Semua Dosen adalah Profesor?
Oleh Gede H. Cahyana
Pada awal Agustus 2019, sempat viral
cuplikan Keputusan MenRistekDikti No. 164/M/KPT/2019 tentang Penyebutan Jabatan Akademik Dosen dalam Bahasa Inggris pertanggal 8 Mei 2019. Namun demikian, sebetulnya sebutan itu sudah ada enam bulan lalu, ada di PermenRistekDikti No. 7/2019 tentang Perpindahan Dosen WNI dari PT LN
ke PT DN. Permen ini resmi berlaku sejak 4 Februari 2019, yaitu enam bulan yang
lalu. Tetapi heboh di medsos baru saja beberapa hari lalu. Yang dihebohkan
adalah secuplik kalimat berkenaan dengan sebutan jabatan fungsional
dosen dalam bahasa Inggris. Sebetulnya sudah sejak dulu, katakanlah sejak tahun
1990-an, misalnya di Jepang, istilah seperti Associate Professor itu memang
sudah ada. Dosen ini belum mencapai derajat professor dalam makna Guru Besar di
peraturan yang berlaku di Indonesia. Masih setingkat di bawahnya.
Namun demikian, ada sisi positif dari
heboh tersebut. Sesungguhnya semua dosen adalah professor. Ini dimaknai sebagai
sebutan. Hanya saja, selama ini, sejak dulu hingga kini, menyantumkan sebutan jafung di depan nama seorang dosen
memang tidak biasa. Kecuali dosen yang sudah berjafung Guru Besar atau professor.
Ini berbeda dengan di kepolisian dan ketentaraan. Setiap anggota polisi dan TNI
selalu saja dicantumkan sebutan pangkatnya di depan namanya.
Ada Kolonel TNI Supangat. Ada Letkol TNI Supandi. Atau Letjen. TNI Prawiradirja. Bahkan yang sudah pensiun pun tetap menyantumkan pangkatnya disertai Purn (Purnawirawan). Tidak demikian dengan profesi dosen. Jarang yang menyantumkan misalnya: Lektor Surapati, S.T., M.T. Atau Lektor Kepala Dr. Susanto, S.T., M.T. Yang biasa adalah Prof. Dr. Widyawati, S.T., M.T. Jangankan di luar kampus, di dalam surat-menyurat internal kampus pun jarang penulisan tersebut selain untuk jafung Guru Besar. Yang ditulis tentu bukan Guru Besar Dr. Ir. Airlangga, M.T tetapi Prof. Dr. Ir. Airlangga, M.T.
Ada Kolonel TNI Supangat. Ada Letkol TNI Supandi. Atau Letjen. TNI Prawiradirja. Bahkan yang sudah pensiun pun tetap menyantumkan pangkatnya disertai Purn (Purnawirawan). Tidak demikian dengan profesi dosen. Jarang yang menyantumkan misalnya: Lektor Surapati, S.T., M.T. Atau Lektor Kepala Dr. Susanto, S.T., M.T. Yang biasa adalah Prof. Dr. Widyawati, S.T., M.T. Jangankan di luar kampus, di dalam surat-menyurat internal kampus pun jarang penulisan tersebut selain untuk jafung Guru Besar. Yang ditulis tentu bukan Guru Besar Dr. Ir. Airlangga, M.T tetapi Prof. Dr. Ir. Airlangga, M.T.
Mari lihat PermenRistekDikti tersebut.
Fokus permen ini adalah alih-abdi. Alih-abdi adalah dosen WNI yang sudah
mengajar di kampus di negeri manca, kemudian ingin pulang ke RI, ingin mengajar
di PT di RI dan ingin disetarakan profesi yang dilakoninya. Artinya, mbok ya
jangan disuruh berkarir dari awal lagi. Hal ini menjadi no problem kalau ia
mengajar di PTS. Ini bergantung pada yayasan, terutama rujukan pada Statuta. Bagaimana
dengan statusnya sebagai PNS? Apakah harus dari awal lagi? Atau yang diakui
adalah setengah masa kerja seperti yang berlaku di Indonesia? Artinya, dosen
yang sudah mengajar di PTS selama 20 tahun (termasuk di LN), kemudian menjadi PNS, maka masa
kerja yang diakui hanyalah 10 tahun. Ini perlu dikaji agar tidak terjadi
cemburu-cemburu buta.. He he he….Sabar…sabar. Ini sudah dan sedang terjadi kok.
Mari lihat Kepmen 164/M/KPT/2019, fokus keputusan ini adalah sebutan seperti gambar di atas. Artinya, boleh saja dosen menyisipkan Assistant Professor di depan namanya. Misal Prof. Ast. Rosmawati, S.Si., M.Si. Atau Associate Professor, misal Prof.Asc. Dr. Purnamasidi, S.Pd., M.Pd. Juga Professor, misal Prof. Dr. Sudarman, S.Psi. M.Psi. Jadi…., semua dosen adalah professor? Ya …betul. Menurut istilah dan fungsinya. Tapi tentu berbeda dalam hak dan kewajibannya. Beda dalam tunjangan rupiahnya. Beda juga dalam prestisenya. Ajuan proposal riset, proposal PkM (Pengabdian kepada Masyarakat) juga membedakan stratifikasi jafung ini. Ada yang boleh menjadi ketua, ada yang hanya boleh menjadi anggota saja lantaran jafungnya masih asisten atau lektor misalnya, meskipun sebutan dalam bahasa Inggrisnya tetap saja Asisstant Profesor (Prof. Ast.)
