• L3
  • Email :
  • Search :

25 Juli 2014

Mudik ke Kampung Akhirat

Mudik ke Kampung Akhirat
Oleh Gede H. Cahyana


Mudik sudah menjadi budaya menjelang Idulfitri. Sudah menjadi siklus tahunan, berulang pada sepekan terakhir bulan Ramadhan. Mudik sebagai bukti cinta tanah kelahiran, tertaut daerah asal, rindu ranah turunan. Meskipun sudah tahu pasti karena sudah mengalami berkali-kali, yaitu antri dalam kemacetan lalu-lintas, tetap saja perindu tanah leluhur berduyun-duyun menapak jejak dengan motor, mobil, bis, kereta api, pesawat, atau kapal. Bahkan ada yang naik becak dan kuda.

Mudik pastilah pelik. Ada tiga kelompok kondisi orang mudik. Yang kesatu, pemudik yang melengkapi dirinya dengan fasilitas yang aman, nyaman, dan menyenangkan. Mereka berkendara, baik pribadi maupun publik, dengan fasilitas AC, disajikan makanan-minuman yang enak, bergizi, dan aman lalu-lintasnya. Yang kedua, pemudik yang pertengahan, tidak terlalu nyaman tetapi tidak pula menderita. Mereka pengguna moda angkutan tanpa AC, hanya dihidangkan air minum dan agak berdesakan. Yang ketiga adalah pemudik yang menderita karena bekalnya sedikit, bahkan nyaris tanpa bekal kecuali baju yang lekat di badan. Moda angkutannya parah, sering mogok, kepanasan, tersiksa lahir batin.

Ketiga kelompok pemudik ini, setelah tiba di kampungnya, juga mengalami perlakuan yang berbeda. Yang pertama, karena membawa bekal yang banyak, fasilitas mobil yang nyaman dan aman, oleh-olehnya disedekahkan kepada tetangga, menjadi persona yang penuh pesona. Ia memesona. Ia dihormati, dielu-elukan. Yang kedua, memperoleh perlakuan pertengahan, sedangkan yang ketiga menjadi kelompok yang menderita. Tanpa membawa bekal dan oleh-oleh, malah membuat buruk suasana. “Untuk apa kau merantau di kota kalau pulang-pulang tidak membawa apa-apa yang bermanfaat buat dirimu. Kalau bisa, ada juga manfaatnya untuk saudara dan tetanggamu, “ begitu ujaran yang mendesak telinganya.

Lantas, bagaimana dengan mudik ke Kampung Akhirat? Kampung Akhirat adalah mudik yang khas karena tiada arus balik. Mudik tanpa balik. Ketika semua orang sudah sampai di kampung tujuannya, misalnya di Trenggalek, di Pacitan, di Garut, maka sekian hari kemudian mereka akan balik. Ada arus balik yang juga menimbulkan kemacetan. Tetapi, kalau tiba waktunya, orang yang mudik ke Kampung Akhirat, tentu tidak akan pernah balik. Tidak ada yang bisa balik meskipun ada yang ingin balik dan memohon kepada Sang Khalik agar ia diizinkan balik (ke dunia). Tetapi sayang, tiada arus balik di akhirat. Manusia hanya memiliki tiket satu arah. Oneway ticket.

Bagaimanapun kondisi negara, tradisi mudik patutlah dipertahankan karena ia penuh rasa persaudaraan. Ada fenomena sebaran ekonomi dari kota ke desa, ada penguat tali persaudaraan. Uang yang biasanya terpusat di kota-kota bisa dinikmati di desa dan pelosok dusun karena ada eksodus mudik. Pada saat yang sama, mudik memberikan pelajaran kepada pemudik bahwa mereka pun akan mudik ke Kampung Akhirat. Setelah tiga pekan puasa, memasuki pekan keempat, mereka berbarengan menuju kampung, menahan marah akibat motor, mobil disenggol pemudik lainnya, dan bahkan ridha pada apapun yang terjadi di jalan. Sabar dan ridha dalam kemacetan, dalam kepanasan, dalam antrian panjang menjadi latihan langsung setelah tiga pekan puasa. Latihan sabar dan menahan marah, emosi yang meletup dan egoisme pribadi.

Setiap orang akan mudik, tidak hanya yang percaya pada adanya Sang Khalik, tetapi semua makhluk, baik manusia, hewan, maupun tumbuhan. Semua akan mati. Mati adalah sesi menuju perjalanan mudik ke Kampung Akhirat.

