• L3
  • Email :
  • Search :

21 Oktober 2006

Ngejot: Parsel Lebaran a la Bali

Ketika heboh parsel di Jakarta, Bandung dan kota-kota besar lainnya, di Bali aman-aman saja. Tak ada imbas sedikit pun. Malah dilaksanakan terang-terangan. Pasalnya, parsel khas a la Bali ini sudah terjadi puluhan tahun lalu, jauh mendahului budaya parsel di kota-kota besar. Apalagi pengiriman parsel jenis ini tidak berkaitan dengan budaya KKN yang membelit aparat dan rakyat tetapi sebagai penerus budaya toleransi di Bali.

Bedanya lagi, parsel ini diberikan bukan kepada pejabat atau atasan di kantor, melainkan diberikan kepada semua orang tanpa memandang taraf sosial-ekonominya. Orang kaya pun, misalnya seorang pengusaha, pasti dikirimi parsel tanpa ada udang di balik batu. Yang biasa terjadi adalah parsel dikirimkan kepada orang di luar agama mereka. Kalau orang Hindhu, maka parselnya dibagikan kepada orang Islam, Kristen, dll. Kalau muslim, maka penerimanya adalah orang Hindhu, Kristen, dll. Orang Bali menamai "parsel" khasnya ini dengan sebutan ngejot.

Ngejot memang sudah lumrah. Bentuknya tidak seperti parsel modern yang dibuat dari wadah rotan, kayu, dan dihias artistik. Selain berbeda motivasi pemberiannya, harganya pun bagai bumi dan langit. Ketika nilai parsel modern berjuta-juta rupiah, harga parsel tradisional Bali bisa dijangkau oleh semua lapisan ekonomi. Yang penting ikut berbagi dan filosofinya adalah berbagi kebahagiaan. Harga paling mahal sekarang tak lebih dari dua puluh ribu rupiah. Penerimanya adalah tetangga dalam lingkup satu RT/RW, banjar atau yang sudah akrab dikenal. Kenapa bisa semurah itu? Sebab, yang diparselkan adalah makanan berupa nasi, sayur dan lauk-pauknya. Kalau uangnya ada bisa juga ditambahi dengan kue kering.

Aktivitas ngejot itu dilakoni oleh umat Hindhu dan Islam. Seperti halnya Walisongo dalam meluaskan dakwahnya di Jawa, mereka berupaya memodifikasi kebiasaan penduduk asli. Maka, umat Islam di Bali pun memodifikasi kebiasaan orang Hindhu ketika menyambut hari raya Galungan dan Kuningan. Sebelum Galungan, hari raya yang selalu jatuh pada hari Rabu per 210 hari kalender Bali itu didahului oleh untaian prosesi. Yang pertama adalah pengejukan atau penangkapan babi. Berikutnya adalah penampahan (pemotongan babi). Potong babi ini dilaksanakan bersama-sama, baik antara tetangga maupun antara saudara sedarah seketurunan. Baru setelah itu dilaksanakan pengejotan. Karena tahu umat Islam tidak boleh makan babi maka yang dijot bianya kue dan buah-buahan. Kalaupun ada nasi, tapi lauk-pauknya dari daging ayam.

Setelah ngejot, kaum muslim siap-siap menyambut lebaran. Ada yang membuat kue-kue dengan mengerahkan anak-anak, cucu, kakek, nenek, dll. Mereka terus bekerja bahkan sampai ada yang rela tidak puasa demi memasak yang begitu banyak. Tepat pada hari lebaran, suasananya tidak seramai di Jawa dan Madura. Yang lebih ramai adalah di objek wisata karena banyak dikunjungi oleh wisatawan domestik yang berlibur ke Bali. Bahkan dua hari sebelum lebaran banyak yang sudah tinggal di hotel dan melaksanakan salat Ied di sekitar hotel. Malah ada hotel yang jelas-jelas berpromosi bahwa akan diadakan shalat Ied di dekat hotel.

