oleh sejumlah PDAM dan patutlah diapresiasi.

Fenomena Aerasi
Dari sekian banyak jenis dan tipe unit operasi-proses di PDAM, ada satu unit yang lumayan penting, meskipun tak selalu ada, yaitu aerator. Sebagai penurun kadar ion besi dan mangan di dalam air baku, unit ini didesain agar airnya mudah berkontak dengan udara. Ketika kontak itulah oksigen di udara diharapkan bereaksi dengan ion besi dan mangan lalu membentuk presipitat yang bisa disisihkan di unit selanjutnya, misalnya di sedimentasi setelah mengalami proses koagulasi - flokulasi atau dipisahkan di unit filter.

Hal itu terjadi kalau aeratornya mampu menghasilkan lapisan kontak air-udara (interfacial film) yang sedemikian tipis sehingga terjadi reaksi oksidasi-reduksi. Makin tipis dan makin luas bidang kontaknya, hasilnya akan makin bagus sehingga kian tinggi efisiennya. Karena waktu kontaknya singkat maka transfer gasnya ke dalam air harus dioptimalkan. Optimasi ini berbeda-beda antartipe aerator sehingga berbeda pula kinerjanya. Setiap tipe aerator itu memiliki ciri khas masing-masing dalam proses aerasinya.

Walau demikian, secara umum semua tipe itu berprinsip sama, yaitu kontak udara-air melalui selaput tipis tempat terjadinya reaksi. Reaksi inilah yang akan “mengeluarkan” ion tersebut dari air. Jika tidak “dikeluarkan” maka efek ekonominya cukup tinggi, juga efeknya terhadap kesehatan kita. Sebab, air berkadar besi dan mangan yang tinggi dapat menimbulkan bercak kemerahan (reddish) atau kecoklatan (brownish) pada pakaian. Warnanya yang kemerahan itu akibat besi dan kecoklatan akibat mangan. Air yang mengandung kedua ion tersebut akan berubah menjadi kemerahan atau kecoklatan, berasa logam jika diminum, dapat berefek buruk pada kesehatan, membentuk endapan kemerahan atau kecoklatan di dalam pipa serta membiakkan bakteri besi (Crenothrix).

Besi dan mangan di dalam air bisa berupa ion bebas, bisa juga berikatan dengan zat organik. Yang tidak berkombinasi dengan zat organik lebih mudah disisihkan dengan cara aerasi. Tetapi yang berikatan dengan zat organik harus dibantu dengan oksidator seperti klor atau kalium permanganat. Presipitat yang terbentuk lantas diendapkan setelah dikoagulasiflokulasikan lalu difilter. Selain menyisihkan besi dan mangan, aerasi juga dapat menghilangkan bau dan rasa air yang disebabkan oleh volatile organic compounds (VOC). Selain trace VOC itu (trace: seangin, runut, sangat-amat sedikit), air yang berbau atau berasa mengindikasikan airnya mengandung gas-gas terlarut (dissolved gases) seperti CO2, H2S atau bahkan limbah industri.

Cascade, Aerator Undak
Menurut tipenya, aerator bisa dibagi menjadi empat kelompok, yaitu gravity aerator, spray, diffuser dan mechanical aerator. Yang disebut terakhir lebih banyak diterapkan pada air limbah, yakni pada proses activated sludge. Adapun yang dibahas di sini hanyalah tipe pertama: gravity aerator. Tipe yang dikupas ini pun masih bisa dibagi lagi menjadi beberapa varian, misalnya inclined apron, perforated pipe, tower with gas flow, dan cascade.

Cascade adalah varian aerator gravitasi yang fisiknya artistik berbentuk tangga, indah dipandang, the art of aeration. Ia serupa dengan tangga (stairs) yang ada di setiap rumah atau kantor, tetapi bukan tangga untuk naik ke pohon kelapa misalnya. Jika dicarikan padanannya dalam bahasa Indonesia, maka nama Aerator Undak (tangga disebut juga undak-undak) dianggap mewakili. Pada Aerator Undak ini air dijatuhkan ke permukaan serial undakan untuk menghasilkan turbulensi dan menimbulkan percikan indah butiran air. Proses aerasinya akan makin bagus kalau ukuran butir airnya makin kecil. Selain itu, lapisan air tipis yang melimpas di atas undakannya juga mendukung terjadinya aerasi. Semakin luas undakannya semakin tinggi efisiensinya.

