• L3
  • Email :
  • Search :

18 Januari 2011

Babakan Siliwangi

Jangan ada pembangunan lagi di Kawasan Bandung Utara (KBU), juga di Babakan Siliwangi! Inilah saripati kalimat yang dilontarkan pemerintah Provinsi Jawa Barat saat menanggapi rencana Pemkot Bandung mengeksploitasi Babakan Siliwangi. Ajakan tersebut adalah artikulasi kembali suara-suara “hijau” (green sound) pakar lingkungan dan pemerhatinya sejak 1993. Sejumlah unsur masyarakat yang “melek” lingkungan lantas berupaya “menyadarkan” pemerintah yang akan mengambil tindakan keliru atas nama pembangunan ekonomi. Silang pendapat inilah yang ramai dibahas sekarang.

Bagaimana kondisi Babakan Siliwangi pada masa lalu? Lain dulu, lain sekarang. Berikut ini adalah potret sepetak lahan di Babakan Siliwangi pada dekade 1980-an. Selain petak ini, ada dua petak lagi yang memiliki nilai jejak ekologis (ecological footprint) yang tinggi di Kelurahan Babakan Siliwangi, Kecamatan Coblong, yaitu Kebun Binatang dan Taman Ganesa di dekat area Salman ITB. Pada masa itu halaman ITB pun masih menjadi hutan kota yang betul-betul hijau karena masih banyak pohon, ramai oleh kicauan burung beraneka jenis, berbeda dengan masa 15 tahun terakhir ini yang berubah menjadi hutan beton.

Seperempat abad yang lalu, di petak tersebut masih terdengar ricikan air jernih dari sawah dan pancuran bambu. Hijaunya daun dan kuningnya bulir padi datang silih berganti setiap empat bulan. Burung-burung liar yang habitatnya di Taman Ganeca ITB dan Kebun Binatang sering terbang bergerombol ke pohon-pohon di Babakan Siliwangi. Panorama ini dapat dinikmati dari lereng atas Selatan yang berbatasan dengan jalan Tamansari, tepat di belakang ITB (d.h. Kantor Puslitbang Permukiman). Mahasiswa ITB yang kos di daerah ini (d.h Lebak Gede) akan melihat gerombolan burung terbang, barisan capung, juga loncatan belalang setiap pagi.

Dari rumah kos yang berada di tataran bawah kantor BATAN ada jalan setapak menuju jalan berbatu di bawah bibir jalan Tamansari. Berlebar dua meter, jalan berbatu ini selalu ramai dilewati masyarakat setempat kalau hendak ke Simpang Dago. Mahasiswa ITB yang kos di daerah ini pun kerapkali menginjak setapak di ”bebukitan” Lebak Siliwangi, di dekat rumah makan pada masa itu. Area parkir yang luas di depan rumah makan bersebelahan dengan kolam ikan tempat mancing walau hanya sesekali. Udara sangat sejuk, syahdan pada tengah hari bolong. Angin berembus terus-menerus mengacak-acak daun pinus dan palem sambil menebar oksigen. Sanggar Olah Seni pun ramah dan terbuka dikunjungi bagi warga sekitar.

Sebagai warga baru, saya sering keliling gang-gang di Lebak Gede (Siliwangi), mulai dari tepi Sungai Cikapundung di dekat bangunan Intake (penyadap air) PDAM Kota Bandung, sampai gang di dekat sawah di Babakan Siliwangi. Air PDAM sudah tersedia tetapi tidak semua warga berlangganan air ini. Lebih banyak warga mendapatkan air dari sumur dangkal dengan cara ditimba dan disedot pompa. Warga yang di dekat sawah memperoleh air dari rembesan air sawah selain air yang langsung dialirkan dari limpahan air selokan di Dago dan kawasan Cisitu. Air ini untuk mencuci dan bebersih rumah. Untuk minum hampir semua menggunakan air sumur. Semua warung nasi di Lebak Gede atau Babakan Siliwangi memperoleh air minumnya dari sumur dangkal kalau tidak dari PDAM. Waktu itu belum banyak dikenal air minum kemasan berukuran botol lima gallon. Masjid pun kebanyakan memiliki sumur dengan pompa di tempat wudunya.

Keelokan dan eksotika Babakan Siliwangi dapat dinikmati pada pagi hari ketika pucuk-pucuk pinus ”bebukitan” di lereng rumah A. Kasoem diselimuti kabut melayang di sela-sela daun jejari pinus. Kian indah lagi kalau dipandang dari rumah kos yang tepat berada di bawah kantor BATAN, di dekat lapangan voli saat itu. Pada pukul delapan pagi embun pembasah daun belum juga menguap. Itulah potret Lebak Gede dan Lebak/Babakan Siliwangi pada medio 1980-an. Di bagian atas, yaitu di jalan Siliwangi pohon-pohon pun masih banyak berdaun rimbun. Jalan Tamansari juga berpohon rindang, seperti sekarang.

Yang khas di Babakan Siliwangi, paling tidak ketika saya menjadi bagian dari warga di sana, adalah arena adu bagong dan anjing. Dua bagong (babi hutan bertaring) dikerubuti oleh beberapa ekor anjing ”kampung”, bukan sejenis bulldog, herder atau lainnya. Arena pertunjukan yang menurut pencinta hewan dianggap di luar perikehewanan ini berlangsung di lereng Timur Babakan Siliwangi, di dekat jalan Sumur Bandung atau tepat di pertigaan jalan Tamansari, Dayang Sumbi dan Sumur Bandung. Karena pagarnya berupa semak-belukar, ada beberapa pintu masuk yang terbuat dari dinding yang dilubangi. Yang tidak membeli karcis ada yang berupaya naik ke pohon-pohon di sekitar arena sehingga menjadi pemandangan khas ”pohon berbuah orang”.

Pada kali lain, ada juga pertunjukan ular dan orang yang hidup ”rukun” selama 60 hari. Ularnya banyak, besar-kecil, dari berbagai jenis, mulai dari yang tidak berbisa sampai cobra yang bisanya luar biasa. Arena ini selalu ramai dikunjungi orang, terutama pada hari libur dan Ahad, bahkan diramaikan oleh wisatawan dari luar Kota Bandung.

Di sudut lain Babakan Siliwangi adalah aktivitas seni dan ada mushala di sana. Warga dapat melihat-lihat dengan nyaman dan bebas tanpa banyak dijaga. Murid-murid TK dan SD beberapa kali saya lihat berkunjung dan tampak ceria, berbaur dengan alam sejuk di sekitarnya. Pendidikan lingkungan, seni, budaya sambil berjalan dan lari naik turun sekaligus memberikan efek olah raga.

Berkaca pada potret Babakan Siliwangi dua dekade lalu, muncullah pertanyaan sbb: akankah fenomena dulu bisa diperoleh sekarang? Akankah fungsi lingkungan Babakan Siliwangi tetap terjaga ketika diubah menjadi pusat bisnis? Kalaupun tetap hendak (dipaksakan) dibangun, sebaiknya berkonstruksi tiang pancang dan berbentuk panggung agar resapan airnya tetap optimal. Material pondasi bagunan lama harus diangkat semua. Aspalnya juga diangkat semua sampai betul-betul tampak tanah aslinya, kemudian dipasangi paving block yang dapat meloloskan air hujan. Jangan membuat taman hanya sekadar untuk raihan fotosintesisnya tanpa peduli pada aspek tangsap (tangkap-resap) air hujan. Apalagi sekadar tanaman bunga semusim yang orientasinya hanya aspek keindahan tanpa kemampuan tangsap air.

Akhir kata, Kota Bandung perlu sabuk hijau yang tak sekadar untuk faktor estetika, tetapi juga geohidrologis. Dengan luas wilayah 16.730 ha, Kota Bandung perlu 20 persen sabuk hijau berpohon 1,3 juta tegakan. Dapatkah ini dicapai kalau setiap sabuk hijaunya diubah menjadi ”sabuk beton” berupa mall, hotel, dan supermarket yang tak peduli pada lingkungan dan ekologi?*
ReadMore »