Namun demikian, di "kantong-kantong" Islam, katakanlah di Desa Pegayaman di Bali Utara, ada kekecualian. Desa yang letaknya di bukit Kecamatan Sukasada ini mayoritas penduduknya beragama Islam. Bahkan diyakini seratus persen pemukimnya ber-KTP dengan keterangan Islam di baris agamanya. Dengan penduduk sekitar 5.000-an orang, Pegayaman adalah mikrokomunitas khas muslim. Mereka berasal dari keturunan prajurit Kerajaan Blambangan, Jawa Timur. Seperti muslim di daerah lain, mereka pun melaksanakan serial budaya seperti penampahan (potong ayam, kambing), dll.

Fenomena serupa terjadi juga di Desa Soka, di Selatan Gunung Batukaru, di Kecamatan Baturiti, Kabupaten Tabanan. Desa di daerah dingin ini juga nyaris seratus persen penduduknya beragama Islam. Seperti Pegayaman, warga di sentra sayur-mayur ini (selain Desa Senganan: sebuah desa di kaki Gunung Batukaru dan masuk wilayah Kecamatan Penebel Tabanan) pun berinteraksi dengan orang-orang Hindhu. Bahkan prosesi budaya dalam menyambut lebaran sangat mirip dengan menyambut hari raya Galungan dan Kuningan. Hal demikian pun terjadi di kota Tabanan, sebuah kota kabupaten yang letaknya hanya 9 km dari pantai Selatan Yeh Gangga.

Demikianlah ngejot, budaya yang dilakoni oleh kaum muslim dan umat Hindhu dalam menyambut hari rayanya masing-masing dan mampu mempererat ikatan kekeluargaan sebagai sesama orang Indonesia atau sesama manusia.

Selamat Idulfitri, taqabbalallahu minna wa minkum. *
ReadMore »

14 Oktober 2006

Tarif PDAM Layak Naik

Tarif PDAM Layak Naik
Oleh Gede H. Cahyana

Seorang anak sedang bingung. Ia dihadapkan pada buah simalakama. Jika dimakan, bapaknya mati; jika tak dimakan, ibunya yang mati. Setelah lama berpikir akhirnya ia berkeputusan: tidak dimakan! Pertimbangannya adalah jangka panjang atau masa depan. Ia sedang sekolah dan perlu biaya. Bapaknyalah yang selama ini mencari nafkah.

Walau demikian, di kalbunya ia tetap mencintai ibunya. Ia lahir dari rahim ibunya, disusukan oleh ibunya, disapih juga oleh ibunya. Bukan karena tak sayang pada ibunya, melainkan kondisilah yang menyebabkan ia harus memilih agar masa depannya dapat berlangsung. Dengan ikhlas ia mendoakan ibunya agar diampuni dosa-dosanya. Keikhlasan inilah yang diharapkannya bisa membahagiakan ibunya di akhirat kelak.

Buah Simalakama
Apa hikmah kisah di atas bagi PDAM dan pelanggannya? Naik-tidaknya tarif PDAM mirip buah simalakama. Naik atau tidak, tetap akan berdampak pada PDAM dan pelanggannya. Karena skala prioritasnya berada di kwadran mendesak dan penting, maka keputusan harus segera dibuat dengan segala risikonya. Tinggal dipertimbangkan efeknya pada masa depan, pada kelanggengan pasokan air, pada kualitas kesehatan masyarakat, dan pada upaya pencapaian Millenium Development Goals (MDG), persis seperti evaluasi yang dilakukan oleh anak dalam kisah tersebut.

Bagi pelanggan, kalau tarifnya naik berarti membayar lebih mahal per volume air yang sama. Ini menjadi masalah ketika pendapatannya tetap atau bahkan turun. Apalagi harga-harga terus naik dan PHK terjadi di mana-mana. Sebaliknya, kalau tidak naik maka rekeningnya akan tetap seperti sekarang tetapi tak ada peluang perbaikan pelayanan PDAM. Pipa-pipanya yang bocor tetap bocor, debit olahannya yang kecil tetap kecil dan tak mungkin ditingkatkan, juga tidak bisa mencari sumber air baru atau membangun instalasi baru sebagai penambah suplai air dan perluasan daerah layanannya.

