• L3
  • Email :
  • Search :

25 Januari 2008

PLTSa Ibarat Khamr

Dimuat di Kompas Jawa Barat, 24 Januari 2008.

Agenda lingkungan yang penting di Bandung pada awal 2008 ini adalah PLTSa. Enam bulan lalu pemkot bertekad meletakkan batu pertama PLTSa pada 8 Januari 2008 tetapi beralih menjadi penanaman pohon. Anehnya, ketika Amdal sedang dalam proses dan belum jelas apakah akan layak sebagai pelicin PLTSa, pemkot malah sudah memastikan pembuatan pabrik itu. Fatalnya lagi, di setiap tatap muka dengan tokoh atau dianggap tokoh yang pro atau diskenariokan pro-PLTSa (yang notabene kumpulan orang awam terhadap insinerasi, waste to energy, wasted energy) pemkot selalu memakai kacamata kuda dalam mendeklarasikan pembuatan pabrik itu. Yang menyedihkan, “tokoh” dan orang-orang itu senantiasa mengatasnamakan masyarakat banyak.

Cultural Dope
Harus diakui, apapun istilahnya, ada satu tradisi lama yang jelas terlihat di permukaan ranah sosial berkaitan dengan tokoh masyarakat. Pelibatan tokoh atau “tokoh” dalam upaya membangun sesuatu yang berskala besar dan tinggi sensitivitasnya selalu saja memperalat elite di perguruan tinggi, tokoh sosial budaya, kekuatan ekonomi dan politik. Pola ini mengacu pada anggapan bahwa masyarakat awam selalu bisa dibodohi dan akan manut-manut saja kalau tokohnya sudah bicara dan memutuskan sesuatu. Rakyat awam atau wong cilik dianggap kumpulan orang bodoh yang diyakini akan mengekor pejabat atau tokoh masyarakat. Inilah yang disebut cultural dope.

Secara psikoanalisis, opini yang memandang dan memola masyarakat sebagai kelompok bodoh sesungguhnya sudah memperkosa demokrasi dan memperdaya masyarakat dengan “candu”. Terlebih lagi memasang banyak spanduk di semua sudut kota dengan klaim dan mengatasnamakan forum ormas, LSM, gerobak kuning, dan banyak lagi yang lain. Di sinilah kekuatan uang dan wewenang bicara lantang. Jauh lebih parah lagi ketika unsur ulama dilibatkan untuk mengucapkan satu kata: “setujuuu”. Perilaku ini justru memupuk politik pecah belah di antara tokoh agama yang membahayakan persatuan - kesatuan bangsa.

Ibarat Khamr
Patut diakui, khamr memang ada manfaatnya. Bagi penikmatnya, khamr dianggap malaikat pemberi ketenangan. Siapa saja yang meneguknya akan menjadi ringan pikirannya, lepas beban hidupnya. Setelah itu tubuhnya terasa nyaman, dapat berpikir, dan bekerja dalam aktivitas rutinnya. Dulu, kata ustadz, khamr masih dibolehkan dan larangannya diterapkan secara bertahap. Karena madaratnya lebih banyak daripada manfaatnya, akhirnya khamr itu dilarang atau diharamkan dalam Islam.

Kalau ibarat ini diambil, PLTSa pun ada manfaatnya. Manfaatnya itu terasa bagi siapa saja yang belum sadar akan dampak buruk yang bakal menimpanya. Seperti khamr, pada awalnya nikmat, bahkan bisa fly, tetapi lama-lama menjadi ketagihan dan akhirnya merusak organ tubuh, kesadaran berpikir, dan cidera psikologis. Patut diakui, tak seorang pun dapat menolak bahwa PLTSa bisa menghasilkan listrik. Namanya saja pembangkit listrik, tentu saja dapat menghasilkan listrik. Hanya saja, berapa efisiensinya, bagaimana efektivitas transformasi energinya, ini yang dipertanyakan. Betulkah lebih efisien mengolah sampah dengan PLTSa daripada teknologi lainnya? Belum lagi kalau dikaitkan dengan ancaman kesehatan, pendidikan masyarakat, dan kelanggengan fungsi ekologi.

Hal tersebut sama persis dengan pertanyaan, betulkah khamr bermanfaat dan sebesar apa manfaatnya? Yang kecanduan tentu saja mengatakan bahwa khamr itu sangat nikmat dan bermanfaat menjaga kebugaran tubuhnya. Tetapi yang tahu efeknya terhadap kesehatan, apalagi bagi dokter spesialis khamr (dan narkoba) akan berkata dengan tegas bahwa madaratnya jauh lebih banyak.

Fikih Prioritas
Dalam agama, ada ajaran yang mengajak kita untuk memilih sesuatu berdasarkan neraca baik-buruknya, manfaat-madaratnya. Kalau ada beberapa alternatif yang semuanya berisi madarat dan manfaat, maka pilihlah yang paling sedikit madaratnya, pilih yang banyak manfaatnya. Tak dimungkiri, banyak aspek kehidupan yang memiliki dua sisi, positif dan negatif. Tinggal kita yang diminta berupaya keras agar jangan salah pilih. Apalagi kalau pilihan itu sensitif atas kelangsungan hidup manusia dan ekosistem. Perlu kearifan tinggi dalam menentukan pilihan, tak sekadar mengedepankan kekuasaan belaka atau alasan pragmatis yang ditegakkan di atas makna ekonomi politis yang menafikan rasa populis.

