Setengah Isi, Setengah Kosong
Sabtu, 30 September 2006, Universitas Kebangsaan Bandung menggelar kuliah umum. Acara yang berlangsung di aula UK tersebut menghadirkan Parlindungan Marpaung, biasa disapa Pak Parlin, penulis buku Setengah Isi Setengah Kosong (Half Full-Half Empty). Sebelum ini saya sudah lumayan tahu isi ceramahnya di radio K-Lite FM Bandung. Dalam acara Smart Inspiring di radio itu, Pak Parlin selalu mengutarakan kisah-kisah penggugah hati. Inilah yang membuat saya tertarik dan ingin mengundangnya ke UK. Lantas terkemaslah acara yang berlangsung selama dua jam itu.
Dimulai dengan paparan tentang aktivitas kesehariannya, termasuk pengakuan pihak Maximum Impact. Inc., yaitu John C. Maxwell, pria kelahiran Jambi ini lantas memutar film. Lewat Infocus yang disediakan UK dan dari laptop yang dibawanya muncullah film tentang perkembangan teknologi yang begitu cepat berubah. Suatu saat, tutur alumnus Psikologi Universitas Padjadjaran ini, kuliah tidak lagi memerlukan ruang-ruang seperti sekarang. Tak perlu lagi tatap muka. Gaya kuliah Universitas Terbuka (UT), ujarnya lagi, akan kian berkembang. Komputer pun bahkan hanya berupa pena-pena yang bisa dihubungkan satu sama lain. Semuanya serba praktis dan mudah.
Dalam rentetan kuliahnya, ada satu hal yang menarik. Nanti, dan mungkin sekarang sudah terjadi, orang tidak lagi melihat seseorang itu lulusan sekolah apa. Orang tak bakal lagi bertanya tentang asal-usul universitasnya. Yang lebih dipentingkan adalah kualitas emosinya, khususnya sikap (attitude) dan ini bisa mencapai 50% dari total penilaian. Penguasaan ilmu yang berhulu pada IQ: kecerdasan akademis atau intelektual tak lebih dari 10%. Adapun sikap bersumber pada emotional quotient, EQ. Dengan lain kata, semua orang bisa sukses kalau ia mengelola kecerdasan intelektual dan emosinya dengan baik, terlepas dari apapun agama yang dianutnya.
Sukses memang bukan monopoli kaum beragama. Orang atheis pun bisa sukses dan maju bisnisnya, banyak perusahaannya. Hanya saja dimensi sukses tersebut termasuk dimensi sukses poin pertama, yaitu sukses di dunia. Tak seorang pun bisa memungkiri betapa orang-orang komunis tetap saja bisa maju dan kuat negaranya. Untuk kesuksesan materi ini, Sang Mahaesa memang tak pilih kasih. Sebagai Pencipta dunia dan isinya, Ia berikan semua jenis kenikmatan kepada pemburu dunia. Inilah yang saya dengar dari Pak Quraish Shihab, penulis tafsir Al Mishbah. Kenapa demikian? Kata penulis Lentera Hati ini, al-Khalik memiliki sifat Rahman (Pengasih), yaitu sifat yang ditebarkan untuk semua manusia. Adapun ar-Rahiim (Penyayang) hanya diperuntukkan bagi kaum muslim. (Dua kata ini ada dalam basmallah: Bismillaahir Rahmaanir Rahiim).
Demikianlah sukses paripurna, yaitu sukses dunia-akhirat. Mendengar kuliah Pak Parlin itu saya lantas teringat pada konsep saleh ritual dan saleh sosial. Sebagai penutup, jika dianalisis dari sisi keislaman, paparan trainer di PT KAI ini sungguh Islamis. Peran kerja keras dan jujur sangat dikedepankan dan manusia dinilai dari manfaatnya buat orang lain. Nilai-nilai inilah yang sesungguhnya diajarkan oleh semua agama di dunia. Tentu boleh-boleh saja orang per orang meninjaunya dari sudut pandang agamanya, dikaji dari kitab suci dan ajaran nabinya masing-masing.
Demikian dan trims buat Pak Parlin yang telah membagikan ilmunya.
Parijs van Java, der bloem der indes bergsteiden.
Bandung, bunganya kota pegunungan di Nusantara.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar