• L3
  • Email :
  • Search :

7 Januari 2008

PLTSa: Jebakan Nikmat

Sejak paruh kedua Desember 2007 sampai Senin, 7 Januari 2008 ini, kota lembah raya di cekungan Bandung kian semarak dengan lautan spanduk. Khas sekali kalimat di spanduk itu. Dengan beragam warna, spanduk yang dipasang di banyak sudut dan prapatan jalan itu menambah suntuk pemandangan. Ada yang dipasang di pagar lahan kosong tepi jalan, ada yang diselipkan di antara dua pohon, ada juga di tempat resmi untuk space iklan. 

Yang membuat orang bertanya-tanya, semua kalimat di spanduk itu berisi klaim dari organisasi, LSM, forum, ormas (Islam, belum saya lihat ada ormas non-muslim), dll, dan selalu mengatasnamakan orang banyak. Ada yang mengatasnamakan tokoh masyarakat atau sekumpulan organisasi yang sarat orang-orang pro-PLTSa. Bahkan ada partai politik dan ormasnya yang gegap gempita mengusung PLTSa. Dari sejumlah diskusi ada dugaan bahwa tokoh partai ini terlibat dalam investasi miliaran rupiah atau paling tidak, mereka memperoleh keuntungan finansial dan nonfinansial kalau PLTSa jadi dibangun.

Tak perlu saya tuliskan kalimat yang mengisi setiap spanduk itu karena banyak jenisnya. Ada yang kalimatnya tidak baku, tak sesuai dengan kaidah Ejaan Yang Disempurnakan (EYD). Saya akui, saya bukanlah ahli bahasa, bukan linguis ataupun munsyi. Meskipun sedikit, saya tahu ada sejumlah kaidah dalam bahasa Indonesia yang pernah saya pelajari di sekolah. Apalagi tak sedikit ejaan PLTSa itu ditulis dengan PLTSA. Aneh memang. Dulu, ketika dinamai dengan istilah gagah dalam bahasa Inggris, yaitu Waste to Energy, saya katakan bahwa itu sesungguhnya Wasted Energy. Singkatannya lantas diubah menjadi PLTS. Kemudian saya katakan bahwa PLTS sudah lumrah dijadikan singkatan dari Pembangkit Listrik Tenaga Surya. Akhirnya, digunakanlah PLTSa sebagai singkatan sampai sekarang. 

Jenuh! Sebetulnya saya sudah jenuh membahas PLTSa. Sebab, semua yang saya tulis secara garis besar sudah masuk ke wilayah inti dari ancaman PLTSa terhadap ekologi, lingkungan dan manusia. Tak ada lagi yang mesti dibahas karena hanya akan menjadi debat kusir tanpa solusi. Pihak pemkot dan kawan-kawannya pasti akan berseberangan dengan yang kontra-PLTSa dan susah dipertemukan. Dan yang pasti, pemkot punya uang, wewenang, dan peluang. Pemkot adalah eksekutif sekaligus eksekutor dalam semua masalah warga di Bandung. Apalagi pemkot sudah berikrar bahwa PLTSa harus seharus-harusnya, wajib sewajib-wajibnya dibangun tanpa peduli atas apapun hasil kajian Amdalnya. Harga mati ini senantiasa didengung-dengungkan di setiap “jumpa fans” dengan masyarakat. Bahkan sudah masuk ke wilayah agama dengan melibatkan ulama dan “ulama”. Seorang teman berkata, ulama itu ada dua, ulama baik dan ulama buruk. 

Dalam setiap “temu fans” dan “sarasehan” itu, warga awam dininabobokan oleh alat yang menyulap sampah menjadi listrik. Semua sampah akan lenyap dari Bandung sekaligus menghasilkan listrik. Begitu katanya. Padahal yang diubah hanya sebagian kecil dari volume total sampah Bandung, yakni 5.000 m3 per hari. Angka ini setara dengan 1.250 ton per hari atau 1.000 gajah per hari (ini menurut hitungan Pak Sobirin dari DPKLTS). Artinya, tetap saja diperlukan TPA sanitary landfill dan composting. Andaikata dana studi untuk tim ITB dan biaya pembelian serta pembangunan PLTSa itu diarahkan untuk pemberdayaan masyarakat dalam mengelola sampahnya, hasilnya justru akan makin mendidik masyarakat agar kian peduli pada kotanya. Sebab, PLTSa akan mengajak masyarakat untuk terus membuang sampah tanpa upaya mengelola dan mengolahnya. 

Akibatnya, warga akan kian terbuai oleh kenikmatan semu. Semua semu! Mereka menjadi cuek dan dengan mudah saja membuang sampah, asal lempar, asal buang dan merasa aman dari potensi bahaya akibat polusi udara PLTSa. Padahal, tiada satu alat pun di dunia ini yang efisiensinya 100 persen. Tidak ada! Terlebih lagi kalau sudah dimakan usia, sudah bertahun-tahun umurnya. Sekecil apapun potensi polusinya, lama-lama akan terkumpul, menumpuk, terakumulasi lalu menjadi ancaman yang signifikan. Kalau boleh dianalogikan, sesungguhnya PLTSa serupa benar dengan kisah beruang kutub dan orang Eskimo. Orang-orang yang pro-PLTSa seolah-olah menjadi beruang kutub yang terlena ketika merasa nyaman menjilati darah. 

Kata sahibul hikayat, inilah kisahnya. Konon, Kutub Utara tak bisa dipisahkan dengan orang Eskimo. Orang Eskimo pun tak bisa dipisahkan dengan ikan dan beruang kutub. Karena dingin lingkungannya dan di mana-mana tampak bekuan es memutih, orang-orang Eskimo selalu mengenakan baju tebal. Bahannya adalah kulit beruang. Bagaimana cara mereka menangkap beruang? (Ada juga kisah dengan versi serigala, bukan beruang. Tetapi yang penting dari kisah ini adalah substansinya, bukan jenis hewannya).

Unik cara mereka membunuh beruang (serigala). Melawannya dengan duel ataupun mengeroyoknya tentu berisiko tinggi. Ada satu cara cerdik yang digunakan, yaitu dengan melumuri pisau tajam dengah darah binatang lain. Mereka rendam pisau itu di dalam darah hewan dan dibiarkan membeku. Pisau tersebut lantas ditancapkan di sekitar tempat main beruang (serigala). Dengan penciuman yang tajam, beruang (serigala) itu dapat mengendus bau darah dari jarak jauh dan berupaya mencarinya.

Tanpa curiga dan takut, hewan itu lalu menjilati darah di pisau. Karena tajam, lidah dan moncongnya mulai luka berdarah. Makin lama dia makin asyik menikmati darah itu sekaligus menjilati darahnya sendiri. Karena dingin, rasa sakitnya tidak terasa. Nikmat saja. Lama-lama darah di tubuhnya makin sedikit, akhirnya lemas terkulai tak berdaya. Saat inilah orang Eskimo memanfaatkan kesempatan. Mereka bisa membiarkan beruang itu mati lemas atau agar cepat prosesnya mereka lantas menusuknya dengan tombak di bagian jantungnya. 

Pelajaran apa yang bisa diambil dari hewan itu? Terlena! Terlena oleh klaim kenyamanan fatamorgana PLTSa akan mengantar manusia ke daerah bencana. Pelan tapi pasti, kesehatannya digerogoti polusi yang disebarkan PLTSa. Tak hanya yang di dekat PLTSa, tapi semua warga di cekungan Bandung Raya terkena dampaknya. Sebab, polutan udara bisa dihembus angin ke segala arah dan berputar-putar. Akhirnya..., semua orang sadar ketika sudah terlambat. Lantaran obsesi satu atau segelintir orang untuk alasan ekonomi, politik, dan kekuasaan, akhirnya jutaan orang kena getahnya. Lantaran satu orang yang melubangi perahu, banyak orang akhirnya tenggelam. Maka, detik-detik petaka ekologi di tatar Bandung akhirnya mewujud pelan-pelan. Kematian bakal menjemput dalam keheningan. Selamat tinggal masa kenyamanan. Selamat datang masa kesakitan. 