Selamat mudik, semoga selamat sampai tujuan. *
ReadMore »

24 Juli 2014

Asal Usul Kota Bogor

Asal Usul Kota Bogor
Oleh Gede H. Cahyana


Julukan Bogor sebagai kota hujan, sudah lama dikenal. Murid-murid pasti ingat IPB: Institut Pertanian Bogor. Juga Istana Bogor. Tentu saja, Kebun Raya Bogor. Inilah tiga ikon Bogor yang luas diketahui masyarakat Indonesia, terutama murid dan santri. Bogor selain berarti tunggul kawung, juga berarti daging pohon kawung yang biasa dijadikan sagu di daerah Bekasi. Dalam bahasa Jawa Kuno, “pabogoran” berarti kebun kawung.

Dalam bahasa Sunda, menurut Coolsma L, Bogor berati droogetaple kawoeng (pohon enau yang sudah habis disadap) atau bladerlooze en taklooze boom (pohon tidak berdaun dan tidak bercabang). Jadi sama dengan pengertian kata “pugur” atau “pogor”. Dalam bahasa Sunda “mugran” dengan “mogoran” berbeda arti. Yang pertama dikenakan pada pohon yang mulai berjatuhan daunnya karena menua, yang kedua berarti bermalam di rumah wanita dalam makna asusila.

Setelah hilang selama seabad sejak 1579, kota asinan ini menggeliat kembali berkat ekspedisi yang dilakukan oleh Scipio pada tahun 1687, Adolf Winkler tahun 1690 dan Abraham van Riebeeck pada tahun 1704 dan 1709. Sersan Scipio dan dibantu oleh Letnan Patinggi dan Letnan Tanuwijaya, seorang Sunda terah Sumedang. Dari ekspedisi tersebut tidak ditemukan permukiman di bekas ibukota kerajaan, kecuali di beberapa tempat seperti Cikeas, Citeureup, Kedung Halang dan Parung Angsana.

Pada tahun 1687 itu, Tanuwijaya yang mendapat perintah dari Camphuijs untuk membuka hutan Pajajaran, berhasil mendirikan sebuah kampung di Parung Angsana yang kemudian diberi nama Kampung Baru. Tempat inilah yang selanjutnya menjadi cikal bakal kelahiran Kabupaten Bogor. Kampung-kampung lain yang didirikan oleh Tanuwijaya bersama anggota pasukannya adalah Parakan Panjang, Parung Kujang, Panaragan, Bantar Jati, Sempur, Baranang Siang, Parung Banteng dan Cimahpar.

Pada tahun 1745 Bogor ditetapkan sebagai Kota Buitenzorg, yang artinya kota tanpa kesibukan dengan sembilan buah kampung. Kampung digabungkan menjadi satu pemerintahan di bawah Kepala Kampung Baru yang diberi gelar Demang. Daerah tersebut disebut Regentschap Kampung Baru kemudian menjadi Regentschap Buitenzorg. Pada masa pemerintahan Gubernur Jenderal Baron van Imhoff dibangun tempat peristirahatan pada lokasi istana Bogor sekarang yang diberi nama Buitenzorg.

Pada tahun 1752 di Bogor belum ada orang asing kecuali Belanda. Kebun Raya didirikan tahun 1817. Letak Kampung Bogor yang awal itu di dalam Kebun Raya ada pada lokasi tanaman kaktus. Pasar yang didirikan pada lokasi kampung tersebut oleh penduduk disebut Pasar Bogor. Pada tahun 1808, Bogor diresmikan sebagai pusat kependudukan dan kediaman resmi Gubernur Jenderal. Tahun 1904 dengan keputusan Gubernur Jenderal Van Nederland Indie nomor 4 tahun 1904 Hooflaats Buitenzorg mencantumkan luas wilayah 1.205 ha yang terdiri atas 2 kecamatan dan 7 desa, diproyeksikan untuk 30.000 orang. Pada tahun 1905 Buitenzorg diubah menjadi Gemeente.

