• L3
  • Email :
  • Search :

22 April 2007

Dunia Lain Kartini

Oleh Gede H. Cahyana

Kartini dipingit, sudah luas diketahui. Beliau berkebaya, sudah pula diikuti. Dijadikan ikon oleh gerakan feminisme di Indonesia, bisa dianggap demikian. Lagu perihal “putri sejati” itu pun sering dinyanyikan anak TK dan SD. Buku kumpulan surat-suratnya, Habis Gelap Terbitlah Terang, boleh jadi tiada yang tak tahu. Tetapi pernahkah kita membacanya atau minimal melihat bukunya?

Ada satu hal lagi. Populerkah “dunia lain” Kartini di mata khalayak? Faktanya, sisi lain ini belum banyak diketahui, malah cenderung dientaskan. Tarung ideologis yang terus membebani psikisnya tak banyak diungkap. Ia menangis menatap kehidupan kaumnya yang ditindas penjajah. Adat Jawa pemasung wanita sebagai dampak buruk kolonial Belanda terus meluas. Sampai-sampai ia dibujuk untuk pindah agama oleh Ny. van Kol. Tegaslah jawabnya,”Yakinlah Nyonya, kami akan tetap memeluk agama kami yang sekarang ini. Serta dengan nyonya kami berharap dengan senangnya, moga-moga kami mendapat rahmat, dapat bekerja membuat umat agama lain memandang agama kami (Islam), patut disukai (21 Juli 1902).
 
Hal kedua yang nyaris tak bergema ialah semangat menulisnya. Kepandaiannya dalam olah kata ini jarang dipaparkan. Ketika jutaan orang Indonesia buta huruf pada akhir abad ke-19 itu, Kartini justru mampu menulis. Tak tanggung-tanggung, selain Zeehandelaar, sahabat penanya adalah keluarga J.H. Abendanon, M.C.E. Ovink Soer, T.H. van Kol, dll. Nilai plusnya kian bertambah lagi lantaran tak semua orang yang (sering) membaca akan mampu pula menulis (dalam arti mengarang) pada zamannya. Lantas, kenapa kepioniran Kartini dalam berkorespondensi tak dijadikan pemicu kemampuan baca-tulis kaum wanita khususnya dan masyarakat umumnya?

Aneh, memang! Padahal sepuluh hari setelah Hari Kartini, yaitu 2 Mei kita memperingati Hari Pendidikan Nasional. Tiga pekan berikutnya sudah pula disambut Hari Kebangkitan Nasional, 20 Mei. Terlebih lagi dimaklumi bersama, hanya lewat pendidikanlah kita bisa bangkit menjadi negara yang tekno-sainstifik. Hanya orang yang melek huruflah yang bakal berkembang ilmunya. Tapi nyatanya pejabat di Depdiknas dan Disdik belum juga optimal menumbuhkan spirit belajar, baik di kalangan guru maupun muridnya. Program yang dirilisnya terbukti sekadar politis dan lips service belaka. Sekali jadi lalu mati. 

Yang juga salah kaprah dan masih terkait dengan Hardiknas dan Harkitnas itu ialah bahwa bangsa ini “bangkit” lantaran kehadiran pergerakan Budi Utomo. Menurut sejarawan George McTuman Kahin, penulis buku Nationalism and Revolution in Indonesia, bukan Budi Utomo pelopor pembaruan pendidikan di Indonesia, melainkan Kartini. Alasannya, terang Prof. Ahmad M. Suryanegara dalam buku Menemukan Sejarah, Kartini tak hanya berjuang untuk perempuan, tetapi juga untuk membangkitkan bangsanya dari kehinaan. Jika ditilik dari waktunya, periode hidupnya memang mendahului periode Budi Utomo.

Namun sayangnya, spirit “pergerakan” Kartini hanya dimaknai secara selintas. Pola peringatannya sama dengan pola puluhan tahun lalu. Tiada kebaruan dalam upaya menghargai perjuangan Kartini. Yang banyak dipublikasikan justru hal remeh seperti kebaya, kain, sanggul dan konde. Anak-anak disuruh mengenakan kebaya sambil melenggang-lenggok. Parahnya lagi, murid lelakinya disuruh mengenakan baju perempuan dan berperilaku seperti perempuan. Lucu memang lucu, tetapi pola didik seperti itu mendekatkannya pada penyimpangan seksual kelak. Lomba itu pun isinya hura-hura, lepas dari aspek kognitif yang menjadi inti perjuangan Kartini. 