Skala materi pun patut dipertimbangkan. Sesuatu yang mengundang kontradiksi, katakanlah khamr, harus diputuskan dengan bijak, tak tergesa-gesa. Sang Pencipta manusia telah demikian arif mengajari manusia dalam mengambil keputusan untuk sesuatu yang berisi nilai manfaat dan madarat seperti khamr sehingga tidak langsung diharamkan tetapi melalui proses yang panjang. Kebijakan pemimpin besar seperti Nabi Muhammad yang menerima wahyu atas pemberlakuan ayat larangan khamr itu menjadi pelajaran bagi pejabat masa kini. Tak bolehlah sewenang-wenang apalagi dengan jalan kekerasan dan intimidasi dalam memutuskan kebijakan publik di alam demokrasi.

Apalagi semua pegawai pemkot dan anggota DPRD adalah pelayan masyarakat yang gaji, tunjangan mobil, rumah, bahkan makanan, baju dan ongkos perjalanannya dibiayai rakyat lewat instrumen pajak dan retribusi. Jadi, siapa sebetulnya yang berkuasa di negara demokrasi ini, rakyat ataukah pejabat? Mari kita peduli atas kualitas kesehatan dan kenyamanan hidup saudara sebangsa, seprovinsi, sekota, sekecamatan, sekelurahan, seperumahan. Kita senang, mereka pun senang. Di sana senang, di sini senang, di mana-mana kita senang.

Akhir kata, negara kita sudah memberikan mekanisme referendum untuk mengambil keputusan yang rumit. Andai ingin dicoba, referendum terbatas untuk warga Bandung bisa dilaksanakan. Langkah ini diharapkan lebih demokratis dan fair, meskipun bukan yang terbaik. Silakan yang pro dan kontra mengampanyekan kelebihan dan kekurangan PLTSa. Semoga cara ini dapat mendidik masyarakat menjadi kian peduli pada kondisi kotanya. *
ReadMore »

Spiritual PDAM

Spiritual PDAM
Oleh Gede H. Cahyana


Palembang menggelar MAPAMNAS yang dihadiri oleh 410 PDAM di Indonesia, kurang lebih 1.500 orang peserta. Salah satu agendanya adalah pemilihan ketua baru yang bakal menakodai Perpamsi. Dari jumlah tersebut, 171 PDAM sehat. Semoga sehat "lahir dan batin". Juga sehat secara spirituall. Spiritual PDAM. 


Apa itu Spiritual PDAM? Melekatkan kata spiritual pada PDAM tak dimaksudkan untuk “mengagamakan” PDAM. Juga tidak membahas isu agama dalam pengertian konvensional tetapi memaknainya sebagai bentukan kata Latin spiritus yang berarti memberikan kehidupan atau vitalitas pada sistem. Arah makna ini ialah peningkatan kualitas sistem, menjadi lebih baik agar menguntungkan perusahaan, pemilik, pegawai, dan direksinya.

Spiritual PDAM ialah upaya menghidup-hidupkan PDAM, membangun ruh PDAM agar mampu bertahan (survive) lalu berkembang (growth). Spirit ini biasanya tercantum dalam ungkapan visi-misinya. Masalahnya, bagaimana cara mencapai visi itu dan bagaimana cara membawa misi perusahaan agar terus tumbuh, tak sekadar bertahan. Dari sekian banyak caranya, ada satu cara yang biasa ditempuh, yaitu membuat skala prioritas dalam setiap tugas dan rencana kerja. Ini lantas dibagi menjadi empat kuadran (quadrant), yaitu mendesak dan penting, mendesak dan tidak penting, tidak mendesak dan penting, tidak mendesak dan tidak penting. Semua rencana kerja yang sudah dikuadrankan itu kemudian dilaksanakan dan dievaluasi apakah terjadi perubahan posisi kuadran selama proses kerjanya ataukah tidak.

Pola skala prioritas itu dapat dianalogikan dengan pola Abraham Maslow, seorang psikolog yang merilis piramid kebutuhan pada tahun 1960-an. Ia membagi dua kebutuhan manusia, yaitu kebutuhan dasar dan kebutuhan pertumbuhan. Kebutuhan dasar atau motivasi dasar ini dikatakannya setara dengan kebutuhan yang juga dimiliki hewan sehingga disebut deficiency needs. Berikutnya ialah kebutuhan yang lebih tinggi, yaitu kebutuhan pertumbuhan seperti penghargaan diri (self-esteem) dan aktualisasi diri (self-actualization). Berasal dari kata actualize yang berarti mewujudkan, aktualisasi menjadi isu kuat yang berkembang di perusahaan, termasuk di PDAM. Ini diarahkan untuk mewujudkan PDAM menjadi perusahaan yang sehat, berbalik modal (full cost recovery) dan berlaba.

Apa yang mesti dilakukan agar tujuan PDAM tercapai? Pembenahan! Benahi manajemen dan sisi teknisnya lewat pelatihan setelah diawali dengan pendidikan yang sepadan (matching) dengan bidang kerjanya. The right people on the right place, true position. Teori dan praktik pelatihan tak dimungkiri bernilai penting bagi insan PDAM untuk menambah ilmu, pemahaman, pengalaman dan tukar informasi antarinsan PDAM di seluruh Indonesia. Ini perlu dilaksanakan berkesinambungan agar spiritnya terus diperbarui, tetap menyala, tidak sekali jadi lalu mati. Yang disebut terakhir, yaitu tukar informasi, bisa dicapai dengan memanfaatkan internet, menjadi miliser di milis PDAM Bangkit, misalnya.

