• L3
  • Email :
  • Search :

26 Agustus 2010

Wacana (Baru) Per-TA-an di Teknik Lingkungan

Wacana (Baru) Per-TA-an di Jurusan Teknik Lingkungan
Kecil itu Indah

Oleh Gede H. Cahyana
----------------------------------------------------
Latar Belakang
Ceruk pasar yang membesar terus di bidang Teknik Lingkungan, khususnya air limbah, air minum, pencemaran udara, persampahan, dan kesling-K3. Lebih khusus lagi di sektor air limbah yang menjadi fokus bahasan tulisan ini (di bagian akhir). Fenomena tersebut disebabkan oleh berbagai peraturan dalam wujud undang-undang, PP, kepmen, hingga peraturan daerah di berbagai kabupaten/kota yang muaranya sama, yaitu upaya pelestarian fungsi lingkungan, yang menjadi isu nasional Indonesia, regional ASEAN, dan global.

Maksud
Tulisan ini bermaksud membuka wacana (baru) per-TA-an di tingkat strata satu jurusan Teknik Lingkungan di Indonesia yang dikaitkan dengan muatan inti kurikulumnya dan pasar kerja yang berubah (cenderung membesar).

Tujuan
Memperluas dan memperdalam ceruk pasar kerja alumni Teknik Lingkungan yang bisa dimulai dari Tugas Akhir mahasiswanya, sebagai penguatan terhadap kurikulum.

Pendahuluan
Mengikuti tradisi historis di ITB, setiap mahasiswa diwajibkan menyelesaikan satu mata kuliah terakhir, yaitu Tugas Akhir yang satu paket keberadaannya dengan MK Seminar. Walaupun ada perbedaan (sedikit) dengan beberapa perguruan tinggi yang membuka jurusan atau program studi Teknik Lingkungan, tetapi hakikatnya sama, khususnya dalam pembagian jenis-jenis Tugas Akhir.

Secara garis besar TA di TL bisa dibedakan menjadi dua grup, yaitu (1) penelitian dan (2) perancangan (desain). Penelitian ini masih dibagi lagi menjadi dua: penelitian di laboratorium dan penelitian di lapangan. Penelitian di laboratorium lebih menekankan pada aspek kinerja sebuah objek penelitian yang sampling dan analisisnya dilaksanakan di laboratorium. Penelitian lapangan juga bisa saja memanfaatkan laboratorium sebagai pusat analisis karakteristik fisika, kimia, dan biologi objek penelitian tetapi samplingnya diambil di lapangan, baik dalam skala pilot plant maupun full-scale. Juga sampling di bidang sosial ekonomi yang dikaitkan dengan layanan prasarana air minum, air limbah, persampahan, dll.

Perancangan (desain) lebih banyak berorientasi pada desain di bidang air minum, baik berupa sistem transmisi dan distribusi, maupun sistem pengolahannya. Begitu juga di sektor air limbah, ada yang mendesain sistem pengumpulan air limbah (kolektor), yakni sewerage-nya, bisa juga pengolahannya. Dianggap masih berkaitan dan sering dibuat dalam satu paket dengan sewerage, terutama TA master-plan adalah sistem penyaluran air hujan, pematusan air hujan atau drainase. Hanya saja, di dunia kerja, porsi ini lebih sering dimanfaatkan oleh sarjana Teknik Sipil atau Pengairan.

Sistem pengolahan air limbah atau IPAL (Instalasi Pengolahan Air Limbah) menjadi topik menarik berikutnya. Objek studinya lebih mengarah pada sistem pengolahan air limbah domestik sebuah kota sehingga kapasitasnya menjadi besar. Selanjutnya ialah subsektor persampahan, baik segmen transportasinya maupun pengolahannya, misalnya desain sistem lahan urug saniter (sanitary landfill, sanfil) atau lahan urug terkendali. Bidang pencemaran udara lebih menekankan pada aspek kualitas dan kuantitas polutannya, belum memberikan opsi solusi kecuali sumber polutannya dari sebuah pabrik, minimal skala menengah ke atas. Pabrik kecil nyaris tidak memikirkan cara untuk mengurangi pencemaran terhadap udara. Adapun kesling-K3 lebih mengarah ke industri dan perusahaan-perusahaan besar di sektor minyak, gas, dan pertambangan lain.