Bagi PDAM, kalau tarifnya tidak naik maka kualitas layanannya tetap seperti sekarang, bahkan bisa lebih buruk karena harga zat kimia, pipa dan aksesorisnya sudah naik dan tak punya cukup dana untuk merehabilitasi sistemnya. Ongkos operasi-rawatnya pun kian mahal, tak setara dengan pendapatannya. PDAM pun tak mampu meluaskan daerah servisnya bahkan cakupan layanannya bisa menurun karena debit airnya susut disertai peningkatan kebocoran pipa-pipa tua. Kian besarlah kehilangan airnya seiring dengan penurunan kualitasnya, seperti makin keruh, bercacing, berbakteri, berlanyau (slime), dan berisi bermacam-macam pencemar dari limbah domestik dan pabrik.

Sebaliknya, kalau naik tarifnya ada kemungkinan PDAM dapat mereparasi kualitas layanannya. Dapat mengganti pipa-pipanya yang bocor, membuat unit pengolah baru, merehabilitasi unit pengolah lama, mampu membeli zat kimia (reagen), mampu mengganti peralatan mekanikal dan bahkan mampu meluaskan area servisnya. Juga mampu meningkatkan kualitas pegawainya (SDM). Dan yang pasti, tak perlu minta bantuan perusahaan air swasta (asing) untuk menangani PDAM. Dari hulu sampai hilir, dari direksi sampai klinsi (cleaning service) diemban oleh orang Indonesia sehingga privatisasi bisa dicegah sekaligus menyelamatkan pelanggan dari ancaman tarif yang terlampau tinggi.

Setelah naik tarifnya, selanjutnya ialah pengawasan seksama atau melekat oleh DPRD dan Badan Pengawas (BP). BP PDAM pun harus betul-betul tinggi kompetensinya agar tak sekadar ada tetapi tiada. Adanya sama dengan tiadanya. Pengawasan pun bisa dilakukan oleh pelanggan dengan cara membentuk paguyuban atau asosiasi atau oleh LSM yang concern pada kesehatan masyarakat, sanitasi dan air bersih.

Layak Naik
Di mana-mana, sejak dulu sampai sekarang, resistensi atas kenaikan tarif selalu ada. Tak hanya soal air, tapi juga soal listrik, gas, angkot, bis, kereta api, dll. Bagaimana dengan PDAM? Opsi mana yang mesti diambil? Untuk saat ini sebaiknya buah simalakama itu jangan dimakan! Artinya, pelanggan diminta mau mengerti dulu dan rela menjadi “ibu” seperti kisah di atas. Pelanggan berkorban demi pelanggan, demi perbaikan mutu pada masa depan.

Dipahami bersama, tarif adalah komponen terawan dalam interaksi PDAM-pelanggan. Karena kondisinya mendesak, maka keputusan naik tarif harus segera diberlakukan justru demi peningkatan kualitas layanan. Apalagi kalau PDAM telah lama tidak menaikkan tarifnya dan bahkan tarifnya di bawah tarif rerata PDAM lain. Bagaimanapun, hakikatnya PDAM adalah milik pelanggan, seperti halnya air itu milik rakyat. Menolong PDAM sama dengan menolong pelanggan, menolong diri sendiri.

Pada saat yang sama DPRD pun harus betul-betul mewakili rakyat dan mampu mengevaluasi kondisi sosial ekonomi mayoritas rakyat, sekaligus memahami kondisi PDAM yang berkaitan dengan ongkos operasi-rawat instalasinya, gaji karyawannya, sumbangannya untuk APBD dan biaya pengembangan PDAM. Jangan sampai DPRD takut dan khawatir dianggap tidak aspiratif karena setuju pada kenaikan tarif. Proyeksi jangka pendek memang terasa merugikan pelanggan tetapi dalam jangka panjang, dengan janji perbaikan oleh PDAM, dengan berbenah di instalasi, transmisi dan distribusinya boleh jadi menguntungkan pelanggan.

