• L3
  • Email :
  • Search :

21 Februari 2015

Hikmah Longsor TPA Leuwigajah

Hikmah Longsor TPA Leuwigajah
Oleh Gede H. Cahyana




Kenang, Kenanglah Kami
(Satu Dasawarsa Longsor TPA Leuwigajah, 21 Februari 2005)

Hening, sepertiga malam terakhir
Bahana derik jengkrik di kejauhan
Lapak-lapak pemulung tangkup bisu
Ricikan membasah, hujan semalaman
Gemuruh suara
Bukan…!
Bukan Gemuruh
Itu gelegarrr.., itu dentuman!
Itu ledakannn…
Tapi
Ledakan apa?
Hanya sekejap, lenyap

Lampus, tak kurang dari 147 orang
Ruh terlepas dari jasadnya
Sepekan-dua pekan lewat,
Parijs van Java
menjadi
Rubbish van Java
-----------------------------

Bandung, 21 Februari 2015

Sepuluh tahun sudah usia bencana longsor TPA Leuwigajah (21 Februari 2005) yang menimbun tak kurang dari 147 orang. Inilah bencana terbesar TPA di Indonesia, bahkan sampai sekarang belum ada yang menandinginya. Mudah-mudahan tidak pernah terjadi lagi, di mana pun di Indonesia. Kota Bandung sebagai pemasok sampah terbanyak pada waktu itu menjadi lautan sampah. Bandung Lautan Sampah dijadikan yel-yel oleh demonstran seperti LSM, mahasiswa, dan warga Bandung, Untung saja Facebook dan Twitter belum ada saat itu. Kalau ada, tentu akan makin masif dan ramai di jagat nyata dan maya, bahkan bisa menjadi penyulut demo yang efektif. Betapa Bandung yang pernah berjuluk Parijs van Java berubah menjadi Rubbish van Java.

Namun demikian, selalu saja ada hikmah di balik bencana dan kesusahan hidup. Blessing in disguise, orang bilang. Hikmah pertama, setelah diskusi panjang yang berlarut-larut, menerima masukan dari akademisi, LSM, dan warga masyarakat, pemerintah pusat dan DPR menyusun Undang-Undang Pengelolaan Sampah. Deretan workshop digelar, begitu juga seminar dan focused group discussion di berbagai daerah, dengan suasana “panas” dan emosional. Fase ini berakhir manis, yakni DPR mensahkan Undang-Undang No. 18 tahun 2008 tentang Pengelolaan Sampah.

Hikmah kedua, orientasi TPA Open Dumping bergeser menuju Sanitary Landfill sehingga projek-projek Sanitary Landfill makin banyak. Ini mendatangkan manfaat bagi kalangan yang ahli di bidang teknik pembuangan akhir sampah (refuse disposal), baik konsultan, kontraktor, akademisi, pengelola projek di dinas (kementerian), dan perusahaan pembuat, suplier, dan penjual pipa, geotekstil, geomembran, tanah urug, dan puluhan aksesoris teknologi persampahan lainnya. Nilai projek persampahan ini mencapai triliunan. Tentu saja, ini yang patut disayangkan, pemerintah daerah yang menggebu-gebu membangun Sanitary Landfill tidak disertai oleh kemampuan sumber daya manusianya dalam pengelolaan TPA. Akibatnya, banyak TPA yang didesain Sanitary Landfill akhirnya berubah menjadi Open Dumping lagi.

Hikmah ketiga, akronim “tiga er” atau “3R” makin dikenal dan fasih diucapkan bahkan oleh ibu rumah tangga sekalipun karena gerakan ini sangat masif disebarkan oleh pemerintah daerah lewat kelurahan, RW/RT, termasuk majelis taklim dan posyandu. Gerakan pembuatan lubang biopori dengan memasukkan sampah organik ke dalamnya sempat booming. Sekarang juga digelar Gerakan Pungut Sampah (GPS) dan selalu rutin di-posting oleh walikota di Facebook dan Twitter. Ini cara yang efektif untuk menggerakkan atau minimal memperkenalkan rasa peduli pada kebersihan lingkungan di kalangan anak muda dan sekolah yang banyak memiliki akun aktif Facebook dan Twitter. Gerakan 3R terus meluas, bahkan sudah masuk ke desa-desa untuk memberikan ilmu dan paham bahwa sampah yang ditimbulkan oleh manusia harus ditangani sedemikian rupa sehingga tidak mencemari lingkungan dan menyumbat selokan.

Keempat, muncul perdebatan yang “belum berkesudahan” perihal PLTSa. Awalnya, atas masukan dari akademisi, walikota Bandung menyatakan akan merilis program Waste to Energy. Program ini ditentang oleh masyarakat dan LSM yang khawatir pada dampak buruknya pada udara, air, dan tanah di cekungan Bandung. Bahkan pakar lingkungan seperti Prof. Otto Soemarwoto (alm) pun ikut turun tangan dan hadir di berbagai event yang membahas insinerator ini, termasuk pernah “dilecehkan” oleh DPRD Kota Bandung. Program ini akhirnya diubah menjadi PLTSa (Pembangkit Listrik Tenaga Sampah) berbasis pembakaran (insinerasi). Karena menggunakan teknologi insinerator, maka rencana in pun ditolak warga. Sampai saat ini, belum ada keputusan pasti tentang PLTSa ini, apakah batal ataukah lanjut.

Kelima, muncul kesadaran untuk memberikan pendidikan lingkungan di SD, SMP, MTs, dan SMA, SMK, MA berupa Muatan Lokal (Mulok) Pendidikan Lingkungan (Hidup). Bandung adalah kota pertama di Indonesia yang merilis program ini dalam bentuk peraturan. Artinya, bukan inisiatif sekolah per sekolah atas dasar kesadaran guru dan kepala sekolahnya. Ini pernah menjadi gerakan masif di semua sekolah di Bandung. Program ini sempat juga diikuti oleh daerah-daerah lainnya. Hanya saja, program ini mulai mati suri tiga tahun terakhir ini, seolah-olah pada pendidik dan pemerintah mulai melupakan esensi Mulok PLH dan tragedi 147 orang yang tertimbun sampah. Semoga Mulok PLH bisa dimunculkan lagi.

Tentu saja, selain hikmah tersebut, ada sederet lagi masalah yang menggayut di lengan Pemerintah Kota Bandung. Di antaranya, masalah TPA Sarimukti yang kerapkali diprotes warga setempat dan sekitar jalan akses truk-truk sampah. Begitu pula pemerintah provinsi, berkaitan dengan rencana TPA Legok Nangka. Apa dan bagaimana realisasi dan metode transportasi truk menuju lokasi? Dengan kepadatan lalu lintas yang tinggi, sesekali banjir di Rancaekek, apalagi pada musim libur dan lebaran, tentu bukan hal mudah bagi puluhan armada sampah berlalu-lalang di zone ini. Apalagi lokasinya menurun, menuju ke arah Nagreg.

Agar peristiwa Sarimukti tidak berulang di Legok Nangka, maka persiapan lapisan dasar TPA harus betul-betul mengikuti kaidah desain dan maksimal, karena ini berkaitan dengan pemanfaatan biogasnya di masa depan. Secara teoretis, dari 1.000 kg COD air sampah (lindi) dapat dihasilkan 12 juta BTU (British Thermal Unit) sebagai metana; 10.000 BTU sekira 1 KWH. Selamat memperingati satu dasawarsa longsor TPA Leuwigajah, dikenang untuk tidak terulang. *

ReadMore »