Aerator Undak seperti gambar terlampir adalah unit yang didesain mengikuti hukum gerak jatuh bebas berlandaskan hukum Newton. Itu sebabnya, elemen penting dalam kalkulasi desainnya adalah head yang tersedia (available head, h atau H) dan umumnya diambil antara 1- 3 m (tetapi jarang yang 1 m). Karena memanfaatkan energi jatuh bebas inilah Aerator Undak dikatakan hemat energi. Kekurangannya tentu saja ada dan ini berkaitan dengan efisiensinya yang lebih rendah daripada tipe lain. Ini dapat dimaklumi karena energinya semata-mata dari energi alami. Oleh sebab itu, unit ini kurang layak digunakan untuk instalasi besar. Lebih cocok untuk debit kecil, misalnya dalam lingkup satu kantor atau pabrik kecil. Namun tetap bisa diterapkan untuk kapasitas besar dengan cara pembagian debit olahan menjadi beberapa unit tipikal. Dengan desain yang tepat, bisalah diperoleh penyisihannya yang tinggi.

Untuk keperluan analisis, Aerator Undak ini didekati dengan prinsip mekanika klasik yang dirilis Isaac Newton dan terangkum dalam Hukum I, II, III Newton. Dari ketiga hukum tersebut, yang langsung berkaitan adalah Hukum II Newton, terutama berkenaan dengan percepatan benda (air). Peran gaya gravitasi begitu dominan ketika air jatuh dalam satu undakan (step) yang menimbulkan percepatan (a, acceleration) atau dalam kasus jatuh-bebas (free fall) ini disebut percepatan gravitasi yang disimbolkan dengan huruf g.

Fe2+ + 1/4O2 + 2OH- + 1/2H2O --> Fe(OH)3.
Mn2+ + O2 --> MnO2 + 2e.

Dari reaksi redoks tersebut bisa dihitung bahwa kebutuhan oksigen untuk mengoksidasi 1 mg/l ion besi adalah 0,14 mg/l. Untuk menghilangkan 1 mg/l ion mangan diperlukan 0,29 mg/l oksigen. Jika debit olahan PDAM 150 l/d, maka kebutuhan oksigen untuk mengoksidasi ion besi = 0,14 mg/l (150 l/d) = 21 mg/d. Jadi per hari dibutuhkan 21 mg/d x 86.400 d/h = 1.814.400 mg/h, atau sama dengan 1,81 ton oksigen per hari. Untuk mengoksidasi mangan: 0,29 mg/l (150 l/d) = 43,5 mg/d. Per hari = 43,5 mg/d x 86.400 d/h = 3.758.400 mg/h, atau sama dengan 3,76 ton per hari. Kebutuhan total oksigen = 5,57 ton per hari.

Tinggal sekarang ditetapkan berapa mg/l ion besi dan mangan yang harus diturunkan dalam air olahan PDAM. Ini bergantung pada kadar ion besi dan mangan di dalam air bakunya dan standar kualitas air minum yang berlaku (besi = 0,3 mg/l; mangan = 0,1 mg/l; menurut Kepmen Kesehatan RI, No. 907/Menkes/SK/VII/2002). Selisih kadar inilah yang harus disisihkan. Dengan perhitungan sederhana bisalah diperkirakan kebutuhan oksigennya, termasuk kapasitas dan jumlah alat-alat aerator yang digunakan jika tidak menggunakan Aerator Undak.