Prinsipnya, tarif harus menguntungkan kedua belah pihak. Dalam hal ini DPRD wajib mengakomodasi keduanya. Pelanggan harus dibela, PDAM pun harus dibela. Membela PDAM pun sebetulnya membela kepentingan rakyat. Kalau PDAM tak mampu lagi beroperasi, yang rugi tentu rakyat (pelanggan) juga. Tak ada air berarti tak bisa mencuci, tidak mandi dan tak ada aktivitas bebersih. MDG 2015 pun, yaitu dasawarsa air bersih mondial periode dua, takkan mungkin tercapai, malah sanitasi mayoritas rakyat kian buruk. Yang menderita dan kena wabah pemula (penyakit menular lewat air) lagi-lagi masyarakat.

Pelanggan Peduli
Pelanggan adalah raja. Pada saat yang sama pelanggan pun harus “mempresidenkan” PDAM. Mau memahami beratnya tugas “presiden” (PDAM) yang mesti melayani “rakyatnya” (pelanggan). Semua “rakyatnya”, baik yang dekat instalasi maupun yang jauh dari instalasi, minta dilayani dengan maksimal. Ini sulit kalau tidak didukung oleh topografi kota. Tetapi permintaan itu wajar-wajar saja sebab “rakyat” sudah membayar rekeningnya. Jika pelanggan sudah akomodatif atas tarif, maka wajib bagi PDAM untuk memuaskan pelanggannya. Semua pelanggan, baik yang tinggal di daerah rendah maupun di daerah tinggi, harus dipuaskan. Inilah tantangan besar bagi PDAM dalam mendesain sistem distribusi agar tekanan dan debitnya setimbang.

Dengan segala kerumitan operasi-rawatnya, terutama pengaturan air agar adil di sistem distribusinya, kenaikan tarif sejatinya wujud kepedulian PDAM dalam meningkatkan mutu layanannya. Sebaliknya, bisakah pelanggan peduli? Salah satu bentuk kepedulian adalah menyetujui kenaikan tarif dalam batas-batas kewajaran yang dibandingkan dengan biaya produksinya. Jika tidak, bisa saja PDAM benar-benar bangkrut. Dari mana nanti pelanggan mendapatkan air? Tidakkah wajar PDAM menaikkan tarifnya justru dalam kondisi ekonomi seperti ini? Cara ini lebih baik daripada berutang ke bank atau lembaga donor dunia yang membebani negara. Sekarang saja cicilan pokok dan bunga utangnya sudah lebih besar daripada dana pinjaman yang mengucur dalam setahun.

Lewat instrumen kenaikan tarif itu diharapkan PDAM mampu full cost recovery, mampu balik modal. Injeksi dana segar berupa tarif yang layak bagi kedua belah pihak hendaklah bermuara pada keadilan distribusi air plus membasmi dan mencegah sambungan liar dan bebas KKN. Juga mereduksi kehilangan air teknis dan administratif dan mengeksplorasi sumber air baru atau memodifikasi instalasinya agar mampu menangani pencemar nonkonvensional.

Yang terakhir, aturlah tarifnya agar tak semahal harga amik (air minum kemasan) dan amiku (air minum kemasan ulang atau isi ulang) yang memang murni bisnis tanpa spirit sosial, murni profit oriented. Di sinilah kecerdasan sosial (social intelligence) insan-insan PDAM diuji setelah kenaikan tarifnya, apakah peka pada harapan pelanggan dengan cara serius mereparasi kinerjanya. Janji, sekecil apapun, tetaplah utang yang harus dilunasi.*

ReadMore »

8 Oktober 2006

Roughing FILTER

Dari ratusan instalasi pengolah(an) air minum (IPAM) di Indonesia, tidak banyak yang menerapkan unit Roughing Filter. Kebanyakan PDAM membuat unit prasedimentasi (prased) atau semacam kolam penampung air baku sebelum airnya dialirkan ke unit pengolah (complete treatment). Ini kalau airnya dari sungai. Yang sumber airnya dari danau atau waduk biasanya tidak perlu unit praolah karena keduanya sudah berfungsi sebagai prased alami.

