• L3
  • Email :
  • Search :

29 Desember 2014

Memimpikan Alun-alun Ramah Lingkungan

Memimpikan Alun-alun Ramah Lingkungan

Oleh Gede H. Cahyana



Hampir 17 tahun usia artikel ini, dikirim ke koran Galamedia (GM). Alun-alun Bandung, dengan wajah barunya, akan diresmikan oleh Walikota Ridwan Kamil pada 31 Desember 2014. Mimpi 17 tahun lalu ini, mudah-mudahan saja betul-betul terwujud pada tahun 2015.
------------------------------------------------------

Rencana Pemda Kodya Bandung menutup Jl. Dewi Sartika - segmen di depan Masjid Agung - seperti diliput oleh “GM (20/3) dan tajuk rencananya (21/3) yang lalu, mendapat tanggapan pro dan kontra dari banyak kalangan. Yang kontra beralasan akan ada penurunan PAD (Pendapatan Asli Daerah) dan ancaman PHK bagi dua puluhan orang tukang parkir di kawasan tersebut. Gema protes keras itu, menimbulkan penafsiran negatif di kalangan masyarakat. Ada apa gerangan? Untuk perparkiran, “GM” menulis ada Rp 40 juta uang retribusi parkir raib per harinya. Atau sekitar Rp 14,4 miliar per tahun! Sebagai perbandingan, target pendapatan pada tahun anggaran 1998/1999 hanyalah Rp 4,2 miliar.

Berseberangan secara diametral, kelompok warga yang setuju pun tidak kalah banyaknya. Jumlah saran, usulan dan masukan via surat pembaca di media massa sudah tak terhitung. Mereka adalah kalangan yang kehilangan nuansa tumakninah sebagai warga Bandung yang pernah dibelai lembut oleh Bandung Tempo Doeloe! Sudah gerah melihat dekadensi moral yang mewujud di sekitar masjid itu. Dengan serius mereka menghujat kesemrawutan, kebisingan, kenyamanan dan keamanan di sekitar Alun-alun. Merekalah pencinta Bandung dengan motto Berhiber. Keinginannya kuat untuk meraih kembali Parijs van Java, Kota Kembang yang hilang.

Namun pada sudut yang lain, kalangan netral tanpa vested interest, mengkhawatirkan terjadinya penumpukan kendaraan di ruas jalan yang lain, khususnya pada pagi dan sore hari. “Pengalihan jalur,” katanya, “hanya memindahkan kemacetan!” Penambahan jalan, apalagi dengan area parkir, dianggap sudah tidak mungkin lagi. Kawasan hutan beton itu, memang tidak memiliki celah untuk ditata ulang. Artinya, kemacetan di jantung kota Bandung itu menjadi suatu keharusan. Jika dipaksakan maka social cost-nya akan sangat tinggi. Bayangkanlah, mega aktivitas padat di noktah sejarah (historical spot, Kunto 1984) mulai dari kegiatan di Masjid Agung, sekolah, perkantoran, hotel, trayek angkot, sentra bisnis dan hiburan di dalam radius 500 m. Terlebih lagi dekat stasiun, terminal Kebon Kalapa, Kantor Pos Besar dan dilewati oleh jalur bis kota. Itu semua menambah sareukseuk kawasan yang luasnya tidak lebih besar daripada lapangan sepak bola tersebut.

Sebenarnya keinginan menata kawasan Alun-alun sudah menjadi lagu lama. Haryoto Kunto (alm) telah mengkompilasi metamorfosis Alun-alun. “Sudah tiga kali ubah muka,” tulisnya. Hingga sekarang, mungkin telah lima kali wajah pusat budaya (baheula) itu “dioperasi”. Namun pada era reformasi ini, ketika semua orang bebas bicara, tuntutan itu menguat. Ulama dan kaum terdidik apik (akademisi dan pelajar) sering menggelar mimbar bebas di Alun-alun, yang “doeloe” menjadi arena budaya. Tuntutannya sama dan sebangun dengan pembubaran dan restrukturisasi daerah kelabu Saritem, yang akan dijadikan pesantren. Sejauh ini, gemanya memang masih terdengar sayup-sayup.

Namun demikian, aspek yang mengemuka sejauh ini adalah sisi sosioekonomi dan budaya saja. Sedikit - untuk tak menyebut tidak ada - kalangan yang meninjau aspek sosio ekologinya. Padahal aspek ini berpengaruh luas terhadap kondisi sosial, budaya dan ekonomi. Yang paling kentara di dalam masalah ekologi adalah kondisi vegetasi sebagai paru-paru kota, parameter utama kota bernuansa gunung. Ajakan di dalam motto Berhiber itu pun erat kaitannya dengan kawasan hijau.

Tidak Ramah lingkungan?
Alun-alun sudah tidak ramah lagi! Secara sosial budaya, dengan kasat mata dapat diyakini bahwa daerah tersebut menjadi ajang perjudian. Ada pula warga yang meniru mentah-mentah budaya “barat”. Westernisasi itu merasuk ke mode pakaian hingga ke cara bergaul. Tanpa rasa sungkan, para remaja - mulai dari pelajar hingga warga awam lainnya, berpesta moral di sana. Tidak sekedar berpegangan tangan. Kini telah jamak dilihat, pasangan nir-nikah itu, berpelukan dengan intimnya. Puncaknya akan terjadi menjelang tengah malam. Terutama pada Sabtu malam, malam tahun baru atau Hari Valentine. Semua kalangan, seolah-olah tumpah ruah di sana. Sangat biasa, jika petugas kebersihan menjumput CD (celana dalam), kondom dan bungkus pil KB, setiap hari!

Penganut “baratisme” yang sebagian besar adalah pemuda/di, mengalami sindrome familiar strangers. Mereka tidak saling kenal kecuali dengan konco-konconya, bergaya hidup AWOL (American Way of Life). Padahal, Dewi Sartika - yang dikenang dengan nama jalan di Alun-alun itu - sangat perhatian pada kemajuan wanita. “Sakola Istri” yang akhirnya diubah menjadi “Sakola Kautamaan Istri” adalah hasil obsesinya untuk memberdayakan wanita. Namun kini, hiburan dan lipuran di Alun-alun seperti bioskop dan amusement jika tidak selektif akan menunjang lost generation. Hal yang dihindari oleh Dewi Sartika. Dan di sana, dengan interaksi yang pekat di antara pengunjung namun miskin komunikasi, akan suburlah sikap kamu adalah kamu dan aku adalah aku.

Dari sisi sosial ekonomi, alun-alun - seperti halnya BIP - menjadi pusat jor-joran kapitalisme. Akibatnya, lokasi mejeng itu sering menjadi ajang penodongan. Pencopetan sudah menjadi keseharian. Kesenjangan ekonomi, dianggap pencetusnya. Namun, di sela-sela gemerlap kemewahan, tak terhitung jumlah pengemis (anak-anak) dan kalangan yang terpinggirkan secara sosial, ekonomi dan pendidikan. Mereka tak terimbas oleh perputaran miliaran rupiah kapital di sentra bisnis tersebut. Area Pendopo Kabupaten tengah mengalami krisis (urban crisis). Kawasan yang menjadi salah satu land mark Bandung itu, awal dekade 80-an ketika serbuan supermarket belum gencar adalah tujuan pelesir kaum muda. Selain berada di jantung kota, mudah dijangkau oleh angkot juga karena dekat masjid untuk shalat.

Namun, seperti disebutkan di atas, kondisi sosioekologinya sangat memprihatinkan. Entah berapa belas ribu kendaraan yang lalu lalang dan parkir per harinya. Selain bising dan mengurangi kenyamanan ibadah di Masjid Agung, limbah gasnya banyak mengandung CO (karbon monoksida), gas yang tidak berwarna, tidak berbau, tidak berasa dan sedikit larut di dalam air. Gas hasil dari pembakaran tidak sempurna mesin itu, sangat berbahaya. Metabolisme aerobik manusia dapat rusak karenanya. Ini diakibatkan oleh daya ikat (afinitas) CO terhadap hemoglobin (Hb) sangat besar. Dan, sekitar 48% pencemar udara di perkotaan berasal dari gas CO. Selanjutnya diikuti oleh gas SO2 (15 %), NOx (15%) dan Hidrokarbon (16%). Pada kondisi itu, kontributor utama CO adalah sektor transportasi, antara 70% hingga 85%.

