• L3
  • Email :
  • Search :

23 Desember 2007

Jangan Anak Tirikan Warga Cempaka Arum...!!!

Di bawah ini adalah tulisan ringkas anggota DPRD Kota Bandung dan FPKS. Saya unduh dan lekatkan di blog ini agar dapat dibaca oleh rekan-rekan. Untuk mengunjungi situs aslinya dapat diklik di sini.


adi wahyono

Kontroversi Pembangunan PLTSa yang akan di bangun di kelurahan Ranca Numpang Kec. Gede bage terus berlarut – larut bahkan sampai pengunduran jadual peletakan batu pertama di undur sekitar 5 kali, dan sampai dengan sakarang kurang lebih 2800 warga sekitar PLTSa Perumahan Griya Cempaka Arum masih ketat bersih keras menolak bahkan cenderung kurang didengar aspirasinya. Seyogyanya untuk menyelesaikan masalah ini jangan sampai menganaktirikan warga.khususnya disekitar PLTSa. Demikian diungkapkan Adi Wahyono Angota DPRD Fraksi PKS DP 6. Mereka harus lebih diperhatikan. Karena Mereka akan merasakan dampak terdekat dari PLTSa, lanjutnya. Bahkan seharusnya Walikota bersedia datang langsung mendengarkan keluhan permasalahan dan aspirasinya untuk diberikan solusi cerdas sehingga win-win solution dapat di peroleh.



Saya, Gede H. Cahyana, bersyukur ada anggota dewan yang masih peduli pada orang-orang Bandung, khususnya warga di Griya Campaka Arum dan sekitarnya. Hanya segelintir anggota dewan yang peduli pada kesehatan paru-paru orang di Bandung Raya. Sebagian besar sudah solid bergabung dengan eksekutif dalam upaya membangun PLTSa. Bahkan Prof. Otto pun yang notabene 50 tahunan menggeluti ekologi dan konservasi lingkungan ditolak mentah-mentah oleh anggota dewan yang baru kemarin sore belajar lingkungan.
ReadMore »

11 Desember 2007

Warning: Global Warming!

Warning: Global Warming
Oleh Gede H. Cahyana

Tanggal 3 s.d 14 Desember 2007 Bali menjadi fokus mata dunia. Tak kurang dari 189 utusan negara berkumpul dalam Konvensi Kerangka Kerja PBB untuk Perubahan Iklim dengan tema krusial: penghangatan (warming) atau pemanasan Bumi. Bersamaan dengan itu, masalah lain terus menguntit seperti lubang ozon dan pencairan es di kutub. Yang tak kalah penting ialah ledakan populasi berpola geometric growth

Dunia Paradoks
Pesat sekali pertumbuhan penduduk Bumi. Tahun 1950-an hanya 2,5 miliar orang. Dalam tempo 55 tahun menjadi 6,2 miliar orang. Pada akhir 2007 ini 6,5 miliar orang dan 1,5 miliar berada di bawah garis kemiskinan. Satu miliar di antaranya hidup di negara berkembang. Dekade lalu, dengan populasi hanya 20% dari populasi total, negara maju mengonsumsi 80% kayu hutan. Konsumsi satu bayinya setara dengan 15 bayi di negara miskin. Negara kaya pun membuang limbah terbanyak, mencapai 90%, termasuk limbah B3 dan melepas 90% CFC (chlorofluorocarbon), senyawa pelubang lapisan ozon. 

Parahnya lagi, karbondioksida (CO2) terus bertambah akibat penggunaan BBM, zat kimia dan penebangan hutan. Per tahun saja, 1% hutan tropis di Bumi ini lenyap sehingga mereduksi fotosintesis yang berdampak pada kenaikan temperatur Bumi. Tibet yang biasanya dingin misalnya, temperatur udaranya pernah mencapai 25 derajat Celcius selama 23 hari. Permukaan air laut pun naik di Kep. Bermuda, Hawaii, Fiji dan pencairan gunung es Gangotri, India dan es di Peg. Andes di Peru. Bukti lainnya, dekade terpanas terjadi pada akhir abad ke-20, yaitu tahun 1990-an dan tahun terpanasnya ialah tahun 1998, 2001, dan 2005. 

Kalau pemanasan itu terus berlanjut, pada tahun 2100 diduga muka air laut naik antara 15 – 95 cm sehingga pulau-pulau kecil tenggelam, pantai menyempit, intrusi makin jauh ke darat. Terjadi reduksi luas pulau sehingga timbul masalah demografi dan gangguan kesehatan seperti malaria, demam berdarah, filariasis, flu burung, SARS (pernapasan akut). Juga memicu gelombang panas yang jauh lebih ganas dan makin luas paparannya, seperti kejadian di kawasan Amerika- Eropa. Badai Noel, topan Katrina, puting beliung terjadi di mana-mana, terakhir di Bangladesh yang diporak-porandai oleh badai Sidr yang menewaskan 2.400-an orang. 

Pola hujan dan salju pun berubah, mengubah pola siklus hidrologi, mengganggu suplai air bersih. Intrusi mengasinkan sumur, memperluas krisis air. Karena terjadi ledakan jumlah penduduk, muncullah ancaman kekurangan pangan sehingga makin luaslah eksploitasi lahan baru di gunung, bukit, hutan, dan dataran banjir. Semuanya terpaksa dieksploitasi demi penyediaan kebutuhan pangan. Di satu daerah terjadi banjir pantai, di daerah lain justru kekeringan. Hadirlah paradoks iklim dan cuaca di seluruh dunia. Keragaman hayati berkurang, spesiesnya punah, gagal panen dan kelaparan meluas. Yang paling menderita tentu saja masyarakat miskin. 

Semua fenomena di atas berkaitan dengan efek rumah kaca (greenhouse effect). Ilustrasinya begini. Andaikan kita berada di dalam mobil, di bawah panas matahari. Akan terasa ada peningkatan panas apalagi ditambah dengan CO2 hasil pernapasan kita. Makin banyak orang di dalam mobil, makin cepatlah terasa panas. Atmosfer Bumi pun dapat diserupakan dengan atap kaca yang tembus cahaya sehingga sinar matahari dapat masuk dan sampai ke permukaan Bumi lalu dipantulkan kembali ke atmosfer. Hanya saja, pantulan sinar inframerah (gelombang panjang) dihalangi gas rumah kaca sehingga berbalik memantul ke Bumi. Inilah yang meningkatkan panas muka Bumi. Contoh yang jelas ialah sesaat sebelum hujan ketika ada banyak awan (uap air) sehingga temperatur terasa lebih panas dan berakhir setelah hujan turun.

Jika demikian, jahatkah efek rumah kaca? Tidak! Sebab, secara alamiah efek ini menguntungkan karena temperatur Bumi menjadi hangat. Efek yang dikendalikan oleh gas beratom dua atau lebih ini menyerap inframerah di Troposfer. Masalahnya, konsentrasi CO2 dan gas lainnya terus meningkat sehingga pemanasan Bumi menjadi tak terkendali, temperaturnya terus naik dan diistilahkan dengan Global Warming (GW). Pada kasus ini kondisi Bumi sudah lampu kuning dan tanda peringatan waspada (warning) telah menyala. 

Tanggung Jawab?
Siapa yang bertanggung jawab atas GW? Tentu saja semua negara! Namun, jika dikaitkan dengan CO2, maka yang paling bertanggung jawab ialah negara industri karena merekalah yang terbanyak mengemisi CO2. Sekadar contoh, emisi orang Amerika Serikat (AS) lima kali lebih besar daripada orang Meksiko, bahkan 19 kali lebih besar daripada orang India. Walaupun hanya 20% orang tinggal di negara maju tetapi kontribusinya 63% dari total emisi. Memang betul, kalau dihitung berdasarkan negaranya, maka Cinalah pengemisi terbesar lantaran jumlah penduduknya memang terbanyak. Namun secara individu emisi tujuh orang Cina setara dengan satu orang AS. Tujuh orang setara dengan satu orang!