Piramid Maslow
Tak satu jalan ke Roma. Tak satu jalan untuk membenahi perusahaan. Begitu pula, tak satu cara untuk menghidup-hidupkan PDAM. Salah satu caranya ialah dengan modifikasi Piramid Maslow dan pembenahannya dilaksanakan secara mandiri. Piramid Maslow dapat diadopsi demi pembaruan spirit PDAM. Modifikasinya dengan cara membalik Piramid Maslow sehingga puncak piramidnya berada di bawah. Inilah resep yang disarankan Danah Zohar dan Ian Marshall setelah menelaah tulisan Frederick Herzberg (1959) yang membuktikan kekeliruan teori Maslow.

Dengan pembalikan itu posisi puncak menjadi di bawah dan harus ditempuh dulu sehingga aktualisasi diri menjadi kebutuhan utama. Setelah itu barulah harga diri atau status. Karyawan perusahaan membutuhkan status dan harga diri. Makanya, di perusahaan akan terjadi kompetisi secara sehat maupun “sakit”, bahkan ada yang “main kayu”. Karyawan, terutama yang memiliki semangat kompetisi akan selalu berupaya diakui oleh sejawatnya, diakui atasannya. Inilah bentuk karakter dasar manusia yang ingin lebih daripada orang lain. Tetapi ini bisa bernilai positif kalau arahnya positif dan bersaing secara sehat lewat kompetensi dan kapabilitas. Di lain pihak, atasan wajib menilainya secara objektif.

Berikutnya ialah sosial atau relasi sosial kemanusiaan. Sebagai makhluk sosial, manusia selalu ingin berinteraksi dengan manusia lainnya. Interaksi sosial ini pun sebetulnya dilatari oleh beragam kepentingan, misalnya karir, jabatan, ekonomi, dan pendidikan. Sudah sifat alaminya, manusia akan selalu berupaya membuat kelompok yang setipe dalam tujuan, dalam kesenangan, hobi, dan pendidikannya. Di perusahaan, dalam interaksi sosial ini, manusia berfungsi sebagai pengubah dan pemberi pengaruh kepada koleganya. Manusia atau karyawan ingin memperoleh pengakuan dari rekan kerjanya bahwa dirinya mampu dalam bidang tertentu dan ingin ikut diperhitungkan dalam setiap kegiatan perusahaan.

Lantas kebutuhan rasa aman. Maknanya demikian luas, tak hanya aman secara fisik tapi juga psikis. Insan PDAM akan merasa aman bekerja kalau kebutuhannya dilengkapi perusahaan. Ia akan dapat beraktivitas dan mengekspresikan dirinya dalam ujud kinerja optimal. Rasa aman ialah perlindungan atau asuransi atas semua aktivitas kerjanya. Andaikata terjadi kecelakaan kerja, ia percaya masih bisa berobat karena perusahaan peduli dalam ujud Askes atau tunjangan kesehatan lainnya. Bahkan keluarganya pun masih bisa aman karena ada uang pensiun atau tunjangan pensiunnya cukup layak.

Rasa aman pun bisa masuk ke sisi karir karyawan. Kejelasan karir dan penjenjangan dapat memicu karyawan yang tinggi potensinya. Apa dan bagaimana posisi karir dan jabatannya sepuluh tahun ke depan bisa diprediksi dengan tetap mengacu pada kualitas atau kinerja setiap karyawan. Juga ada keyakinan bahwa tak ada kolusi dan nepotisme dalam promosi jabatan, termasuk dalam penanganan projek. Jenjang karir pun jelas, terang benderang dan dievaluasi berkala dengan menyertakan portofolio kompetensi, misalnya jenjang pendidikan yang ditempuhnya. Jadi, rasa aman ini akan menyamankan insan PDAM yang ingin maju, terus bersekolah ke strata yang lebih tinggi dan bersikeras mengembangkan perusahaan.

Yang terakhir ialah kebutuhan fisiologis. Hirarki ini mengacu pada kebutuhan manusia terhadap makanan dan minuman. Tak dimungkiri, setiap orang butuh makanan dan minuman atau dengan kata lain, setiap orang pasti perlu uang untuk memperoleh semua kebutuhan nutrisinya, baik untuk dirinya maupun keluarganya. Jika PDAM ingin berkembang, maka pemenuhan kebutuhan ini wajib diperhatikan karena dapat mempengaruhi kinerjanya. Tak bisalah orang lapar bekerja optimal, apalagi yang harus berada di lapangan setiap hari, kena panas, debu, dan hujan sambil menyusuri jaringan distribusi, memantau kondisi banjir di dekat bangunan intake atau mengukur debit flowmeter di atas sungai.

Piramid Maslow versi baru itu disebut Spiritual Needs, kebutuhan yang diarahkan pada nilai-nilai spiritual yang mampu menghidupkan manusia, baik sebagai manusia (mankind) maupun sebagai karyawan. Analogi serupa lantas digunakan untuk menganalisis Piramid PDAM yang secara konvensional merujuk pada Piramid Maslow.

Balik Piramid PDAM
Piramid PDAM seperti dibahas di MAM edisi 108, September 2004 di bawah judul “Mendewakan Air, Mendewasakan PDAM”, adalah posisi normal yang selaras dengan Piramid Maslow. Seperti Maslow, Piramid PDAM itu ditempuh dengan melewati dasarnya dulu sebagai basic needs. Artinya, semua komponen P (Pegawai), D (Desain), A (Area Servis) dan M (manajemen) harus dilaksanakan dulu dengan optimal, baru kemudian memuaskan K (konsumen) yang berada di puncak piramid. Evaluasi seperti ini memosisikan konsumen sebagai bagian akhir yang mesti ditangani.