Dari sisi operasi-rawatnya, Roughing Filter atau Filter Kasar, selanjutnya disingkat FK, lebih memakan waktu daripada prased maupun kolam penampung. Tetapi dari sisi kualitas olahannya, FK menghasilkan air yang lebih jernih per debit yang sama. Apalagi kalau dilanjutkan dengan unit filter pasir lambat atau fipal (slow sand filter), akan jauh lebih bagus lagi kualitasnya.

Ciri khas filter adalah medianya. Disusun oleh bebatuan (kerikil, koral), filter memiliki ruang antarbutir (porositas) yang fungsinya sebagai ruang sedimentasi. Ada ribuan ruang sedimentasi di dalam FK dan ini bergantung pada dimensinya. Selain sedimentasi, terjadi juga fenomena filtrasi dan biomekanisme yang mampu menyisihkan bakteri seperti pada fipal. Bedanya, dalam fipal, penyisihan bakteri dimonopoli oleh lapisan kotor (dirty layer) yang disebut schmutzdecke.


Spesifikasi
Berdasarkan arah alirannya, FK bisa dibagi menjadi dua, yaitu aliran horisontal dan aliran vertikal. FK Horisontal atau FKH lebih populer dibandingkan dengan FK Vertikal, FKV. Dalam FKH, kapasitas penampung lumpurnya lebih besar daripada FKV karena medianya lebih besar dan unitnya lebih panjang. Medianya bergradasi, besar di bagian hulu (inlet) dan mengecil ke arah hilir (outlet). Ada juga yang lain, yaitu besar di bagian hulu lalu mengecil di tengah-tengah kemudian membesar lagi ke arah hilir.

Variasi dan gradasi media itu bisa begitu kontras. Misalnya, di ruang pertama, yaitu ruang terdekat dengan inlet, medianya homogen berdiameter 3,5 cm. Di ruang berikutnya mengecil menjadi 3,0 cm, lalu 2,0 cm, dan terakhir bisa menjadi hanya 0,5 cm. Partikel terbesar diharapkan tersisih di hulunya, yang lebih kecil di ruang selanjutnya. Dengan kata lain, kalau dilengkapi fasilitas cuci-balik (backwashing) maka kecepatan ke atas (upflow) air di ruang hulu harus lebih besar daripada di ruang hilir. Memang tak perlu terjadi ekspansi di sini. Gradasi kecepatannya itu untuk melepaskan lumpur yang terperangkap di ruang antarbutirnya.

Pada FKH, pembatas antarruang bisa menggunakan sekat dari kawat, kayu, atau material inert lainnya. Tanpa sekat pun boleh-boleh saja asalkan bisa mengatur letak kerikilnya agar tidak bercampur menjadi sangat heterogen dalam satu ruang. Demi keamanan, bagian atas FKH bisa ditutup dengan pelapis berbahan fiberglas, pelat, atau dari tanah lempung agar air kotor di luar tidak masuk ke dalam filter. Penutup ini menghalangi sinar matahari sehingga mencegah perbiakan algae. Agar kian aman, ambangnya (freeboard) ditinggikan dan lengkapi dengan pipa peluap (overflow). Bahan dinding bisa dari beton bisa juga dari kayu yang tahan air.