Selain gas CO, ancaman serius juga datang dari keracunan kronis akibat timbal atau timah hitam (lead) yang berasal dari TEL (tetra etil lead). Keropos tulang adalah dampak akumulasi (penimbunan) timbal di dalam tulang akibat pertukaran dan reposisi ion kalsium. Keracunan sistemik pun dapat diderita oleh seluruh tubuh (hati dan pankreas). Bising itu, seperti disinggung di atas, dapat mengganggu kenyamanan dan konsentrasi kerja, mengganggu komunikasi, merusak pendengaran baik temporer maupun permanen.

Mencari solusi
Mencermati fenomena di atas maka sangat dituntut sikap lapang dada semua pihak. Tujuannya adalah mencari solusi dari opsi yang ada. Dan memang tidak akan ada satu pilihan (option) pun yang memuaskan semua pihak. Jadi harus ada pembagian rasa puas (sharing). Terutama mereka yang selama ini menangguk untung dari kondisi sekarang. Relakah dicap sebagai penopang “status quo”? Meskipun demikian, pihak yang “tergusur”, harus tetap diindahkan. Khususnya kalangan marginal, para PKL termasuk petugas parkir. Terlebih, menurut “GM”, ada 236 lokasi parkir di Kodya Bandung yang dapat dijadikan tempat “mutasi” yang bersangkutan.

Selanjutnya, taman Alun-alun itu bisa dikembangkan menjadi bentang hijau (green area) yang lebih baik lagi. Belum terlambat. Masih ada sedikit waktu. Membongkar kolam dan pot tanpa bunga dan menanaminya dengan pohon (bukan perdu) seperti di THR Djuanda adalah salah satu way out-nya. Pedestrian paving block (semoga di bawahnya memang tanah, bukan semen apalagi aspal) akan mendukung resapan air. Diharapkan hal ini mampu merestorasi wajah kelamnya dan mengukirnya menjadi paru-paru kota.

Untuk area parkir memang pelik. Sebagai opsi, dapat dipindahkan ke tempat yang lebih jauh dari Alun-alun, seperti kawasan Cikapundung dan Kebon Kalapa. Warga yang ingin ke Alun-alun dapat berjalan kaki atau disediakan angkutan ramah lingkungan. Misalnya kawasan bersepeda (akan memunculkan rental sepeda) atau trem listrik untuk masa depan. Tujuannya untuk mengurangi dampak negatif gas CO dan pajanan timbal. Karena selain pengunjung, keracunan juga mengancam para sopir angkot, penumpang, pedagang, petugas parkir dan polisi lalu-lintas. Mereka amat potensial terpajan gas CO dan timbal. Ini diperparah lagi oleh udara di Cekungan Bandung yang calm, berkecepatan rendah.

Opsi yang lain adalah upaya reverse urbanization. Membangun kawasan pemukiman, perkantoran dan pusat bisnis di daerah pinggiran, menyebar di delapan penjuru angin. Maksudnya adalah memecah konsentrasi massa dan kendaraan, sehingga kadar polutan dapat diminimalkan. Termasuk memperkecil kemungkinan bahaya sosial dan mengurangi beban lalu-lintas pada saat jam-jam puncak atau hari libur.

Dalam dimensi nasional, imporlah BBM yang rendah kadar sulfurnya dan gunakan bensin biru bebas TEL. Tentu cara efektif adalah pembatasan jumlah kendaraan bermotor (pribadi) yang masuk kawasan itu. Bagaimana mekanismenya, itulah tugas anggota DPRD dan eksekutif daerah untuk berfikir dan berkarya. Toh rakyat memilihnya memang untuk mencari solusi dari masalah yang ada, tanpa menimbang berapa gajinya.

Akhirnya, apa pun pilihannya, harus memberi andil dalam pelestarian fungsi lingkungan Alun-alun. Menjadikannya lebih ramah lingkungan dan warga yang peduli dan antusias dapat melalui hijaunisasi - Gerakan Penghijauan, Gerakan Sejuta Pohon! *

Catatan:

Pada masa itu, istilahnya adalah Kota Madya atau Kodya. Dulu Saritem masih “heboh” tetapi sekarang sudah berubah menjadi pesantren.
ReadMore »

8 Desember 2014

Surat Untuk Tuhan

Surat Untuk Tuhan
Oleh Gede H. Cahyana


Hujan deras pekan ini disertai angin puting-beliung, merusak sawah dan ladang di desa pinggir kota. Seorang lelaki paruh baya bermuram durja. Sambil bicara dengan istrinya, ia merapikan selimut usang ke dada anak keduanya lalu duduk di dekat Si Sulung yang murid SD.

“Enam bulan ke depan kita tidak punya bahan makanan. Singkong dan ubi belum jadi, keburu dihantam badai, bu” lirihnya.

“Ya pak,” singkat kata istrinya, perempuan asli desa di lereng gunung itu.

“Padi dua bulan, rebah ditutupi banjir. Tak ada yang bisa menolong kita.”

Meskipun ia dan istrinya tidak lulus SD, tidak pandai, tetapi ada secercah iman dan harapan.

“Tuhan akan menolong. Tidak akan mati kelaparan,“ gumamnya dalam yakin.

Ia lantas merobek selembar kertas dari buku lusuh anaknya, dan dengan terbata-bata, ia tulis satu-dua huruf, dua-tiga kata hingga menjadi kalimat. “Tuhan, sawah dan kebun rusak. Habis tak bersisa. Singkong dan ubi makin sedikit di dapur. Jagung habis. Tolong beri kami uang lima juta rupiah.”

Esoknya, ia berbegas ke kantor pos, pagi-pagi. Setelah ditempeli prangko biasa, ia serahkan kepada pegawai kantor Pos dan langsung pulang.

Begitu membaca alamat tujuan di sampul surat itu, pagawai kantor Pos tertawa lebar. Kepala cabang kantor Pos itu pun tidak bisa menahan tawanya. Berderai-derai tawanya sehingga perutnya makin menyembul ke luar sela-sela kancing bajunya.

Sejurus kemudian, ia terkesiap. Ia salut kepada lelaki itu. Imannya tinggi, pikirnya. Ia masih percaya pada adanya Tuhan. Lelaki dusun, bodoh, dan miskin itu, masih punya harapan. Ia lantas mengajak pegawai kantor Pos itu menyumbang sukarela dan meneruskannya juga ke warga di sekitar kantor, termasuk menelepon kantor pusat.

“Terkumpul juga uang tetapi tidak sejumlah yang diminta lelaki itu. Tak apalah.” Kepala kantor Pos lantas menulis surat untuk lelaki desa itu.

Dua hari berselang, lelaki itu mendatangi kantor Pos dan menanyakan surat balasan dari Tuhan. Dengan sopan, kepala kantor Pos memberikan surat yang berisi uang. Riang hati lelaki itu dan balik ke rumah.

“Tidak mungkin. Ini hanya dua juta rupiah. Sisanya ke mana?”

Ia pun merobek selembar kertas dari buku lusuh anaknya dan menulis lagi. Segera ke kantor Pos dan tanpa bicara langsung dimasukkan ke kotak surat.

Kepala kantor Pos langsung membuka dan membacanya. “Tuhan, terimakasih, uang sudah kuterima. Tetapi jumlahnya kurang. Tolong kirimkan kekurangannya langsung ke rumah. Jangan lewat Pos lagi. Sebab, pegawai kantor Pos kota ini pencuri semua.” *** 

(Ide dari: Surat Buat Tuhan, Gregorio Lopez y Fuentes). (Maaf kepada pegawai Pos di manapun, tiada maksud buruk, ini hanya tulisan fiktif atau cerita saja).