Paradigma baru tentang Spiritual PDAM justru mengawali pembenahan perusahaan lewat konsumennya dulu. Melibatkan konsumen berarti menghargai ide mereka tentang PDAM sekaligus mengakomodasi gejolak ketakpuasannya atas layanan PDAM. Juga berarti menghargai kecerdasan otak (IQ) dan emosinya (EQ). Selanjutnya, dengan pelibatan konsumen pada perbaikan kinerja PDAM, demi menghidup-hidupkan PDAM, maka konsumen sudah pula menyumbangkan kecerdasan spiritualnya (SQ). Apalagi kalau PDAM merealisasikan aspirasi konsumen, mereka pun merasa dihargai secara kecerdasan aspirasi (Aspiration Quotient, AQ). Konsumen pun, baik pejabat publik maupun rakyat awam, dapat mendesak PDAM untuk mewujudkan perbaikan layanan lewat kecerdasan dayanya (Power Quotient, PQ).

Pelibatan konsumen atas masalah di PDAM lebih mengarah pada nilai-nilai moral dan etika demi menghidup-hidupkan PDAM. Dengan kata lain, pencapaian spirit PDAM dimulai dari pelanggannya. Pelangganlah yang menghidup-hidupkan PDAM, bisa maju jika konsumennya peduli dan didahulukan kebutuhannya sembari membelakangkan peran PDAM. Wajarlah muncul pendapat bahwa posisi pelanggan lebih dominan dalam melestarikan PDAM. Tanpa pelanggan tak mungkinlah PDAM bisa eksis. Siapa yang akan membeli airnya jika bukan pelanggan? Makin banyak pelanggan, makin kuatlah pijakan PDAM. Barangkali inilah sebabnya salah satu poin penilaian dalam Perpamsi Award adalah jumlah pelanggan yang minimal mencapai 50.000 unit.

Pelanggan, dalam hal ini semua rakyat Indonesia, bisa menjadi bos di depan lembaga legislatif. Pelanggan, apalagi kalau bergabung dalam asosiasi, akan kuatlah posisinya dalam menekan DPRD agar peduli pada PDAM sekaligus mempengaruhi eksekutif: bupati-walikota. Pada saat yang sama, pelanggan yang terdiri atas orang-orang terdidik bisa ikut memberikan masukan kepada DPRD berkaitan dengan PDAM. Sebab, di luar anggota dewan, masih banyak orang Indonesia yang memiliki kompetensi dan kapasitas ilmu yang memadai. Betapa banyak peneliti dan dosen yang kepakarannya tak diragukan lagi, baik di bidang politik, ekonomi, budaya, sosial, keamanan, pertahanan, maupun rekayasa.

Pelanggan pun bisa menjadi “polisi” yang mengawasi sumber air. Pelanggan dapat mengawasi pabrik dan masyarakat agar tak mengotori air dan melindungi hutan sebagai zone tangkap-resap (tangsap) air hujan. Termasuk menekan pemerintah dalam menetapkan kawasan lindung demi kelestarian fungsinya sebagai zone tangsap. Kerusakan daerah tangsap akan merusak kesinambungan suplai air baku dan yang rugi tak hanya pelanggan, tapi juga PDAM. Pelanggan pun bisa menjadi “jaksa” yang menuntut orang dan pabrik pencemar lingkungan dengan cara mendatangi pabriknya tanpa anarkhistis. Begitu pun, pelanggan bisa menjadi “hakim” dengan “mengadili” pabrik pencemar lingkungan lewat boikot atas produknya. Efek ini kalau betul-betul dilaksanakan akan signifikan bagi penguatan sumber daya PDAM.

Oleh sebab itu, pelanggan dapat dianalogikan dengan angsa dan aktualisasi PDAM sama dengan telur emas. Tujuannya ialah menghasilkan telur emas. Kalau PDAM ingin terjadi aktualisasi hendaklah PDAM memperhatikan angsanya (pelanggan). Inilah yang diistilahkan oleh Stephen R. Covey dalam bukunya The Seven Habits of Highly Effective People sebagai kesetimbangan P/PC (production/production capacity). Makna falsafinya, pelanggan harus dirajakan dan cita-cita PDAM berupa aktualisasi juga diindahkan, tanpa menelantarkan salah satunya. PDAM tidak boleh hanya berpikir pada rencana aktualisasinya tanpa peduli pada pelanggan. Pada saat yang sama, perlakuan baik pada pelanggan juga harus diimbangi dengan perlakuan baik kepada orang yang melayani pelanggan, yaitu karyawan. Perlakukanlah karyawan dengan baik seperti perusahaan yang memperlakukan pelanggannya dengan baik.

Apabila hal di atas bisa dilakoni oleh asosiasi pelanggan otomatis dinding piramid A, I, R dan T dapat dicapai sehingga kualitas air menjadi Aman, Isinya memenuhi kebutuhan, dan Rutin 24 jam. Lalu Tarifnya sesuai dengan kemampuan rerata pelanggan karena DPRD sudah pula “dikuasai” rakyat (pelanggan). Suara rakyat, suara dewan. Dampaknya pasti menguntungkan PDAM: P (Pegawainya) dibayar dengan layak dan ada kejelasan karir sebelum pensiun. D (Desainnya) bisa dikembangkan menjadi canggih untuk air tercemar berat karena punya dana akibat kemajuan yang dicapainya sehingga luas A (Area servisnya) bertambah yang berdampak pada pola hidup higienis-saniter dan penambahan laba perusahaan. Dengan keteraturan itu M (Manajemen) otomatis membaik, apalagi mampu menerapkan reward dan punishment atau carrot dan stick. Lantas perusahaan dapat membangun budayanya, corporate culture, yang mengedepankan integritas dan kejujuran insan PDAM.