Bagaimana dengan FKV? Unit vertikal bisa upflow (aliran ke atas), bisa juga downflow (aliran ke bawah). Pada unit upflow, lapisan terbawahnya berdiameter terbesar dan mengecil ke atas. Tebal medianya bervariasi antara 50 ? 75 cm dengan tinggi totalnya 2 m. Diameter terbawah sekitar 15 ? 20 mm, yang di atasnya 10 mm, dan yang terkecil di bagian atas 5 mm. Kecepatan filtrasinya mencapai 20 m/jam, jauh di atas FKH yang besarnya antara 0,5 ? 4 m/jam atau (0,3 ? 1,0 m/jam, ini dianggap optimal). Desainnya serupa dengan flokulator media berbutir (gravel bed flocculator) dan bahkan bisa dijadikan pengganti unit flokulasi dan sedimentasi dalam instalasi filter pasir cepat (fipat). Hanya saja, perawatannya lebih berat dan memakan waktu. Pembuatannya pun relatif lebih sulit.

Bagaimana cara membersihkannya? Pembersihan media dilakukan dengan menggelontorkan air-cuci (berasal dari air filtrat) atau dengan membongkar medianya lalu dibersihkan kemudian dipasang lagi. Pada FKV lebih sulit dilakukan dan boros air. Tenggang waktu pembersihannya, biasa disebut umur filter atau waktu-hidup (lifetime), bergantung pada volumenya. Umumnya berumur antara 2 - 5 tahun. Tetapi tetap saja sangat bergantung pada tingkat kekeruhan air bakunya.

Inilah sketsa FK.
















Pada gambar di atas diperlihatkan FKH dengan rerata panjang ruang 2 m dan tinggi 1 m. Teoretisnya, panjang filter antara 5 - 10 m dengan rasio panjang : lebar = 6 : 1. Gradasi media mulai dari 2 cm lalu mengecil menjadi 0,3 cm. FKH ini dipasang dekat sungai. Lewat pipa yang diberi skrin jeruji, air sungai dialirkan secara gravitasi kemudian difilter oleh medianya. Pada FKV, medianya diawali oleh diameter 2 cm, terus mengecil sampai 0,5 cm. Tentu saja boleh menggunakan diameter lain karena karakter kekeruhan sungainya berbeda-beda.

Seperti jenis filter lainnya, kecepatan filtrasi memegang peran penting pada kinerja FK. Dalam rentang nilai 0,3 sampai 1,0 m/jam, FKH bisa bekerja optimal dan masih dalam kelayakan dari sisi kualitas dan operasi-rawatnya. Namun yang paling umum diterapkan adalah kecepatan 0,5 m/jam untuk kekeruhan rendah, yaitu antara 15 ? 50 NTU dan 0,3 m/jam untuk yang kekeruhannya tinggi, mencapai 150 NTU (Nephelometric Turbidity Unit). Dengan kecepatan filtrasi 0,5 m/jam dihasilkan air antara 85 ? 850 m3/hari, dan ini bergantung pada besar-kecilnya filter.

Bagaimana kualitas filtratnya? Meskipun sebagai unit praolah, kemampuannya menghilangkan bakteri patogen ternyata cukup tinggi, antara 60 - 70%. Kemampuannya menghilangkan kekeruhan juga bagus, yaitu 70 - 80%. Hanya saja, nilai ini akan bervariasi dari satu filter ke filter lainnya. Keutamaan lainnya, dapat dioperasikan dan dirawat oleh pekerja dengan tingkat pendidikan rendah. Lulus SMP pun, asalkan dilatih dulu, akan mampu bertugas. Mau mencoba? *
ReadMore »

3 Oktober 2006

Setengah Isi Setengah Kosong

Setengah Isi, Setengah Kosong
Oleh Gede H. Cahyana


Sabtu, 30 September 2006, Universitas Kebangsaan Bandung menggelar kuliah umum. Acara yang berlangsung di aula UK tersebut menghadirkan Parlindungan Marpaung, biasa disapa Pak Parlin, penulis buku Setengah Isi Setengah Kosong (Half Full-Half Empty). Sebelum ini saya sudah lumayan tahu isi ceramahnya di radio K-Lite FM Bandung. Dalam acara Smart Inspiring di radio itu, Pak Parlin selalu mengutarakan kisah-kisah penggugah hati. Inilah yang membuat saya tertarik dan ingin mengundangnya ke UK. Lantas terkemaslah acara yang berlangsung selama dua jam itu.