Terkait dengan CO2 tersebut, tanggung jawab terbesar haruslah dipikul oleh negara maju seperti AS. Sama sekali keliru membandingkannya dengan Cina dan India meskipun banyak penduduknya. Sebab, emisi gas rumah kaca khususnya CO2, tidak berkorelasi linier dengan jumlah populasi secara langsung. Bisa saja penduduk suatu negara sangat banyak tetapi sebagian besar bergerak di sektor pertanian. Meskipun, memang, pertanian juga menjadi kontributor gas rumah kaca, khususnya setelah panen padi tapi tidak sebanyak yang diemisikan oleh industri dan transportasi. 

Di situlah letak kekeliruan AS dalam menanggapi kesepakatan reduksi aktivitas ekonomi (industri dan transportasi). Padahal yang dideritanya juga dialami negara-negara maju lainnya, kelompok G7 (Kelompok Utara). AS merasa Protokol Kyoto adalah “penggusuran” terhadap aktivitas ekonominya sekaligus menentang Deklarasi Stockholm, sebuah komitmen bersama tentang pembangunan (industri) ramah lingkungan yang terlanjutkan. Juga melawan kesepakatan perlindungan lapisan ozon yang diputuskan pada Konvensi Wina tahun 1985, sebagai “landmark” aksi lingkungan dan Protokol Montreal tahun 1987 dengan serial amandemennya tahun 1990 di London, 1992 di Kopenhagen dan di Wina lagi pada 1996.

Lebih jauh lagi, AS pun mengingkari KTT Bumi di Rio de Janeiro pada Juni 1992 dengan Agenda 21 Globalnya yang merupakan cetak-biru sustainable development abad ke-21. Ketika itu, di bawah Konvensi Perubahan Iklim, negara-negara maju setuju mereduksi emisi gas rumah kaca. KTT Bumi plus 5 pun telah dilaksanakan di kota yang sama pada Juni 1997 dengan spirit serupa. Kemudian, Protokol Kyoto 1997 yang dimasalahkan oleh Presiden George W. Bush adalah lanjutan dari Protokol Montreal 1987. Isinya masih berorientasi pada reduksi emisi gas rumah kaca dan perusak ozon Stratosfer seperti metana, karbondioksida, kloroflorokarbon, halon, karbon tetraklorida dan metil kloroform. 

Selain GW, efek yang juga riskan ialah hujan asam (hujas) atau acid rain, acid deposition. Menurut Gorham, dengan kadar 0,03% CO2 dari seluruh gas atmosfer maka derajat keasaman air hujan sekitar 5,7. pH-nya turun karena ada tambahan asam dari asam nitrat dan asam sulfat dengan sumber SO2 dan NOx. Pada tahun 2007 ini, pH air hujan di Jakarta sudah 4 – 4,5. Di Denpasar pun, mulai Ubung sampai Renon, sudah dipadati kendaraan, emitor CO2. Tapi untung Denpasar dekat dengan Samudera Indonesia yang kuat hembusan anginnya sehingga mudah terjadi dispersi polutan udara. 

Sebetulnya, potensi GW oleh CO2 tidaklah besar. Metana 21 kali lebih besar daripada CO2. CFC malah 7.300 kali lebih besar daripada CO2. Hanya saja, karena kadar CO2 sangat banyak maka gas inilah yang paling besar kontribusinya pada GW, yaitu 50%. Sumber gas rumah kaca itu ialah BBM (57%), CFC 17%, pertanian 14%, dan penebangan hutan 9%. Dulu, Protokol Montreal mewajibkan penghentian produksi CFC (chlorofluorocarbon) pada tahun 1996. Tetapi faktanya, produk itu masih saja beredar. Untunglah pemerintah Indonesia telah berkehendak melarang impor CFC, halon, dan metil bromida tahun depan. 

Opsi Solusi
Ada sejumlah upaya tindak yang dapat dilakukan. Yang pertama, mengurangi emisi CO2, mengurangi penebangan hutan (legal & illegal). Menghentikan produksi CFC lalu menggantinya dengan zat kimia ramah lingkungan. Mereduksi emisi metana dari sawah dengan mengurangi rendaman jerami, kurangi pembakaran biomassa, hindari pembakaran sampah (insinerasi, PLTSa: Pembangkit Listrik Tenaga Sampah), termasuk kurangi pemakaian pupuk kaya nitrogen. 

Sebaliknya, giatkan proses fotosintesis, tarutama padi. Absorbsi CO2 oleh padi akan meningkatkan produksi beras sekaligus mereduksi GW. Ada riset di Jepang yang menyatakan pemberian CO2 sebanyak 700 ppmv (sekitar 200% kadar CO2 di udara) dapat menaikkan produksi 20 – 30%. Ini dicoba oleh periset di Shizukuishi, Iwate Prefecture Jepang dan dinamai The Rice Face. FACE (Free-Air CO2 Enrichment) adalah pembubuhan CO2 ke sawah tanpa mengubah ekosistemnya. 

Yang dapat ditempuh juga ialah perluasan penggunaan sumber energi angin (bayu, PLTB) seperti di Nusa Penida, energi surya (PLTS), dan energi air (PLTA). Inilah potensi sumber energi masa depan dengan memanfaatkan sains dan teknologi. Energi biomassa juga boleh, asalkan jangan PLTSa (Sa: Sampah)! 

Akhir kata, mari hayati tulisan E. F. Schumacher, “Krisis lingkungan terjadi bukan karena pengembangan sains dan teknologi, tetapi hasil dari sikap mental dan life-style (gaya hidup) dunia modern.” * (Karikatur di atas dari Bali Post, 5 Desember 2007)
ReadMore »

Tentang Epanet


Tangerang, sebuah kabupaten di Provinsi Banten, memiliki banyak “kekayaan” air permukaan sebagai sumber air baku PDAM. Cisadane, sungai pembelah ibukota Tangerang menjadi bagian Barat dan bagian Timur, adalah sumber terbesar air permukaan di sana. Selain untuk memenuhi kebutuhan domestik yang dikelola langsung oleh PDAM Kabupaten Tangerang, juga memasok air curah untuk PDAM tetangga dan sejumlah PAM “swasta” di beberapa perumahan. Karena luas sebarannya, maka daerah distribusinya pun menjadi relatif kompleks. 

Daerah distribusi PDAM Kabupaten Tangerang dapat dibagi menjadi tiga wilayah pelayanan, yaitu Wilayah I, II, dan III. Wilayah I terletak di Timur Sungai Cisadane sedangkan Wilayah II dan III berada di Barat sungai tersebut. Lokasi Wilayah II di bagian Utara dan Wilayah III di bagian Selatan. Keduanya dipisahkan oleh Jln. Gatot Subroto. Bersumber dari S. Cisadane, PDAM ini memiliki instalasi pengolahan air minum (IPAM) di tiga tempat, yaitu Cikokol, Babakan, dan TTM. 

Model Simulasi
Berkaitan dengan pengelolaan jaringan pipa air minum khususnya daerah distribusi yang sangat luas, bagaimana caranya mengelola, memantau, dan mengembangkan sistem yang sangat luas ini dan terus berkembang? Hanya satu kata kuncinya, yaitu PDAM harus memiliki backbone (rangka utama) sistemnya sebagai basis data dalam setiap evaluasi dan perluasan jaringan pada masa yang akan datang. Ini pun harus didukung oleh seperangkat instrumen seperti manometer, flowmeter, dan SDM yang mampu melaksanakan tugas di lapangan dalam memantau jaringan distribusi. 