Andaikata yang harus direduksi adalah 1 mg/l seperti contoh di atas, kira-kira mampukah Aerator Undak mentransfer 5,57 ton oksigen per hari untuk mengolah air berdebit 150 l/d? Secara logika memang sulit. Tetapi tetap masih ada peluang kalau diakali dengan cara membuat, misalnya, enam unit Aerator Undak yang masing-masing mengolah 25 l/d. Dengan siasat ini Aerator Undak masih bisa berfungsi optimal sekaligus menambah seni dan indah area instalasi. Demikian dan semoga bermanfaat.*

ReadMore »

9 April 2007

Prahara ”Api” di Bukit Punclut!

PUNCLUT marak lagi! Malah lebih membara ketimbang tiga-empat tahun lalu. Bukit kecil di Bandung Utara (Badut) itu kembali diributkan oleh sejumlah kalangan di kota Bandung. Pasalnya, walikota dianggap menggores luka lama. Memberikan angin segar kepada investor yang akan menguliti tanah gembur di kawasan itu.
Padahal gubernur menyatakan, daerah itu adalah kawasan lindung. Sebab, jauh sebelum ini, sudah ada pelindung Punclut, yaitu SK Gubernur No. 181/1992. Peruntukannya sebagai bentang konservasi air. Dengan SK itu Punclut dizonasi menjadi tiga, yaitu zone hutan lindung, budi daya, dan permukiman. Permukiman ini tentu sangat terbatas dan berupa permukiman akrab berwawasan lingkungan.
Bandung sendiri kini sedang krisis air. Ini faktanya. Potensi air tanah di cekungan Bandung cuma 1.400 l/d. Ini sudah kritis karena eksploitasinya antara 620 - 1.700 l/d. Atau, dari 2.500-an unit sumur bor yang ada sekarang, pemenuhan kebutuhan air warga Bandung mencapai 50 juta m3/tahun. Bahkan bisa lebih dari angka itu.
Selain karena perlombaan mengebor air tanah-dalam antara industri, PDAM, dan masyarakat, penurunan paras (muka, level) air tanah-dalam itu juga diakibatkan oleh kecepatan alirnya yang kurang dari 2 m/tahun. Penurunan ini terdeteksi di antaranya di Batujajar, Cimindi, Ujung Berung dan Majalaya dengan variasi 0,5 - 12 m/tahun. Bahkan di Dayeuhkolot, parasnya telah lebih dari 80 meter di bawah muka tanah.
Kini, kira-kira setengah dari total 268 ha sudah dimiliki pengembang. Pada masa depan bisa saja angka itu bertambah. Tetapi yang tak habis pikir, pemkot seperti mencatut nama warga yang setuju atas rencana tersebut. Malah warga, katanya, bersedia membela pemkot bila ada yang menentangnya. Penentangnya notabene adalah warga Bandung juga. Kalau nanti terjadi banjir yang rugi warga Bandung juga, terutama yang di selatan.