ReadMore »

5 Desember 2014

Surat Untuk Walikota Bandung: Banjir, 2 km = 3 jam

Surat Untuk Walikota Bandung: Banjir, 2 km = 3 jam
Oleh Gede H. Cahyana



Kepada Yth. Bapak Walikota Bandung

Hujan pada Jumat, 5 Desember 2014 hanyalah awal, belum puncaknya. Pada medio Januari - Februari 2015 nanti diperkirakan curah puncaknya. Kalau sekarang saja sudah banjir parah, apatah lagi pada bulan tersebut. Pak Walikota Bandung, kami hargai semua festival malam-kuliner yang sudah dilaksanakan. Kami hargai juga taman-taman yang disemai. Juga sejumlah komposter dan digester sampah miniplant.

Hanya saja, tolong diingat juga daerah genangan di Gedebage, Cisaranten dan sekitarnya. Di daerah ini, jarak tempuh dua kilometer bisa mencapai tiga jam. Ini rekor baru, catatan buruk tentang pemborosan BBM, waktu habis percuma, dan tingkatkan stres warga. Padahal di selatan daerah ini ada sungai besar yang bisa menjadi pematus genangan. Lantas, apa masalahnya? Kami harap, tolong prioritaskan program pemkot dan APBD untuk meniadakan banjir rutin ini. Petanya ada lengkap, tata guna lahan tercatat akurat, kondisi geologi, hidrologi juga tersedia, ilmu dan teknologi juga sudah klasik, lantas, apa masalahnya? Sampahkah? Wargakah? Tentu tidak elok terus-menerus menyalahkan warga dan sampah dan tidak akan tercapai solusi agar Bandung bebas banjir. 

Pak Wali, tolong jangan biarkan atribut Parijs van Java berubah menjadi Parit van Java. Bandung sekarang seperti kota parit atau selokan. Hanya dengan hujan ringan saja, tak sampai setengah jam, mayoritas ruas jalan dan lahan berubah menjadi parit, menjadi genangan, menjadi kolam dadakan. Parahnya lagi, air hujan yang “suci-bersih” dari atmosfer itu lantas bercampur dengan air limbah hitam, tahi ternak, tinja dan air kencing, juga belepotan dengan sampah. Belum lagi minyak, solar, oli, bensin, dan polutan dari pabrik besar dan skala rumah tangga yang menyebar di tatar Bandung.

Dengan fakta ini, masih layakkah sebutan Parijs van Java disandang oleh Bandung? Atau, atribut substitusi yang patut disematkan pada Bandung kini adalah Venezia van Java? Lagu Hallo-Hallo Bandung pun diubah dengan gubahan baru menjadi “sekarang sudah menjadi lautan cai (bukan api).

Namun demikian, bagaimanapun juga, Bandung tetap kami cinta. This is the city and I am one of the citizens, tulis Walt Whitman. Kami setuju.

Save Bandung City, save the citizens. *


(Foto: dok Antara, 2013)

ReadMore »

3 Desember 2014

Jonru, Sang Prof dan Prov(okator)

Jonru, Sang Prof dan Prov(okator)
Oleh Gede H. Cahyana


Namanya ramai dipercakapkan di banyak media, termasuk di media sosial semacam Facebook dan Twitter. Malah namanya menjadi trending topic di Twitter. Setahu saya, sejak awal kampanye pemilihan presiden, Jonru sudah memosisikan dirinya sebagai pro-Prabowo-Hatta dan kontra-Jokowi-JK. Sah-sah saja. Semua orang Indonesia berhak (bahkan wajib) ikut dalam pesta demokrasi pilpres tahun 2014, kecuali ada peraturan yang melarangnya, seperti yang diberlakukan pada anggota TNI dan PolRI dan narapidana dengan kurungan di atas lima tahun.

Bedanya, ada WNI yang malu-malu mendukung calon tertentu, ada juga yang lugas menyokong, bahkan menjadi tim suksesnya. Sah-sah saja. Ada yang malah berdiri di dua kaki, artinya, siapa yang menang, ke sanalah mereka bergerak dan mendukung. Ini pun sah-sah saja. Ingat, sah-sah saja. Sah-sah saja. Bukan syah-syah saja. (sah = absah, sesuai dengan hukum, syah = semacam raja, misalnya Syah Iran, maaf bukan ngajari lho, sengaja diulang-ulang karena ada juga kalangan yang belum tahu, hanya sekilas info, h hm m). :)  Keep smile … mari menuju bagian yang menegangkan.

Ini dia. Jonru! Mudah-mudahan pembaca bisa melemaskan otot dan syaraf masing-masing. Begini. Sembilan tahun atau hampir sepuluh tahun lalu, saya bergabung di milis penulislepas@yahoogroups.com, sebuah milis yang laris pada masa itu. Selain nama-nama penulis yang sudah beken, ada juga saya temukan nama Jonru di sana. Waktu itu tertulis JOnru. Saya tak kenal orang ini, macam apa pula dia, dari mana asalnya, tak ambil pusing lah aku. Namun tulisan demi tulisan dipostingnya oleh lelaki berkumis tipis ini. Wajahnya khas. Ya… khas dia lah. :)

Tapi ada satu hal, Jonru itu seorang prof. Ia juga prov. Prof: profesional di bidang tulis-menulis dan ajakan untuk menekuni dunia tulis. Prov: provokator di bidang goras-gores pena dan pensil. Ia sukses menghasut banyak orang dan sudah banyak jatuh korban. Pelatihannya, ada yang membludak pesertanya, ada juga yang sepi seperti sekian hari lalu dan menjadi ajang-bincang dan caci-leceh di medsos. Bukan Jonru kalau tidak punya senjata penangkal. Berbekal jejak-ilmu dan tapak-latih belasan tahun di dunia curah ide lewat tulisan, menekuni swapenerbit, motivator (provokator, komporer seperti kata Bambang Trim) di bidang penulisan buku, ia mampu menjelaskan dengan tepat dan menerangkan secara gamblang kepada parapihak yang pro dan kontra atas sepak-tendangnya di dunia politik dan politik kepenulisan.

Jonru, ia memang ada. Suka tak suka, cinta atau benci, ia sudah lama eksis di dunia kepenulisan Indonesia, jauh sebelum gonjang-ganjing pilpres dan heboh dari hari ke hari setelah pengumuman nama-nama menteri oleh Presiden Jokowi sampai detik ini. Jonru menabur benih, maka ia menuai. Apakah menuai badai? Ini bergantung pada posisi seseorang dalam pilpres. Yang pasti, ia semai bibit-bibit penulis lewat situs Penulislepas, Dapur Buku dan sejumlah media lainnya. Ia konsisten dengan langkah sejarahnya. Ia melepas foot print-nya di FB, di Twitter, dan barangkali di medsos lainnya. Konsistensi inilah yang menjadi nilai lebih dirinya.

Ia ajeg di “dunia sepi”, dunia para pencurah ide, untuk pencerahan ilmu pembacanya. Meskipun belum pernah bertemu langsung, saya menghargai Pengetahuan, Keterampilan, dan Sikap (PKS) Jonru di dunia tulis. Dalam kepelatihan atau training, tiga hal inilah yang menjadi tumpuan pijakan seorang trainer dan trainee. Semoga negeri nyiur melambai ini melahirkan penulis-penulis andal, selamanya. ***
Jonru dan Penulis Lepas

ReadMore »

22 November 2014

Menjadi Musuh Bebuyutan yang Sinergis

Menjadi Musuh Bebuyutan yang Sinergis
Oleh Gede H. Cahyana



Namanya Alteromonas. Ia tinggal di perairan pantai sebuah pulau kecil, tidak jauh dari ibukota. Sesuai dengan tupoksinya, ia memiliki tugas dan fungsi khas di dalam kehidupan ekosistem. Di lokasi setempat juga hidup Vibrio harveyi yang tupoksinya juga khas. Karena sudah turun-temurun, orang bilang sudah musuh bebuyutan, mereka bersitegang secara berkala. Mirip suku-suku di Nusantara yang kerapkali bakupanah, bakutombak, atau preman pasar dan parkir yang bakupukul, atau Brimob-tentara yang bakutembak. Sporadis. Kadang-kadang sadis juga. 


