• L3
  • Email :
  • Search :

3 Oktober 2011

Wetland: The Green Technology

Wetland: The Green Technology
Oleh Gede H. Cahyana

Istilah green technology (teknologi hijau) yang disebarluaskan lewat media massa cetak dan elektronik selalu mengacu pada makna konotatifnya, bukan makna secara harfiah. Berbeda dengan teknologi hijau tersebut, wetland adalah teknologi yang memang betul-betul hijau dalam arti sesungguhnya. Bahkan kemampuan utama dalam mereduksi polutan yang mencemari air diperankan oleh warna hijau, yaitu tanaman berklorofil yang mampu berfotosintesis. Aktivitas pengolahan unsur hara yang diambil dari air limbah inilah yang “dimasak” di zat hijau daun (klorofil) sehingga tanaman menjadi tumbuh, baik fisiknya maupun jumlah tunasnya, sekaligus mengurangi polutan di dalam air limbah.

Secara umum, wetland dibedakan menjadi dua, yaitu wetland alamiah dan buatan. Dalam artikel ini dibahas wetland buatan yang semua kondisi dan karakteristik lahan dan tanamannya dikondisikan dengan tujuan tertentu, yaitu mencapai efisiensi pengolahan yang relatif tinggi. Selain dinamai wetland buatan atau constructed wetland, ia juga disebut dengan nama lain seperti rock-reed filter, microbial rock plant filter, vegetated submerged bed, marsh bed, tule bed, hydrobotanical system. Di Jerman unit serupa ini yang menggunakan tanah setempat (native soil) dan reeds disebut root zone method. Meskipun namanya beragam, vegetasinya cenderung serupa, yaitu menggunakan bulrush, reeds, cattails yang fungsinya sama: menyediakan oksigen ke dalam akar-akarnya dan menambah luas permukaan untuk pertumbuhan biologi di dalam zone akar sehingga transfer oksigen menjadi lebih banyak.

Karena prosesnya secara alamiah berupa konsorsium mikroba dan tanaman maka wetland ini layak dijadikan alternatif dalam pengolahan air limbah, khususnya sebagai pengolah pencemar organik, nitrogen dan fosfat. Beberapa keunggulan wetland dibandingkan dengan teknologi pengolah air limbah konvensional lainnya ialah murah dalam biaya operasi-rawatnya, toleran terhadap berbagai tingkat konsentrasi pencemar, mampu mereduksi logam berat, tanamannya dapat dimanfaatkan untuk pakan ternak, kertas, pupuk, tanaman hias, mendukung fungsi ekologis, kawasan hijau, habitat satwa, dan kawasan rekreasi. Selain manfaatnya tersebut, wetland juga memiliki sejumlah kekurangan, yaitu perlu lahan yang luas, relasi kompleks biologis dan hidrologis, kalau airnya tergenang bisa menjadi sarang nyamuk.


Jenis Wetland
Teknologi wetland dapat dikelompokkan menjadi tiga, yaitu wetland “genang” (Surface Flow Constructed Wetland), wetland “kolam” (Free Water System) dan wetland “keringSub-Surface Flow Constructed Wetland. Sesuai dengan namanya, wetland “genang” dan wetland kolam senantiasa dipenuhi oleh air limbah di permukaan media kerikil dan sebagian batang tanamannya sehingga berpotensi terjadi aliran-singkat (short-circuit) yang dapat menurunkan kualitas air olahan. Tinggi genangan ini antara 10 s.d 50 cm. Hanya saja, wetland kolam jarang diterapkan karena menimbulkan bau busuk dan sarang nyamuk, tikus, dll. Dalam wetland “kering”, semua air limbah influen berada di bawah permukaan media kerikil sehingga potensi aliran-singkat dapat dikurangi.