Bersamaan dengan itu, diperlukan perangkat lunak (software) untuk membuat simulasi sistem distribusinya. Pada medio1980-an, UNDP (United Nations Development Program), The World Bank merilis program Loop dan telah diterapkan secara luas di seluruh dunia, termasuk di Indonesia dan digunakan oleh mahasiswa Teknik Penyehatan & Lingkungan dalam skripsinya, termasuk juga oleh konsultan dan PDAM. Lantas, pada September 2000 dirilis produk yang disebut Epanet. Sebelumnya sudah ada metode untuk menghitung debit, kehilangan energi (headloss), sisa energi (residual head) dalam jaringan pipa, yaitu Hardy Cross. Metode ini layak pakai untuk jaringan sederhana tetapi sangat memakan waktu dan bahkan simulasinya menjadi tidak mungkin ketika sistem distribusinya besar dan kompleks yang terdiri atas banyak loop, banyak sumber air dan reservoir. 

Simulasi hidrolis sistem distribusi air PDAM meliputi penentuan debit dan headloss di semua pipa yang dijadikan objek studi. Umumnya, sebuah sistem distribusi air PDAM berisi pipa, node, berbagai macam katup (valve), dan bagian jaringan berupa loop dan/atau branch. Solusi langsung (direct solution) untuk menganalisisnya bisa dikatakan tidak mungkin meskipun jaringan pipanya sederhana. Oleh sebab itu, dikembangkan metode tak langsung untuk menganalisis sistem distribusinya, yaitu (1) sectioning, (2) circle method, (3) pipe equivalence, (4) trial and error (or relaxation), (5) digital computer analysis, dan (6) electrical analogy. 

Peran Epanet
Dalam tulisan ini akan dipaparkan secara ringkas hasil evaluasi dan analisis jaringan distribusi dengan mengambil sampel studi di PDAM Kabupaten Tangerang. Seperti dipahami bersama, tugas sistem distribusi ialah mengantarkan air olahan ke semua pelanggan PDAM dan harus memenuhi TK3, yaitu tekanan sisanya sesuai dengan persyaratan, kualitasnya sesuai dengan baku mutu air minum, kuantitasnya sesuai dengan kebutuhan per orang per hari dan tersedia 24 jam (kontinuitas). Agar hal tersebut tercapai maka mulai tahap perancangan, implementasi, dan operasi-rawatnya harus terlaksana dengan baik. Kalau tahap implementasinya berbeda dengan desain atau perancangannya maka hendaklah dicatat dan dimasukkan ke dalam analisis sistemnya. Setiap perubahan sekecil apapun di daerah distribusi, wajib dicatat dan dimasukkan ke dalam basis datanya. 

Oleh sebab itu, pencatatan harus dilaksanakan dalam setiap perubahan di daerah layanan, perubahan letak pipa, termasuk perubahan dan penambahan sumber baru air dari IPAM dengan tetap mengacu pada upaya optimalisasi sistem distribusi yang ada. Artinya, kemampuan sistem harus dikembangkan sesuai dengan kondisi jaringan eksistingnya. Di sinilah peran penting simulasi komputer untuk memperoleh hasil optimal dalam mengoperasikan dan mengembangkan sistem distribusi. Untuk itulah software buatan Water Supply and Water Resources Division USEPA’s National Risk Management Research Laboratory yang bernama Epanet 2.0 digunakan dalam analisis sistem distribusi ini. Contoh “kertas” kerja Epanet ini seperti tampak pada gambar terlampir dan programnya dapat diunduh (download) di internet. 

Dalam rangka evaluasi sistem distribusi ini perlu ada aktivitas pengumpulan data pemakaian air (DPA) secara akurat, data variasi pemakaian air dan kecenderungan polanya, kriteria perancangan (opsi), dan analisis jaringannya. Kegiatan ini perlu melibatkan aspek teoretis (textbook) dan data lapangan berupa fakta fisik yang tinggi akurasinya seperti data panjang pipa, jenis pipa dan umurnya (terkait dengan faktor gesekan, friction atau koefisien kekasaran), diameter, pemakaian air, ada tidaknya valve, kondisi sambungan (ada tidaknya kebocoran), head pompa, elevasi, dll. Singkatnya, harus diperoleh data fisik sistem distribusi seperti di atas dan data hidrolis yang absah karena dapat mempengaruhi hasil analisis Epanet 2.0.
Demikian, semoga bermanfaat bagi PDAM yang berencana mengelola, memantau, dan mengembangkan jaringan pipa distribusinya. Salam PDAM.*
ReadMore »

18 November 2007

Hatta Rajasa

Tokoh kita kali ini memang tak ada kaitannya dengan Bung Hatta, seorang proklamator RI bersama Bung Karno. Beliau “hanyalah” menteri dan sudah mengemban tiga “jenis” kementerian dalam kabinet di republik ini, yaitu Menteri Riset & Teknologi di Kabinet Gotong Royong (2001 – 2004), Menteri Perhubungan di Kabinet Indonesia Bersatu (2004 – 2007), dan Menteri Sekretaris Negara pada saat ini.
Dalam Kongres VII Ikatan Alumni (IA) ITB yang digelar pada 16 - 17 November 2007 kemarin, Hatta berhasil menjadi ketua umum setelah mengalahkan empat kandidat lainnya. Koleksi suaranya jauh di atas calon lainnya. Sebagian orang malah sudah menduga bahwa yang menjadi “raja” di “singgasana” IA ITB periode mendatang ialah Rajasa. Didukung oleh perangkat yang solid, yakni Keluarga Besar Salman ITB, Gamais, dan lewat berbagai buletin, internet, dan selebaran sebagai alat kampanyenya, pria berciri khas rambut putih ini resmi mengemudikan IA ITB untuk periode 2007 – 2011.
Seorang kyai senior di Bandung yang juga dosen MK Agama di ITB, yaitu Dr. KH. Miftah Faridl bahkan menyatakan dukungannya kepada fungsionaris Partai Amanat Nasional (PAN) ini. “Beliau sederhana dalam hidupnya, sejak dulu sampai sekarang, yakni ketika menjadi menteri,” demikian ujar kyai yang moderat ini. Seperti halnya Prof. Dr. Amien Rais, suami dari Drg. Oktiniwati dan ayah empat anak ini merasa resah pada tiga hal, yaitu kemiskinan yang menggayut di 40 juta orang warga kita, potensi keretakan kerukunan masyarakat, dan masalah korupsi.
Memang, dan ini sangat... sangat... fakta... betul-betul de facto.... masalah korupsi itu pun membelit banyak kalangan alumni ITB. Artinya, ada alumninya yang lurus jalan hidupnya tapi banyak juga yang bengkok dalam tapak-jejak umurnya. That’s life..., never mind. Go ahead and never give up!
Pak Hatta, selamat ya Pak..., selamat menjadi lebih sibuk lagi, lebih banyak menguras tenaga, waktu, dan pikiran. Juga selamat memperoleh peluang ibadah yang sangat besar. Selamat menjadi pilot IA ITB! Semoga Allah meridhai dan mampu mewujudkan misi yang telah dipublisitaskan di kalangan alumni.
Salam,
Gede H. Cahyana
ReadMore »

Camp Test

Dirilis di Majalah Air Minum edisi 145, Oktober 2007.