Dari sisi sosiologis juga terjadi pemarjinalan spirit Kartini yang jauh dari pola pikir kaum feminis sekarang. Mengatasnamakan pembelaan hak-hak perempuan mereka memlintir hakikat perjuangan Kartini. Di antaranya soal poligami. Tak pernah sekali pun digembar-gemborkan oleh pemerintah, apalagi oleh aktivis perempuan bahwa Kartini ketika menikah berstatus menjadi istri keempat. Djojoadiningrat, suaminya itu, sudah beristri tiga dengan tujuh anak ketika menikahi Kartini. Putri tertua suaminya hanya terpaut delapan tahun dengannya. Perkawinannya itu berlangsung pada 8 November 1903. 

Patut pula diakui, sebelumnya Kartini menentang praktik poligami. Tapi yang dicercanya ialah raja atau susuhunan yang istrinya puluhan. (NB: Amangkurat I menanggalkan gelar Sultan lalu menyandang gelar Susuhunan sebagai ekspresi penolakan atas pengaruh ulama yang bergelar Suhunan. Dia menambah suku kata “su” sehingga menjadi dua kali, yaitu Susuhunan sekaligus menolak syariat Islam termasuk hukum pernikahan: maksimum empat istri. Maka terjadilah perkawinan tanpa batas. Hal ini juga terjadi di Bali (zuriat raja-raja di Bali). Tak dapat dimungkiri, raja-raja itu memang memiliki berhektar-hektar tanah dan menerima “upeti” dari “rakyatnya” setiap panen. Kekayaannya, untuk lingkup lokal memang luar biasa. Membiayai 30 anak pun mereka mampu dan tanpa masalah!

Kembali ke soal Kartini. Justru di situlah letak masalahnya, yaitu fenomena yang menyeruak ke masyarakat dan dengan gegabah mengganti hukum syariat Islam dengan hukum adat yang mengizinkan lelaki menikahi perempuan sebanyak-banyaknya. Oleh sebab itu, ia menulis surat kepada Zeehandelaar yang isinya kisah nestapa perempuan Surakarta pada masa itu. Katanya,” Di sana hampir tiada seorang juga laki-laki yang perempuannya hanya seorang, dalam kalangan bangsawan, terutama lingkungan susuhunan seorang laki-laki sampai 26 orang perempuannya.Ini ditulisnya pada 23 Agustus 1900, tiga tahun sebelum ia menikah. Demikian tulis sejarawan Ahmad M. Suryanegara dalam buku tersebut.

Kegeramannya melihat jahiliah sosial itu akhirnya diabadikan dalam suratnya kepada Stella. “Aku hendak, aku mesti menuntut kebebasanku. Stella, aku hendak perdengarkan kepadamu. Manakah aku akan menang bila tiada berjuang. Manakah aku akan mendapatkan bila aku tiada mencari. Tiada perjuangan, tiada kemenangan; aku berjuang Stella, aku akan merebut kemerdekaanku. Aku tidak gentar karena keberatan dan kesukaran, perasaanku aku cukup kuat mengalahkan semuanya itu”. Curahan hatinya itu menjadi penguat betapa Kartini, waktu itu usianya 21 tahun (1879 – 1900), membenci hukum adat. Ia melawan dengan sekuat tenaga justru ketika perempuan lain sezamannya nrimo-nrimo saja dan terseret arus kebelanda-belandaan. 

Patutlah dikedepankan, sikap renaisans pemahaman Kartini itu dipicu oleh Qur’an. Ia menulis surat kepada anak Abendanon yang bernama E. C. Abendanon,” Alangkah bebalnya, bodohnya kami, kami tiada melihat, tiada tahu, bahwa sepanjang hidup ada gunung kekayaan di samping kami. Kartini telah mengikrarkan kitab suci agamanya sebagai gunung kekayaan (ilmu).” Kemudian hadirlah deretan kata yang “abadi” dan selalu dikutip pada Hari Kartini. Ini terjadi pada 17 Agustus 1902,” Sekarang ini kami tiada mencari penghibur hati pada manusia, kami berpegang teguh-teguh di tangan-Nya. Maka hari gelap gulita pun menjadi terang, dan angin ribut pun menjadi sepoi-sepoi.” Kata-kata “habis gelap terbitlah terang” itu bersumber pada Al Qur’an: minazh zhulumati ilan nur

Akhirnya, mari peringati Hari Kartini dengan cara yang mendidik, tak sekadar berkebaya, bersanggul-konde dan berjalan pelan bak siput. Jangan “racuni” anak TK dan SD dengan model jahiliah lantaran Kartini membenci kejahiliahan itu. Beliau justru ingin menerangi, agar habislah kegelapan ini menjadi keterangan. Gantilah pola perayaannya dengan lomba yang meningkatkan kualitas pikiran seperti lomba menulis (surat, cerpen, novel, artikel, pidato, dll) agar mampu menulis seperti Kartini. ***

1 komentar: