Tarif PDAM Layak Naik
Oleh Gede H. Cahyana
Seorang anak sedang bingung. Ia dihadapkan pada buah simalakama. Jika dimakan, bapaknya mati; jika tak dimakan, ibunya yang mati. Setelah lama berpikir akhirnya ia berkeputusan: tidak dimakan! Pertimbangannya adalah jangka panjang atau masa depan. Ia sedang sekolah dan perlu biaya. Bapaknyalah yang selama ini mencari nafkah.
Walau demikian, di kalbunya ia tetap mencintai ibunya. Ia lahir dari rahim ibunya, disusukan oleh ibunya, disapih juga oleh ibunya. Bukan karena tak sayang pada ibunya, melainkan kondisilah yang menyebabkan ia harus memilih agar masa depannya dapat berlangsung. Dengan ikhlas ia mendoakan ibunya agar diampuni dosa-dosanya. Keikhlasan inilah yang diharapkannya bisa membahagiakan ibunya di akhirat kelak.
Buah Simalakama
Apa hikmah kisah di atas bagi PDAM dan pelanggannya? Naik-tidaknya tarif PDAM mirip buah simalakama. Naik atau tidak, tetap akan berdampak pada PDAM dan pelanggannya. Karena skala prioritasnya berada di kwadran mendesak dan penting, maka keputusan harus segera dibuat dengan segala risikonya. Tinggal dipertimbangkan efeknya pada masa depan, pada kelanggengan pasokan air, pada kualitas kesehatan masyarakat, dan pada upaya pencapaian Millenium Development Goals (MDG), persis seperti evaluasi yang dilakukan oleh anak dalam kisah tersebut.
Bagi pelanggan, kalau tarifnya naik berarti membayar lebih mahal per volume air yang sama. Ini menjadi masalah ketika pendapatannya tetap atau bahkan turun. Apalagi harga-harga terus naik dan PHK terjadi di mana-mana. Sebaliknya, kalau tidak naik maka rekeningnya akan tetap seperti sekarang tetapi tak ada peluang perbaikan pelayanan PDAM. Pipa-pipanya yang bocor tetap bocor, debit olahannya yang kecil tetap kecil dan tak mungkin ditingkatkan, juga tidak bisa mencari sumber air baru atau membangun instalasi baru sebagai penambah suplai air dan perluasan daerah layanannya.
Bagi PDAM, kalau tarifnya tidak naik maka kualitas layanannya tetap seperti sekarang, bahkan bisa lebih buruk karena harga zat kimia, pipa dan aksesorisnya sudah naik dan tak punya cukup dana untuk merehabilitasi sistemnya. Ongkos operasi-rawatnya pun kian mahal, tak setara dengan pendapatannya. PDAM pun tak mampu meluaskan daerah servisnya bahkan cakupan layanannya bisa menurun karena debit airnya susut disertai peningkatan kebocoran pipa-pipa tua. Kian besarlah kehilangan airnya seiring dengan penurunan kualitasnya, seperti makin keruh, bercacing, berbakteri, berlanyau (slime), dan berisi bermacam-macam pencemar dari limbah domestik dan pabrik.
Sebaliknya, kalau naik tarifnya ada kemungkinan PDAM dapat mereparasi kualitas layanannya. Dapat mengganti pipa-pipanya yang bocor, membuat unit pengolah baru, merehabilitasi unit pengolah lama, mampu membeli zat kimia (reagen), mampu mengganti peralatan mekanikal dan bahkan mampu meluaskan area servisnya. Juga mampu meningkatkan kualitas pegawainya (SDM). Dan yang pasti, tak perlu minta bantuan perusahaan air swasta (asing) untuk menangani PDAM. Dari hulu sampai hilir, dari direksi sampai klinsi (cleaning service) diemban oleh orang Indonesia sehingga privatisasi bisa dicegah sekaligus menyelamatkan pelanggan dari ancaman tarif yang terlampau tinggi.
Setelah naik tarifnya, selanjutnya ialah pengawasan seksama atau melekat oleh DPRD dan Badan Pengawas (BP). BP PDAM pun harus betul-betul tinggi kompetensinya agar tak sekadar ada tetapi tiada. Adanya sama dengan tiadanya. Pengawasan pun bisa dilakukan oleh pelanggan dengan cara membentuk paguyuban atau asosiasi atau oleh LSM yang concern pada kesehatan masyarakat, sanitasi dan air bersih.
Layak Naik
Di mana-mana, sejak dulu sampai sekarang, resistensi atas kenaikan tarif selalu ada. Tak hanya soal air, tapi juga soal listrik, gas, angkot, bis, kereta api, dll. Bagaimana dengan PDAM? Opsi mana yang mesti diambil? Untuk saat ini sebaiknya buah simalakama itu jangan dimakan! Artinya, pelanggan diminta mau mengerti dulu dan rela menjadi “ibu” seperti kisah di atas. Pelanggan berkorban demi pelanggan, demi perbaikan mutu pada masa depan.