Perubahan Ceruk Pasar
Dalam pandangan yang klasik-konservatif, keahlian sarjana Teknik Lingkungan ada di bidang air dan sanitasi (watsan, water – sanitation). Dulu, pada periode 1962-1984, sejak berupa embrio dan mulai melepaskan diri dari jurusan Teknik Sipil ITB, jurusan ini bernama Teknik Penyehatan (TP). Keahlian yang diinginkan terhadap alumninya tercermin di dalam kurikulum TP pada masa itu yang banyak mengadopsi kurikulum Teknik Sipil. Bahkan nuansa kesipilannya begitu kental, sampai-sampai alumninya ada yang mampu merencanakan, merancang, dan membuat bangunan-bangunan (khususnya bangunan air) lengkap dengan perencanaan strukturnya yang memenuhi kaidah-kaidah kesipilan tanpa dibantu sarjana Teknik Sipil. Kemampuan tersebut diperoleh sebagai akibat logis dari struktur kurikulumnya yang memang kuat di bidang kesipilan, seperti menggambar teknik, drainase, mekanika teknik, mekanika tanah, perencanaan struktur, konstruksi beton-baja, hidrolika, bangunan air, dan mata kuliah kesipilan lainnya. Selain perkuliahan, masih ditambah pula dengan intensitas asistensi yang ketat dari mahasiswa Teknik Sipil, selain dosen-dosennya memang dari jurusan Teknik Sipil.

Oleh sebab itu, dapat dimaklumi apabila alumni TP pada dekade sebelum 1990 lebih banyak yang berkecimpung di bidang Pekerjaan Umum (PU) dan PDAM. Meskipun belum mayoritas, banyak direktur utama di PDAM berasal dari alumni TP atau minimal menjadi direktur teknik. Tetapi ini pun masih dipengaruhi oleh “rasa-hati” para bupati dan walikota yang memegang posisi menentukan dalam pemilihan direksi PDAM, sebelum masuk ke era “pemilu” lewat fit & proper test di DPRD. Bisa dikatakan, alumni gelombang pertama ini masih memegang posisi menentukan di beberapa departemen atau dinas-dinas PU atau apapun nama dinasnya sampai sekarang. Maka, menjadi sangat wajar ketika banyak di antara mereka yang merasa “kurang sreg” pada kondisi alumni TL (atau TP) pada periode setelah 1990 hingga sekarang.

Dalam percakapan dengan kalangan alumni gelombang satu itu muncullah lontaran yang “menyayangkan” kondisi alumni TL yang sangat kurang di bidang kesipilan. Mereka bertanya-tanya, mengapa kemampuan lulusan TL tidak mampu mendesain secara detail, misalnya, sistem distribusi dengan perangkat pendukungnya sehingga siap dikonstruksi tanpa banyak revisi. Mereka mempertanyakan juga kemampuan alumni di bidang unit operasi dan unit proses yang dianggapnya lemah, kurang menguasai ilmunya. Ini terjadi karena mereka membandingkannya dengan pengalaman masa kuliah dan masa kerjanya yang memang di bidang itu, sedangkan pada saat yang sama, sudah terjadi perubahan jenis, jumlah dan kebutuhan lapangan kerja di masyarakat terutama 15 tahun terakhir ini.

