• L3
  • Email :
  • Search :

30 Juli 2012

Mengapa Dosen Sulit Menulis?

Oleh Gede H. Cahyana

Diktator” banyak ada di perguruan tinggi, baik swasta maupun negeri. Kata yang sering berkonotasi negatif ini merujuk pada dosen yang menulis diktat (“yang melulu mengacu pada satu textbook”). Yang bagus adalah dosen merujuk ke sejumlah textbook lalu meramunya menjadi satu “buku baru” berujud diktat. Ini jauh lebih bagus ketimbang bersumberkan pada satu textbook dan hanya mencomot atau dalam tata-tulis memakai komputer disebut “copy-paste” saja. Apalagi kalau textbook yang diacunya sudah tua sekali, misalnya terbitan tahun 1990-an atau lebih lama lagi. Yang lebih dari lima tahun saja, terutama dalam ilmu-ilmu yang pesat perkembangannya, bisa jauh ketinggalan. Lain halnya dalam bidang ilmu yang lamban pertumbuhannya, terbitan lawas boleh jadi masih relevan. Jadi, tak bisa dipukul rata dalam menilai suatu partisi keilmuan.

Dalam ilmu teknik misalnya, entah karena banyak berisi gambar-gambar rekayasa, entah karena tak bisa atau malas menggambar lagi, entah karena gambarnya rumit, kebanyakan diktat nyaris merupakan ambil sana ambil sini dari textbook. Kalimat yang dibuat pun nyaris terjemahan murni tanpa polesan dari dosen atau bisa juga dari penterjemah komersial yang dibayarnya. Setiap paragraf disalin (diterjemahkan) begitu saja tanpa memasukkan pandangan atau pendapat dosen atas apa yang diambilnya itu. Yang elok adalah dosen punya pandangan sendiri atas apa yang diambilnya dari textbook, sesedikit apapun pendapatnya itu. Ini akan menjadi sumbangan (kontribusi) pemikiran dalam khazanah sainstek.

Namun, bagaimanapun, dosen yang mau menulis diktat jauh lebih baik ketimbang dosen yang tidak menulis diktat. Bayangkan kalau seumur-umur sampai pensiun dosen tidak menulis diktat, bagaimana kira-kira mutu alumni perguruan tinggi terutama kalau budaya baca mahasiswanya tidak tumbuh. Otomatis ilmu yang dimiliki mahasiswa atau alumninya akan sangat rendah, sebatas apa yang diucapkan dosen ketika kuliah. Belum lagi kalau mereka lupa semua apa yang pernah diterima di bangku kuliah setelah sekian tahun. Yang tersisa hanya selembar kertas bernama ijazah dan transkrip akademik serta gelar sarjananya.

Kalau menulis diktat saja sudah demikian bermasalah, bagaimana dengan menulis textbook yang khusus untuk kalangan mahasiswa (dan dosen)? Bagaimana dengan menulis buku yang bukan textbook, katakanlah buku ilmiah populer yang ditujukan bagi pembaca umum? Bagaimana dengan menulis artikel ilmiah yang dimuat di jurnal untuk masyarakat khas dalam sainstek yang bersangkutan? Yang dimuat di media massa cetak dan internet bagi masyarakat umum bagaimana? Bagaimana pula dengan makalah seminar dalam berbagai temu-ilmiah, semi-ilmiah dengan pemerintah atau dengan populasi masyarakat tertentu?

Menulis buku yang bukan textbook tentu jauh lebih mudah apalagi kalau data dalam textbook itu tidak perlu riset yang berbiaya besar dan waktu lama. Beda halnya dengan textbook yang harus mencantumkan data akurat terbaru dalam khazanah ilmu. Untuk dapat mencantumkan data terbaru ini dosen harus riset dulu. Waktunya bisa bulanan, bahkan tahunan. Kalau risetnya kelar, dia boleh (wajib) mempublikasikannya di jurnal ilmiah agar bisa dibahas dan dievaluasi oleh rekan sejawatnya di seluruh Indonesia (atau dunia). Di tahap ini pun, yaitu penulisan artikel ilmiah sudah merupakan kendala tersendiri. Tak banyak dosen yang mampu menuliskan apa yang telah dirisetnya. Banyak dosen yang piawai meriset namun lemah dalam menulis. Tapi banyak juga (malah terbanyak) dosen yang tak mampu meriset sekaligus tak bisa menulis.

