Dua hari berturut-turut saya sempat “mengawasi” kampus IPDN. Tak seperti biasanya setiap lewat di sana, pada hari itu hanya sedikit prajanya berada di depan kampus. Yang berjaga di gerbang tetap ada, duduk-duduk saja, tidak show of force. Pada Rabu (11/4) terjadi demo yang mengutuk serial kekerasan di kampus luas-megah itu. Tampak mobil Patwal dan polisi serta petugas lainnya. Kampus lengang. Tak lagi tampak “keangkeran”. Sejak bernama APDN, kampus peninggalan pola didik-asuh masa Orde Baru ini selalu setia pada tradisinya, yaitu olah otot.
Suatu kali, ketika masih bernama APDN saya sempat berbincang dengan enam orang mahasiswa APDN. Waktu itu kami berbincang di atas kapal yang mengantarkan kami melintasi Selat Bali. Saya pulang ke Bali dan mereka ke Lombok. Dari nada bicaranya, mereka bangga menjadi mahasiswa APDN. Pakaian dan atributnya lengkap. Spirit korpsnya tinggi. Seorang praja perempuan begitu percaya diri. Inikah didikan APDN ataukah murni sifatnya yang pemberani? Saya tidak tahu. Sebab, itulah pertemuan pertama sekaligus terakhir saya dengan mereka. Saya tak pernah bertemu lagi dengan mereka sampai sekarang.
Setelah melewati masa keemasan dengan mahasiswa dari seluruh Indonesia dan berbeasiswa, akademi ini akhirnya diubah menjadi STPDN. Jenjang stratanya naik menjadi strata satu (S1) sehingga alumninya berhak mencantumkan gelar sarjana. Sebagai sekolah tinggi tentu saja diharapkan kelak menghasilkan pegawai administratif dan menjadi penyelenggara pemerintahan di daerah. Mereka menjadi PNS di daerahnya masing-masing, daerah yang memberinya beasiswa dengan harapan dapat memajukan masyarakatnya, bukan membebaninya. Namun terbersit juga berita, ada KKN (khususnya nepotisme) dalam masa pengiriman itu. Di beberapa daerah justru terjadi penunjukkan langsung dan putarannya di kalangan saudara pejabat setempat.
Ketika menjadi STPDN itulah kegiatan plonco kian menjadi-jadi karena merasa dibutuhkan dan telah pula resmi sebagai pegawai negeri yang sarjana. Patut diakui, di berbagai perguruan tinggi juga terjadi perploncoan. Hanya saja, taraf “intimidasinya” tidaklah sedalam di STPDN. Senioritas memang ada, tetapi perlu digarisbawahi bahwa senioritas ini hanya berlaku ketika perploncoan saja. Setelah selesai dan kembali ke bangku kuliah, justru tak ada lagi senioritas. Malah tak sedikit mahasiswa yang memlonco itu ikut kuliah bareng dengan adik kelasnya dan justru adik kelasnya lebih pintar dan lebih bagus nilai akademiknya. Kakak kelas belajar kepada adik kelasnya.
Ternyata hal demikian tak terjadi di STPDN. Seolah-olah terjadi plonco selama menjadi mahasiswa. Senioritas lebih berkuasa daripada kekeluargaan. Yang muda harus “hormat” tanpa reserve kepada yang tua. Kalau tidak, hukuman yang diterimanya akan berat. “Dikeroyok” oleh seniornya. Ini pun menjadi bukti bahwa pihak kampus tak belajar atas kasus kematian praja pada masa lalu. Seolah-olah mati lantaran penyiksaan menjadi hal sepele. Mati memang hal biasa. Yang tidak biasa adalah cara menuju kematian. Apalagi kalau caranya dengan kekerasan. Itu sebabnya, rekan saya menyebut IPDN sebagai Institut Pukul dan Dendam Nasional. Tak adakah yang mampu mengubah tradisi buruk itu sehingga menganggap pukulan dan tendangan di perut dan dada sebagai snack? Bentakan dan makian sebagai nyanyian merdu dan intimidasi adalah kartu remi yang mesti dimainkan?
Faktanya, dan ini puncak gunung es, dari tahun ke tahun selalu saja ada nyawa yang melayang lantaran “keangkuhan” seniornya. Meskipun pemecatan menggema ke seantero nusantara, ternyata kasus penyiksaan dan intimidasi terus terjadi. Andaikata tak ada lagi praja yang meninggal maka IPDN tetap bergeming dalam pola lama, yaitu pola didik yang “menuhankan” otot ketimbang otak. Tak bisa dibantah, manusia memang harus sehat fisiknya. Namun demikian, seorang pamong tak perlu berotot kawat untuk dapat melaksanakan tugasnya. Dia tak perlu kuat mengangkat barang satu kwintal, tak perlu tegap seperti binaragawan. Yang terpenting, fisiknya sehat normal, tidak sakit dan dapat berpikir normal rasional. Inilah kunci pengabdian seorang pamong.
Apalagi tugasnya nanti sudah jelas, yaitu mengurus kepentingan masyarakat, lantas kenapa sifat-sifat kearifan tak dimulai dari dirinya? Kenapa mereka selalu melampiaskan kekesalan dan dendam kepada juniornya. Apakah dengan memukul telak dada seorang praja maka tubuhnya menjadi kuat? Apakah dengan memukul perut dapat mengekarkan ototnya? Padahal dalam binaraga dan tinju, pukulan itu dilakukan setelah perut dan dadanya dilatih khusus dalam waktu lama. Tapi ini justru terjadi pada praja muda yang baru saja masuk IPDN. Tentu tidak semua praja berfisik kuat dan berotot kawat. Buktinya, jatuh korban, tak hanya tewas tapi juga dirawat di rumah sakit atau mengundurkan diri, kembali ke orang tuanya dengan torehan luka fisik dan luka hati.
