• L3
  • Email :
  • Search :

25 September 2011

Babakan Siliwangi: Hutan Kota Dunia


Babakan Siliwangi: Hutan Kota Dunia

Gede H. Cahyana

Babak baru Babakan Siliwangi sudah bergulir. Hutan kota seluas kurang lebih 3,8 ha itu akan diresmikan oleh Wakil Presiden Boediono menjadi Hutan Kota Dunia (world city forest) pertama di Indonesia. Deklarasinya berlangsung dalam pembukaan konferensi lingkungan internasional: Tunza International Children and Youth Conference On the Environment 2011 yang mulai digelar pada 27 September 2011. Inilah kado ulang tahun Kota Bandung dari PBB melalui United Nation Environmental Programe (UNEP). Akankah deklarasi ini mampu memupus berbagai perbedaan pendapat dan beragam kepentingan Pemkot Bandung dan pengusaha lantas memunculkan sinergi?

Faktanya, harapan untuk saling dukung demi kepentingan masyarakat Bandung sudah sejak lama digulirkan. Bahkan ujaran keras pernah keluar dari pemerintah Provinsi Jawa Barat agar tidak ada lagi pembangunan di Kawasan Bandung Utara (KBU) dan Babakan Siliwangi! Ajakan tersebut adalah artikulasi kembali suara-suara “hijau” (green sound) pakar lingkungan dan pemerhatinya sejak 1993. Sejumlah unsur masyarakat yang “melek” lingkungan lantas berupaya “menyadarkan” pemerintah yang akan mengambil tindakan keliru atas nama pembangunan ekonomi. Silang pendapat inilah yang ramai dibahas sewindu terakhir ini.

Bagaimana kondisi Babakan Siliwangi pada masa lalu? Lain dulu, lain sekarang. Berikut ini adalah potret sepetak lahan di Babakan Siliwangi pada dekade 1980-an. Selain petak ini, ada dua petak lagi yang memiliki nilai jejak ekologis (ecological footprint) yang tinggi di Kelurahan Babakan Siliwangi, Kecamatan Coblong, yaitu Kebun Binatang dan Taman Ganesa di dekat area Salman ITB. Pada masa itu halaman ITB pun masih menjadi hutan kota yang betul-betul hijau karena masih banyak pohon, ramai oleh kicauan burung beraneka jenis, berbeda dengan masa 15 tahun terakhir ini yang berubah menjadi hutan beton.

Seperempat abad yang lalu, di petak tersebut masih terdengar ricikan air jernih dari sawah dan pancuran bambu. Hijaunya daun dan kuningnya bulir padi datang silih berganti setiap empat bulan. Burung-burung liar yang habitatnya di Taman Ganeca ITB dan Kebun Binatang sering terbang bergerombol ke pohon-pohon di Babakan Siliwangi. Panorama ini dapat dinikmati dari lereng atas Selatan yang berbatasan dengan jalan Tamansari, tepat di belakang ITB (d.h. Kantor Puslitbang Permukiman). Mahasiswa ITB yang kos di daerah ini (d.h Lebak Gede) akan melihat gerombolan burung terbang, barisan capung, juga loncatan belalang setiap pagi.

Dari rumah kos yang berada di tataran bawah kantor BATAN ada jalan setapak menuju jalan berbatu di bawah bibir jalan Tamansari. Berlebar dua meter, jalan berbatu ini selalu ramai dilewati masyarakat setempat kalau hendak ke Simpang Dago. Mahasiswa ITB yang kos di daerah ini pun kerapkali menginjak setapak di ”bebukitan” Lebak Siliwangi, di dekat rumah makan pada masa itu. Area parkir yang luas di depan rumah makan bersebelahan dengan kolam ikan tempat mancing walau hanya sesekali. Udara sangat sejuk, syahdan pada tengah hari bolong. Angin berembus terus-menerus mengacak-acak daun pinus dan palem sambil menebar oksigen. Sanggar Olah Seni pun ramah dan terbuka dikunjungi bagi warga sekitar.