Lantas bagaimana kalau dosen tak mampu riset sendiri dengan alasan, misalnya biaya, apakah peluang menulis textbook pupus begitu saja? Tentu saja tidak. Dosen bisa mencari dan dia harus rajin mencari bermacam-macam jurnal ilmiah terbitan teranyar dari dalam maupun luar negeri. Bisa lewat Perpustakaan Nasional di Jakarta atau lewat internet. Peluang selalu ada asalkan dosen mau meluangkan waktu dan berupaya maksimal. Semua data yang diperolehnya dari jurnal ilmiah terakreditasi dan berkaliber internasional dapatlah dijadikan data dalam rancangan textbook-nya. Andaikata tidak demikian, yaitu tidak mencari data terbaru dari berbagai jurnal atau buku teks terbaru, maka buku teks buatannya akan terasa kering dan out of date. Apalagi kalau datanya hanya mengacu ke buku teks yang sudah tua, jadilah buku teksnya sekumpulan informasi usang dan tak punya nilai jual.

Data dari jurnal yang disalin di dalam textbook inilah yang dapat memperbarui dan menambah wawasan ilmu pembaca bukunya, terutama mahasiswa dan dosen lainnya. Kalau draft text- book-nya sudah selesai, muncul lagi problem berikutnya. Adakah penerbit yang mau menerbitkannya? Ini tentu menyangkut banyak hal seperti kualitas atau kredibilitas dosen (deretan gelarnya juga berpengaruh), mutu tulisannya: pola nalar, pola papar, dan pola bayar (royalti). Di pihak penerbit juga ada tolokukurnya, yaitu pola pasar dan pola bayar (laba). Kalau keduanya sepakat pada pola benar (saling setuju), maka terbitlah textbook itu. Berarti dosen sudah mem-publish (terbit, layak menjadi dosen). Kalau tidak jadi terbit, tak adalah textbook itu dan dosen dianggap belum menulis textbook dan dia boleh jadi di-perish (binasa, celaka: tak layak berlabel dosen). Itulah publish or perish.

Kembali ke soal riset yang sangat penting dalam penulisan textbook. Budaya riset memang belum tumbuh bagus di kalangan dosen kita. Ini melanda mayoritas dosen. Walau demikian, dalam kasus orang per orang, banyak juga yang tuman meriset. Namun sayangnya, riset dosen itu masih dalam taraf pemula. Jangankan di PTS (perguruan tinggi swasta), di PTN (perguruan tinggi negeri) yang terkenal saja budaya riset ini belum berkembang baik. Jumlah riset memang relatif banyak secara aritmetika tetapi kecil sekali persentasenya. Apalagi kalau parameter mutu dimasukkan ke dalam evaluasinya, sangat kecil. Kebanyakan risetnya hanya modifikasi kecil-kecilan dari riset yang telah dilaksanakan di luar negeri, biasanya dari tempat mereka meraih gelar master, doktor atau post-doctoralnya. Risetnya seputar itu ke itu saja, seolah-olah hanya bertujuan meraih nilai kum dan uang. Selain itu, sang dosen pun jarang terjun langsung dalam riset itu dan hanya menerima laporan apa adanya dari mahasiswa S1, S2, atau S3. Kalau demikian, bagaimana dengan standar kualitas riset tersebut kalau dosen tidak terjun langsung, minimal secara berkala, ke laboratorium atau lapangan? Inilah yang banyak terjadi di perguruan tinggi kita.