Namun sebetulnya, dua koloni bakteri tersebut tidak seperti perilaku manusia dalam bersaing atau bermusuhan. Mereka elegan. Jentelmen (gentleman). Alteromonas mampu membuat “senjata” pemusnah massal yang dapat menghancurkan atau minimal menghambat pertumbuhan dan perkembangan Vibrio harveyi. Begitu pula sebaliknya. Keduanya punya kekuatan rahasia yang sewaktu-waktu muncul dan mampu menangkal serbuan musuh. Senjata produksi Alteromonas, dengan bantuan radarnya, otomatis aktif apabila populasi Vibrio harveyi melebih batas kepatutan. Faktor pembatas ini adalah bahan baku mesiu berupa C. N. P alias karbohidrat, protein (asam amino) dan mineral.

Andaikata jumlah tentara Vibrio harveyi melebihi batas kepatutan, mereka pun makan dengan cara merampas hak makanan milik Alteromonas. Dampaknya, terjadilah paceklik mineral di pihak Alteromonas. Mereka hidup hemat, lebih tepatnya irit, hingga kelaparan. Akibatnya, lantaran kurang gizi dan mineral, Alteromonas pun menghasilkan protein cacat. Orang bilang blessing in disguise. Justru protein cacat inilah yang menjadi senjata pamungkas melawan kedigdayaan Vibrio harveyi.

Pada suatu saat, seandainya Alteromonas curang dan ingin memulai biang keroknya dalam rusuh massal di ekosistem ini, lantas memproduksi protein cacat ini tanpa batas dengan nafsu balas dendam dan hendak memusnahkan kompetitornya, maka air laut asin pun menetralkannya. Racun Alteromonas akan tersapu ombak dan mengencer (Azhar, T. N, 2007). Reduplah kekuatan senjata itu. Alam bicara, Sabda Alam, buah karya Ismail Marzuki.

Begitulah kesetimbangan alamiah yang dinamis, silih berganti di dalam ekosistem masyarakat bakteri. Dapatkah manusia berkompetisi, bersaing dengan lawan politik, lawan bisnis, dan lawan-lawan yang sifatnya humanisme lainnya, tetapi hasilnya efek domino yang menguatkan. Efek berganda yang sinergis?

Sinergis di kalangan guru (selamat Hari Guru, 25 Nov 2014).
Sinergis di kalangan dosen.
Sinergis di kalangan politisi.
Sinergis di kalangan simpatisan capres.
Sinergis di rumah
Istri dan suami, anak-anak. *
ReadMore »

9 November 2014

Kami Bertengkar karena Persib

Kami Bertengkar karena Persib
Oleh Gede H. Cahyana


Mulai ikut-ikutan mendukung Persib pada tahun 1986, saat Liga Perserikatan digelar. Hanya sekadar dukungan moral, ikut deg-degan saat “Pangeran Biru” berlaga. Maestro Persib saat itu adalah Ajat Sudradjat. Ia ikon yang menjadi bintang di setiap pertandingan. Juga karena face-nya yang ngganteng dan tentu saja body-nya yang atletis. Ia pujian perempuan masa itu, idola kaum muda, bahkan ibu-ibu dan nenek-kakek. Orang Sunda, Ajat milik orang Jawa Barat waktu itu.

Waktu itu, saya, juga teman-teman saya, ada tujuh orang dari SMAN I Tabanan Bali, baru masuk tahun kedua tinggal di Bandung. Kami tinggal di Lebak Gede atau Lebak Siliwangi, kompleks Sabuga ITB sekarang. Kami tinggal di dua rumah kontrakan. Satu rumah di bawah kantor BATAN di dekat lapangan voli dan satu lagi di dekat kolam.. Saya dan tiga teman tinggal di rumah yang dekat kolam. Karena kebaikan ibu kost, terutama anak-anak perempuannya (hm hm hm), seorang di antaranya kemudian menjadi istri Arief Yahya (sekarang Menteri Pariwisata di Kabinet Presiden Jokowi), kami diberi satu televisi yang ditaruh di ruang tamu.

Kami bukanlah pemain sepak bola. Hanya sesekali saja menyepak bola. Tapi kami suka nonton bola pada saat itu, sebagai katarsis stres kuliah. Tentu saja, tidak semua memihak Persib. Ada teman yang mendukung Persija, ada Persebaya. Setiap pertandingan, selalu ada beda dukungan. Pendukung Persiman Manokwari pun ada, meskipun dukungan itu tidak konsisten. Dukungan kerapkali berubah-ubah. Ini wajar saja karena tidak ada tim sepakbola yang dari Bali di laga itu. Suasana pun memanas selama pertandingan.

Duduk di lantai beralaskan karpet, ada yang di kursi, semua teriak dan tepuk tangan kalau tim idolanya menggempur lawan hingga ke dekat gawang. Begitu silih berganti. Karena sesama teman dan akrab, saling ejek dan cemooh pun menggema. Bertengkar tak terelakkan. Tentu saja bukan adu jotos. Tengkar mulut saja dan sekadar dorong punggung atau pukul lengan tapi tak terlalu keras. Kalaupun keras, itu pun bukan karena marah betulan. Untung saja ada teh, kopi dan kacang serta gorengan yang bisa dikudap bersama. Makanan ringan ini berperan mendinginkan suasana hati dan pikiran yang panas.

Praktis, pada 1986 itu, dukungan kepada Persib membahana. Ajat pun menghiasi koran dan tabloid. Setiap makan di warung, Ajat dan Persib hadir di sana. Di angkot, ada Ajat. Di kampus, ada Persib. Di rumah, di jalan, di mana saja, pada tahun itu, selalu ada Ajat, ada Persib. Ajat dan Persib seolah-olah lebur menjadi satu. Ia bagai mata uang (koin), satu sisinya Ajat, sisi yang lain Persib. Hingga hari ini, Persib belum melahirkan idola sekaliber Ajat Sudradjat. 

Namun demikian, kita ucapkan selamat kepada Persib atas prestasinya pada LSI tahun 2014 ini. Sebab, 19 tahun penantian bukanlah waktu yang pendek. Hampir satu generasi, mulai dari seseorang lahir hingga melahirkan bayi.

Bravo Persib. 
ReadMore »

4 November 2014

Sumpah Sampah PLTSa

Sumpah Sampah PLTSa
Oleh Gede H. Cahyana



Presiden yang akan mengemban amanah selalu disumpah di bawah kitab suci agama anutannya. Gubernur, bupati, walikota juga mengikrarkan sumpah pada awal tugasnya. Sumpah adalah wujud dari eksistensi legal. Pemuda-pemudi pada 28 Oktober 1928 pun bersumpah, “Soempah Pemoeda”, yaitu memaklumkan kepada Belanda bahwa mereka eksis secara de facto dan de jure, meskipun tidak diakui oleh penjajah. Gemanya diulang-ulang sampai sekarang. Kini, di sini, di relung hati ini, hadir deretan kata sumpah yang bukan serapah. Sama sekali bukan serapah. Ia adalah sumpah para sampah.

Sumpah sampah PLTSa
Kami adalah daun, sisa nasi, bubur, dan sayur-mayur.
Kami adalah ranting, cabang, dan batang pohon tepi jalan.
Kami adalah sabitan rumput halaman rumah, kantor, kebun.
Kami adalah plastik, pralon, kain perca, juga karet ban sepeda.
Kami adalah kertas, besi, kaleng pembasmi nyamuk-tikus, pestisida.
Kami pun adalah kumpulan tong kimia beracun dan gumpal berangkal.

Kami, yaitu sampah Kota Bandung, bersumpah demi Trilogi Pendidikan: sains, teknologi, dan lingkungan untuk kesehatan insan!

Kami bersumpah menolak sekuat-kuatnya konspirasi yang ingin membakar kami di dalam insinerator berkedok pembangkit listrik! Sungguh, tiada terperi api neraka dunia

Kami bersumpah bahwa badan kami sarat racun dan mudah menyebar ke seluruh daerah lewat tiupan angin kalau kami dibakar.