Sebagai unit yang populer, sedimentasi nyaris selalu ada di PDAM. Di mana ada koagulasi-flokulasi di situ pasti ada sedimentasi. Dengan memanfaatkan gaya gravitasi, pemisahan padatan dari cairan (air) didasarkan atas perbedaan berat jenisnya. Dengan kata lain, gaya berat padatan lebih besar daripada gaya apung cairan (air). 
Istilah sedimentasi (sedimentation) dapat dipertukarkan (interchangable) dengan istilah settling. Maka, istilah sedimentation basin = settling basin, istilah sedimentation tank = settling tank. Konsep sedimentasi ini diterapkan pada grit chamber (pemisah pasir, grit), primary settling tank (pemisah pasir, grit yang lebih kecil daripada partikel di grit chamber), secondary settling tank (pemisah bioflok, activated sludge), sedimentation (pemisah kimflok setelah koagulasi-flokulasi), prasedimentation (pemisah pasir dari air sungai), sludge thickener (pemekat lumpur).

Semua unit tersebut dapat dikelompokkan menjadi empat jenis yang didasarkan atas fenomenanya dan dikaitkan dengan jenis partikel dan konsentrasinya. Empat tipenya itu ialah tipe diskrit (klarifikasi klas-1), tipe flok (klarifikasi klas-2), tipe zone settling, dan tipe compression settling. Hanya saja, empat tipe tersebut tidak mutlak terpisah kejadiannya tetapi mungkin saja terjadi lebih dari satu tipe di dalam satu unit tangki pengendap. Pada tabel 1 diberikan deskripsi ringkas setiap tipe dan di unit apa saja fenomenanya dapat terjadi.
 
Tipe
Deskripsi
Aplikasi
Diskrit
. partikel diskrit, individualis
. sulit membentuk flok
. konsentrasinya encer (dilute suspension)
grit chamber
Flok
. partikel flok
. bergabung dengan partikel yang lain
. konsentrasinya encer
primary settling tank
sedimentation tank (kimflok)
Zone
. partikel flok.
. konsentrasi intermediate (sedang)
. posisi antarpartikel relatif tetap karena sulit bergerak
akibat jarak antarpartikelnya sangat pendek
secondary settling tank (bioflok)
Kompresi
. partikel flok
. konsentrasi sangat tinggi
. partikel bersinggungan, tak ada jarak antarpartikel
. terjadi pemampatan atau kompaksi
lapisan terbawah secondary settling tank
sludge thickener

Fenomena pengendapan tipe-1 mudah dijelaskan dengan hukum klasik Newton, hukum Stoke, dan Archimedes. Dari analisis berbagai formula tersebut diperoleh formula pengendapan yang disebut hukum Stokes. Dalam tulisan ini tidak disertakan kalkulasi matematisnya karena relatif panjang uraiannya. 
Pada unit sedimentasi aliran harus laminer agar partikel dapat mengendap dengan sempurna dan efisiensi pemisahannya menjadi tinggi. Dengan asumsi partikelnya berbentuk bola maka diperoleh persamaan Stoke (Stoke’s equation). 

Dalam desain tangki sedimentasi biasanya langsung ditentukan besar partikel yang akan diendapkan, yaitu partikel yang memiliki terminal settling velocity tertentu (vt). Kecepatan vt ini menjadi acuan untuk mendesain unit sedimentasi. Dengan asumsi ini, semua partikel yang kecepatannya ³ vt akan mengendap. Kapasitas alirannya (laju klarifikasi), Q = vt.A. A = luas permukaan unit sedimentasi. vt = Q/A atau overflow rate = surface loading atau beban permukaan (m3/m2.d). vt ekivalen dengan beban permukaan bak.
Pada persamaan Q = vt.A, tampak bahwa kapasitas (Q) tak bergantung pada kedalaman (depth) bak untuk tipe diskrit (klas-1). Hubungan antara vt, td dan h (height, tinggi atau dalam bak) adalah vt = h/td.

Sesungguhnya rumus di atas jarang digunakan dalam desain IPAM karena sulit dalam menentukan diameter partikelnya dan bentuknya tidak bulat bola (sferis) sehingga perlu faktor koreksi, y. Oleh sebab itu, dikembangkan cara tak langsung untuk mendapatkan settling velocity, vt partikel diskrit dalam suspensi encer, yaitu dengan kolom pengendapan yang dikenal dengan Camp test.

Analisis Camp Test
Prinsip kolom di atas dapat digunakan untuk menentukan keterendapan (kemampuan mengendap atau settleability) suatu suspensi partikel. Secara teoretis, kedalaman kolom air tidak berpengaruh pada hasil percobaan. Umumnya digunakan kedalaman, h = 2 m.

Caranya sbb: campurkanlah suspensi secara merata agar didapat konsentrasi awal yang tepat (representatif). Ukurlah konsentrasi awalnya, Co. Setelah dibiarkan mengendap dalam waktu t1, ambillah konsentrasi kedua, yaitu C1. Semua partikel C1 punya kecepatan endap kurang dari zo/t1 sehingga fraksi massanya ialah x = C1/Co dan v1 < style=""> 

Dari percobaan kolom pegendapan itu, apabila ditentukan waktu detesi (detention time) to, maka persentase pemisahan totalnya bisa diketahui. Semua partikel berkecepatan endap lebih besar dari vo (vo = zo/to) akan terendapkan 100%. Dengan kata lain, sejumlah fraksi partikel (1-xo) akan lengkap mengendap sedangkan sisanya akan mengendap dengan rasio vi/vo, seperti diperlihatkan oleh daerah yang diarsir pada gambar terlampir.
--*--
ReadMore »

4 November 2007

IPAL PAKAR

IpalPakar melayani jasa konsultansi, konstruksi, perbaikan dan penambahan kapasitas IPAM dan IPAL. Unit operasi dan proses berbasis kriteria desain dari buku teks, artikel ilmiah dan dikuatkan oleh pengalaman empiris. Terapan sedimentasi, filtrasi dan bioproses modifikasi activated sludge, anaerobic process, koagulasi, flokulasi, kombinasi AOP (Advanced Oxidation Process). 

IpalPakar menyediakan sejumlah variasi unit yang bisa disesuaikan dengan kualitas air baku untuk air minum dan kualitas air limbah yang akan diolah.

Pabrik makanan dan minuman yang air limbahnya belum sesuai dengan peraturan pemerintah dapat menerapkan IPAL modifikasi. Begitu juga air limbah rumah sakit, klinik, puskesmas, dan pabrik. 

Customer service: ipalpakar@gmail.com

Ilmu dan pengetahuan tentang air limbah dan teknologi pengolahan air limbah disajikan di dalam folder berikut ini:   Air Limbah


ReadMore »

28 Oktober 2007

Haruskah PLTS?



Yang di KOMPAS.


