• L3
  • Email :
  • Search :

9 April 2007

Prahara ”Api” di Bukit Punclut!

PUNCLUT marak lagi! Malah lebih membara ketimbang tiga-empat tahun lalu. Bukit kecil di Bandung Utara (Badut) itu kembali diributkan oleh sejumlah kalangan di kota Bandung. Pasalnya, walikota dianggap menggores luka lama. Memberikan angin segar kepada investor yang akan menguliti tanah gembur di kawasan itu.
Padahal gubernur menyatakan, daerah itu adalah kawasan lindung. Sebab, jauh sebelum ini, sudah ada pelindung Punclut, yaitu SK Gubernur No. 181/1992. Peruntukannya sebagai bentang konservasi air. Dengan SK itu Punclut dizonasi menjadi tiga, yaitu zone hutan lindung, budi daya, dan permukiman. Permukiman ini tentu sangat terbatas dan berupa permukiman akrab berwawasan lingkungan.
Bandung sendiri kini sedang krisis air. Ini faktanya. Potensi air tanah di cekungan Bandung cuma 1.400 l/d. Ini sudah kritis karena eksploitasinya antara 620 - 1.700 l/d. Atau, dari 2.500-an unit sumur bor yang ada sekarang, pemenuhan kebutuhan air warga Bandung mencapai 50 juta m3/tahun. Bahkan bisa lebih dari angka itu.
Selain karena perlombaan mengebor air tanah-dalam antara industri, PDAM, dan masyarakat, penurunan paras (muka, level) air tanah-dalam itu juga diakibatkan oleh kecepatan alirnya yang kurang dari 2 m/tahun. Penurunan ini terdeteksi di antaranya di Batujajar, Cimindi, Ujung Berung dan Majalaya dengan variasi 0,5 - 12 m/tahun. Bahkan di Dayeuhkolot, parasnya telah lebih dari 80 meter di bawah muka tanah.
Kini, kira-kira setengah dari total 268 ha sudah dimiliki pengembang. Pada masa depan bisa saja angka itu bertambah. Tetapi yang tak habis pikir, pemkot seperti mencatut nama warga yang setuju atas rencana tersebut. Malah warga, katanya, bersedia membela pemkot bila ada yang menentangnya. Penentangnya notabene adalah warga Bandung juga. Kalau nanti terjadi banjir yang rugi warga Bandung juga, terutama yang di selatan.

Sesungguhnya, selain sebagai reservoir air, Punclut pun berperan dalam agenda lingkungan Kota Bandung. Di antaranya: erosi, sedimentasi sungai, sistem koleksi air kotor, sistem koleksi dan tempat pembuangan akhir sampah, polusi udara, zonasi pertanian, industri, permukiman, banjir dan drainase kota.
Maka, logislah menetapkan kawasan Badut, misalnya Punclut, menjadi kawasan konservasi, karena secara topografis daerah aliran sungai (DAS) atau hulu sungai berupa bukit atau gunung. Masalahnya, kawasan itu kian susut akibat perambahan permukiman sehingga muncul gangguan fungsi hidrologi. Menimbang hal itu, masih terbukakah peluang membangun di kawasan konservasi, khususnya di Punclut?
Ini sebaiknya didiskusikan lagi. Namun, lantaran pemkot begitu ngotot ingin menata kawasan itu maka saya hanya ingin menulis begini. Tolong wajibkan sewajib-wajibnya investor membuat sumur dan bidang peresap air hujan. Namun jangan yang asal ada dan asal-asalan. Sebab, bidang resap tersebut tak ada gunanya ketika musim kemarau. Jangan-jangan pada musim hujan pun tidak optimal fungsinya. Ini bisa sia-sia.
Atau, izin hanya diberikan untuk rumah panggung. Ini sesuai dengan konsep konservasi air. Jadi, perlu penelitian hidrogeologi agar diketahui kondisi awal resapan sebelum dibangun dan perkiraannya setelah dibangun. Sertakan pula pengawasan ketat, taat asas dan adil agar tidak ada permukiman ikutan yang merugikan kawasan konservasi, bersifat liar dan tak peduli pada masalah lingkungan.
Kewajiban lain investor adalah penghijauan lahan di setiap pinggir jalan agar mampu menahan laju alir air. Tapi jangan dengan perdu semusim atau cuma bertahan tahunan. Juga jangan dengan tanaman yang rakus air. Takut terjadi pengurasan air (water logging). Juga wajib menyediakan titik hijau (green spot) di sudut-dudut dan persimpangan jalan atau daerah khusus dengan memperhatikan stabilitas tanah.
Investor juga mesti menyisihkan dana buat kawasan lindung, reboisasi, dan menyediakan fasilitas drainase ramah lingkungan. Jika ini dipenuhi dengan taat asas dan adil, bukan tidak mungkin kawasan konservasi Punclut dibangun dengan ramah lingkungan alias environmentally friendly.
Lebih jauh lagi, debit S. Cikapundung bisa terganggu. Debit musim hujan dan musim kemarau menjadi ekstrem sehingga nisbah antara debit maksimum dan minimumnya menjadi besar. Ini tidak sehat. Sungai dikatakan sehat apabila nisbah tersebut mendekati 1 dan disebut tidak sehat apabila nisbahnya lebih dari 20. Pada saat bersamaan, pemkot justru tengah gencar-gencarnya berkampanye soal Gerakan Cikapundung Bersih (GCB). Cikapundung dibersihkan setiap bulan sembari memberikan peluang terjadinya polusi dan pengotoran dari Punclut. Ironiskah ini? Tumpang tindih?
Semoga apa yang ditakutkan oleh pegiat lingkungan, yakni terjadinya prahara seperti di dunia persilatan dalam legenda "Api di Bukit Menoreh", tak terjadi di Bukit Punclut.
Enviro Intelligence Center
Gede H. Cahyana

Tidak ada komentar:

Posting Komentar