Kami tak peduli siapa orangnya, apa status sosialnya, apa pendidikannya, kalau kami sudah berubah menjadi abu dan gas toksik di dalam kepul cerobong PLTSa, maka jangan salahkan kami ketika datang bencana garang. Yang miskin pasti sakit, yang kaya pun kena. Tetapi.., kami prihatin kepada yang miskin, mereka tak mampu berobat apalagi kalau harus ke luar negeri. Tak ada BPJS, tiada uang untuk bayar BPJS. Kami tunggu saja Kartu Sehat atau e-sehat, akankah ia tiba gerangan?

Kami adalah sampah yang berserakan antara Elang dan Cibiru, sepanjang daulat jalur Trans Metro Bandung.

Kami minta tolong kepada makhluk bernama manusia, yaitu insan mulia, untuk menegaskan kondisi kami kepada orang-orang yang pro-PLTSa bahwa kami sangat miskin energi. Kami betul-betul melarat. Badan kami kebanyakan berisi air. Kami hanyalah sampah basah. Saudara kami yang anorganik pun sering basah kena hujan. Potensi energi kami tak setara dengan kerusakan lingkungan air, tanah, udara dan kematian tanaman, hewan, dan manusia. Rantai makanan terkontaminasi, terjadi bioakumulasi, biomagnifikasi, dan ujungnya... manusia juga yang rugi.

Acapkali kami kabarkan tentang bahaya laten kami apabila kami dibakar di PLTSa. Tapi mereka tak jua percaya. Apakah mereka tuli, bisu, buta? Dengan alasan kesehatan, mereka tak percaya pada risiko PLTSa. Alasan ekosistem, ekologis juga bergeming. Alasan pendidikan, tak dilirik. Alasan hukum, malah senyum dikulum. Semua alasan itu sudah kami sampaikan secara baik-baik lewat berbagai media. Lantas, alasan apalagi yang harus kami unjukkan?

Ini barangkali jalan terakhir kami. Kami capek, kami lelah, kami lemah, kami menua. Kami jauh lebih bahagia ketika badan kami dikerubuti bakteri aerob, bakteri anaerob, amoeba, cacing, protozoa, metazoa, atau dipatuk dan dikais hewan lapar kemudian bermanfaat bagi tumbuhan. Kami pun bersukacita ketika didaur ulang atau digunakan kembali oleh manusia karena tubuh renta ini ternyata masih bermanfaat bagi kalangan “cilik”. Ternyata badan kami masih bisa mendulang uang bagi orang-orang kreatif. Saudara-saudara kami dari Madura. Pulau kering nan tandus.

Kami adalah sampah yang berserakan antara Jalan Setiabudi dan Tol Padaleunyi. 

Jalan pamungkas sudah pasti. Ingin kami silaturahmi maya dengan Pak Presiden Jokowi. Pak Presiden yang kami hormati, semoga angin mengantarkan desah keluh kesah kami. Kini kami tak berdaya lagi untuk membendung rencana pembangunan PLTSa. Tender sudah terjadi, meskipun dipertanyakan KPPU, Sebagai sampah yang paham karakteristik kimia, fisika, dan biologi kami, maka kami mohon Pak Presiden menggunakan kekuatan politik Bapak untuk membendung arus deras orang-orang di eksekutif, legislatif, pengusaha, akademisi yang bersikeras membuat PLTSa di Bandung Raya. Bapak adalah nakoda kapal yang di dalamnya ada sekumpulan orang yang akan melubangi kapal, demi ... entahlah demi apa. Demi kian, demi kain, demi iank, demi aink!

Kami yakin, meskipun baru saja menjabat, Bapak dapat membatalkan rencana pembangunan pabrik racun itu. Nasihati juga Bappenas agar berpikir bernas. Tolonglah Pak, hindarkan kami dari siksa api dunia. Hindarkan kami dari kejahatan insinerator bertopeng pembangkit listrik. Dukungan Pak Presiden akan menolong kami dan juga mencegah genosida spesies tumbuhan, hewan, dan manusia di Bandung Raya. Atas banjir rutin di Jakarta, Bapak tanggap. Bapak gerak cepat, respons positif. Semoga demikian dengan Bandung, tetangga Jakarta.

Sekali monster PLTSa itu tegak berdiri, maka 24 jam sehari selama-lamanya racunnya menjadi bencana maut bagi 7,7 juta orang di Priangan, jauh lebih banyak daripada korban tsunami Aceh. Calon korbannya jauh lebih banyak daripada jumlah korban bencana tersebut. Kira-kira logika apa yang merasuk di pikiran bawah sadar mereka, kok kami yang kebanyakan berupa sampah domestik – organik ini akan dibakar kemudian mengepulkan abu dan gas beracun yang menyebar ke segala arah. Membakar batubara saja menimbulkan deretan masalah lingkungan dan kesehatan, apalagi membakar sampah dari ribuan jenis zat berbahaya dan beracun. Semoga ada pakar hipnosis dan hipnoterapis yang rela menata ulang alam bawah sadar mereka, atau minimal mengondisikan agar gelombang otak mereka berada di alfa dan theta.

Pak Presiden yang kami hormati. Andaikata gempa, tsunami, letusan Merapi dan Sinabung dapat digolongkan sebagai bencana alam, maka kami berharap tidak akan pernah ada bencana dahsyat lainnya akibat ulah manusia, yakni bencana yang betul-betul akibat kesalahan fatal pejabat negara di pusat dan daerah dalam menangani masalah lingkungan. Pejabat yang bijak pasti mengeluarkan kebijakan yang sarat kebajikan bagi semua orang atau mayoritas masyarakat.

Semoga tanggapan positif Bapak atas permohonan kami, yaitu sampah berserakan di cekungan Bandung pada ketinggian di atas 600 m dpl ini diridhai oleh-Nya. Kami pun ikut berdoa semoga rangkaian bencana tersebut memberikan hikmah kepada manusia Indonesia, khususnya para pejabat agar menapaki jejak kebenaran, meninggalkan tapak kebatilan, dan membatalkan pembakaran kami di dalam neraka insinerator.

Kami pun berdoa, korban yang lebih dulu “disayang” oleh alam, “dirangkul” oleh Bumi, semoga diampuni dosa-dosanya, dimaafkan kesalahannya dan dibangunkan “rumah” di surga sebagai pengganti rumah “buruk” meskipun berupa gedung megah di dunia.

Akhir kata, untaian bencana (baca: musibah) tersebut mudah-mudahan menjadi jarum akupuntur bagi ruhani manusia, khususnya pejabat publik (public servant: pelayan masyarakat) yang menyembuhkan pada saatnya nanti. 

Selamat Hari Sumpah Pemuda.


Atas nama sampah Kota Bandung
ttd

(Daun Sayur Plastik Karet)***

ReadMore »

21 Oktober 2014

PLTSa vs Kesuksesan Bau Busuk

PLTSa vs Kesuksesan Bau Busuk
Oleh Gede H. Cahyana


Tidak ada satu teknologi pun, khususnya di bidang pengolahan sampah yang memberikan solusi tuntas. Ini berbeda dengan pengolahan air limbah yang relatif lebih mudah dan jauh lebih mudah lagi adalah pengolahan air baku (mata air, air tanah, air sungai/waduk, air laut) menjadi air minum. Sebab utamanya adalah variasi wujud zat, yaitu padat dan cair serta variasi jenis sampahnya. Dua kategori variasi ini yang menyulitkan dalam penerapan jenis teknologi yang aman bagi kesehatan manusia, efektif dalam pengolahannya dan tinggi efisiensi atau kinerjanya.

Oleh sebab itu, pendekatan sosiologi dan budaya menjadi hal utama, bukan sekadar pendukung. Prinsip 3R: reduce, reuse, recycle adalah pendekatan sosiobudaya dengan sentuhan teknologi sederhana dalam recycle. Masyarakat sebagai penimbul sampah diajak ikut berperan dalam pengelolaan (management) dan pengolahannya (treatment) dalam skala kecil seperti banyak dilakoni oleh saudara kita dari Madura. Bagi kelompok ini, sampah adalah “serpihan emas” yang dibuang. Bagi warga masyarakat lainnya, sampah adalah sumber daya yang dapat dijadikan pupuk dan produk olahan sekunder lainnya. Tas, sandal, sepatu, bahkan baju pun ada yang dibuat dari sampah atau bahan yang dianggap tak dibutuhkan lagi. Di sinilah peran pemulung yang ikut mereduksi volume dan berat sampah yang akan ditimbun di TPA.