Bupati Kabupaten Bandung telah meletakkan batu pertama pembangunan pembangkit listrik tenaga sampah atau PLTS. Ketika rencana Pemerintah Kota Bandung ditolak warga, Kabupaten Bandung justru mencuri peluang dalam mewujudkan rencana itu. Yang dikedepankan ialah soal sumber air dan lokasinya. Airnya banyak dan jauh dari permukiman, demikian katanya. Kondisi ini memang berbeda dengan di Kota Bandung yang menempatkan PLTS di antara permukiman di Gedebage.
Meski demikian, tak berarti efek bahayanya berkurang apalagi hilang. Kota Bandung, Kabupaten Bandung, Bandung Barat, dan Cimahi berada di cekungan raya yang dikelilingi pegunungan. Karakter udaranya sama, yaitu sulit lepas ke luar cekungan dan senantiasa berputar-putar di dalam "lembah" raya. Inilah batu sandungan terbesar bagi PLTS di pegunungan. Lain halnya kalau PLTS dibuat di pantai. Keuntungannya malah ada tiga. Selain sampah dan raihan energi listrik, PLTS juga bisa menjadi sumber air minum dari proses desalinasi air laut.
Betulkah airnya tak bermasalah? Dalam hierarki kebutuhan air, yang primer adalah untuk air minum, lantas disusul oleh kebutuhan domestik lainnya. Keperluan bebersih di PLTS menduduki peringkat terakhir dalam hierarki itu sebab disetarakan dengan kebutuhan flushing air limbah (sewerage). Bisa saja sekarang kuantitasnya terpenuhi, tetapi lima atau sepuluh tahun ke depan dapat berkurang drastis, sementara penduduk terus bertambah. Sudah rahasia umum pula, Cekungan Bandung sedang mengalami krisis air.
Masalah kedua, akan dibuang ke mana air limbah yang kaya polutan B3 itu? Ke anak-anak Sungai Citarum? Lalu, bagaimana dampaknya pada Waduk Saguling, Cirata, dan Jatiluhur? Bagaimana warga yang air PDAM-nya berasal dari waduk-waduk itu? Bagaimana kesehatan mereka? Tak usah pedulikah kita karena bukan kita yang meminum air olahan PDAM yang air bakunya dari waduk itu? Apalagi, banyak instalasi pengolahan air limbah (IPAL) di Bandung yang terbukti sekadar ada tetapi "tiada". Buruk kinerjanya dan sekadar proforma. Mari, kita lihat fakta di lapangan dengan mata batin (nurani) sambil mengenyahkan hasrat politis dan ekonomis.
Perihal lokasi termasuk yang ketiga. Untuk saat ini bisa saja dikatakan jauh dari permukiman. Bagaimana pada masa yang akan datang? Siapa yang menjamin warga tidak akan tinggal di sekitar lokasi dan tak terjadi perluasan permukiman ke arah PLTS? Ke mana lagi warga Bandung harus tinggal (beli tanah dan rumah) kalau bukan di Bandung juga? Apalagi, polutan udara tak pandang jauh dekat dengan PLTS. Semua pelosok di Cekungan Bandung bisa terkontaminasi dengan mudah!
Sosiobudaya
Kecepatan pembakaran bukanlah jaminan atas solusi masalah sampah. Ada aspek lain, seperti ekonomi, sosial, dan ekologi, yang konjugasinya disebut sosioekologi (sosiobudaya, ekonomi, dan ekologi atau ekonologi).
Berbeda dengan negara di Eropa, Amerika, Jepang, China, dan Singapura yang tinggi taraf kesehatannya. Sebagai negara agraris dan agamis, masalah sampah bisa didekati dari sosiobudaya. Dengan memasukkan rohaniwan, tetua adat, atau tokoh masyarakat, pembiasaan reduksi sampah bisa dilakukan. Apalagi, kalau dibantu penyuluhan oleh dinas-dinas. Ini serupa dengan evolusi keberterimaan program keluarga berencana (KB) oleh masyarakat.
Pendekatan sosiobudaya sulit ditempuh di negara yang kuat individualismenya sebab massa sulit dilibatkan untuk implementasi 7R (reduce, reuse, recycle, replace, recovery, relocation, dan responsible). Wajarlah insinerasi yang dipilih. Di Indonesia berbeda. Orang Indonesia berguyub. Paguyuban menjadi keseharian dalam bertetangga. Lewat sosiobudaya inilah sampah dikelola, diolah di RT/RW, melibatkan Karang Taruna, PKK, ormas, partai politik, pelajar SD sampai dengan universitas. Gerakan ini tak perlu teknologi mahal dan riskan serta nihil dari petaka ekologi (ecological disaster).
Itu sebabnya, yang dinilai bukanlah aspek kecepatan, melainkan efek terhadap manusia dan lingkungan. Ini yang dikhawatirkan. Manusia harus sehat, lingkungan harus dikonservasi. Berhati-hati (precautionary principle) dan mencegah lebih baik daripada mengobati atau rehabilitasi pascabencana. Memadaikah paramedis, dokter, dan fasilitas kesehatan di rumah sakit? Adakah prosedur operasi standar atas bencana PLTS? Bagaimana tindakan step by step yang dikaitkan dengan sosiobudaya orang Bandung?
Karena itu, pola yang bersahabat dengan lingkungan lebih tepat. Konsep 7R layak digunakan karena kita punya struktur formal-informal pemerintahan yang bagus. Ada tanggung jawab bersama antara pejabat dan rakyat. Solutif, murah, dan tahan lama tanpa batas waktu. Semua dilaksanakan dengan penyuluhan dan melibatkan pejabat dan perangkatnya, anggota DPRD, fungsionaris dan kader partai, ormas beserta keluarganya.
Ekonologi
Betul bahwa PLTS menghasilkan listrik. Namun, listrik itu dijual ke warga, padahal bahan bakarnya dari warga. Ini berbeda dengan sanitary landfill, composting, dan 7R yang keuntungannya justru untuk warga. Yang terlibat tak hanya 20 warga atau 200 warga, tetapi ratusan ribu warga. Warga se-Bandung bisa melibatkan diri dalam mengelola sampah sekaligus melestarikan fungsi lingkungan. Sampah dari rakyat, dikelola rakyat (plus pemerintah), dan untuk rakyat (juga untuk pemerintah yang diringankan pekerjaannya dan hemat APBD).
Bagaimana mekanismenya? Pemerintah lewat dinas-dinasnya dapat memulai pembuatan pabrik pengelola dan pengolah sampah. Selain membuat pabrik, pemerintah hendaklah membantu distribusi produk sekaligus menurunkan penganggur. Sektor hulu-hilir sampah ini dapat melibatkan ratusan ribu orang. Pemerintah tinggal mengatur tata niaganya. Misalnya, dalam proyek konstruksi (sipil) dan permesinan, benda olahan sampah dengan konsep reuse, recycle, recovery itu dapat digunakan.
Yang terakhir, aspek ekologi. Intinya, sanitary landfill yang sudah penuh bisa ditanami pohon menjadi hutan, penyumbang oksigen, dan kenyamanan, selain juga bisa dijadikan daerah tujuan wisata berwajah ekowisata, serta bisa dijadikan permukiman setelah tuntas biodegradasinya. Dalam hal ini PLTS tidak bisa!
Penanganan sampah yang solutif ialah berbasis masyarakat karena sampah bersumber dari masyarakat. Upaya ini butuh waktu. Pelajar pun perlu 12 tahun agar bisa menjadi mahasiswa. Mengubah karakter tak semudah membuang sampah sebab perlu ilmu, konsistensi kebijakan, dan pembiasaan. Ini harus dimulai dari pejabat publik agar praktik memilah-milah sampah kemudian diikuti masyarakat.
Janganlah PLTS menjadi bencana ekologi di Tatar Bandung.
----------------------------------------------------------------------------------------------
Pak Bupati, Haruskah PLTSa?

Di bawah ini adalah tulisan “asli” saya alias sebelum disunting (diedit) dan digunting oleh redaksi Kompas, dibuat dua hari setelah Bupati Kab. Bandung menaruh batu di lahan PLTSa Babakan.

Jumat, 28/9/07 Bupati Kabupaten Bandung meletakkan batu pertama pembangunan Pembangkit Listrik Tenaga Sampah (PLTSa). Ketika rencana Pemerintah Kota Bandung ditolak warga, Kabupaten Bandung justru mencuri peluang dalam mewujudkan rencana itu. Yang dikedepankan ialah soal sumber air dan lokasinya. Airnya banyak dan jauh dari permukiman, demikian katanya. Kondisi ini memang berbeda dengan di Kota Bandung yang melokasikan PLTSa di antara permukiman di Gedebage.