Mekanisme Proses
Ada tiga parameter penting yang mempengaruhi kinerja wetland. Yang pertama, media tumbuh. Biasanya digunakan kerikil atau batu bata dengan fungsi sebagai tempat tumbuh tanaman, media lekat perkembangan mikroorganisme, ruang endap (sedimentasi). Yang kedua, tanaman. Seperti tersurat dalam judul artikel ini, tanaman hijau inilah bagian penting dalam wetland. Fungsinya ialah: akar dan/atau batang dalam air sebagai tempat tumbuh mikroba dan adsorban. Batang dan daun yang di atas air mencegah pertumbuhan algae, mengurangi dampak kecepatan angin di permukaan air, berperan dalam transfer gas, meningkatkan aktivitas mikroba di zone akar. Yang ketiga, mikroba. Jasad renik ini membantu penguraian polutan berupa senyawa karbon, baik mikroba aerob, fakultatif, maupun anaerob.


Tanaman dan mikroba bersimbiosis mutualisme, saling menguntungkan di dalam wetland. Tanaman membantu pertumbuhan mikroba seperti jamur, bakteri, algae dan protozoa. Batang, cabang dan daun tanaman yang berada di dalam genangan air akan memperluas area perlekatan mikroba. Akar tumbuhan melepaskan oksigen sehingga daerah sekitarnya menjadi aerob. Oksigen ini berasal dari udara yang berdifusi melewati pori-pori daun, batang dan dilepaskan di akar. Dengan demikian, di dalam unit ini terjadi kondisi aerob di sekitar perakaran tanaman, kondisi fakultatif dan kondisi anaerob.

Dalam terapannya, wetland mampu mengolah air limbah domestik dan non-domestik seperti air limbah pertanian, peternakan, perikanan, tambak, air lindi TPA, air limbah rumah sakit. *
ReadMore »

25 September 2011

Babakan Siliwangi: Hutan Kota Dunia


Babakan Siliwangi: Hutan Kota Dunia

Gede H. Cahyana

Babak baru Babakan Siliwangi sudah bergulir. Hutan kota seluas kurang lebih 3,8 ha itu akan diresmikan oleh Wakil Presiden Boediono menjadi Hutan Kota Dunia (world city forest) pertama di Indonesia. Deklarasinya berlangsung dalam pembukaan konferensi lingkungan internasional: Tunza International Children and Youth Conference On the Environment 2011 yang mulai digelar pada 27 September 2011. Inilah kado ulang tahun Kota Bandung dari PBB melalui United Nation Environmental Programe (UNEP). Akankah deklarasi ini mampu memupus berbagai perbedaan pendapat dan beragam kepentingan Pemkot Bandung dan pengusaha lantas memunculkan sinergi?

Faktanya, harapan untuk saling dukung demi kepentingan masyarakat Bandung sudah sejak lama digulirkan. Bahkan ujaran keras pernah keluar dari pemerintah Provinsi Jawa Barat agar tidak ada lagi pembangunan di Kawasan Bandung Utara (KBU) dan Babakan Siliwangi! Ajakan tersebut adalah artikulasi kembali suara-suara “hijau” (green sound) pakar lingkungan dan pemerhatinya sejak 1993. Sejumlah unsur masyarakat yang “melek” lingkungan lantas berupaya “menyadarkan” pemerintah yang akan mengambil tindakan keliru atas nama pembangunan ekonomi. Silang pendapat inilah yang ramai dibahas sewindu terakhir ini.

Bagaimana kondisi Babakan Siliwangi pada masa lalu? Lain dulu, lain sekarang. Berikut ini adalah potret sepetak lahan di Babakan Siliwangi pada dekade 1980-an. Selain petak ini, ada dua petak lagi yang memiliki nilai jejak ekologis (ecological footprint) yang tinggi di Kelurahan Babakan Siliwangi, Kecamatan Coblong, yaitu Kebun Binatang dan Taman Ganesa di dekat area Salman ITB. Pada masa itu halaman ITB pun masih menjadi hutan kota yang betul-betul hijau karena masih banyak pohon, ramai oleh kicauan burung beraneka jenis, berbeda dengan masa 15 tahun terakhir ini yang berubah menjadi hutan beton.