Sebagai warga baru, saya sering keliling gang-gang di Lebak Gede (Siliwangi), mulai dari tepi Sungai Cikapundung di dekat bangunan Intake (penyadap air) PDAM Kota Bandung, sampai gang di dekat sawah di Babakan Siliwangi. Air PDAM sudah tersedia tetapi tidak semua warga berlangganan air ini. Lebih banyak warga mendapatkan air dari sumur dangkal dengan cara ditimba dan disedot pompa. Warga yang di dekat sawah memperoleh air dari rembesan air sawah selain air yang langsung dialirkan dari limpahan air selokan di Dago dan kawasan Cisitu. Air ini untuk mencuci dan bebersih rumah. Untuk minum hampir semua menggunakan air sumur. Semua warung nasi di Lebak Gede atau Babakan Siliwangi memperoleh air minumnya dari sumur dangkal kalau tidak dari PDAM. Waktu itu belum banyak dikenal air minum kemasan berukuran botol lima gallon. Masjid pun kebanyakan memiliki sumur dengan pompa di tempat wudunya.

Keelokan dan eksotika Babakan Siliwangi dapat dinikmati pada pagi hari ketika pucuk-pucuk pinus ”bebukitan” di lereng rumah A. Kasoem diselimuti kabut melayang di sela-sela daun jejari pinus. Kian indah lagi kalau dipandang dari rumah kos yang tepat berada di bawah kantor BATAN, di dekat lapangan voli saat itu. Pada pukul delapan pagi embun pembasah daun belum juga menguap. Itulah potret Lebak Gede dan Lebak/Babakan Siliwangi pada medio 1980-an. Di bagian atas, yaitu di jalan Siliwangi pohon-pohon pun masih banyak berdaun rimbun. Jalan Tamansari juga berpohon rindang, seperti sekarang.

Yang khas di Babakan Siliwangi, paling tidak ketika saya menjadi bagian dari warga di sana, adalah arena adu bagong dan anjing. Dua bagong (babi hutan bertaring) dikerubuti oleh beberapa ekor anjing ”kampung”, bukan sejenis bulldog, herder atau lainnya. Arena pertunjukan yang menurut pencinta hewan dianggap di luar perikehewanan ini berlangsung di lereng Timur Babakan Siliwangi, di dekat jalan Sumur Bandung atau tepat di pertigaan jalan Tamansari, Dayang Sumbi dan Sumur Bandung. Karena pagarnya berupa semak-belukar, ada beberapa pintu masuk yang terbuat dari dinding yang dilubangi. Yang tidak membeli karcis ada yang berupaya naik ke pohon-pohon di sekitar arena sehingga menjadi pemandangan khas ”pohon berbuah orang”.

Pada kali lain, ada juga pertunjukan ular dan orang yang hidup ”rukun” selama 60 hari. Ularnya banyak, besar-kecil, dari berbagai jenis, mulai dari yang tidak berbisa sampai cobra yang bisanya luar biasa. Arena ini selalu ramai dikunjungi orang, terutama pada hari libur dan Ahad, bahkan diramaikan oleh wisatawan dari luar Kota Bandung. Di sudut lain Babakan Siliwangi adalah aktivitas seni dan ada mushala di sana. Warga dapat melihat-lihat dengan nyaman dan bebas tanpa banyak dijaga. Murid-murid TK dan SD beberapa kali saya lihat berkunjung dan tampak ceria, berbaur dengan alam sejuk di sekitarnya. Pendidikan lingkungan, seni, budaya sambil berjalan dan lari naik turun sekaligus memberikan efek olah raga.

Berkaca pada potret Babakan Siliwangi dua dekade lalu, muncullah pertanyaan sbb: akankah fenomena dulu bisa diperoleh sekarang? Akankah fungsi lingkungan Babakan Siliwangi tetap terjaga ketika diubah menjadi pusat bisnis? Kalaupun tetap hendak (dipaksakan) dibangun, sebaiknya berkonstruksi tiang pancang dan berbentuk panggung agar resapan airnya tetap optimal. Material pondasi bagunan lama harus diangkat semua. Aspalnya juga diangkat semua sampai betul-betul tampak tanah aslinya, kemudian dipasangi paving block yang dapat meloloskan air hujan. Jangan membuat taman hanya sekadar untuk raihan fotosintesisnya tanpa peduli pada aspek tangsap (tangkap-resap) air hujan. Apalagi sekadar tanaman bunga semusim yang orientasinya hanya aspek keindahan tanpa kemampuan tangsap air.