Bagaimana dengan saya? Saya adalah warga Bandung, ber-KTP kota pegunungan ini. Apa yang saya lakoni dalam kancah sampah & PLTSa ini adalah bentuk kepedulian saya kepada warga yang bakal kena ancaman serius dari PLTSa. Saya, istri dan anak-anak, juga saudara dan kawan-kawan saya, sahabat saya, dan orang-orang yang tidak saya kenal, semuanya di ambang bahaya. Namun, apapun yang bakal terjadi, andaikata esok lusa PLTSa tetap dibangun, saya tidak merasa kalah. Bagi saya, di sini tidak ada pecundang, yang ada hanya pemenang. Menang memang tak harus memegangnya, bukan? Yang penting bagi saya, saya sudah memberikan masukan kepada Pemkot Bandung dan kalangan yang pro-PLTSa. 

Andaikata besok, Selasa, 8 Januari 2008 pemkot jadi meletakkan batu pertama pondasi PLTSa atau diawali dulu dengan menanam pohon, saya hanya bisa berdoa. Ya Allah, ampunilah kesalahan saya apabila saya tidak mampu membatalkan laju pembangunan PLTSa itu. Lindungilah kesehatan warga yang tak berdaya karena tak punya kuasa, tiada power, tiada uang dan wewenang. Ya Allah, berilah kami pejabat (dan pemimpin) yang memiliki rasa populis, memihak rakyat, membela yang benar, bukan yang bayar. Wallahu ‘alam.*

Bandung, 7 Januari 2008.
Gede H. Cahyana

2 komentar:

  1. Bli Gede,

    Saya trenyuh dengan perkembangan Bandung dan rencana PLTSa. Saya dan anda bertukar tempat. Saya lahir dan besar di Bandung, tetapi sekarang saya sekeluarga mukim di Bali.

    Di manapun bumi kita pijak dan langit kita junjung, sudah seharusnyalah kita memperjuangkannya. Saat tahun 2003, dengan support Bank Dunia, pemerintah 4 kota/kabupaten Sarbagita, memutuskan mengundang investor untuk menyelesaikan masalah sampah, saya dan kawan2 di Bali terus menerus mengingatkan resiko2 yang mungkin akan kita hadapi kalau gegabah memilih investor yang seperti kucing dalam karung.

    Alhasil PT. NOEI yang terpilih, yang menggembargemborkan teknologi GALFAD, jadi menandatangani MoU dengan SARBAGITA. sejak awal 2004 sampai sekarang tidak ada kemajuan yang berarti.

    Kita dirugikan dengan nina bobok swastanisasi, Waste to Energy atau tepatnya waste of energy plant. Sampai awal 2008 tidak ada perbaikan dan perubahan yang signifikan dari hasil tandatangan MoU dengan PT. NOEI itu. Sementara para pejabat dan beberapa wakil masyarakat sekitar TPA Suwung sudah diplesirkan ke Inggris dan Eropa.

    Kemubasiran dan absurditas seperti ini wajib terus menerus kita teriakkan. Sebagai umat yang beragama, kita wajib saling mengingatkan akan kebaikan dan mencegah keburukan yang sudah terlihat di depan mata.

    Semoga kita diberi kekuatan untuk terus menerus berteriak demi keselamatan khalayak dan para sadulur.

    BalasHapus
  2. Ya, trims juga buat Mbak Yuyun. Tak banyak yang akan saya tulis di sini, tetapi saya tetap mendukung kalangan yang menolak atau kontra-PLTSa. Entah apa yang akan terjadi di Gedebage sana, di Griya Cempaka Arum.

    Semoga mereka dimampukan oleh yang Mahamampu untuk tetap bertahan. Sebab, menyerang pemkot apalagi "menyerang" dalam arti harfiah, warga di sana PASTI tidak mampu. Tak ada uang dan wewenang.

    Demikian dan trims.

    BalasHapus