Namun demikian, tak berarti efek bahayanya berkurang apalagi hilang. Kota Bandung, Kabupaten Bandung, Bandung Barat, dan Cimahi, semuanya berada di cekungan raya yang dikitari pegunungan. Karakter udaranya sama, yaitu sulit lepas ke luar cekungan dan senantiasa berputar-putar di dalam “lembah”. Inilah batu sandungan terbesar bagi PLTSa di pegunungan. Lain halnya kalau PLTSa itu dibuat di pantai. Keuntungannya malah ada tiga. Selain sampah dan raihan energi listrik, juga bisa menjadi sumber air minum dari proses desalinasi air laut.

Ada tiga pertanyaan untuk Pak Bupati. Yang pertama, betulkah airnya tak bermasalah? Dalam hirarki kebutuhan air, yang primer adalah untuk air minum, lantas disusul oleh kebutuhan domestik lainnya. Keperluan bebersih di PLTSa menduduki peringkat terakhir dalam hirarki itu sebab disetarakan dengan kebutuhan flushing air limbah (sewerage). Bisa saja sekarang kuantitasnya terpenuhi tetapi lima atau sepuluh tahun ke depan dapat berkurang drastis sementara itu penduduk terus bertambah. Sudah rahasia umum pula, cekungan Bandung sedang krisis air.

Masalah kedua, akan dibuang ke mana air limbahnya yang kaya polutan B3 itu? Ke anak-anak Sungai Citarum? Lalu bagaimana dampaknya pada Saguling, Cirata, dan Jatiluhur? Bagaimana warga yang air PDAM-nya berasal dari waduk-waduk itu? Bagaimana kesehatan mereka? Tak usah pedulikah kita karena bukan kita yang meminum air olahan PDAM yang air bakunya dari waduk itu? Apalagi banyak IPAL di sekujur Bandung ini yang terbukti sekadar ada tetapi “tiada”. Buruk kinerjanya dan sekadar proforma. Mari kita tatap fakta lapangan dengan mata batin (nurani) sambil mengenyahkan hasrat politis dan ekonomis.

Perihal lokasi termasuk yang ketiga. Untuk saat ini bisa saja dikatakan jauh dari permukiman. Bagaimana pada masa yang akan datang? Siapa yang menjamin warga takkan tinggal di sekitar lokasi dan tak terjadi perluasan permukiman ke arah PLTSa? Ke mana lagi warga Bandung harus tinggal (beli tanah dan rumah) kalau bukan di Bandung juga? Apalagi polutan udaranya tak pandang jauh dekat dengan PLTSa. Semua pelosok di cekungan Bandung bisa terkontaminasi dengan mudah!

Sosiobudaya
Kecepatan pembakaran bukanlah jaminan atas solusi masalah sampah. Ada aspek lain seperti ekonomi, sosial, dan ekologi yang konyugasinya disebut sosioekologi (sosiobudaya, ekonomi, dan ekologi atau ekonologi).

Berbeda dengan negara di Eropa, Amerika, Jepang, Cina, dan Singapura yang tinggi taraf kesehatannya, sebagai negara agraris dan agamis, masalah sampah bisa didekati dari sosiobudaya. Dengan memasukkan ruhaniwan, tetua adat, tokoh masyarakat maka pembiasaan reduksi sampah bisa dilakukan. Apalagi kalau dibantu penyuluhan oleh dinas-dinas. Ini serupa dengan evolusi keberterimaan program KB oleh masyarakat.

Pendekatan sosiobudaya sulit ditempuh di negara yang kuat individualismenya sebab massa sulit dilibatkan untuk implementasi 7R. Wajarlah insinerasi yang dipilih. Di Indonesia berbeda. Orang Indonesia berguyub. Paguyuban menjadi keseharian dalam bertetangga. Lewat sosiobudaya inilah sampah dikelola, diolah di RT/RW, melibatkan Karang Taruna, PKK, ormas, partai politik, murid SD s.d universitas. Gerakan ini tak perlu teknologi mahal dan riskan serta nihil dari petaka ekologi (ecological disaster).

Itu sebabnya, yang dinilai bukanlah aspek kecepatan melainkan efeknya atas manusia dan lingkungan. Ini yang dikhawatirkan. Manusia harus sehat, lingkungan harus dikonservasi. Berhati-hati (precautionary principle) dan mencegah lebih baik daripada mengobati atau rehabilitasi pascabencana. Memadaikah paramedis, dokter, dan fasilitas kesehatan di rumah sakit? Adakah prosedur operasi standar atas bencana PLTSa? Bagaimana tindakan step by step yang dikaitkan dengan sosibudaya orang Bandung?

Lantaran itulah pola yang bersahabat dengan lingkungan lebih tepat. Konsep 7R (reduce, reuse, recycle, replace, recovery, relocation, dan responsible) layak digunakan karena kita punya struktur formal-informal pemerintahan yang bagus. Ada responsible, tanggung jawab bersama, pejabat dan rakyat. Solutif, murah, dan tahan lama tanpa batas waktu. Semua dilaksanakan dengan penyuluhan dan melibatkan pejabat dan perangkatnya, dewan, fungsionaris dan kader partai, ormas plus keluarganya.
EkonologiBetul bahwa PLTSa menghasilkan listrik. Tapi listriknya itu dijual ke warga padahal bahan bakarnya dari warga. Ini berbeda dengan sanfil, composting, dan 7R yang keuntungannya justru untuk warga. Yang terlibat tak hanya duapuluh atau duaratus warga tapi ratusan ribu. Warga se-Bandung bisa melibatkan diri dalam mengelola sampah sekaligus melestarikan fungsi lingkungan. Sampah dari rakyat, dikelola rakyat (plus pemerintah), dan untuk rakyat (juga untuk pemerintah yang diringankan pekerjaannya dan hemat APBD).

Bagaimana mekanismenya? Pemerintah lewat dinas-dinasnya dapat memulai pembuatan pabrik pengelola dan pengolah sampah. Selain membuat pabrik, pemerintah hendaklah membantu distribusi produknya sekaligus menurunkan penganggur. Sektor hulu-hilir sampah ini dapat melibatkan ratusan ribu orang. Pemerintah tinggal mengatur tata niaganya. Misalnya, dalam projek konstruksi (sipil) dan permesinan, benda olahan sampah dengan konsep reuse, recycle, recovery itu dapat digunakan.

Yang terakhir, aspek ekologi. Intinya, sanitary landfill (sanfil) yang sudah penuh bisa ditanami pohon menjadi hutan, penyumbang oksigen dan kenyamanan. Juga bisa dijadikan daerah tujuan wisata berwajah ekowisata. Pun bisa dijadikan permukiman setelah tuntas biodegradasinya. Dalam hal ini PLTSa tidak bisa!

Gerakan Massal
Sampah itu produk massal sehingga warga wajib ikut bertanggung jawab. Warga harus berdaya, meskipun tak bisa instan. Namun pendekatan paguyuban inilah opsi positif bagi Bandung, bukan untuk negara lain yang tinggi income per kapitanya, baik fasilitas kesehatannya, dan sudah memilah sampahnya. Di Indonesia, yang tinggi pendidikannya belum tentu memilah sampahnya. Inilah kesempatan untuk memassalkan gerakan 7R.

Penanganan sampah yang solutif ialah berbasis masyarakat karena dari masyarakatlah sumber sampahnya. Upaya ini butuh waktu. Murid pun perlu 12 tahun agar bisa menjadi mahasiswa. Mengubah karakter tak semudah membuang sampah. Perlu ilmu, konsistensi kebijakan, dan pembiasaan. Ini harus dimulai dari pejabat publik agar memilah-milah sampahnya lantas diikuti oleh masyarakat.

Karena diapit pegunungan, selayaknya warga Bandung bersahabat dengan lingkungan sekaligus mengasah kecerdasan intelektual (intelectual intelligence), beretika baik (emotional intelligence) dan cerdas lingkungan (enviro intelligence) yang diharapkan bermuara di spiritual intelligence. Pak Bupati perlu mengajak tokoh agama selain PNS, anggota dewan, tokoh partai, ormas, perusahaan, dan sekolah s.d perguruan tinggi untuk mengelola sampah.