Akhir kata, Kota Bandung perlu sabuk hijau yang tak sekadar untuk faktor estetika, tetapi juga geohidrologis. Dengan luas wilayah 16.730 ha, Kota Bandung perlu 20 persen sabuk hijau berpohon 1,3 juta tegakan. Dapatkah ini dicapai kalau setiap sabuk hijaunya diubah menjadi ”sabuk beton” berupa mall, hotel, dan supermarket yang tak peduli pada lingkungan dan ekologi? Pencanangan Hutan Kota Dunia (Hukodu) diharapkan mengawali pembangunan Babakan Siliwangi secara sosioekologis. Semoga mampu mereduksi perbedaan kemudian memunculkan kerjasama sinergis antarunsur masyarakat: LSM, ormas, pemkot, pemprov, pengusaha, dan akademisi. *
ReadMore »

2 September 2011

Besi dalam Air Minum


Oleh Gede H. Cahyana

“Saya nyesel. Nyesel banget beli rumah di sana. Dibohongin. Developer-nya bilang air sumurnya bagus. Tapi nyatanya bohong. Padahal dalamnya sudah 25 meteran. Airnya amis dan kuning. Siapa yang nggak kesal.” Demikian gerutu seseorang kepada penulis.

Mendengar itu saya tetap diam, terus menyimak, manggut-manggut sambil bergumam, ooo... ooo saja. Keluh kesahnya panjang, agak lama kami ngobrol. Masalahnya tak lain dari mutu atau kualitas air. Sebetulnya dia hendak menjual rumahnya itu, tapi belum laku juga karena semua calon pembelinya selalu menanyakan airnya. Begitu tahu airnya jelek, mereka langsung pergi. Apalagi tak ada tanda-tanda air ledeng PDAM bakal masuk ke perumahan itu.

Dalam acara peringatan Hari Air Dunia, penulis sempat ditanya seseorang yang mengadu soal air. Bersama anaknya, ibu paruh baya ini bertanya, “Kenapa ya, air sumur saya kuning? Sudah disaring pakai kain, tapi tetap saja kuning. Pernah jernih sebentar tapi kuning lagi. Lantai pun jadi kuning. Ember juga kuning-coklat. Bahaya nggak, ya? Gimana cara menghilangkannya?”

Agar Sehat: Olah!
Air perlu diolah karena kualitas air bakunya berbeda dengan kualitas air minum yang sudah diatur dalam Keputusan Menteri Kesehatan No. 907/Menkes/SK/VII/2002, pada 29 Juli 2002. Perbedaan inilah yang harus diolah sampai ke taraf konsentrasi yang sesuai dengan surat keputusan tersebut. Aturan tersebut dibuat demi kesehatan manusia dan dibagi menjadi empat, yaitu kualitas bakteriologis (penulis cenderung menyebutnya bakteriologi), kimiawi (penulis menyebutnya kimia), radioaktivitas, dan fisik (penulis menyebutnya fisika). Dari sekian banyak parameter kualitas kimia dalam baku mutu tersebut yang sering menjadi masalah adalah kalsium, magnesium, besi dan mangan. Pada kesempatan sekarang, fokus tulisan ini adalah besi dan mangan.

“Musuh bersama” kita, kalau boleh disebut demikian, adalah kation besi (II) yang bersembunyi di dalam air. Kation ini hadir di dalam tanah dan air bersama dengan kation mangan (II) dan kation lainnya. Konsentrasi terbesarnya justru ada di dalam air tanah (groundwater) seperti sumur yang banyak dijadikan sumber air masyarakat tetapi relatif kecil di dalam air permukaan seperti sungai, danau, dan waduk.

Kation besi, selanjutnya disebut besi, menimbulkan banyak masalah dalam penyediaan air minum individual dan komunal termasuk masalah kesehatan manusia. Itu sebabnya, konsentrasi maksimum besi terlarut di dalam air minum yang tercantum di berbagai peraturan pemerintah atau menteri kesehatan adalah 1.0 mg/l. Tetapi faktanya, konsentrasi besi di dalam air tanah dangkal dan air tanah dalam (juga beberapa air permukaan) jauh di atas ambang batas tersebut. Agar dapat dimanfaatkan dan tidak menimbulkan masalah kesehatan, estetika, kerugian ekonomi, dll maka air tersebut harus diolah dulu dengan teknologi tertentu. Satu di antara teknologi yang bisa diterapkan adalah slow sand filter modifikasi.