Contoh Spiritual PDAM yang paling dekat dengan insan PDAM ialah instalasinya. Insan PDAM bisa belajar dari unit koagulasi-flokulasi. Filosofi koagulasi ialah menyebarkan koagulan lalu mendistribusikannya ke seluruh bagian air. Berasal dari kata Latin coagulare yang artinya drive together, berarti insan PDAM, baik direksi maupun pegawainya mesti menyetir PDAM bersama-sama. Inilah spirit yang mungkin terlupakan oleh insan PDAM. Berkoagulasi berarti menjalankan PDAM bersama-sama dalam fungsi masing-masing, saling melengkapi dan mengarahkan (direktif) perusahan agar hidup dan menghidup-hidupkannya.

Jika demikian, mengapa PDAM tak mencoba membalik Piramid PDAM dan pemerintah pusat plus DPR mendukungnya lewat undang-undang? Piramid mana yang posisinya terbaik? Yang normal seperti Maslow boleh-boleh saja, yang dibalik seperti Zohar-Marshall juga bagus-bagus saja. Yang penting adalah aksi (action), agar didapat reaksi (reaction) positif bagi PDAM dan pemangkunya (stakeholders). *
ReadMore »

18 Januari 2008

Air Tak Berekening, Non-Revenue Water

Tak mungkin tak ada kehilangan air. Sekecil apapun, kehilangan air selalu terjadi di setiap jaringan pipa, tak hanya di PDAM tapi juga di semua perusahaan air minum di seluruh dunia. Bedanya adalah tingkat atau persentasenya.

Namun demikian, istilah kehilangan air atau Unaccounted for Water, UfW ini sudah dihapus oleh IWA Task Force karena variasi interpretasinya terlalu luas sehingga tak bisa dibandingkan antarnegara atau tak berlaku secara global, mendunia. Istilahnya diganti dengan sebutan Air Tanpa Rekening atau Air Tak Berekening (ATR) atau Non-Revenue Water (NRW).

Ada banyak sebab kehilangan air (Water Losses menurut terminologi IWA Best Practice). Misalnya, karena kebocoran fisik (Real Losses) seperti pipa pecah, retak, sambungan tak ketat, juga karena kebocoran nonfisik (Apparent Losses) seperti pencurian air, kerusakan meter air, kesalahan (baca) data, dll.

Selain itu, meskipun kecil persentasenya, ada juga akibat air tak berekening lantaran dipakai oleh pemadam kebakaran atau diberikan cuma-cuma (gratis) lewat kran umum. Kasus seperti ini dimasukkan ke dalam kelompok konsumsi resmi tak berekening (Unbilled Authorized Consumption). Jumlah Water Losses dan Unbilled Authorized Consumption disebut Non-Revenue Water (Air Tanpa Rekening, ATR).

PDAM Kota Bandung
Kehilangan air dengan segala modusnya terjadi juga di PDAM Kota Bandung. Sekira 52% air produksinya masuk kategori ATR. Namun demikian, menurut hasil survei internal PDAM, kebocoran itu berada pada rentang 60-70% di Kel. Isola dan Ledeng. Artinya, tingkat ATR di dua daerah tersebut lebih tinggi daripada angka reratanya. Andaikata bisa direduksi menjadi sama dengan reratanya sudah merupakan hal positif, apalagi lebih rendah daripada itu.

Sebagai perbandingan, pada tahun 1989 tingkat ATR di Singapura 10,6%, menjadi 6% pada 1994 dan hanya 5% pada tahun 2000. Semua air produksi dan konsumsinya terukur akurat dan meter air produksinya ditera setiap tahun. Meter pelanggannya diganti per 7 tahun, meter industrinya per 4 tahun. Contoh lainnya di Belanda. Pipa sepanjang 400 km di negeri kincir angin itu hanya 7% airnya yang hilang. Relatif sangat rendah.

Untuk mencapai reduksi ATR itu bisa digunakan pendekatan langsung, yaitu survei ke setiap pelanggan dan penduduk di daerah studi. Fokus kunjungan ialah mencatat sejumlah poin yang ada di dalam kuesioner, seperti mendeteksi dan supervisi perbaikan kebocoran pipa dan fitting, dan menduga lokasi terjadinya kehilangan air nonfisik (pencurian air, illegal connetion). Termasuk data potensi perluasan pelanggan yang mungkin berminat menjadi customer PDAM suatu saat kelak.

Juga dapat memperbaiki database pelanggan agar dapat digunakan oleh PDAM untuk meningkatkan kualitas layanannya, juga untuk meraih peluang perluasan (penambahan) jumlah pelanggan potensial. Sisi ini tentu berkaitan dengan raihan data dan gambaran akurat tentang kondisi sosial ekonomi warga setempat. Juga untuk menghitung persentase ATR dan mereduksinya sampai sekecil-kecilnya sehingga “air yang terselamatkan” dapat dijual kepada (calon) pelanggan baru.