Struktur kurikulum TL sekarang memberikan kesempatan kepada mahasiswanya untuk menjadi generalis di bidang TL dan juga menjadi spesialis dalam satu bidang tertentu, yang harus dikuatkan oleh Tugas Akhir yang diambilnya. Mahasiswa yang ingin bekerja di PDAM, misalnya berasal dari daerah, khususnya di luar Jawa, mereka dapat membuat TA di bidang sistem transmisi-distribusi, juga pengolahan air dengan studi kasus langsung di tempat asalnya. Hasil TA-nya dapat dijadikan pelengkap ketika melamar kerja di PDAM atau di dinas PU setempat. Yang ingin bekerja di dunia industri, bisa juga ber-TA di bidang tersebut dan memperdalam ilmunya untuk kemudian melamar kerja di industri seperti perusahaan tambang, minyak, gas. Atau menjadi PNS di dinas-dinas pertambangan, geologi tata lingkungan, dinas lingkungan hidup, bahkan di rumah sakit atau sentra-sentra kesehatan lainnya. (Tentu saja menjadi pengusaha, entrepreneur sangat diapresiasi, baik di bidang yang berkaitan dengan ke-TP-TL-an, maupun tidak).

Kupasan di atas mencerminkan telah terjadi pergeseran ceruk pasar di bidang ke-TL-an, tentu saja tanpa menghilangkan potensi pasar yang sudah klasik-tradisional TP. Yang dibutuhkan ialah penguatan di bidang-bidang baru yang muncul bersamaan atau sebagai akibat dari sektor-sektor pekerjaan baru, semisal di industri, pertambangan, minyak, gas, dan sejenisnya. Atau, kalau muatan kurikulum yang harus dipelajari mahasiswa menjadi sangat padat dan tidak mungkin berbagi dengan muatan inti kurikulum klasik TL (TP) (apalagi beban yang diwajibkan antara 132 - 144 SKS; 7 - 8 semester), maka dapat dibuat menjadi dua subjurusan atau dua prodi yang mulai berpisah ketika di semester lima misalnya. Tetapi apabila terjadi dua arus yang sama besar, maka mau tak mau, percabangan prodi menjadi alternatif yang wajar dipertimbangkan oleh semua dosen TL dengan mengedepankan kemajuan jurusan dan alumninya dan demi memperluas area pekerjaan alumni serta lebih “memperkenalkan” keilmuan TP-TL kepada masyarakat dengan tetap menghargai eksistensi Kelompok Keahlian (KK) yang ada.

Dalam pada itu, bidang TP dan bidang TL begitu luas sehingga sering muncul kesan, baik di dalam diri alumninya maupun kesan dari alumni jurusan lain yang “agak” dekat dengan TL seperti Sipil, Teknik Kimia, Kimia, dan Akademi/Sekolah Tinggi Kesehatan Masyarakat (Lingkungan), bahwa keahlian TL berada di awang-awang atau “apungan”. Perasaan itu muncul lantaran selama kuliahnya, mahasiswa memperoleh ilmu yang dirasakannya setara semua dan pada waktu membuat TA masih dalam taraf yang “kurang dalam” atau hanya “selaput”-nya. Ini terjadi, karena di dunia akademis berlaku hukum alam yang menyatakan bahwa keahlian atau spesialisasi seorang alumni ditentukan oleh TA yang diselesaikannya dengan baik. Ini berlaku bagi S1, S2, apalagi S3. Ini pula yang akhirnya mengembangkan berbagai macam bidang keahlian di jurusan TL (dan jurusan lainnya) yang representasinya adalah Kelompok Keahlian (KK).

Studi Kasus: Pengolahan Air Limbah
Salah satu pasar kerja yang terus membesar di seluruh dunia adalah bidang air limbah seiring dengan perluasan industri dan perkembangan penduduk yang menimbulkan air limbah di mana-mana. Kenaikan jumlah penduduk otomatis menambah jumlah air limbah yang dibuang ke lingkungan. Begitu juga di sektor pelayanan komersial terus meningkat, seperti rumah sakit, hotel, sekolah, kampus, kantor, asrama, apartemen, supermarket, pabrik, dan banyak lagi yang lain. Semuanya membutuhkan air bersih atau air minum dan semuanya berakhir menjadi air limbah, baik air limbah domestik maupun air limbah industri atau air limbah campuran. Belum lagi air limbah yang berkategori Buangan Berbahaya dan Beracun (B3).