Dalam sebuah seminar terungkap bahwa banyak riset yang menyimpang dari tujuan awal ketika penandatanganan kontrak riset. Ada yang tujuannya menghasilkan prototipe tetapi yang dilaporkan sekadar “temuan” yang mengarah ke riset fundamental. Artinya, tak bisa langsung diterapkan sesuai janji semula. Memang ada juga riset pengembangan teknologi tapi itu pun belum siap disadap oleh masyarakat, khususnya kalangan industri/pebisnis. Malah muncul pendapat bahwa hasil riset itu bukanlah inovasi melainkan baru dalam tahap invensi (invention), baru rekaan saja. Masih sangat mentah, masih prototipe awal sehingga perlu diriset lebih lanjut. Namun demikian, bagaimanapun hasilnya, kita wajib memberikan apresiasi kepada periset ini karena mereka sudah lebih baik daripada dosen yang tidak meriset. Lebih dari itu, kita memang wajib mengkritiknya agar upaya memajukan ilmu dan pendidikan berada di jalur yang betul. Pandanglah kritik sebagai sahabat yang peduli pada periset agar bisa lebih maju lagi.

Jadi kian jelaslah bagi kita bahwa menulis buku teks yang betul-betul serius memerlukan jalan panjang riset mandiri dan studi pustaka (textbook dan jurnal). Riset adalah kendalanya. Risetnya pun memunculkan banyak kendala lagi seperti biaya, materi riset, metodologi, analisis, dukungan jurnal terbaru, kerjasama antarperiset. Lantas, setelah riset selesai dan andaikata diperoleh data yang absah dan dipublikasikan di jurnal (diakui oleh rekan sejawat di dalam dan luar negeri) barulah bisa dimasukkan ke dalam buku teks. Artinya, sang dosen baru memulai menulis perihal temuannya itu dalam buku teksnya, selain mengutip data dari buku teks lainnya atau mengutip data dari jurnal ilmiah absah yang berkualitas tinggi. Inilah yang disebut dukungan data yang absah pada setiap penulisan buku, baik buku ilmiah populer maupun textbook. Syahdan, novel pun yang mengarah ke fiksi sainstek (sciencetech fiction) wajib didukung oleh riset yang absah agar tidak menjadi bumerang bagi penulis dan mutu novelnya.

Akhirnya, boleh dikatakan bahwa dosen sulit menulis buku teks lantaran ada banyak hal yang mesti disiapkan sebelum kegiatan penulisan itu dimulai. Ada prolog yang bisa jadi sama panjangnya atau bahkan lebih panjang ketimbang penulisan buku teksnya. Begitu pun ketika dosen hendak menulis buku ilmiah populer, dia pun harus mengumpulkan data yang mendukung paparan dan pendapatnya. Sumber data tidak hanya dari buku teks, tetapi juga dari berbagai jurnal ilmiah, semi-ilmiah, koran, radio, televisi, wawancara langsung dengan masyarakat atau direktur perusahaan, politisi, pemerintah, atau tokoh masyarakat.

Sebagai penutup perlu ditulis di sini bahwa ilmu selalu berkembang, siang malam mengalami pembaruan. Ada yang cepat berubah, ada yang lambat. Yang penting adalah tersedia data yang bisa diasumsikan absah. Apalagi ada dogma bahwa semua riset tidak ada yang salah sejauh ada alasan yang diberikan dan masuk ke dalam logika sainstek. Istilahnya, tak ada riset yang final. Semuanya masih perlu diuji dan diuji terus sepanjang zaman. Last but not least adalah dana. Dana riset adalah kendala besar di perguruan tinggi kita.  

Akhirulkalam, tulisan ini juga sebagai swakritik untuk penulis, entah sampai kapan dosen tak mampu menulis textbook yang diakui dunia akademik internasional, dirujuk oleh jurusan dan program studi di seluruh dunia. Dalam skala kecil, minimal menjadi rujukan di tingkat nasional. (Silakan direka-reka profesor kita, berapa banyak yang menulis buku teks yang berkualitas baik, tak sekadar buku teks. Akan ada temuan yang mengejutkan. Sebab, mayoritas profesor kita tak punya buku teks. Menulis buku ilmiah populer pun tak banyak yang melakoninya. Begitu pun artikel pendek populer di media massa). Dan Tuhanlah yang Mahatahu. ***