Penambahan pelanggan akan dapat mereduksi ATR. Ada “aturan tak tertulis” bahwa daerah yang rendah layanan PDAM-nya justru tinggi ATR-nya. Misalkanlah ada daerah studi, yaitu Isola dan Ledeng. Keduanya menerima air dari BPT3 yang terletak di Jl. Sersan Bajuri. Dari BPT3 ini dipasang dua ruas pipa: yang pertama sepanjang kurang lebih 800 meter, melayani 26 konsumen (sambungan rumah, SR) di Cihideung; ruas kedua berupa pipa transmisi, berada di Jl. Sersan Sodik, sepanjang kurang lebih 3 km, berakhir di BPT5. Di BPT5 ini belum ada flow meter. Dari BPT5 ini air dialirkan ke Kelurahan Isola dan Ledeng (termasuk perumahan Dream Hill). Batas Selatan daerah layanan berada di Jl. Geger Kalong Girang untuk zone Isola dan Jl. Kapten Abdul Hamid (Panorama) untuk zone Ledeng.

Dua zone tersebut lantas dibagi menjadi tiga subzone, yaitu daerah Utara (disebut subzone 1), daerah tengah (subzone 2), dan daerah Selatan (subzone 3). Masing-masing melayani sekira 300 SR. Jumlah total pelanggan di dua zone studi tersebut 1.000 SR. Debit air yang dialirkan pipa transmisi sekira 40 l/d, dengan ATR antara 60% dan 70%. Dari sisi tekanan, terdeteksi reratanya lebih besar daripada 1 atm dan pasokannya 24 jam.

Upaya Reduksi ATR
Bagaimana tahap kegiatan yang harus dilaksanakan? Secara garis besar, tahapnya sebagai berikut.
1. Persiapan, Koleksi, Analisis Data Sekunder
Menyiapkan rencana detil pekerjaan. Mengumpulkan dan menganalisis data sekunder, menghitung tingkat ATR yang ada, baik skala PDAM maupun skala pilot studi.
2. Pembentukan Pilot Zone
Merencanakan sistem zoning, memeriksa kondisi katup dan meter induk air yang terpasang, mengawasi perbaikan dan pemasangan katup/meter air dan test isolasi zone.
3. Pengukuran dan Survei Lapangan
  • Pengukuran “minimum night flow”, “pola aliran”, dan “tekanan air” di lokasi zone selama 2 x 24 jam (2 kali pengukuran).
  • Mengukur konsumsi air konsumen, 2 x 24 jam (2 kali pengukuran).
  • Mengukur tekanan air di sejumlah titik di pilot zone, 2 x 24 jam (2 kali pengukuran).
  • Mencari titik-titik kebocoran.
  • Melaksanakan step test.
  • Mensupervisi perbaikan kebocoran.
  • Menginspeksi pelanggan, memeriksa kebocoran di pipa dinas, mengukur akurasi meter air dan mendeteksi sambungan ilegal.
  • Mengaudit meter air.
  • Menganalisis Water Balance nol (sebelum pelaksanaan program) dan Water Balance satu (setelah pelaksanaan program).
  • Menganalisis hasil program ATR, termasuk tingkat ATR-nya, tekanan air dan cost benefit analysis.
Gede H. Cahyana
ReadMore »

13 Januari 2008

Oom Pasikom

Menerima undangan untuk menghadiri “Pameran 40 th Oom Pasikom” pada Kamis, 17 Januari 2008 nanti, saya agak lama tercenung. Bukan apa-apa, ternyata aliran waktu ini begitu cepat berlalu, melesat lepas ke ujung lain tanpa terasa. Sungguh tak terasa. Dua pekan lalu kita memasuki tahun baru Masehi dan tiga hari lalu tahun baru Hijriyah. Keduanya menjadi patok masa yang memutar parabola kala, bukan lingkaran kala. Sebab, time series hidup ini bukanlah siklus melainkan linier dan kalau dianalogikan dengan usia manusia, maka hidup ini serupa benar dengan parabola. Inilah matematika hidup.

Tak terasa, sudah 40 tahun usia Oom Pasikom. Bagi ukuran orang Indonesia, mungkin juga ukuran umum manusia di Bumi ini, usia 40 dianggap usia matang. “Hidup mulai pada usia 40”, begitu kata orang. Bisa juga dikatakan, usia ini adalah awal goncangan pertama, awal kelabilan manusia. Tak sedikit yang mengalami masa pubertas kedua sehingga mulai larak-lirik perempuan lain selain istri, mulai lagi berdandan a la anak muda belia belasan dan likuran tahun. Tua-tua keladi makin tua makin menjadi (mudah-mudahan makin menjadi baik).

Itulah fenomena sosok manusia yang memasuki usia 40 tahun. Bagaimana dengan “manusia” bernama Oom Pasikom? Saya termasuk penggemar Om ini. Kalau di Amerika Serikat ada yang namanya Uncle Sam, maka di Indonesia ada yang bernama Uncle Pasikom. Ketika membaca Kompas, tak pernah lupa saya menggiliri sentilan Om ini. Apalagi gaya kartunnya sederhana dan pas serta mudah dipahami maknanya. Betapa tidak, dengan gaya olah tulis dan grafisnya, paduan dua karakter ini menghasilkan kritikan sambil minum kopi. Yang dikritik seperti diberi kopi nikmat sehingga tak lantas menyakitkan hati tetapi membenarkan fenomena yang dikatakan Si Om.

Namun demikian, meskipun dia adalah “Om saya”, tetapi usianya tak terpaut banyak dengan saya. Malah saya sepantaran dengan “Om ini”. Di dunia nyata bahkan ada yang Omnya berusia lebih muda daripada Sang Om. Bahkan ada anak usia SD yang sudah menjadi Om dan usia keponakannya justru jauh di atasnya, setara dengan anak usia SMA. Ini banyak terjadi di Indonesia terutama di kalangan ningrat yang memiliki istri lebih dari satu. Ada yang malah empat istri resminya dengan anak mencapai tiga puluhan. Wajarlah kalau seorang Om akhirnya berkeponakan yang jauh lebih tua usianya ketimbang usia dirinya.