Seperempat abad yang lalu, di petak tersebut masih terdengar ricikan air jernih dari sawah dan pancuran bambu. Hijaunya daun dan kuningnya bulir padi datang silih berganti setiap empat bulan. Burung-burung liar yang habitatnya di Taman Ganeca ITB dan Kebun Binatang sering terbang bergerombol ke pohon-pohon di Babakan Siliwangi. Panorama ini dapat dinikmati dari lereng atas Selatan yang berbatasan dengan jalan Tamansari, tepat di belakang ITB (d.h. Kantor Puslitbang Permukiman). Mahasiswa ITB yang kos di daerah ini (d.h Lebak Gede) akan melihat gerombolan burung terbang, barisan capung, juga loncatan belalang setiap pagi.

Dari rumah kos yang berada di tataran bawah kantor BATAN ada jalan setapak menuju jalan berbatu di bawah bibir jalan Tamansari. Berlebar dua meter, jalan berbatu ini selalu ramai dilewati masyarakat setempat kalau hendak ke Simpang Dago. Mahasiswa ITB yang kos di daerah ini pun kerapkali menginjak setapak di ”bebukitan” Lebak Siliwangi, di dekat rumah makan pada masa itu. Area parkir yang luas di depan rumah makan bersebelahan dengan kolam ikan tempat mancing walau hanya sesekali. Udara sangat sejuk, syahdan pada tengah hari bolong. Angin berembus terus-menerus mengacak-acak daun pinus dan palem sambil menebar oksigen. Sanggar Olah Seni pun ramah dan terbuka dikunjungi bagi warga sekitar.

Sebagai warga baru, saya sering keliling gang-gang di Lebak Gede (Siliwangi), mulai dari tepi Sungai Cikapundung di dekat bangunan Intake (penyadap air) PDAM Kota Bandung, sampai gang di dekat sawah di Babakan Siliwangi. Air PDAM sudah tersedia tetapi tidak semua warga berlangganan air ini. Lebih banyak warga mendapatkan air dari sumur dangkal dengan cara ditimba dan disedot pompa. Warga yang di dekat sawah memperoleh air dari rembesan air sawah selain air yang langsung dialirkan dari limpahan air selokan di Dago dan kawasan Cisitu. Air ini untuk mencuci dan bebersih rumah. Untuk minum hampir semua menggunakan air sumur. Semua warung nasi di Lebak Gede atau Babakan Siliwangi memperoleh air minumnya dari sumur dangkal kalau tidak dari PDAM. Waktu itu belum banyak dikenal air minum kemasan berukuran botol lima gallon. Masjid pun kebanyakan memiliki sumur dengan pompa di tempat wudunya.

Keelokan dan eksotika Babakan Siliwangi dapat dinikmati pada pagi hari ketika pucuk-pucuk pinus ”bebukitan” di lereng rumah A. Kasoem diselimuti kabut melayang di sela-sela daun jejari pinus. Kian indah lagi kalau dipandang dari rumah kos yang tepat berada di bawah kantor BATAN, di dekat lapangan voli saat itu. Pada pukul delapan pagi embun pembasah daun belum juga menguap. Itulah potret Lebak Gede dan Lebak/Babakan Siliwangi pada medio 1980-an. Di bagian atas, yaitu di jalan Siliwangi pohon-pohon pun masih banyak berdaun rimbun. Jalan Tamansari juga berpohon rindang, seperti sekarang.