Sampah lainnya, yaitu organik bisa dijadikan kompos dengan cara sederhana. Pengompos atau composter yang banyak dianjurkan adalah proses aerob. Kondisi aerob ini dapat meminimalkan bau busuk, apalagi kalau diletakkan di halaman rumah atau di sebuah sudut TPS di RT/RW. Bau busuk dari TPS inilah yang diprotes warga. Selain itu, lalat dan tikus sebagai vektor penyakit dapat menurunkan kesehatan warga sekitar. Bisa juga diterapkan proses anaerob, misalnya dengan membuat lubang di halaman rumah kemudian sampah organik dimasukkan dan diurug tipis dengan tanah setiap lima hari. Cara anaerob ini terutama yang skala RT/RW bisa menghasilkan bau busuk yang masif kalau tidak dilapisi tanah. Untuk menyiasatinya, sampah ini harus dijauhkan dari masyarakat sekaligus dimanfaatkan potensi energinya. Bisa dikatakan, tanpa bau busuk, tidak mungkinlah energinya dipanen. Hukum alamnya demikian. Di dalam bau busuk sampah tersimpan energi yang besar. Sebaliknya, di dalam kemudahan PLTSa, karena asal dibakar saja, tersimpan bencana besar.

Patut dicatat, PLTSa juga menebarkan bau busuk dari ceceran sampah di area sekitarnya dan dari sampah yang menunggu giliran dimasukkan ke dalam tungku. Terlebih lagi lokasinya di dalam/pinggir kota, bukan di luar kota (remote area). Tetapi sayang, bau busuk selama 24 jam per hari ini tidak bisa dimanfaatkan sebagai sumber energi. Sebab, energi dari PLTSa ini akan dihasilkan setelah sampah kering (sampah basah dikeringkan dulu) dibakar kemudian panas yang dihasilkannya digunakan untuk menguapkan air dan membangkitkan generator listrik (power plant). Ini berbeda dengan TPA sanitary landfill (sanfil) yang menggunakan kebusukan sampah sebagai sumber energi. Sanfil serupa dengan pengomposan anaerob. Sumber energinya adalah metana yang konsentrasinya bisa mencapai 50% landfill gas (LFG). Sisanya karbondioksida dan gas yang menimbulkan bau busuk seperti H2S, NH3, dll.

Pemerintah dapat memanfaatkan metana ini sebagai sumber energi dan bisa dijual ke masyarakat atau industri atau digunakan untuk kebutuhan internal TPA. Bisa dikatakan, LFG to energy ini akan ekonomis pada kisaran satu juta ton sampah. Kota Bandung dengan penduduk 2,5 juta orang dan asumsi timbulan sampah 2,5 liter per orang per hari, maka jumlahnya menjadi 6.250 m3/hari. Apabila berat jenis sampah 0,3 maka diperoleh 1.875 ton per hari. Dalam setahun 684.375 ton. Untuk mencapai 1 juta ton, dibutuhkan waktu  1,5 tahun. Dengan pertimbangan jenis sampah anorganik, maka diperkirakan satu juta ton sampah organik bisa dicapai dalam waktu 2 s.d 2,5 tahun. Menurut Joe Constance di dalam The Rotten Smell of Success (1997), setiap pound sampah yang didekomposisi menghasilkan 4,5 cubic feet gas (LFG) dan bisa berlangsung selama 30 tahun, jauh lebih lama daripada lifetime PLTSa. Ketika PLTSa hanya memberikan solusi parsial karena tidak bisa membakar 100% sampah Bandung, sanfil justru bisa menerima semuanya.

Kesimpulan, setiap teknologi ada positif dan negatifnya. Yang dipilih adalah yang manfaatnya lebih banyak daripada mudaratnya alias ramah lingkungan, sesuai dengan amanat pasal 28 ayat (1) huruf d Peraturan Daerah Kota Bandung nomor 09 tahun 2011 tentang Pengelolaan Sampah. Menurut pasal tersebut, sanitary landfill akan ramah lingkungan justru dengan memanen gasnya yang berbau busuk (rotten smell) menjadi listrik. Sebaliknya PLTSa, ia akan menimbulkan gas berbahaya dan beracun di antaranya dioksin dan abu (fly ash) yang tersebar luas di langit cekungan Bandung.

Dampak ekologis inilah yang harus dipertimbangkan bukan praktik tender PLTSa yang dipertanyakan oleh KPPU (Komisi Pengawas Persaingan Usaha). Kejadian ini, seperti kata sejumlah akademisi dan LSM di Bandung, kian meyakinkan warga bahwa PLTSa adalah sekadar bisnis semata tanpa peduli pada ancaman bahayanya. Masyarakat Bandung berharap, semoga tidak demikian. ***

Dimuat di Pikiran Rakyat, Selasa, 21 Oktober 2014.

PLTSa Lebih Cocok di Pantai

ReadMore »

20 Oktober 2014

Inilah Beda Antara Feature dan Artikel

Inilah Beda Antara Feature dan Artikel
Oleh Gede H. Cahyana


Banyak jenis tulisan yang dikenal manusia, baik dalam ragam fiksi maupun fakta (nonfiksi). Penulis fiksi biasanya dinamai author dan penulis fakta (nonfiksi) disebut writer. Tentu saja, untuk sekadar menulis, banyak orang yang bisa mengarang cerita pendek misalnya dan ia pun mampu menulis feature atau artikel. Ada juga orang yang melakoni kedua jenis tulisan tersebut dan sama-sama berkualifikasi baik, disebut sebagai sastrawan dan kolumnis atau esais atau artikelis.

Seseorang yang menjadi sarjana, ia pasti pernah menulis nonfiksi berupa laporan atau tugas kuliah atau skripsi. Namun, penulis laporan, skripsi, tesis, disertasi, dan jurnal ilmiah belum tentu mampu dalam menulis feature atau artikel ilmiah populer. Kedua jenis tulisan fakta (nonfiksi) ini membutuhkan keterampilan khusus dalam paparan dan sentuhan rasa bahasa ilmiah populer yang bisa dipahami oleh sebanyak-banyaknya lapisan masyarakat. Populer itu adalah populis, memasyarakat, merakyat. Tulisan ini bisa dibaca sambil santai, tidak mengernyitkan dahi, ringan tetapi berbobot atau bermutu tinggi. Ia mendidik atau memberikan informasi dalam keringanan dan kesenangan. Tuntas dibaca dalam 15 menit.

Feature
Feature (ficer) adalah tulisan (karya tulis) yang memberikan informasi dan hiburan tentang peristiwa (fakta), fenomena alam (flora fauna), personalitas, dan humanisme. Karya ini bisa dirilis di surat kabar (koran), tabloid, dan majalah populer (bukan majalah ilmiah atau jurnal). Penulisnya bisa saja memang ahli di bidang tema yang dificerkan dan bisa juga ia tidak seahli orang yang disebut tadi tetapi ia punya kemampuan meramu data dari berbagai sumber yang ada sehingga menghasilkan tulisan yang “baru”, berbeda dalam pola dan gaya tuturan tetapi relatif sama datanya.

Mayoritas tulisan ficer bisa dinikmati kapan saja, tidak basi oleh waktu, tak lekang oleh masa. Biasanya ficer diterbitkan pada suatu masa ketika materi yang menjadi tema di dalam bahasannya sedang hangat karena ada kejadian tertentu di masyarakat, di bumi atau alam semesta. Tema tersebut dituturkan dalam struktur penulisan berbentuk kerucut, yaitu lead, jembatan, tubuh, dan penutup (Soeseno, 1997) atau berbentuk bandul dalam praktikum fisika. Sumber tema itu pun ditulis dalam berbagai macam cara, tetapi harus diupayakan agar pembaca dapat membacanya dengan lancar, tidak tersendat atau lamban akibat cara penulisan sumber data yang tidak tepat. Cantuman sumber tulisan ini untuk menghargai penulis sebelumnya dan menghindari plagiasi (jiplakan).  Mengutip yang proporsional tentu boleh, malah harus untuk menguatkan materi tulisan, tetapi menjiplak adalah haram. Kutipan (proporsional) itu halal, jiplakan itu haram.

