Negeri di Ujung Samudra, ini julukan yang pas menurut saya. Lokasinya di Samudra Indonesia bagian barat Pulau Sumatera. Ditempuh semalaman naik kapal laut dari Padang ke pelabuhan atau Dermaga Tuapejat di Pulau Sipora, tepatnya di Sipora Utara. Saya baru kali ini naik kapal laut semalam suntuk dan tidak bisa tidur. Kalaupun tidur mungkin tidak sampai satu jam. Biasanya naik kapal ferry dari Ketapang, Banyuwangi ke Gilimanuk, Bali pergi-pulang. Waktu tempuhnya kurang lebih satu jam saja. Ombak pun relatif sedang-sedang saja. Tetapi ombak di Selat Mentawai antara Padang dan Mentawai sungguh membuat waswas. Saat pelayaran langit cukup berawan tetapi bintang gemintang masih tampak semarak. Rasi Waluku atau Tenggala (bahasa Bali) menjadi perhatian.
Kapal milik ASDP ini sungguh sesak. Ruang duduk dan ruang tidur dipenuhi penumpang. Ada yang tidur, ada yang ngobrol di kasur, ada yang duduk-duduk di bawah ranjang. Deru mesin kapal dan debur ombak berpacu dengan obrolan penumpang. Ada yang menyetel musik, ada yang tertawa terkekeh. Di bagian atas kapal, ruang lebih lega. Tiupan angin membuat adem. Bintang menghiasi langit yang gelap dan bulan tampak redup. Orang-orang terus bicara, merokok dan ada yang tepekur duduk di lantai atas. Goyangan dan tampias ombak terdengar mengalun.
Dermaga Tuapejat menyambut dalam dingin. Satu-persatu motor ke luar kapal dibarengi barisan penumpang. Masih pagi. Tetapi sudah tampak di ufuk timur semburat cahaya. Hanya semburat. Mataharinya tidak tampak. Begitu menapak dermaga, tampak papan nama pelabuhan Tuapejat. Eyecatching. Inilah titik nol km di Mentawai. Di Pulau Sipora inilah pusat pemerintahan. Selain Pulau Sipora, ada juga Pulau Siberut, Pulau Pagai Utara dan Pagai Selatan dan puluhan pulau atau nusa lainnya. Status Kepulauan Mentawai dijadikan kabupaten berdasarkan Undang-Undang Republik Indonesia No. 49 Tahun 1999 tentang Pembentukan Kabupaten Kepulauan Mentawai di Provinsi Sumatera Barat, pada 7 Juni 2000.
Luas total kabupaten ini kurang lebih 6.011,35 km² dan terdiri atas 10 kecamatan dan 43 desa. Di Pulau Siberut ada lima kecamatan, yaitu: Kecamatan Siberut Selatan, Kecamatan Siberut Utara, Kecamatan Siberut Barat, Kecamatan Siberut Barat Daya dan Kecamatan Siberut Tengah. Di Pulau Sipora ada dua kecamatan, yaitu: Kecamatan Sipora Utara dan Kecamatan Sipora Selatan. Di Pulau Pagai Utara dan Pagai Selatan ada tiga kecamatan, yaitu: Kecamatan Pagai Utara, Kecamatan Pagai Selatan dan Kecamatan Sikakap. Jumlah penduduk Mentawai relatif sedikit, tidak sampai 100.000 orang. Selain suku asli Mentawai, ada juga Minang, Batak, dan Jawa. Orang asli Mentawai adalah keturunan Polinesia dari Melayu Tua atau Proto Melayu yang berbeda dengan penduduk yang bermukim di daratan Pulau Sumatera. Sebagian besar menganut agama Kristen dan sisanya Islam.
Masyarakat Mentawai bersifat patrilineal, struktur sosial tradisional adalah kebersamaan, mereka tinggal di rumah besar yang disebut juga "uma" yang berada di tanah-tanah suku. Seluruh makanan, hasil hutan dan pekerjaan dibagi dalam satu uma. Struktur sosial itu juga bersifat egalitarian, yaitu setiap anggota dewasa dalam uma mempunyai kedudukan yang sama kecuali "Sikerei" yang mempunyai hak lebih tinggi karena terampil dalam pengobatan tradisional dan bisa memimpin ritual kepercayaan Arat Sabulungan, hidup selaras dengan lingkungan.
Kepercayaan Arat Sabulungan ini berhubungan erat dengan sumber daya alam lingkungan. Sehari-hari masyarakat asli Mentawai ada yang berburu, bercocok tanam, meramu obat dan menyiapkan permukiman. Ada tata atur dalam merawat ruang kawasan. Ada kawasan yang harus dilindungi dan ada kawasan yang boleh dieksploitasi untuk pertanian, peternakan, perburuan dan permukiman.