Dipahami bersama, tarif adalah komponen terawan dalam interaksi PDAM-pelanggan. Karena kondisinya mendesak, maka keputusan naik tarif harus segera diberlakukan justru demi peningkatan kualitas layanan. Apalagi kalau PDAM telah lama tidak menaikkan tarifnya dan bahkan tarifnya di bawah tarif rerata PDAM lain. Bagaimanapun, hakikatnya PDAM adalah milik pelanggan, seperti halnya air itu milik rakyat. Menolong PDAM sama dengan menolong pelanggan, menolong diri sendiri.
Pada saat yang sama DPRD pun harus betul-betul mewakili rakyat dan mampu mengevaluasi kondisi sosial ekonomi mayoritas rakyat, sekaligus memahami kondisi PDAM yang berkaitan dengan ongkos operasi-rawat instalasinya, gaji karyawannya, sumbangannya untuk APBD dan biaya pengembangan PDAM. Jangan sampai DPRD takut dan khawatir dianggap tidak aspiratif karena setuju pada kenaikan tarif. Proyeksi jangka pendek memang terasa merugikan pelanggan tetapi dalam jangka panjang, dengan janji perbaikan oleh PDAM, dengan berbenah di instalasi, transmisi dan distribusinya boleh jadi menguntungkan pelanggan.
Prinsipnya, tarif harus menguntungkan kedua belah pihak. Dalam hal ini DPRD wajib mengakomodasi keduanya. Pelanggan harus dibela, PDAM pun harus dibela. Membela PDAM pun sebetulnya membela kepentingan rakyat. Kalau PDAM tak mampu lagi beroperasi, yang rugi tentu rakyat (pelanggan) juga. Tak ada air berarti tak bisa mencuci, tidak mandi dan tak ada aktivitas bebersih. MDG 2015 pun, yaitu dasawarsa air bersih mondial periode dua, takkan mungkin tercapai, malah sanitasi mayoritas rakyat kian buruk. Yang menderita dan kena wabah pemula (penyakit menular lewat air) lagi-lagi masyarakat.
Pelanggan Peduli
Pelanggan adalah raja. Pada saat yang sama pelanggan pun harus “mempresidenkan” PDAM. Mau memahami beratnya tugas “presiden” (PDAM) yang mesti melayani “rakyatnya” (pelanggan). Semua “rakyatnya”, baik yang dekat instalasi maupun yang jauh dari instalasi, minta dilayani dengan maksimal. Ini sulit kalau tidak didukung oleh topografi kota. Tetapi permintaan itu wajar-wajar saja sebab “rakyat” sudah membayar rekeningnya. Jika pelanggan sudah akomodatif atas tarif, maka wajib bagi PDAM untuk memuaskan pelanggannya. Semua pelanggan, baik yang tinggal di daerah rendah maupun di daerah tinggi, harus dipuaskan. Inilah tantangan besar bagi PDAM dalam mendesain sistem distribusi agar tekanan dan debitnya setimbang.
Dengan segala kerumitan operasi-rawatnya, terutama pengaturan air agar adil di sistem distribusinya, kenaikan tarif sejatinya wujud kepedulian PDAM dalam meningkatkan mutu layanannya. Sebaliknya, bisakah pelanggan peduli? Salah satu bentuk kepedulian adalah menyetujui kenaikan tarif dalam batas-batas kewajaran yang dibandingkan dengan biaya produksinya. Jika tidak, bisa saja PDAM benar-benar bangkrut. Dari mana nanti pelanggan mendapatkan air? Tidakkah wajar PDAM menaikkan tarifnya justru dalam kondisi ekonomi seperti ini? Cara ini lebih baik daripada berutang ke bank atau lembaga donor dunia yang membebani negara. Sekarang saja cicilan pokok dan bunga utangnya sudah lebih besar daripada dana pinjaman yang mengucur dalam setahun.
Lewat instrumen kenaikan tarif itu diharapkan PDAM mampu full cost recovery, mampu balik modal. Injeksi dana segar berupa tarif yang layak bagi kedua belah pihak hendaklah bermuara pada keadilan distribusi air plus membasmi dan mencegah sambungan liar dan bebas KKN. Juga mereduksi kehilangan air teknis dan administratif dan mengeksplorasi sumber air baru atau memodifikasi instalasinya agar mampu menangani pencemar nonkonvensional.
Yang terakhir, aturlah tarifnya agar tak semahal harga amik (air minum kemasan) dan amiku (air minum kemasan ulang atau isi ulang) yang memang murni bisnis tanpa spirit sosial, murni profit oriented. Di sinilah kecerdasan sosial (social intelligence) insan-insan PDAM diuji setelah kenaikan tarifnya, apakah peka pada harapan pelanggan dengan cara serius mereparasi kinerjanya. Janji, sekecil apapun, tetaplah utang yang harus dilunasi.*
Tidak ada komentar:
Posting Komentar