Berdasarkan Keputusan Gubernur Jenderal Van Nederland Indie nomor 289 tahun 1924, Bogor diperluas dengan penambahan Desa Bantar Jati dan Desa Tegal Lega (951 Ha) menjadi 2.156 Ha. Pada tahun 1941, Buitenzorg secara resmi lepas dari Batavia dan mendapat otonominya. Keputusan Gubernur Jenderal Belanda nomor 11 tahun 1866, nomor 208 tahun 1905 dan nomor 289 tahun 1924 menyebutkan bahwa wilayah Bogor pada waktu itu seluas 22 km2, terdiri atas 2 subdistrik dan 7 desa. Berdasarkan Undang-undang Nomor 16 tahun 1950, Kota Bogor ditetapkan menjadi Kota Praja yang terdiri atas 5 kecamatan dan 1 perwakilan kecamatan. Berdasarkan PP No. 44/1992, perwakilan kecamatan Tanah Sareal ditingkatkan statusnya menjadi kecamatan sehingga sekarang menjadi 6 kecamatan dan 68 kelurahan. *

Diolah dari Corporate Plan PDAM Kota Bogor, Kota Bogor Dalam Angka, Badan Pusat Statistik (BPS) Kota Bogor, 2006.


ReadMore »

18 Juli 2014

Inilah Potensi Zakat di Indonesia: 30 Triliun

Inilah Potensi Zakat di Indonesia: 30 Triliun
Oleh Gede H. Cahyana


Memasuki pekan ketiga Ramadhan ini atau tanggal likuran, zakat fitrah sudah mulai ramai dibahas di setiap ceramah Tarawih. Zakat fitrah ini diberlakukan terhadap semua manusia yang sudah punya ruh. Bahkan janin tiga bulanan pun wajib dibayarkan zakat fitrahnya. Menurut sunnah Nabi Muhammad Saw, pemberian zakat fitrah yang berupa makanan pokok ini wajib ditunaikan sebelum shalat “Id dilaksanakan. Apabila lewat dari batas waktu tersebut maka dinyatakan tidak sah dan dipandang sebagai sedekah atau infak sunah saja.

Oleh sebab itu, sebaran zakat fitrah umumnya tidak jauh melampaui batas geografis, malah edarannya hanya di dalam lingkaran administrasi kelurahan atau desa saja. Sebagai mustahik, para penerima zakat ini, biasanya fakir miskin yang merupakan dua kelompok dari delapan asnaf, sepekan kemudian kembali kekurangan makanan pokok. Baru tahun depan mereka akan diberi zakat fitrah lagi. Artinya, kemiskinan tak jua entas dari kaum muslimin. Beginilah faktanya. Untuk sekadar makan saja mereka tak mampu, apalagi makan makanan yang lengkap gizinya (dulu istilahnya: empat sehat, lima sempurna).

Berapa potensi zakat fitrah di Indonesia? Kalkulasi kasarnya, umpamakan saja penduduk Indonesia berjumlah 250 juta orang dan 80% beragama Islam. Dari 200 juta orang itu, taruhlah yang miskin 30 juta orang sehingga yang muzakki berjumlah 170 juta orang. Per orang mengeluarkan 2,5 kg beras atau makanan pokok lainnya yang menghasilkan jumlah total 170.000.000 x 2,5 = 425.000.000 kg. Jumlah ini dibagi rata untuk 30 juta orang, 425 : 30 = 14,17 kg per orang. Beras 14,17 kg itu bisa untuk makan selama sebulan atau bahkan dua bulan per orang dengan tiga kali makan sepiring takaran normal orang Indonesia. Memang, tentu saja, belum termasuk lauk-pauk dan sayurnya. Juga belum termasuk buah dan susunya (kalau kita masih sepakat pada jargon empat sehat lima sempurna). Lantas, sepuluh atau sebelas bulan sisanya, mereka makan apa?

Meminjam hirarki buatan Abraham Maslow, konsumsi zakat oleh kelompok fakir miskin itu hanyalah untuk kebutuhan fisiologis, kebutuhan dasar dan utama. Untuk menyediakan makanan selain dari zakat fitrah, sebagai rahmatan lilalamin, Islam sudah menyediakan instrumen selanjutnya, yaitu zakat mal. Jenis zakat ini justru lebih fantastis jumlahnya.

Menurut pakar ekonomi syariah, Prof. Dr. H. Suroso Imam Zadjuli, S.E, dana kaum muslimin dari zakat mal dan fitrah pada bulan Ramadhan mencapai Rp30-an triliun. Hanya saja, dana tersebut hanya sedikit yang disalurkan untuk pemberdayaan kaum fakir miskin. Selain itu, dana tersebut mayoritas disalurkan oleh muzakkinya secara langsung, tidak melalui institusi amil zakat seperti Rumah Zakat, Rumah Yatim, DPU DT, PKPU, dan lain-lain, baik institusi pemerintah maupun swasta.

Secara syariat, menunaikan zakat secara langsung kepada mustahiknya tentu sah-sah saja, baik dibayarkan sekali setahun atau sekali sebulan, atau dibayarkan segera setelah uang itu diperoleh, minimal 2,5%. Disalurkan lewat institusi amil zakat pun bagus-bagus saja, asalkan diurus secara bertanggung jawab, akuntabel dan auditabel.