Separasi ini bagus, baik, dan benar. Harus dibedakan dalam kualitas atau mutu dosen. Inilah yang akan memajukan pendidikan dan penelitian di Indonesia. Sivitas akademika akan makin sadar dan paham bahwa untuk memajukan kampus adalah dengan cara memajukan SDM atau dosen. Makin banyak dosen yang tinggi jafungnya maka makin maju kampusnya. Maju dalam makna peringkat akademik, bukan berdasarkan gaji. Sebab, gaji dosen banyak yang tinggi lantaran jumlah mahasiswanya membludak tetapi rating kampusnya tetap rendah. Ini harus dibedakan.
Mari lihat Kepmen 164/M/KPT/2019, fokus keputusan ini adalah sebutan seperti gambar di atas. Artinya, boleh saja dosen menyisipkan Assistant Professor di depan namanya. Misal Prof. Ast. Rosmawati, S.Si., M.Si. Atau Associate Professor, misal Prof.Asc. Dr. Purnamasidi, S.Pd., M.Pd. Juga Professor, misal Prof. Dr. Sudarman, S.Psi. M.Psi. Jadi…., semua dosen adalah professor? Ya …betul. Menurut istilah dan fungsinya. Tapi tentu berbeda dalam hak dan kewajibannya. Beda dalam tunjangan rupiahnya. Beda juga dalam prestisenya. Ajuan proposal riset, proposal PkM (Pengabdian kepada Masyarakat) juga membedakan stratifikasi jafung ini. Ada yang boleh menjadi ketua, ada yang hanya boleh menjadi anggota saja lantaran jafungnya masih asisten atau lektor misalnya, meskipun sebutan dalam bahasa Inggrisnya tetap saja Asisstant Profesor (Prof. Ast.)
Separasi ini bagus, baik, dan benar. Harus dibedakan dalam kualitas atau mutu dosen. Inilah yang akan memajukan pendidikan dan penelitian di Indonesia. Sivitas akademika akan makin sadar dan paham bahwa untuk memajukan kampus adalah dengan cara memajukan SDM atau dosen. Makin banyak dosen yang tinggi jafungnya maka makin maju kampusnya. Maju dalam makna peringkat akademik, bukan berdasarkan gaji. Sebab, gaji dosen banyak yang tinggi lantaran jumlah mahasiswanya membludak tetapi rating kampusnya tetap rendah. Ini harus dibedakan.
Sekadar contoh, ada kampus yang fisik
bangunannya biasa saja, hanya dua lantai, tetapi mendapatkan predikat
akreditasi Unggul A atau Sangat Baik B. Jafung SDM-nya mumpuni. Banyak yang Lektor
Kepala. Banyak juga yang Lektor. Asisten Ahli hanya segelintir. Guru Besar ada
satu dua. Isi lab-nya tidak banyak tetapi semua alat yang dibutuhkan dalam
praktikum sebagai latihan keterampilan sudah tersedia. Alatnya alat lama, bukan
keluaran baru. Tetapi terawat oleh laboran dan personil di lab-nya. Hasilnya
tidak kalah dengan kampus negeri. Jurnal-jurnal ilmiah bertebaran di dunia maya
oleh mayoritas dosennya. Mereka produktif menulis. Dosennya punya
self-confidence yang tinggi. Memang tidak banyak yang terbit dengan indeks Scopus atau WoS, tetapi ada yang
di jurnal internasional. Banyak yang menulis di jurnal nasional. Baik
berakrediatasi maupun yang tidak.
Kembali lagi, bagaimana dengan perihal viral cuplikan KepmenRistekDikti itu? Tentu tak apa-apa.
Bagus malah. Saripati dari banyak komentar di grup medsos tentang “semua dosen
adalah profesor” itu bermakna bahwa sebutan itu
penting bagi dosen. Secara psikologis bisa mendamaikan hati. Apapun
jafungnya dalam bahasa Indonesia, tetapi dalam bahasa Inggris disebut sebagai professor
dengan tambahan satu kata di depannya (penulisannya Prof. Ast., Prof. Asc., dan Prof.). Ini saja sudah menyenangkan bagi dosen.
Apalagi kalau tunjangannya juga dinaikkan. Bagaimana Pak Menteri RistekDikti, setuju kan? *
Wah ini Info yang sangat menggembirakan bagi dosen, seperti kita-kita ini. Artinya sah-saha sj bila kita yang Lektor Kepala menulis namanya dg Prof. Asc. Dr. Muhammad Ali, M.A, misalnya. Atau yang Lektor menulis namanya dg gelar Prof. Ast. Dr. Ahmad Soni, M.Pd. Alhamdulillah. Ini Show Up yang positif. Mksh.
BalasHapussaya setuju jika sebutan nama lektor kepala diubah menjadi Prof.Asc. biar adil dengan yang Prof. Masa hanya prof saja yang diharga jabatan yang lain kan juga ijut mencerdaskan bangsa. terima kasih
BalasHapus