Tata kala masa..., janganlah PLTSa menjadi bencana ekologi di tatar Bandung.*


ReadMore »

17 Oktober 2007

Bunda Theresa

Tanggal ini, yaitu 17 Oktober, tepatnya 28 tahun yang lalu (tahun 1979), Bunda Theresa memperoleh hadiah Nobel Perdamaian. Saya punya kalimat mutiaranya yang saya kutip dari Spiritual Capital-nya Danah Zohar dan Ian Marshall.


Dalam amatan saya, rangkaian kalimat ini mengena bagi siapa saja, tak peduli agama anutannya, apakah agama langit ataukah agama budaya. Begini isinya:


Orang kerapkali tak bernalar, tak logis, dan egosentris.
Tapi biarlah begitu, maafkanlah mereka.
Kalau engkau baik, orang mungkin akan menuduhmu menyembunyikan motif egoismu.
Tapi biarlah begitu, tetaplah bersikap baik.
Kalau engkau sukses, engkau bakal pula mendapat taman-teman palsu dan musuh sejati.
Tapi biarlah begitu, tetaplah meraih sukses.
Kalau engkau jujur dan berterus terang, orang mungkin akan menipumu.
Tapi biarkan sajalah, tetaplah jujur dan berterus terang.
Apa yang engkau bangun selama bertahun-tahun, mungkin akan dihancurkan orang dalam semalam. Biarlah begitu, tetaplah membangun.
Kalau engkau menemukan ketenangan dan kebahagiaan, orang mungkin akan iri.
Biarlah begitu, tetaplah berbahagia.
Kebaikan yang engkau lakukan hari ini, sering bakal dilupakan orang esok harinya.
Biarlah begitu, tetaplah lakukan kebaikan.
Berikan milikmu yang terbaik kepada dunia dan mungkin itu takkan pernah cukup.
Biarlah begitu, tetaplah berikan kepada dunia milikmu yang terbaik.

Ketahuilah, pada akhirnya, sesungguhnya ini semua adalah masalah antara engkau dan Tuhan; tak pernah antara engkau dan mereka.



Begitulah tulisan yang diperoleh Danah Zohar dari Newsletter pendidikan
di negara Nepal, di atas Himalaya.



Demikian dan salam........

Gede H. Cahyana
ReadMore »

9 Oktober 2007

Selamat IDUL FITRI

Pada Lebaran ini…
semoga kita mampu membuka lebar pintu pemberian maaf kepada siapa saja. Juga mampu meraih fithri (fithrah, suci) dan ifthar (berbuka, makan-minum lagi).
Kepada segenap rekan, kawan, teman, sejawat, relasi, murid, mahasiswa, tetangga, saudara, adik, kakak, orang tua, dan tentu saja kepada ustadz-ustadzah yang telah banyak membagikan ilmunya…
saya, istri, dan anak-anak mengucapkan:

Selamat ‘Idul Fitri,
1 Syawal 1428 H

Taqabbalallahu Minna wa Minkum
Taqabbal yaa Kariim…

Artikel Idul Fitri atau Idulfitri yang terkait:


ReadMore »

8 Oktober 2007

PDAM Menuju Potable Water

Dimuat di Majalah Air Minum edisi 144, September 2007.

Patut diakui, tidak semua PDAM memiliki kawasan yang kualitas airnya sudah layak diminum langsung (potable water) di kran-krannya, khususnya dalam kompleks tertentu. Namun demikian, ada beberapa PDAM yang selangkah di depan (atau minimal sudah berencana membuat kawasan tersebut) karena di sebagian daerah layanannya, sebagai daerah percontohan, telah dilengkapi sarana potable water

Opsi Instalasi
Rancangan pengolahan air yang tepat bergantung pada kualitas air baku dan kualitas air olahan yang diinginkan. Perbedaan kualitas inilah yang menentukan jenis unit operasi dan unit proses yang bakal diterapkan. Maka, untuk suplai kawasan khusus, misalnya perumahan, industri, gedung perkantoran, terminal, bandara dan lain-lain, ada dua opsi (alternatif) sumber air yang mungkin, yaitu air baku (raw water) dari sungai, danau, waduk, atau laut dan “air baku” yang berasal dari air olahan (treated water) PDAM.

Opsi pertama perlu instalasi baru berupa complete treatment di dekat badan air atau di dalam area kawasan dengan kapasitas minimal yang direncanakan, misalnya 50 l/d. Debit yang diolah tentu harus lebih besar daripada 50 l/d untuk antisipasi kehilangan air, kebocoran, kebutuhan di instalasi, dan air yang terbuang dalam pengolahan dengan teknologi membran. Perlu pula dipertimbangkan kebutuhan sepuluh tahun ke depan sebagai siaga perluasan kawaan. Kalau debit yang diolah 50 l/d maka debit potable water-nya menjadi di bawah 50 l/d. (Besar-kecilnya debit produksi ini dipengaruhi oleh kualitas air kiriman dari reservoir PDAM dan kualitas membrannya. Kualitas membran ini beragam, ditentukan oleh tipe membran, yaitu selulose asetat, composite, polyamide, dll. dan jenis modulnya: tubular, spiral, hollow fiber, atau plate-frame). 

Kalau opsi kedua yang dipilih, yaitu air bakunya berasal dari air olahan (treated water) IPAM PDAM, maka tahap awal pengolahannya (pretreatment) sudah dilaksanakan. Berikutnya ialah pengolahan air di kawasan tersebut, yaitu Instalasi Pengolahan Air Minum Internal (IPAMI). Lokasinya di dalam area kawasan dengan unit operasi dan proses yang ditujukan untuk mencapai potable water. Pada opsi kedua ini pun air yang dialirkan dari reservoir PDAM harus lebih besar daripada 50 l/d. Debit kiriman yang dibutuhkan untuk memproduksi 50 l/d potable water ini pun bergantung pada kualitas air kiriman. Makin buruk kualitasnya, makin besar air limbah yang dihasilkannya (konsentrat, rejection, brine water di unit membran), selain untuk kebutuhan bebersih di instalasi dan keperluan domestik internal.

Misalkan yang dipilih adalah opsi kedua, yaitu membuat IPAMI di area kawasan. Opsi kedua ini pun memiliki dua opsi pola suplai. Yang pertama ialah pola suplai Point of Use (PoU, Titik Guna) dan yang kedua Point of Entry (PoE, Titik Masuk). 

Instalasi PoU dipasang tersebar di lokasi yang akan difasilitasi dengan air layak minum, misalnya di ruang tunggu, toilet (tapi tidak di kamar mandi, WC), semua ruang kantor atau administrasi, koridor, dapur, area parkir, dll. Di setiap titik layanan disediakan storage tank air layak minum yang diolah di beberapa tempat secara terpisah dengan kapasitas yang jauh lebih kecil daripada 50 l/d. Dengan cara ini ada penghematan biaya investasi (capital), hemat biaya operasi-rawatnya karena tidak semua kapasitas 50 l/d itu diolah menjadi potable water kecuali kalau semua kapasitas itu hendak dijadikan potable water dan pemakaiannya diserahkan kepada pengelola kawasan dengan konsekuensi biaya investasi (capital), operasi-rawatnya menjadi mahal.