Bayangkan, apa yang akan terjadi kalau fisiknya biasa-biasa saja lantas dadanya dipukul dan perutnya ditendang. Sesak napas dan sakitnya tak perlu ditanyakan lagi. Andaikata tulang iganya retak atau organ tubuhnya terganggu bukankah ini berpotensi menimbulkan sakit. Kalau setelah lulus penyakitnya tambah parah tentu lulusan IPDN tak bisa bekerja optimal melayani warganya. Padahal sudah jutaan uang negara (rakyat) dipakainya ketika sekolah. Bukankah ini kontraproduktif atas kinerjanya yang diidam-idamkan sebelum menjadi mahasiswa dan itu pula perjanjian yang dibuat dengan pemerintah daerah yang mengirimnya. Wajarlah lantas ada pemerintah daerah yang tak bakal mengirimkan lagi warganya untuk kuliah di kampus yang berlokasi di Jatinangor itu.
Anehnya, jajaran Depdagri diam seribu basa. Mereka baru bereaksi setelah diketok oleh kematian praja, sama seperti kejadian sebelumnya. Kenapa deretan kematian itu tak jua mempan atau tak memberikan pukulan telak kepada sivitas akademikanya? Pasti ada rahasia dan orang luar tak tahu apa yang terjadi di asrama. Disinyalir, ada ratusan seks bebas, penganiayaan (keras, ringan), pelecehan seksual, dan narkoba. Informasi dari Inu Kencana patut dipertimbangkan. Secara berseloroh Koordinator Kopertis Wil. IV dalam sambutannya pada Penataran Akreditasi Perguruan Tinggi (BAN-PT, 10 – 12 April 2007) menyebutkan bahwa STPDN atau IPDN itu tak sesuai dengan UU Sisdiknas. Pasalnya, kampus itu tidak berada di bawah Depdiknas (Dikti). Dengan kata lain, menurut Prof. Dr. Ir. H. Rochim Suratman, sekolah calon pamong praja itu tidak sah alias ilegal. Ilegal dengan landasan UU Sisdiknas. Dengan bergurau beliau berkata, bubarkan saja.
Perlukah dibubarkan? Dalam hemat penulis, ada jalan tengah, yaitu ubahlah menjadi sekolah tinggi yang berada di lingkup Depdiknas dan pola rekrutmennya diubah 180 derajat. Tak perlu ada asrama untuk semua mahasiswa. Sebaiknya mahasiswa berbaur dengan masyarakat di sekitar kampus dan ini pasti makin memperkuat daya juangnya untuk warganya nanti. Mereka harus tahu kehidupan nyata masyarakat yang sering dipersulit ketika berurusan dengan pemerintah (daerah). Begitu pula, beasiswa jangan untuk semua mahasiswa tetapi berikan secara selektif untuk yang prestatif, lemah ekonomi dan dapat menunjukkan pengabdiannya kepada warga di sekitar kampus. Apapun bentuknya, yang penting bernilai positif.
Ubah pula seragamnya. Tak perlu memakai seragam ketat itu. Selain mengurangi kelancaran peredaran darah, seragam seperti itu cenderung egosentris dalam kelompok. Setiap kelompok mahasiswa yang berbaju seperti itu akan cenderung punya spirit korps yang berlebihan sehingga menimbulkan perasaan sombong. Merasa hebat dan kuat serta merasa paling “berkuasa”. Kalau sejak di bangku kuliah saja mereka dipola dengan cara buruk seperti itu maka pemerintahan (daerah) pasti akan rusak justru oleh pamongnya. Intimidasi atas kepentingan masyarakat bakal menjadi kebiasaan. Inikah yang diharapkan oleh Depdagri?
Kalau demikian, apa yang mesti dikedepankan dalam mereformasi IPDN? Jawabnya hanya satu dan ini seperti perguruan tinggi lainnya, yaitu otak dan inklud di dalamnya adalah hati. Otak dan cahaya hati jauh lebih berguna ketimbang kekuatan otot. Kita tahu petinju Mike Tyson yang terlalu mengandalkan kekuatan ototnya bisa dikalahkan oleh petinju yang cerdik meskipun fisiknya tak sekuat Tyson. Kita juga tahu kisah Daud dan Goliath, betapa Daud menang meskipun fisiknya kalah jauh dibandingkan lawannya itu. Kita pun tahu Stephen Hawking, seorang yang fisiknya cacat total tetapi otaknya bersinar terang, seterang matahari dalam makrokosmos yang dirisetnya.
Terlebih lagi kalau dikaitkan dengan pelayanan masyarakat, maka kekuatan otak dan hati jauh lebih berguna ketimbang otot. Dalam tugasnya seorang pamong praja lulusan IPDN atau apa pun namanya takkan bertugas sambil berlari-lari. Pasti yang dibutuhkan adalah kecerdasan otaknya. Misalnya, mampu membuat konsep baru dalam layanan masyarakat dan membarukan peraturan usang yang merugikan warganya. Pamong peduli warga inilah yang justru dibutuhkan pada masa kini. Jadi, kekuatan fisik seperti binaragawan atau petinju tak perlu lagi. Yang diperlukan ialah kekuatan otak dan hati.
Akhir kata, semoga IPDN dapat mengubah dirinya sebelum berencana mengubah masyarakatnya. Mulailah dari diri sendiri dan tunjukkan kepada masyarakat bahwa perilakunya sudah humanis. Kalau memanusiakan kawan sendiri (junior) saja tak mampu apatah lagi memanusiakan warganya yang tak dikenal, bukan? Selamat berubah. *
Gede H. Cahyana
Tidak ada komentar:
Posting Komentar