Untuk air limbah yang kategorinya B3, penanganannya tentu lebih khusus dan memiliki prosedur standar yang berlaku, baik dalam pengepakan, transportasi, pengolahan, dan pembuangannya. Malah timbulan sludge-nya pun masih juga harus ditangani secara spesifik. Tulisan ini keluar dari pakem penanganan B3 dan lebih fokus pada pengolahan air limbah non-B3 yang lebih mudah diolah dan lebih banyak potensi pekerjaannya meskipun faktanya, air limbah yang berasal dari kawasan domestik pun banyak yang mengandung B3. Kejadian ini sebagai insidental dan “dapat dimaklumi” lantaran sulit dihindari. Ini menjadi salah satu ancaman serius bagi keberlangsungan proses biologi aerob - anaerob apabila tidak didahului oleh pengolahan kimia.

Disebut di atas, pasar kerja TL terus meluas di sektor air limbah. Satu contohnya ialah jasa konsultan. Selama ini kebanyakan alumni TL bekerja di perusahaan konsultan untuk mendesain projek yang dananya bersumber dari pemerintah (APBN-APBD) atau dari dana pinjaman luar negeri. Skala pekerjaannya biasanya sangat besar, meliputi sebuah kabupaten atau kota. Sekadar contoh, Bandung Urban Development Project, BUDP I dan II dan hal serupa di sejumlah kota besar lainnya di Indonesia. Dengan asumsi bahwa semua kota/kabupaten membutuhkan fasilitas sewerage dan IPAL-nya maka peluang pekerjaan ini meliputi seluruh kabupaten/kota di Indonesia, lebih dari 500 unit. Hanya saja, tidak semua kabupaten/kota berminat kuat membuat sewerage + IPAL yang mahal sekali biayanya itu sehingga menjadi beban utang daerah. Kalau pola pikir ini terus berlangsung, maka peluang ini justru berubah menjadi ancaman kekurangan pekerjaan bagi alumni TL kecuali ada “kebijakan memaksa” terhadap semua kepala daerah yang dikuatkan dengan undang-undang atau PP atau peraturan lainnya.

Namun untungnya, persoalan air limbah bukan hanya milik pemerintah daerah tetapi juga milik masyarakat yang menjalankan bisnisnya sehari-hari. Berbagai sentra bisnis seperti hotel, rumah sehat/sakit (swasta, pemerintah), kawasan perumahan, supermarket, asrama, sekolah, kampus, puskesmas, klinik, apalagi kawasan industri dan pabrik. Semua unit bisnis tersebut membutuhkan air bersih kemudian menimbulkan air limbah. Hingga sekarang, kebanyakan masih menggunakan cubluk, septic tank, baik yang sudah sesuai dengan standar desain maupun yang asal-asalan atau bahkan dibuang langsung ke selokan, sungai. Ditambah lagi oleh potensi pasar di setiap rumah tangga (household) dan komunal dalam satu RT-RW. Ini semua menjadi peluang besar bagi alumni TL untuk menyalurkan kemampuan rekayasanya di bidang IPAL tanpa berkutat pada sewerage system yang luas dan besar sehingga bisa mengurangi bangunan pelengkapnya kecuali beberapa manhole saja. Di sini pulalah letak inovasi Tugas Akhir yang sudah dibahas di atas.