Tata ruang tradisional ini diikuti oleh peraturan sehingga pelanggaran akan diikuti oleh hukuman denda atau Tulo. Pelanggaran yang terjadi bisa merusak alam dan lingkungan sehingga perlu upacara religius yang disebut Puliaijat. Kegiatan penduduk asli berkaitan dengan punen (pesta suci) dan persembahan yang harus dilakukan sebelum mendirikan rumah, berburu, membuka ladang dan sebagainya.
Kelompok masyarakat suku Mentawai terdiri atas beberapa kelompok (clan). Setiap kelompok memiliki kesatuan tempat tinggal berupa rumah panggung besar yang disebut uma dan dihuni oleh 2 sampai 8 keluarga inti yang mempunyai garis keturunan patrilinial. Setiap uma dipimpin oleh seorang laki-laki sepuh yang disebut rimata dan dibantu oleh satu atau dua orang sikerei (semacam dukun). Selain itu ada juga struktur kelembagaan sosial untuk memfasilitasi hubungan antar kelembagaan suku (pararukat panutubut uma) yang terdiri atas setiap pemimpin suku (sikautet uma) yang mewakili keluarga (lalep).
Struktur kepemilikan lahan di Kepulauan Mentawai.
1. Polak Teteu (tanah leluhur) yang dimiliki secara komunal oleh salah satu uma (kelompok suku atau keluarga) atau lebih, namun masih dalam satu garis kekerabatan (satu garis keturunan dari nenek laki-laki). Tanah ini adalah hasil temuan nenek moyang (Sinese teteu) mereka.
2. Sinaki Tetetu, yaitu tanah yang dibeli secara adat oleh nenek moyang dari satu suku ke suku yang lain. Tanah ini dibeli secara barter (menukarkan dengan barang) baik dengan ayam, babi, kebun sagu, parang (tegle), kampak, kuali dsb.
3. Alat toga yaitu tanah yang didapatkan oleh nenek moyang dari mas kawin anak perempuan.
4. Pasailiat Mone yaitu tanah atau kebun yang didapatkan dengan menukar tanah kepada suku lain.
5. Tulou yaitu tanah yang didapatkan dari denda adat.
6. Lulu yaitu tanah yang didapatkan dari ganti nyawa nenek moyang yang dibunuh oleh nenek moyang uma lain. Hal ini dapat dilakukan dengan mengungkap sejarah uma.
7. Tanah Pribadi yaitu tanah yang dibeli oleh salah satu anggota uma, yang dijadikan milik pribadi dengan areal yang tidak begitu luas (maksimum dua hektar).
8. Sipasijago yaitu tanah salah satu uma yang digunakan oleh uma lain, untuk berladang, atau mendirikan rumah namun tanah tersebut tetap diakui sebagai milik uma yang bersangkutan, artinya pendatang hanya diberikan hak pakai.
Pembagian tanah tersebut dijadikan acuan dalam melakukan kegiatan pengelolaan sumber daya alam di Mentawai. Pendatang diharapkan menghargai dan menghormati hak-hak masyarakat adat yang telah lama bermukim di sana. Kearifan lokal lain yang ada di dalam masyarakat Mentawai adalah membuat Tatto. Tatto diyakini sebagai tahap penyempurnaan jiwa dan raga dan sebagai busana abadi yang dibawa mati. Tatto menjadi karya seni selama manusia yang memakainya masih hidup. Berfungsi juga sebagai alat komunikasi, yaitu untuk menunjukkan jati diri dan menjadi pembeda status sosial dalam masyarakat.
Itulah informasi sekilas tentang penduduk asli Mentawai. Bagaimana cuacanya? Karena berada di khatulistiwa tentu saja panas. Curah hujan di Kepulauan Mentawai berkisar antara 2.500 – 4.700 mm/tahun. Jumlah hari hujan antara 132 – 267 hari hujan pertahun. Suhu berkisar antara 220 - 320C. Kelembaban dalam kisaran 82 - 85%. Siang hari lebih cenderung panas tetapi karena dekat laut dan banyak pohon maka terasa sejuk asalkan tidak langsung terpapar sinar mentari alias dinaungi pohon, atap warung, atau berada di emper rumah.
Bagaimana dengan potensi bencananya? Seperti daerah lain di Indonesia, Kepulauan Mentawai berada di dalam lempeng tektonik yang berpotensi gempa. Apalagi dari 43 desa yang ada, ada 33 desa berlokasi di pesisir. Pada 25 Oktober 2010 terjadi gempa bumi berkekuatan 7,2 Skala Richter (atau 7,5 SR menurut USGS) yang menimbulkan tsunami setinggi tiga meter dan sejauh satu kilometer ke arah darat. Sebaliknya, pada saat yang sama, potensi wisata surfing menjadi penarik utama bagi peselancar kelas dunia karena ombaknya yang tinggi. Ombak samudra, untuk “Negeri di Ujung Samudra”. *
Tidak ada komentar:
Posting Komentar