Sesungguhnya, selain sebagai reservoir air, Punclut pun berperan dalam agenda lingkungan Kota Bandung. Di antaranya: erosi, sedimentasi sungai, sistem koleksi air kotor, sistem koleksi dan tempat pembuangan akhir sampah, polusi udara, zonasi pertanian, industri, permukiman, banjir dan drainase kota.
Maka, logislah menetapkan kawasan Badut, misalnya Punclut, menjadi kawasan konservasi, karena secara topografis daerah aliran sungai (DAS) atau hulu sungai berupa bukit atau gunung. Masalahnya, kawasan itu kian susut akibat perambahan permukiman sehingga muncul gangguan fungsi hidrologi. Menimbang hal itu, masih terbukakah peluang membangun di kawasan konservasi, khususnya di Punclut?
Ini sebaiknya didiskusikan lagi. Namun, lantaran pemkot begitu ngotot ingin menata kawasan itu maka saya hanya ingin menulis begini. Tolong wajibkan sewajib-wajibnya investor membuat sumur dan bidang peresap air hujan. Namun jangan yang asal ada dan asal-asalan. Sebab, bidang resap tersebut tak ada gunanya ketika musim kemarau. Jangan-jangan pada musim hujan pun tidak optimal fungsinya. Ini bisa sia-sia.
Atau, izin hanya diberikan untuk rumah panggung. Ini sesuai dengan konsep konservasi air. Jadi, perlu penelitian hidrogeologi agar diketahui kondisi awal resapan sebelum dibangun dan perkiraannya setelah dibangun. Sertakan pula pengawasan ketat, taat asas dan adil agar tidak ada permukiman ikutan yang merugikan kawasan konservasi, bersifat liar dan tak peduli pada masalah lingkungan.
Kewajiban lain investor adalah penghijauan lahan di setiap pinggir jalan agar mampu menahan laju alir air. Tapi jangan dengan perdu semusim atau cuma bertahan tahunan. Juga jangan dengan tanaman yang rakus air. Takut terjadi pengurasan air (water logging). Juga wajib menyediakan titik hijau (green spot) di sudut-dudut dan persimpangan jalan atau daerah khusus dengan memperhatikan stabilitas tanah.
Investor juga mesti menyisihkan dana buat kawasan lindung, reboisasi, dan menyediakan fasilitas drainase ramah lingkungan. Jika ini dipenuhi dengan taat asas dan adil, bukan tidak mungkin kawasan konservasi Punclut dibangun dengan ramah lingkungan alias environmentally friendly.
Lebih jauh lagi, debit S. Cikapundung bisa terganggu. Debit musim hujan dan musim kemarau menjadi ekstrem sehingga nisbah antara debit maksimum dan minimumnya menjadi besar. Ini tidak sehat. Sungai dikatakan sehat apabila nisbah tersebut mendekati 1 dan disebut tidak sehat apabila nisbahnya lebih dari 20. Pada saat bersamaan, pemkot justru tengah gencar-gencarnya berkampanye soal Gerakan Cikapundung Bersih (GCB). Cikapundung dibersihkan setiap bulan sembari memberikan peluang terjadinya polusi dan pengotoran dari Punclut. Ironiskah ini? Tumpang tindih?
Semoga apa yang ditakutkan oleh pegiat lingkungan, yakni terjadinya prahara seperti di dunia persilatan dalam legenda "Api di Bukit Menoreh", tak terjadi di Bukit Punclut.
Enviro Intelligence Center
Gede H. Cahyana
ReadMore »

4 April 2007

Menulis Itu Gampang!

“Ah... masa’? Yang beneeerrr. Nggak ah..., nggak percaya!” Begitulah tanggapan yang muncul setiap saya bicara soal tatatulis, tulis-menulis.

Betulkah gampang? Saya jawab, “betul!” Menulis itu gampang. Segampang bicara. Ini bukan isapan jempol. Sama sekali bukan! Juga bukan bualan. Ini serius, malah tujuhrius. Tak percaya...? Kalau tak percaya, pasti belum dicoba. Sebab, sekali dicoba, dijamin ketagihan. Sungguh. Gimana caranya...?

Secara ringkas, minimal ada tiga cara dalam memulai menulis. Ketiga cara itu bertumpu pada satu hal saja, yaitu berani. Kata “berani” ini justru tak dimiliki oleh orang yang tak mampu menggerakkan penanya di atas kertas atau di kibor komputer. Padahal semua orang, tak peduli tingkat pendidikannya, asalkan bisa membaca dan menulis (dalam arti mengaksara), pasti bisa menulis (dalam arti mengarang cerita atau menulis artikel, berita, dll).

Yang pertama disebut Flashing (tulis-cepat). Apa pun yang berkelebat di otak, tulislah. Cepatlah gerakkan pena di tangan, tulislah walaupun bak cakar ayam, yang penting masih terbaca. Jangan takut, jangan ragu. Cuma ini kuncinya. Sebagai latihan, tataplah selokan atau jalan di dekat rumah atau kantor lalu tulislah sesuatu. Apa saja. Tulis! Teruslah berlatih melihat sesuatu di sekeliling kita lalu tulislah. Lama kelamaan, bayangkan atau khayalkanlah sesuatu lalu tulislah. Tulis saja dan jangan pikirkan tatabahasa, struktur kalimat, dll. Baru setelah itu, setelah usai atau dianggap selesai, mulailah diedit, dibenahi kosakatanya, diasah pola kalimatnya, dijernihkan gaya bahasanya.