Mari dianalisis, apa yang akan terjadi kalau banyak mahasiswa TL membuat inovasi desain IPAL khusus untuk skala kecil kemudian hasil desainnya ditawarkan ke berbagai sentra bisnis. Tentu akan banyak berkembang paket-paket pengolahan yang terbaru dan inovatif. Malah mahasiswa dapat bekerja sama dengan (calon) pengguna TA-nya sehingga biayanya bisa ditanggung oleh calon kliennya itu. Memang, apabila dipandang dari tradisi per-TA-an di TL, maka dapat muncul masalah ketika ditanyakan kapasitas atau debit air olahannya. Sebab, debit air limbah di sentra-sentra bisnis tersebut kurang dari 5 l/d, mayoritas di bawah 2 l/d, sedangkan tradisi TA berdebit lebih dari 20 l/d, bahkan ada yang 250 l/d. Mungkin di sinilah terjadi diskusi “hangat” di antara dosen TL lantaran secara tradisi (termasuk pengalaman dosen tersebut pada waktu TA di S1 dulu, baik yang bernaung di bawah TP maupun TL) menghendaki area studinya berupa kawasan yang luas, sebuah kabupaten/kota atau kawasan luas yang tercermin di dalam debit air olahannya.

Dengan kata lain, tradisi desain sewerage dan IPAL di TL lebih mengarah pada daerah yang luas dengan debit air limbah yang besar, dengan unit proses-operasi konvensional seperti tertera di dalam buku ajar (textbook): conventional activated sludge, trickling filter, oxidation pond, grit chamber, primary-secondary settling tank, dll. Padahal, seperti ditulis di atas, tidak semua kabupaten-kota bersedia berutang ratusan milyar hanya untuk membangun fasilitas pengelolaan dan pengolahan air limbah. Apalagi untuk melayani seluruh daerah yang terpencar jauh, sangat boros dan nyaris mustahil untuk melayani pengelolaan dan pengolahan air limbah di satu lokasi terpusat karena ada kendala topografi dan uang. Daerah-daerah yang memiliki fasilitas sewerage dan IPAL besar, apapun jenis teknologi aerasinya, sampai sekarang masih dibebani utang yang belum mampu dibayarkan. Bahkan bunga utangnya pun belum mampu dibayar. Pada saat yang sama, kutipan retribusi tersendat-sendat dan cenderung sulit ditagih dan sering timbul pengaduan oleh masyarakat di media massa.

Oleh sebab itu, muncul peluang luas untuk men-TA-kan IPAL dalam skala mikro, skala di tingkat pengguna kecil dengan hasil optimal atau SUHU: small user, high utility. Ada desentralisasi IPAL dengan operator masing-masing sehingga lebih mudah mengutip retribusinya secara resmi karena kliennya relatif sedikit. Ini kalau sistem IPAL-nya mikrokomunal. Yang IPAL-nya mandiri atau tunggal tentu akan dikelola oleh operator masing-masing sentra bisnis dan petugas pemerintah, misalnya dari Dinas Lingkungan (tanpa kata Hidup). Sekali lagi ditegaskan, desain TA yang mikro ini memiliki deretan persyaratan yang menyetarakannya dengan TA tradisional. Bobot TA (baru) ini wajib menggunakan data desain yang diperoleh dari penelitian sendiri dari model prototipenya atau dari unit yang beroperasi di lapangan atau dengan aturan yang disepakati mayoritas dosen TL. Data riil yang diambil sendiri ini minimal 30% dari data yang diambil dari buku ajar. Sisanya dipersilakan menggunakan data kriteria desain dari buku ajar. Bisa juga memanfaatkan jaringan IATPI atau asosiasi lainnya. Alumni di dalam IATPI tentu banyak memiliki beragam informasi yang terkait dengan TA dari bermacam Kelompok Keahlian. Selesai TA, buku dan desainnya bisa langsung dijual dan diterapkan di tempat studinya. Atau dikembangkan lebih lanjut sehingga akan muncul paket pengolahan air limbah yang inovatif-produktif, tak sekadar buku TA yang dipajang di perpustakaan hingga berdebu dan isinya tak jauh beda antara satu TA dan TA lainnya.