Itu sekadar intermezzo. Mari kembali ke soal Si Om ini. Semoga ultah ke-40 Om Bertopi ini makin memajukan “orang tua” Si Om, yaitu ibunya yang bernama Kompas. Semoga Kompas Jawa Barat pun kian berkembang dan menjadi koran kuat di tatar Sunda ini serta kuat pula semangat untuk membela kebenaran, objektif dalam berita dan selektif objektif dalam memuat artikel opini (terutama dari penulis freelancer), menulis kritik berimbang dari semua sisi dan terus memupuk para penulis muda sebagai pilar ketiga dalam kemajuan media. Serta..., spesial buat Kompas Jawa Barat, ini hasil obrolan dengan teman-teman, tolong cepat tambah jumlah halamannya. Makin tebal, tentu makin seru, ok...?!

Akhir kata, selamat berpameran, semoga Galeri Soemardja ITB menjadi saksi jejak langkah Om ini. Pameran untuk umum dibuka pada 18 s.d 27 Januari 2008, mulai pk. 09.00 s.d 16.00 WIB.

Demikian Om, dan ‘met ultah. Good luck Mr. GM Sudarta.
ReadMore »

7 Januari 2008

PLTSa: Jebakan Nikmat

Sejak paruh kedua Desember 2007 sampai Senin, 7 Januari 2008 ini, kota lembah raya di cekungan Bandung kian semarak dengan lautan spanduk. Khas sekali kalimat di spanduk itu. Dengan beragam warna, spanduk yang dipasang di banyak sudut dan prapatan jalan itu menambah suntuk pemandangan. Ada yang dipasang di pagar lahan kosong tepi jalan, ada yang diselipkan di antara dua pohon, ada juga di tempat resmi untuk space iklan. 

Yang membuat orang bertanya-tanya, semua kalimat di spanduk itu berisi klaim dari organisasi, LSM, forum, ormas (Islam, belum saya lihat ada ormas non-muslim), dll, dan selalu mengatasnamakan orang banyak. Ada yang mengatasnamakan tokoh masyarakat atau sekumpulan organisasi yang sarat orang-orang pro-PLTSa. Bahkan ada partai politik dan ormasnya yang gegap gempita mengusung PLTSa. Dari sejumlah diskusi ada dugaan bahwa tokoh partai ini terlibat dalam investasi miliaran rupiah atau paling tidak, mereka memperoleh keuntungan finansial dan nonfinansial kalau PLTSa jadi dibangun.

Tak perlu saya tuliskan kalimat yang mengisi setiap spanduk itu karena banyak jenisnya. Ada yang kalimatnya tidak baku, tak sesuai dengan kaidah Ejaan Yang Disempurnakan (EYD). Saya akui, saya bukanlah ahli bahasa, bukan linguis ataupun munsyi. Meskipun sedikit, saya tahu ada sejumlah kaidah dalam bahasa Indonesia yang pernah saya pelajari di sekolah. Apalagi tak sedikit ejaan PLTSa itu ditulis dengan PLTSA. Aneh memang. Dulu, ketika dinamai dengan istilah gagah dalam bahasa Inggris, yaitu Waste to Energy, saya katakan bahwa itu sesungguhnya Wasted Energy. Singkatannya lantas diubah menjadi PLTS. Kemudian saya katakan bahwa PLTS sudah lumrah dijadikan singkatan dari Pembangkit Listrik Tenaga Surya. Akhirnya, digunakanlah PLTSa sebagai singkatan sampai sekarang. 

Jenuh! Sebetulnya saya sudah jenuh membahas PLTSa. Sebab, semua yang saya tulis secara garis besar sudah masuk ke wilayah inti dari ancaman PLTSa terhadap ekologi, lingkungan dan manusia. Tak ada lagi yang mesti dibahas karena hanya akan menjadi debat kusir tanpa solusi. Pihak pemkot dan kawan-kawannya pasti akan berseberangan dengan yang kontra-PLTSa dan susah dipertemukan. Dan yang pasti, pemkot punya uang, wewenang, dan peluang. Pemkot adalah eksekutif sekaligus eksekutor dalam semua masalah warga di Bandung. Apalagi pemkot sudah berikrar bahwa PLTSa harus seharus-harusnya, wajib sewajib-wajibnya dibangun tanpa peduli atas apapun hasil kajian Amdalnya. Harga mati ini senantiasa didengung-dengungkan di setiap “jumpa fans” dengan masyarakat. Bahkan sudah masuk ke wilayah agama dengan melibatkan ulama dan “ulama”. Seorang teman berkata, ulama itu ada dua, ulama baik dan ulama buruk. 

Dalam setiap “temu fans” dan “sarasehan” itu, warga awam dininabobokan oleh alat yang menyulap sampah menjadi listrik. Semua sampah akan lenyap dari Bandung sekaligus menghasilkan listrik. Begitu katanya. Padahal yang diubah hanya sebagian kecil dari volume total sampah Bandung, yakni 5.000 m3 per hari. Angka ini setara dengan 1.250 ton per hari atau 1.000 gajah per hari (ini menurut hitungan Pak Sobirin dari DPKLTS). Artinya, tetap saja diperlukan TPA sanitary landfill dan composting. Andaikata dana studi untuk tim ITB dan biaya pembelian serta pembangunan PLTSa itu diarahkan untuk pemberdayaan masyarakat dalam mengelola sampahnya, hasilnya justru akan makin mendidik masyarakat agar kian peduli pada kotanya. Sebab, PLTSa akan mengajak masyarakat untuk terus membuang sampah tanpa upaya mengelola dan mengolahnya. 