Seperti tersirat di dalam namanya, slow sand filter adalah unit operasi filter yang laju aliran airnya relatif lambat dengan kisaran 0,1 – 0,4 m3/m2/jam yang dicapai dengan lapisan pasir berdiameter antara 0,1 – 0,35 mm. Lewat pertolongan gravitasi Bumi, air mengalir lambat menyusup di antara butir-butir pasir dari bagian atas filter ke bagian bawah. Jenis slow sand filter konvensional tersebut banyak diterapkan untuk mengolah air permukaan dengan kekeruhan rendah sehingga umur filter menjadi lebih lama dibandingkan dengan filter yang mengolah kekeruhan lebih tinggi. Operasi-rawatnya juga mudah dan tanpa penambahan zat kimia. Hanya saja, filter ini membutuhkan lahan yang luas dan media filter yang besar volumenya dibandingkan jenis lainnya.

Modifikasi Media
Terapan utama slow sand filter di atas adalah untuk menurunkan kekeruhan air baku yang disebabkan oleh koloid dan suspended solid berkonsentrasi rendah. Dampak tambahan positif lainnya ialah reduksi senyawa besi (dan sedikit mangan), baik oleh aktivitas biologi maupun kimiawi alami. Aktivitas fisika dapat juga terjadi kalau besi dan mangan mengalami oksidasi alami meskipun dalam jumlah yang sedikit. Hal ini akan terjadi optimal apabila lapisan tipis di permukaan media filter (schmutzdecke) berkembang dengan baik dan bertahan selama proses filtrasi. Meskipun dapat diupayakan, justru di sinilah letak kesulitannya.

Lain koloid dan suspended solid, lain juga besi. Agar dapat digunakan untuk mengurangi konsentrasi besi dan mangan dengan jumlah yang banyak maka perlu ada modifikasi media tanpa mengubah laju aliran airnya. Dengan mempertahankan lajunya yang rendah seperti slow sand filter konvensional maka mekanisme filtrasinya tetap sama dan tanpa zat kimia seperti pada rapid sand filter yang memerlukan proses koagulasi, flokulasi, dan sedimentasi di dalam unit yang terpisah. Satu cara modifikasi media ini ialah dengan memberikan tambahan kemampuan dalam penyisihan besi dan mangan. Di sini ada tambahan mangan karena di dalam slow sand filter konvensional relatif sulit untuk menyisihkan mangan karena persyaratan pH-nya relatif tinggi.

Untuk menambah daya-sisih (removal power) pasir terhadap besi (dan juga mangan) maka pasir diaktifkan dengan larutan KMnO4 yang lantas membentuk lapisan MnO2. Lapisan inilah yang bertindak sebagai katalisator (pemercepat reaksi) pada proses oksidasi kation Mn(II). Aktivasi media pasir dilakukan dengan larutan KMnO4 0,1 N. Pasir direndam selama 24 jam lalu dikeringkan dengan oven pada temperatur 150 derajat C selama 2 jam.

Selain sebagai katalisator reaksi oksidasi, pasir juga mampu memfilter presipitat besi dan mangan. Yang tidak teroksidasi akan diadsorpsi oleh lapisan besi hidroksida sehingga fenomena di dalam modifikasi media ini menjadi banyak, yaitu aerasi-oksidasi, filtrasi, sedimentasi, dan adsorpsi sekaligus disinfeksi sehingga air filtratnya sudah siap diminum (drinking water).

Kinerja Filter
Irmanto dan penulis sudah meneliti dan mengevaluasi kinerja slow sand filter modifikasi ini di Universitas Kebangsaan dengan sumber air baku dari air tanah di kantor Kopertis Wilayah IV (Jawa Barat-Banten). Dalam beberapa kali pengambilan sampel air tersebut diperoleh konsentrasi besi antara 1,85 mg/l – 2,61 mg/l, jauh di atas ambang batas maksimum 1,0 mg/l. Dengan konfigurasi filter seperti Gambar 1, efisiensi penyisihan besi di dalam slow sand filter modifikasi mencapai angka 95%.

Dengan latar penelitian di laboratorium tersebut, maka rancangan filter skala lapangan bia dibuat, baik untuk kebutuhan individual (rumah tangga) maupun komunal di kantor-kantor.*
ReadMore »