Dimulai dengan paparan tentang aktivitas kesehariannya, termasuk pengakuan pihak Maximum Impact. Inc., yaitu John C. Maxwell, pria kelahiran Jambi ini lantas memutar film. Lewat Infocus yang disediakan UK dan dari laptop yang dibawanya muncullah film tentang perkembangan teknologi yang begitu cepat berubah. Suatu saat, tutur alumnus Psikologi Universitas Padjadjaran ini, kuliah tidak lagi memerlukan ruang-ruang seperti sekarang. Tak perlu lagi tatap muka. Gaya kuliah Universitas Terbuka (UT), ujarnya lagi, akan kian berkembang. Komputer pun bahkan hanya berupa pena-pena yang bisa dihubungkan satu sama lain. Semuanya serba praktis dan mudah.

Dalam rentetan kuliahnya, ada satu hal yang menarik. Nanti, dan mungkin sekarang sudah terjadi, orang tidak lagi melihat seseorang itu lulusan sekolah apa. Orang tak bakal lagi bertanya tentang asal-usul universitasnya. Yang lebih dipentingkan adalah kualitas emosinya, khususnya sikap (attitude) dan ini bisa mencapai 50% dari total penilaian. Penguasaan ilmu yang berhulu pada IQ: kecerdasan akademis atau intelektual tak lebih dari 10%. Adapun sikap bersumber pada emotional quotient, EQ. Dengan lain kata, semua orang bisa sukses kalau ia mengelola kecerdasan intelektual dan emosinya dengan baik, terlepas dari apapun agama yang dianutnya.

Sukses memang bukan monopoli kaum beragama. Orang atheis pun bisa sukses dan maju bisnisnya, banyak perusahaannya. Hanya saja dimensi sukses tersebut termasuk dimensi sukses poin pertama, yaitu sukses di dunia. Tak seorang pun bisa memungkiri betapa orang-orang komunis tetap saja bisa maju dan kuat negaranya. Untuk kesuksesan materi ini, Sang Mahaesa memang tak pilih kasih. Sebagai Pencipta dunia dan isinya, Ia berikan semua jenis kenikmatan kepada pemburu dunia. Inilah yang saya dengar dari Pak Quraish Shihab, penulis tafsir Al Mishbah. Kenapa demikian? Kata penulis Lentera Hati ini, al-Khalik memiliki sifat Rahman (Pengasih), yaitu sifat yang ditebarkan untuk semua manusia. Adapun ar-Rahiim (Penyayang) hanya diperuntukkan bagi kaum muslim. (Dua kata ini ada dalam basmallah: Bismillaahir Rahmaanir Rahiim).

Demikianlah sukses paripurna, yaitu sukses dunia-akhirat. Mendengar kuliah Pak Parlin itu saya lantas teringat pada konsep saleh ritual dan saleh sosialSebagai penutup, jika dianalisis dari sisi keislaman, paparan trainer di PT KAI ini sungguh Islamis. Peran kerja keras dan jujur sangat dikedepankan dan manusia dinilai dari manfaatnya buat orang lain. Nilai-nilai inilah yang sesungguhnya diajarkan oleh semua agama di dunia. Tentu boleh-boleh saja orang per orang meninjaunya dari sudut pandang agamanya, dikaji dari kitab suci dan ajaran nabinya masing-masing. 

Demikian dan trims buat Pak Parlin yang telah membagikan ilmunya.

Parijs van Java, der bloem der indes bergsteiden.
Bandung, bunganya kota pegunungan di Nusantara.
Gede H. Cahyana
ReadMore »