Artikel
Artikel adalah tulisan (karya tulis) yang memberikan informasi, berisi masalah dan opsi solusi dari penulisnya atas dasar ilmu dan teknologi yang dimilikinya atau pendirian subjektifnya. Penulis artikel biasanya orang yang berlatar pendidikan di bidang bahasan artikelnya. Seorang sarjana fisika akan lebih cenderung menulis artikel dalam ilmu fisika, sarjana kelautan akan condong menulis di bidang kelautan. Tentu ada orang yang mampu menulis artikel di sejumlah bidang ilmu dan teknologi dengan berbekal data dan informasi yang tersedia di buku dan internet lantaran punya kemampuan meracik informasi dan data menjadi tulisan.

Menurut sejumlah kalangan, struktur artikel tidak baku seperti dalam ficer tetapi bebas. Umumnya artikel dimulai dengan lead yang menarik minat pembaca untuk terus mengikuti tulisannya. Batang tubuh atau isi, opsi solusi dan pandangan subjektif penulisnya bisa ditempatkan secara bebas sesuai dengan gaya paparannya. Tulisan ini bisa dibagi menjadi beberapa subjudul tanpa nomor urut. Agar pembaca memperoleh gambaran yang jelas, pada akhir artikel bisa ditampilkan kesimpulan dan saran yang tetap dikemas menarik dan lincah, boleh dengan atau tanpa menuliskan subjudul kesimpulan dan saran (tidak baku seperti dalam laporan riset, skripsi, tesis, disertasi).

Kata kunci dalam menulis nonfiksi adalah tema dan data. Sejumlah data dalam tema yang akan ditulis menjadi modal awal penulisan. Selanjutnya adalah menuliskan peta pikiran atau peta konsep. Berbekal peta pikiran ini lantas tulisan sudah bisa dimulai. Tulislah secara bebas tanpa banyak koreksi, baik secara bahasa maupun materi, dan tulislah dengan cepat segala yang berkelebat dalam pikiran. Tahap kedua adalah mengedit tulisan, dengan melibatkan ilmu dan peraturan yang berlaku. Yang terakhir, opsional, adalah memoles tulisan dengan sentuhan akhir berupa sketsa atau gambar yang sesuai dengan tema. 

Untuk kali ini cukup sekian, lain waktu disambung dengan jenis-jenis feature, kolom opini, dan esai serta tajuk rencana. ***

ReadMore »

15 Oktober 2014

PNS Boleh Poligami di Lombok Timur

PNS Boleh Poligami di Lombok Timur
Oleh Gede H. Cahyana


Peraturan Bupati Lombok Timur yang membolehkan PNS setempat berpoligami asalkan membayar 1 juta rupiah langsung menghebohkan dunia pernikahan di Indonesia. Kalau dilandaskan pada hukum Islam sebetulnya tanpa membayar pun boleh-boleh saja seseorang berpoligami dan sah-sah saja. Bahkan, tanpa seizin istri atau istri-istri sebelumnya juga tetap boleh dan sah. Namun demikian, dari aspek kemanusiaan, tabula rasa, menghargai istri (para istri) yang lebih awal dan demi tercapainya tujuan pernikahan, maka sebaiknya ada izin atau pemberitahuan sebelumnya.

Ini kisah nyata. Namanya Dewi (nama disamarkan), ia datang dengan mata sembab. Sudah lama wanita berjilbab ini tak bertemu aku. Dulu, kurang lebih delapan bulan lalu, dia pernah bertanya perihal poligami. Waktu itu aku tak tahu sebabnya dia bertanya begitu. Mungkin sekadar ingin tahu saja dan aku tak menaruh curiga. Dia tampak bahagia. Suaminya secara ekonomi tidak bermasalah, selain gaji rutin juga mengerjakan projek-projek. Tapi feeling-ku buruk. Suaminya ternyata sudah beristri lagi tanpa pemberitahuan terlebih dulu. Dia merasa dihempaskan. Yang membuat aku terhenyak, akibat kekukuhannya bertahan pada pendapatnya itu, dia harus rela dicerai suaminya yang sudah menikahinya selama tujuh tahun dan punya empat anak.

Dari kasus tersebut aku sampai pada kesimpulan bahwa tak ada seorang wanita pun yang mau dipoligami. Sebelumnya aku sudah tahu betapa berat seorang wanita jika merelakan suaminya berpoligami. Namun demikian, aku pun tahu ada banyak pria berpoligami, bahkan sampai empat, tetapi tampak oke-oke saja. Minimal ini yang tampak dari luar, amatan dari jauh saja. Tak usah kusebutkan siapa mereka. Aku yakin sudah banyak yang tahu. Mereka ada yang berprofesi sebagai, dalang, artis, dosen, pengusaha, politisi, dan mubaligh dan banyak lagi yang lain.

Menurutku, di hati kecilnya, di relung kalbunya, seorang wanita pastilah ingin menguasai suaminya tanpa harus berbagi dengan wanita lain. Jangankan berbagi dengan tiga wanita lainnya, dengan satu wanita saja dia tak rela, syahdan deras mengalir frase ikhlas dimadu dari mulutnya. Sebersit rasa waswas pasti muncul di hatinya. Kuyakin itu. Apalagi kutahu dari buku-buku kisah rasul (sirah nabawiyah), bahwa Aisyah, istri termuda dan satu-satunya yang perawan ketika dinikahinya, sesekali protes. Aisyah mencemburui Khadijah yang telah lama meninggal, istri pertama Muhammad SAW. Bayangkan, terhadap orang yang sudah almarhumah saja Aisyah begitu cemburu.

Begini kisahnya. Suatu kali Aisyah dibakar api cemburu yang menderu-deru. Sampai-sampai ia tega berkata,” Khadijah lagi... Khadijah lagi... Seperti di dunia ini tak ada wanita selain Khadijah!” Tajam kalimat itu, menghujam dalam ke hati lelaki. Menyimak itu, Muhammad lantas meninggalkan Aisyah. Tak lama kemudian beliau kembali lagi dan beliau melihat Ibu Aisyah, Ummu Rumman, sedang di sampingnya seraya berkata,” Wahai Rasulullah, ada apakah engkau dengan Aisyah? Aisyah masih sangat muda. Selayaknyalah engkau memakluminya.”

Apa yang diperbuat beliau? Marahkah? Beliau ternyata tidak meninggalkannya. Muhammad malah memegang dagu Aisyah seraya berkata,” Bukankah engkau yang berkata seakan-akan di dunia ini tak ada lagi wanita selain Khadijah?”

“Buat apa engkau mengingat perempuan tua renta dan ujung mulutnya sudah merah, padahal Allah sudah menggantinya dengan yang lebih baik bagimu?” rajuk Aisyah.

“Demi Allah, Dia tak pernah mengganti dengan yang lebih baik daripada Khadijah. Ia beriman kepadaku ketika semua orang mendustakanku. Dia ulurkan hartanya saat orang lain menahannya. Dia memberiku anak sedangkan yang lainnya tidak,” jawab Muhammad. Bagaimana kalau Khadijah masih hidup dan punya madu seperti Aisyah, apa yang bakal terjadi? Entahlah. Terhadap madu-madunya yang lain pun, seperti Shafiah dan Ummu Salamah, Aisyah pun menaruh rasa cemburu.

Begitulah fakta ketakrelaan wanita dimadu, seorang wanita yang menjadi istri nabi, yang tingkat keimanannya jauh di atas wanita zaman sekarang. Jika istri nabi saja cemburu satu sama lain, apatah lagi wanita yang dimadu pada zaman sekarang. Pastilah api cemburunya jauh lebih panas lagi. Yang perlu ditiru andaikata pria berhasrat poligami adalah kemampuannya menangani istri-istrinya. Sebagai manusia, Muhammad begitu piawai menangani semua istrinya. Maka muncul pertanyaan, adakah pria sekarang yang punya kemampuan seperti nabi? Takkan ada lelaki sekarang yang mampu seadil Muhammad. Aku bulat seratus persen meyakini hal ini. Yakin seyaqin-yaqinnya.