Foto: blog.arjournals.com

ReadMore »

27 Juli 2012

Buka Puasa, Hindari Makanan-Minuman Manis

Oleh Gede H. Cahyana

Sudah umum diketahui, setiap buka puasa selalu saja yang terbayang adalah kolak, sirup dan sejenisnya. Manis rasanya dan nikmat di lidah. Jangankan anak-anak, orang dewasa dan orang tua saja suka sekali pada makanan - minuman (mak - min) manis. Itu sebabnya, setiap bulan Ramadhan harga gula selalu naik tetapi tetap laris manis semanis rasanya. Namun perlu diingat, terutama untuk orang yang suka minum teh manis, kopi manis, kue, kolak, sirup dan sejenisnya, agar mulai mengurangi konsumsi mak-min tersebut. Ini demi kesehatan pada masa mendatang. Apa pasal?

Ternyata, di balik rasa manisnya, gula menjadi perusak kesehatan manusia (juga hewan). Sejumlah penelitian menyatakan bahwa gula adalah biang kerok penyakit degeneratif pada manusia (dan hewan). Penyakit diabetes mellitus adalah contohnya. Artinya, kalau dikaitkan dengan bulan puasa sekarang, hendaklah kita mengurangi makan dan minum yang mengandung gula, terutama saat buka puasa. Kita puasa selama kurang lebih 13 jam sehari pada tahun 1433 H ini di daerah Tropis. Tubuh jangan dikejutkan oleh pasokan gula (sukrosa) sehingga gula darah pun naik tajam dalam waktu singkat. Kalau begitu, bagaimana sebaiknya dalam berbuka?

Dalam sebuah keterangan disebutkan bahwa Nabi Muhammad Saw berbuka dengan ruthab (kurma basah) sebelum shalat (Maghrib). Kalau tidak ada, beliau berbuka dengan tamr (kurma kering). Kalau tidak ada juga, beliau minum seteguk air. Menurut keterangan yang lain, dinyatakan bahwa Muhammad Saw berkata, “Apabila kamu buka (shaum), hendaklah dengan kurma. Kalau kamu tidak memperolehnya, berbukalah dengan air. Sesungguhnya air itu suci.” (Catatan: Silakan pembaca mengecek hadis yang berkaitan dengan ini, terutama isi/matan hadis dan periwayatannya). Dapat disimpulkan, kurma adalah makanan utama untuk buka puasa. Tiga buah kurma sudah cukup lalu minumlah air secukupnya. Kurma yang dimaksud di sini adalah kurma asli yang tidak terlalu manis rasanya, bukan kurma yang dilumuri gula atau manisan kurma.

Bagaimana kalau tidak ada kurma asli, bukan manisan kurma? Untuk kasus ini, yang penting, hindari makan dan minum mak-min yang manis-manis. Apalagi kalau pemanisnya adalah pemanis buatan semacam sakarin dan sejenisnya, ini jauh lebih bahaya daripada gula (pasir). Namun demikian, khusus gula aren, ada pendapat yang membolehkan dalam batas wajar, tidak berlebihan. Gula kelapa juga diperbolehkan. Dulu guru olah raga saya di SMA menyuruh kami (saya dan teman-teman) mengulum gula aren/kelapa selama olah raga untuk sumber energi. Teman-teman yang berasal dari Pupuan (Tabanan bagian Utara, daerah yang berbukit-bukit, naik-turun berjalan kaki) juga sering berbekal gula ini (Di Bali disebut Gule Bali. Bukan gule/gulai dalam gule kambing. Bacanya gule, e pepet).

Akhir kata, mumpung Ramadhan baru berlalu 25%, mari kita hindari berbuka dengan mak-min kaya gula alias manis-manis. Berbukalah dengan kurma asli atau air. Bisa juga dengan madu asli dicampur dengan jeruk nipis dan air. Segarnya tidak kalah dengan es sirup. Sssrrruup…, segar dan sehat. *
ReadMore »