Lebih daripada itu adalah kemauan kita untuk membayar zakat, willingness to pay zakat. Sudahkah zakat mal itu kita tunaikan?

ReadMore »

Gaza, Palestina, dan DK PBB

Gaza, Palestina, dan DK PBB


Sejauh ini, Palestina (Gaza) selalu dirugikan oleh pemegang Hak Veto di Dewan Keamanan PBB, terutama oleh Amerika Serikat. Negara yang disetir Yahudi ini bagai ular berkepala dua, munafik. Demokrasi yang dielu-elukannya adalah demorasi yang crazy sehingga gila pula para pejabatnya. Lagi pula, AS begitu gentar melihat keberanian kaum muslim dalam bom-bom syahidnya sehingga mereka berupaya membunuhi anak-anak dan wanita pelahir anak-anak. Bom pembasmi yang berasal dari AS itu digunakan oleh Israel secara membabi buta.

Hal serupa pernah terjadi pada peristiwa Shabra-Satila. Ribuan wanita dan anak-anak tewas terpanggang panasnya bom. Memang, sejumlah negara mengutuk pemboman itu, tapi sekadar mengutuk saja. Atau, boleh jadi mereka pura-pura mengutuk untuk menabiri senyum gembiranya melihat kehancuran kaum muslim. Lembaga dunia yang bertujuan mengamankan dunia dari mala petaka buatan manusia semacam perang, sesuai semangat Liga Bangsa-Bangsa pada awalnya dulu, hanyalah macan ompong. Justru mereka gentar dan takut berat terhadap gerak-kembang Islam sehingga diam saja. Jangankan PBB yang notabene adalah AS dan Israel yang memang islamofobi, negara-negara anggota OKI saja bergeming (tidak bergerak), diam seribu basa. Sekadar dukungan moral saja tidak ada. Berbeda dengan rakyatnya di tataran akar rumput, mereka merasa satu tubuh dan marah lantas bertekad turut berjihad di sana. Tapi sayang, jumlahnya tidak banyak. Kebanyakan dari Suriah dan Iran. Bahkan pernah terjadi, muslimin Indonesia yang hendak berjihad di sana justru ditakut-takuti dan dihalangi oleh pemerintah Indonesia.

Kini, setelah lebih dari 200 orang tewas di Gaza, negara-negara yang pejabatnya pembenci Islam, penganut islamofobi “seolah-olah” mengutuk perbuatan perikehewanan Israel di sana. Mesir versi As Sisi juga begitu. Seolah-olah. Ada drama satu babak yang mereka lakonkan sekarang. Drama-drama ini bisa mereka mainkan berkali-kali sesuai situasi dan kondisi yang mereka alami. Kepura-puraan itu sangat kentara lewat silat lidahnya di media massa. Taktik mereka adalah menyerang terus ketika masih di atas angin dan langsung minta gencatan senjata ketika sudah tersudut dan terpepet. Inilah taktik usang mereka, sama persis dengan moyang mereka, yaitu kaum Yahudi pada masa Nabi Muhammad SAW. Dengan kata lain, kaum Yahudi itu bangsa penakut. Tentara Israel itu sangat penakut, sama seperti AS yang beraninya hanya main keroyokan di Afghanistan dan Irak.

Yahudi adalah pendatang di Palestina. Karena serakah, Yahudi yang menggelandang itu lalu merebut jengkal demi jengkal tanah Palestina dan mengklaimnya sebagai bangsa yang berhak atas tanah itu. Atas kekuatan ekonomi yang mereka susun, mereka lantas mampu menyetir AS dkk. Bahkan boikot dan veto AS di DK PBB pun sebetulnya atas usul lobby Yahudi. Namun demikian, peristiwa seperti ini sebetulnya bukanlah hal baru. Sebab, veto dan boikot ekonomi yang dialami Palestina pun pernah dialami oleh nabi terakhir kita. Malah gempuran kaum kafirin Quraisy begitu membabi buta termasuk ketika mengintimidasi para sahabat Muhammad bin Abdullah. Kelaparan, siksa pedih dan intrik begitu dekat dengan kaum muslim pada masa nabi. Hal senada terjadi pada masa sekarang di berbagai pelosok bumi: di Irak, di Afghanistan, di Filipina, di Thailand dan di Afrika, selain di Palestina dan Libanon. ***

ReadMore »