Bagi manusia biasa, lelaki zaman sekarang, jangankan sembilan istri, empat istri saja sudah rumit. Hanya lelaki “luar biasa” yang mampu adil atas semua istrinya. Boleh jadi, sekali lagi, boleh jadi lelaki demikian memang ada, tetapi sangat-amat sedikit jumlahnya. Datanya memang tak kuperoleh. Kurasa data jenis ini sangat sulit diperoleh. Aku tahu, ada orang-orang terkenal dan kaya harta yang memiliki istri lebih dari satu. Namun, aku tak berani menilainya, karena aku tak tahu betul kehidupan rumah tangganya. Dari luar, dari jauh, kulihat mereka akur-akur saja dan sering tampil di televisi atau ketika acara tabligh di sejumlah daerah.

Setahuku, wanita pun memiliki nafsu setara dengan lelaki. Hanya saja, wanita tak mau menunjukkan rasa tertariknya itu secara ekspresif dan eksplisit. Malu-malu... tapi mau. Lihatlah kasus Juleha dan Nabi Yusuf. Siapa yang hendak memperkosa? Siapa yang dilanda birahi tak terkendali? Yusuf bukannya tak berbirahi ketika itu. Dia juga tertarik, tapi bisa menahan dirinya. Tapi wanita cantik bernama Juleha itu malah tak tertahankan hasrat hatinya. Demi “kehormatan” permaisuri, Yusuf justru dijebloskan ke penjara. Juga, lihatlah betapa wanita-wanita “seteru” Juleha sampai teriris jejarinya lantaran terpukau melihat ketampanan Yusuf. Mereka tertarik pada pemuda Yusuf dan, dalam bentang hatinya, masing-masing ingin memilikinya, menjadikannya suami yang penuh gairah. Deburan hatinya itu tak bisa disembunyikan dan kisahnya abadi dalam Al Quran.

Bisa dibayangkan, berderet-deret wanita cantik dari kalangan bangsawan takluk tak berdaya melihat kegantengan Yusuf. Mereka begitu “tersihir” oleh keelokan paras pemuda yang pernah dibuang ke sumur tua oleh saudaranya itu. Andaikata, ini hanyalah andaikata saja, Yusuf hendak memperistri semua wanita itu, tentulah semua wanita itu mau-mau saja. Ini hanyalah dugaanku saja. Mereka akan saling bersaing merebut api cinta Yusuf sambil saling cemburu! Andaikata itu terjadi, ini sekadar andaikata saja, maka poligami lebih dari empat wanita pastilah sudah terjadi, dilakoni oleh nabi Yusuf.

Namun Al Qur’an tidak demikian. Barulah pada masa Muhammad menjadi nabi, Al Qur’an membolehkan kaum muslimin memperistri empat wanita dalam satu waktu. Namun tetap harus diingat, bahwa orang-orang masa lalu seperti raja sangat banyak istrinya. Orang-orang biasa pun berbilang istrinya. Justru kedatangan Islam lewat Muhammad untuk mengurangi jumlah istri. Hanya empat yang diizinkan, itu pun dengan wanti-wanti harus berlaku adil. Adil. Adil. Adil secara jasmaniah, minimalnya.

Perihal poligami tersebut, telah pula panjang dikupas oleh beragam kalangan. Yang paling sering kudengar, khususnya yang kontra adalah dari kalangan yang menyebut dirinya “pejuang perempuan”. Aku tak paham, dari mana saja dasar hukum dan pola pikir yang disadapnya itu. Sebab, pada saat yang sama kulihat mereka justru memorak-morandakan nilai-nilai seorang perempuan. Aku lihat mereka berdiri di atas ranting rapuh, tak kuat menyangga pendapatnya sehingga terkesan membabi buta, serampangan. Acuannya selalu saja ke dunia Barat, dunia yang terbukti rapuh dan gagal dalam melawan arus freesex, gay, lesbian, bisex, transgender dan hancur akibat HIV/AIDS. Betul-betul aneh ada wanita Indonesia yang tergila-gila mengambil pola hidup orang yang terbukti gagal menata rumah tangganya. Mereka justru mengambil pola hidup orang yang doyan seks bebas asalkan aman dengan memakai kondom misalnya.

Malah kudengar, ada wanita dari kalangan “pejuang perempuan” itu yang lebih rela suaminya “membeli sate saja” daripada harus memelihara kambing. Sebagai “pejuang” dia tentu malu suaminya berpoligami. Ini bisa merubuhkan reputasinya sebagai “pejuang” perempuan. Lebih senang suaminya “jajan” saja daripada harus dimadu. Alasannya macam-macam, salah satunya adalah soal harta waris, agar semua warisan suami jatuh ke tangannya. Jadi, alasannya tak jauh dari sisi ekonomi. Barangkali, kalau suaminya sudah meninggal, dia bisa mendapat warisan banyak dan bisa mudah memilih lelaki yang gagah nan tampan sekeinginannya. Ini, memang pernah kulihat di film buatan sineas Indonesia tahun 1990-an.

Lantas, bagaimana pandangan bule pada poligami? Sebab, laris sekali orang bule ini di kalangan artis Indonesia. Asal bule, maka jadilah! Tapi yang ini berbeda. Berikut ini kukutipkan seorang bule yang sangat dikagumi banyak orang, baik laki maupun perempuan. Begini katanya, “Muhammad mengurangi jumlah wanita yang boleh dikawini oleh seorang pria. Sebelum ia muncul, poligami itu tak terbatas. Orang-orang kaya terbiasa mengawini sejumlah besar perempuan. Jadi Muhammad membatasi poligami.” Inilah kalimat tegas dari Napoleon Bonaparte dalam Bonaparte etl’Islam oleh Cherfils, Paris.

Ada juga tulisan James A. Michener. Penulis barat telah mendasarkan tuduhan mereka yang penuh nafsu terutama pada masalah kewanitaan. Namun sebelum Muhammad, kaum lelaki dianjurkan supaya mengawini wanita-wanita yang tak terbatas jumlahnya. Muhammad memberikan batasan kepada mereka hingga empat saja. Qur’an terang-terangan mengatakan bahwa suami yang tidak sanggup berlaku seadil-adilnya di antara dua istri atau lebih, harus mengawini satu orang perempuan saja. (James A. Michener, Islam, The Misunderstood Religion, dimuat dalam Reader’s Digest, di USA pada Mei 1955 halaman 70)

Seorang pakar studi-studi Islam, seorang orientalis bernama Prof. H. A. R. Gibb berkata bahwa pembaruan Muhammad telah meninggikan status kaum wanita pada umumnya, sudah diakui dunia. “Hukum Al Qur’an tentang wanita lebih adil dan liberal. Islam sudah sejak dulu menghargainya.... Adalah suatu ketololan kalau orang mengatakan bahwa dalam Islam wanita itu dianggap tak berjiwa. (Annie Besant dalam The Life and Teaching of Muhammad).

Dari secuplik opini orang-orang bule itu, bisalah ditarik simpulan bahwa poligami memang alami ada di bumi. Hanya saja, jika lelaki tak mampu bertindak adil, maka jangan coba-coba bermain api. Bisa habis terbakar nanti. Nafsu haruslah dikekang, dikendalikan. Jika tidak, dia akan seperti kuda liar yang berlari kencang, menghamburkan debu terbang, membuat sumpek dan kabur suasana. Melihat jelas pun menjadi sulit jadinya. Meraba-raba saja yang bisa dilakukannya.

PNS atau bukan, silakan poligami dengan cara yang baik, kalau disuruh bayar ya harus bayar. Ekonomi harus kuat, begitu juga ruhani. Jika tidak mampu seperti itu, maka silakan monogami saja agar lebih selamat dan lebih mudah menjalani hidup berkeluarga. *

Hak Istri dalam Poligami


ReadMore »