Pola kedua, yaitu PoE memperlakukan air olahan PDAM sebesar 50 l/d sebagai air baku bagi IPAMI. Instalasi difungsikan sebagai pengolahan lanjut (advanced treatment) dengan tetap mengacu pada perbaikan kualitas sesuai dengan unit operasi dan proses yang dibutuhkan. Pada pola PoE ini, semua kapasitas (50 l/d) akan diolah menjadi potable water sehingga otomatis biayanya lebih mahal daripada pola PoU. Dalam pola ini pun air produksinya tidak akan mencapai 50 l/d tetapi kurang dari itu. Kuantitas potable water ini bergantung pada jenis dan kondisi membran yang digunakan, kondisi operasinya (flow control dan tekanan kerja), dan kualitas air kiriman (jenis dan konsentrasi polutan seperti kekeruhan, Fe, Mn, Ca, Mg, pestisida, nitrat, nitrit, bakteri, algae, virus, mineral lain, temperatur dan pH). 

Flow Diagram
Untuk menyusun diagram alir IPAMI kawasan, spektrum ukuran partikel yang ada di dalam air olahan PDAM sebesar 50 l/d itu sangat penting diketahui dan dipastikan (relatif) tidak fluktuatif. Karena dialirkan melalui pipa di bawah tanah maka potensi kebocorannya tetap harus dipertimbangkan dan akan berpengaruh pada debit dan kualitas air kiriman, sekaligus berpengaruh pada jenis unit operasi dan prosesnya. 

Sebagai pertimbangan kontrol kualitas, jenis material yang mungkin masuk ke dalam pipa transmisi air olahan PDAM ke ground reservoir di IPAMI kawasan ialah coarse (gross) solid, suspended solid, koloid, dan dissolved solid. Dengan kata lain, empat padatan itulah yang disasar oleh pengolahan di IPAMI kawasan. Sebagai gambaran umum di bawah ini disertakan unit operasi (UO) dan unit proses (UP) yang perlu dibuat di IPAMI itu.

Jenis UO, UP
Aplikasi
Preklorinasi
Oksidator Fe, Mn, pembasmi bakteri
Pressure filter
Koloid, suspended solid
Activated Carbon Adsorption
Bau dan rasa, pestisida, solvent, aromatics
Mikrofiltrasi
Molekul-molekul besar, polimer
Ion Exchange
Calsium, magnesium, softening
Reverse Osmosis
Mineral, dissolved solid
Disinfection (UV sterilizer, O3 generator)
Pembasmi bakteri
Unit Pelengkap
Fungsi
Ground tank, reservoir
Penampung air kiriman dari PDAM, 50 l/d.
Oxidator tank
Oksidasi Fe, Mn, dll (dengan chlorine)
High pressure pumps
Untuk driving force RO
Pipa distribusi
Distribusi air layak minum, pipa PE.
Backwash facility for filters
Suplai air pencuci, masih bisa di-reuse.
Storage tank of potable water
Penampung air produksi IPAMI
Faucet, kran, drinking fountain
Tapping untuk minum.
Sludge pond
Penampung sludge rejection tahap akhir

Preventif, Kontaminasi
Upaya preventif sangat penting dalam instalasi potable water. Oleh sebab itu, semua pipa di instalasi, transmisi air produksi dan distribusinya tidak boleh menyebabkan pengotoran kembali (rekontaminasi) air produksi sehingga harus dihindari penggunaan pipa besi, stainless steel, dll. Upayakan memakai pipa PE atau berbahan PVC lining (bebas timbal) yang kuat terhadap beban berat. Storage tank-nya pun hendaklah berbahan PE atau yang dijamin tidak menimbulkan kikisan logam atau oksida logam.

Patut ditekankan, pretreatment menentukan kualitas air produksi dan masa hidup (life time) membran, membran apapun yang digunakan, baik itu mikrofiltrasi, ultrafiltrasi, nanofiltrasi maupun reverse osmosis (RO). Khusus unit RO (superfiltrasi, hyperfiltrasi), kemampuannya sangat tinggi dalam meremoval ion divalen (99%) dan 98% untuk ion monovalen. Syaratnya, pretreatment harus tepat agar pencemar yang merusak membran seperti di bawah ini dapat disisihkan:

scaling: CaCO3, CaSO4, BaSO4, SrSO4, CaF2, SiO2.
oksida logam: oksida atau hidroksida dari Fe, Mn, Ca, Mg, Al.
partikulat : upayakan lebih kecil daripada 5 mikron
suspended solid: lempung dalam ukuran SS, koloid
partikel biologis: algae, jamur, mikroba, dll.
zat organik terlarut: pestisida, solvent, dll
halogen: klor, kloramin, dll

Jika pretreatment tersebut tercapai, maka air produksinya akan stabil, tidak turun drastis terhadap waktu sehingga operating time-nya lama. Selain pretreatment, keberhasilan teknologi membran juga ditentukan oleh kalkulasi desain dan operasi-rawatnya. 

Sebagai gambaran, di bawah ini diberikan tiga opsi urutan pengolahan yang diperlukan dengan air umpan (feed water) dari reservoir PDAM. Apabila kualitas air kiriman PDAM tersebut memenuhi standar air umpan untuk membran dan bisa dijamin relatif stabil selama operasinya, maka unit pretreatment-nya bisa dikurangi sehingga biaya investasi, instalasi, dan O-M menjadi lebih murah. 

Opsi 1 (Ion exchanger), terdiri atas (1) ground reservoir air kiriman PDAM, (2) preklorinasi, (3) oxidator tank, (4) pressure filter, (5) activated carbon adsorption, (6) ion exchanger atau zeolit softener, (7) RO system, (8) storage tank untuk potable water plus UV sterilizer, O3 generator, (9) transmisi dan distribusi (drinking fountain, dispensing faucet).

Opsi 2 (double RO system), (1) ground reservoir, (2) preklorinasi, (3) oxidator tank, (4) pressure filter, (5) activated carbon adsorption 1, (6) RO system 1, (7) activated carbon adsorption 2, (8) RO system 2, (9) storage tank untuk potable water plus UV sterilizer dan O3 generator, (10) transmisi dan distribusi (drinking fountain, dispensing faucet)

Opsi 3 (mikrofiltrasi): (1) ground reservoir, (2) preklorinasi, (3) oxidator tank. (4) pressure filter, (5) mikrofiltrasi, (6) intermediate tank (untuk split kebutuhan nonpotable water), (7) RO system, (8) storage tank untuk potable water plus UV sterilizer dan O3 generator, (9) transmisi dan distribusi (drinking fountain, dispensing faucet).

Teknoekonomi
Dari kajian ringkas di atas, dapat diperoleh tiga kelompok pertimbangan teknologi membran untuk memperoleh air layak minum, yaitu:

1. Kemampuan teknologi. 
Spektrum kemampuan teknologi membran sangat luas, dapat mengolah air berkadar garam rendah (air tawar) sampai dengan sangat tinggi, misalnya 35.000 mg/l atau bahkan 60.000 mg/l. Kalau mengolah air laut saja sudah demikian mampu, maka mengolah air tawar yang sudah di-pretreatment tentu lebih mudah dan lebih murah. Itu sebabnya, selain pretreatment, keberhasilannya ditentukan juga oleh akurasi desain dan operasi-rawatnya yang sesuai dengan prosedur standar.
2. Biaya investasi (capital).
Umumnya, makin besar kapasitas pengolahan, makin rendah biasa investasi per meter kubik air produksinya. Ini diperlihatkan oleh bentuk grafiknya yang menurun searah dengan sumbu X dalam koordinat Cartesian dan sudah menjadi pengalaman atau fakta di semua unit potable water di seluruh dunia.
3. Operasi-rawat.
Biaya ini dipengaruhi oleh kualitas air baku, kondisi setiap unit pengolah dan harga jual airnya. Umumnya, biaya menjadi murah apabila kualitas air bakunya bagus sehingga langsung berpengaruh pada life time unit pengolah.

Demikian dan semoga bermanfaat. *

Gede H. Cahyana
ReadMore »