Penutup
Perkembangan yang luas di sektor industri dan bisnis menimbulkan sangat banyak air limbah. Ini membutuhkan teknologi baru yang terus berkembang agar mampu mengolah air limbah, apalagi yang B3 sehingga tidak merusak lingkungan air, tanah, dan udara. Terapan wacana di atas tentu kembali kepada semua dosen TL di Indonesia yang bisa sepaham sehingga tidak terjadi salah pengertian yang berdampak pada kerugian di pihak mahasiswa. Semua TA paket IPAL yang inovatif itu, apabila menjadi produktif maka mahasiswa dan jurusanlah yang akan untung karena, dalam upaya lebih lanjut, dapat dipatenkan. Kampus-kampus negeri yang kuat basis finansialnya akan lebih mudah mewujudkan wacana ini sehingga mampu “menyaingi” kampus (di mancanegara) yang pendapatan terbanyaknya berasal dari paten yang dihasilkan oleh riset dan TA mahasiswanya, juga dosen-dosennya. Jadi, setiap penelitian dan desain, hendaklah tak sekadar memperoleh dana dari pemerintah atau donor lainnya, tetapi juga mengembangkan ilmu & teknologi, yang mungkin menemukan terobosan baru, bahkan temuan baru. Kebebasan akademis di sektor TA ini akan kuat pengaruhnya pada temuan atau “temuan” baru itu. Sebagai sebuah awal, tentu dapat dimaklumi apabila kualitas inovasinya belum bisa “bicara” di tingkat regional, global. Bisa bermanfaat di tingkat nasional saja dan menguntungkan bagi mahasiswa dan dosen pembimbingnya sudah merupakan nilai tambah, minimal bermanfaat secara sainstifik.

Sebagai tambahan, pendidikan yang dijabarkan oleh Tridharma Perguruan Tinggi punya idealisme untuk menghasilkan alumni yang cendekia (scholar) dan setiap pendidiknya pun harus cendekia. Salah satu parameter kecendekiaan alumni ialah melaksanakan TA (penelitian, desain) kemudian hasilnya dipublikasikan secara ilmiah di jurnal maupun ilmiah populer di media massa sehingga riil bermanfaat bagi masyarakat. Tak ayal lagi, TA yang implementatif dan bernilai jual, apalagi dapat dipatenkan, akan mendekatkan sivitas akademika menjadi warga negara akademik (academic citizenship). Di atas disebut bahwa idealisme ini lebih cepat dicapai oleh kampus-kampus negeri yang tinggi komitmennya sehingga mampu bergeser dari kondisi Teaching University ke Research University, lalu berakhir di Entrepreneural University. Di universitas wirausaha inilah konsep TA seperti dimaksud makalah ini dapat berkembang biak dengan baik. Di sinilah terjadi interaksi ABG: academicians, business, government. Akademisi (dan mahasiswanya tentu saja) kreatif-inovatif dalam menghasilkan produk, kemudian diproduksi massal oleh dunia bisnis (industri) yang didukung pemerintah agar kondusif, baik berupa hibah dana maupun dukungan berupa peraturan/undang-undang karena pemerintah pun perlu membangun kondisi ekonominya demi image di mata masyarakat (terutama menjelang Pemilu).

Universitas (atau institut seperti ITB), meskipun sebagai lembaga nirlaba (ataukah sudah bukan nirlaba lagi melainkan BHMN), tetap saja mengikuti hukum ekonomi: cost dan revenue. Cost bisa dengan peningkatan efisiensi dan revenue tidak selalu (tidak harus) dengan biaya kuliah yang mahal dan tidak bergantung pada pemerintah. Dalam konteks universitas wirausaha, revenue adalah menghasilkan sumber pendapatan di luar sumber konvensional (yakni: SPP dan bantuan pemerintah) tetapi dengan TA yang bernilai jual lantaran kreatif-inovatif-produktif, baik di S1, S2, maupun S3.

Akhir kata, kecil itu indah. Tinggal sekarang, adakah yang mau memulainya? TL ITB, sebagai lembaga yang mapan dan besar, berkesempatan sebagai the avant garde.*
---------------------------------------------------

(Makalah ini disampaikan dalam seminar mahasiswa di Jurusan Teknik Lingkungan ITB, di Student Center Timur, 19 Agustus 2010).
ReadMore »