Akibatnya, warga akan kian terbuai oleh kenikmatan semu. Semua semu! Mereka menjadi cuek dan dengan mudah saja membuang sampah, asal lempar, asal buang dan merasa aman dari potensi bahaya akibat polusi udara PLTSa. Padahal, tiada satu alat pun di dunia ini yang efisiensinya 100 persen. Tidak ada! Terlebih lagi kalau sudah dimakan usia, sudah bertahun-tahun umurnya. Sekecil apapun potensi polusinya, lama-lama akan terkumpul, menumpuk, terakumulasi lalu menjadi ancaman yang signifikan. Kalau boleh dianalogikan, sesungguhnya PLTSa serupa benar dengan kisah beruang kutub dan orang Eskimo. Orang-orang yang pro-PLTSa seolah-olah menjadi beruang kutub yang terlena ketika merasa nyaman menjilati darah. 

Kata sahibul hikayat, inilah kisahnya. Konon, Kutub Utara tak bisa dipisahkan dengan orang Eskimo. Orang Eskimo pun tak bisa dipisahkan dengan ikan dan beruang kutub. Karena dingin lingkungannya dan di mana-mana tampak bekuan es memutih, orang-orang Eskimo selalu mengenakan baju tebal. Bahannya adalah kulit beruang. Bagaimana cara mereka menangkap beruang? (Ada juga kisah dengan versi serigala, bukan beruang. Tetapi yang penting dari kisah ini adalah substansinya, bukan jenis hewannya).

Unik cara mereka membunuh beruang (serigala). Melawannya dengan duel ataupun mengeroyoknya tentu berisiko tinggi. Ada satu cara cerdik yang digunakan, yaitu dengan melumuri pisau tajam dengah darah binatang lain. Mereka rendam pisau itu di dalam darah hewan dan dibiarkan membeku. Pisau tersebut lantas ditancapkan di sekitar tempat main beruang (serigala). Dengan penciuman yang tajam, beruang (serigala) itu dapat mengendus bau darah dari jarak jauh dan berupaya mencarinya.

Tanpa curiga dan takut, hewan itu lalu menjilati darah di pisau. Karena tajam, lidah dan moncongnya mulai luka berdarah. Makin lama dia makin asyik menikmati darah itu sekaligus menjilati darahnya sendiri. Karena dingin, rasa sakitnya tidak terasa. Nikmat saja. Lama-lama darah di tubuhnya makin sedikit, akhirnya lemas terkulai tak berdaya. Saat inilah orang Eskimo memanfaatkan kesempatan. Mereka bisa membiarkan beruang itu mati lemas atau agar cepat prosesnya mereka lantas menusuknya dengan tombak di bagian jantungnya. 

Pelajaran apa yang bisa diambil dari hewan itu? Terlena! Terlena oleh klaim kenyamanan fatamorgana PLTSa akan mengantar manusia ke daerah bencana. Pelan tapi pasti, kesehatannya digerogoti polusi yang disebarkan PLTSa. Tak hanya yang di dekat PLTSa, tapi semua warga di cekungan Bandung Raya terkena dampaknya. Sebab, polutan udara bisa dihembus angin ke segala arah dan berputar-putar. Akhirnya..., semua orang sadar ketika sudah terlambat. Lantaran obsesi satu atau segelintir orang untuk alasan ekonomi, politik, dan kekuasaan, akhirnya jutaan orang kena getahnya. Lantaran satu orang yang melubangi perahu, banyak orang akhirnya tenggelam. Maka, detik-detik petaka ekologi di tatar Bandung akhirnya mewujud pelan-pelan. Kematian bakal menjemput dalam keheningan. Selamat tinggal masa kenyamanan. Selamat datang masa kesakitan. 

Bagaimana dengan saya? Saya adalah warga Bandung, ber-KTP kota pegunungan ini. Apa yang saya lakoni dalam kancah sampah & PLTSa ini adalah bentuk kepedulian saya kepada warga yang bakal kena ancaman serius dari PLTSa. Saya, istri dan anak-anak, juga saudara dan kawan-kawan saya, sahabat saya, dan orang-orang yang tidak saya kenal, semuanya di ambang bahaya. Namun, apapun yang bakal terjadi, andaikata esok lusa PLTSa tetap dibangun, saya tidak merasa kalah. Bagi saya, di sini tidak ada pecundang, yang ada hanya pemenang. Menang memang tak harus memegangnya, bukan? Yang penting bagi saya, saya sudah memberikan masukan kepada Pemkot Bandung dan kalangan yang pro-PLTSa. 

Andaikata besok, Selasa, 8 Januari 2008 pemkot jadi meletakkan batu pertama pondasi PLTSa atau diawali dulu dengan menanam pohon, saya hanya bisa berdoa. Ya Allah, ampunilah kesalahan saya apabila saya tidak mampu membatalkan laju pembangunan PLTSa itu. Lindungilah kesehatan warga yang tak berdaya karena tak punya kuasa, tiada power, tiada uang dan wewenang. Ya Allah, berilah kami pejabat (dan pemimpin) yang memiliki rasa populis, memihak rakyat, membela yang benar, bukan yang bayar. Wallahu ‘alam.*

Bandung, 7 Januari 2008.
Gede H. Cahyana
ReadMore »