Yang kedua, Blooming (tulis-mekar). Cara ini mirip bunga yang sedang mekar, makin lama makin besar dan meluas. Tulislah kelopak-kelopak bunga di sekitar pusatnya. Kelopak ini berisi kata atau frase. Dari setiap kata atau frase tersebut dapat dibuat kalimat, bisa saling berhubungan, bisa juga lepas dan berdiri sendiri. Di sini pun kuncinya tetap sama dengan cara di atas, yaitu “berani dan jangan ragu”. Setiap kelopak akan memunculkan jalinan ide cerita (paragraf) yang boleh jadi berkaitan dan bahkan membentuk jejaring dengan kelopak lainnya. Jejaring inilah yang akan menyatukan setiap tema dalam kelopak dan menjadi untaian tulisan yang padu.

Yang ketiga, Spraying (tulis-pancar). Cobalah mulai dari satu kata. Kata apa saja. Dari satu kata ini, cobalah buat kalimat. Kalimat apa saja. Boleh kalimat berita, boleh kalimat perintah, bisa juga kalimat tanya. Jangan pusing-pusing dengan tata bahasa dan usahlah takut-takut. Susunlah satu kalimat dari sejumlah kata, entah itu sesuai dengan pola SPOK atau yang lainnya. Dari susunan kata ini akan terbentuk kalimat demi kalimat yang akan berkumpul penjadi paragraf.

Cobalah buat satu kalimat yang berisi kata air. Ini contohnya. Semua orang pasti perlu air. Ini kalimat berita. Cobalah susun kalimat tanya. Siapa yang tak butuh air? Berikut ini kalimat perintah. Silakan minum air yang di meja merah, jangan yang di meja biru! Bukankah kalimat-kalimat ini serupa dengan kalimat-kalimat yang sering kita ucapkan sehari-hari? Pasti ada saja kalimat yang kita ujarkan kepada orang lain, teman kita atau kepada siapa saja, setiap hari! Kalau ujaran itu ditulis, baik di kertas maupun di komputer, maka kita sudah menulis.

Setelah satu kalimat itu, cobalah tambah dengan kalimat lainnya. Sebaiknya yang masih terkait dengan air juga. Misalnya begini. Siapa yang tak perlu air? Semua makhluk hidup pasti butuh air. Jangankan manusia, binatang dan tumbuhan saja perlu air. Reratanya, 75% tubuh kita berisi air. Bahkan dalam tulang pun ada air. Malah manusia diciptakan dari air (mani). Syahdan spermatozoa dan sel telur (ovum) pun komponen utamanya adalah air. Jadi, tepatlah kita hidup di planet air ini, yaitu planet Bumi yang 97,3% permukaannya diselimuti air.

Tampaklah, dari satu kalimat lalu ditambah satu kalimat lagi dan dirangkai lagi dengan kalimat berikutnya bisa dihasilkan satu paragraf utuh. Sebaiknya setiap kalimat yang ditulis itu masih terkait dengan kalimat sebelumnya. Boleh berupa penjabaran kalimat sebelumnya, boleh juga berupa kalimat lainnya yang setara atau memberikan penjelasan atas kalimat sebelumnya.
***
Orang bule, konon, mewanti-wanti temannya, “jangan mati sebelum ke Bali.” Entah betul entah salah, ungkapan itu bisa diubah menjadi “jangan mati sebelum menulis”. Kekalkan diri dalam tulisan, dalam buku, dalam artikel, dan dalam blog. Ketika ruh pergi dari tubuh, sang tulisan berupa buku, artikel, cerpen, novel, dan blog akan hidup terus. “Abadi” hingga kiamat. Ia lenyap pas kiamat.

Jadi..., kalau ingin hidup terus, “berumur panjang”, segeralah menulis. Tulis! TuuuuuuuLIS! Lis lis lis. Elvis aja nulis..., menulis lagu sehingga dia “abadi”. *

Gede H. Cahyana
ReadMore »