Yang khas di Babakan Siliwangi, paling tidak ketika saya menjadi bagian dari warga di sana, adalah arena adu bagong dan anjing. Dua bagong (babi hutan bertaring) dikerubuti oleh beberapa ekor anjing ”kampung”, bukan sejenis bulldog, herder atau lainnya. Arena pertunjukan yang menurut pencinta hewan dianggap di luar perikehewanan ini berlangsung di lereng Timur Babakan Siliwangi, di dekat jalan Sumur Bandung atau tepat di pertigaan jalan Tamansari, Dayang Sumbi dan Sumur Bandung. Karena pagarnya berupa semak-belukar, ada beberapa pintu masuk yang terbuat dari dinding yang dilubangi. Yang tidak membeli karcis ada yang berupaya naik ke pohon-pohon di sekitar arena sehingga menjadi pemandangan khas ”pohon berbuah orang”.

Pada kali lain, ada juga pertunjukan ular dan orang yang hidup ”rukun” selama 60 hari. Ularnya banyak, besar-kecil, dari berbagai jenis, mulai dari yang tidak berbisa sampai cobra yang bisanya luar biasa. Arena ini selalu ramai dikunjungi orang, terutama pada hari libur dan Ahad, bahkan diramaikan oleh wisatawan dari luar Kota Bandung. Di sudut lain Babakan Siliwangi adalah aktivitas seni dan ada mushala di sana. Warga dapat melihat-lihat dengan nyaman dan bebas tanpa banyak dijaga. Murid-murid TK dan SD beberapa kali saya lihat berkunjung dan tampak ceria, berbaur dengan alam sejuk di sekitarnya. Pendidikan lingkungan, seni, budaya sambil berjalan dan lari naik turun sekaligus memberikan efek olah raga.

Berkaca pada potret Babakan Siliwangi dua dekade lalu, muncullah pertanyaan sbb: akankah fenomena dulu bisa diperoleh sekarang? Akankah fungsi lingkungan Babakan Siliwangi tetap terjaga ketika diubah menjadi pusat bisnis? Kalaupun tetap hendak (dipaksakan) dibangun, sebaiknya berkonstruksi tiang pancang dan berbentuk panggung agar resapan airnya tetap optimal. Material pondasi bagunan lama harus diangkat semua. Aspalnya juga diangkat semua sampai betul-betul tampak tanah aslinya, kemudian dipasangi paving block yang dapat meloloskan air hujan. Jangan membuat taman hanya sekadar untuk raihan fotosintesisnya tanpa peduli pada aspek tangsap (tangkap-resap) air hujan. Apalagi sekadar tanaman bunga semusim yang orientasinya hanya aspek keindahan tanpa kemampuan tangsap air.

Akhir kata, Kota Bandung perlu sabuk hijau yang tak sekadar untuk faktor estetika, tetapi juga geohidrologis. Dengan luas wilayah 16.730 ha, Kota Bandung perlu 20 persen sabuk hijau berpohon 1,3 juta tegakan. Dapatkah ini dicapai kalau setiap sabuk hijaunya diubah menjadi ”sabuk beton” berupa mall, hotel, dan supermarket yang tak peduli pada lingkungan dan ekologi? Pencanangan Hutan Kota Dunia (Hukodu) diharapkan mengawali pembangunan Babakan Siliwangi secara sosioekologis. Semoga mampu mereduksi perbedaan kemudian memunculkan kerjasama sinergis antarunsur masyarakat: LSM, ormas, pemkot, pemprov, pengusaha, dan akademisi. *
ReadMore »

2 September 2011

Besi dalam Air Minum


Oleh Gede H. Cahyana

“Saya nyesel. Nyesel banget beli rumah di sana. Dibohongin. Developer-nya bilang air sumurnya bagus. Tapi nyatanya bohong. Padahal dalamnya sudah 25 meteran. Airnya amis dan kuning. Siapa yang nggak kesal.” Demikian gerutu seseorang kepada penulis.

Mendengar itu saya tetap diam, terus menyimak, manggut-manggut sambil bergumam, ooo... ooo saja. Keluh kesahnya panjang, agak lama kami ngobrol. Masalahnya tak lain dari mutu atau kualitas air. Sebetulnya dia hendak menjual rumahnya itu, tapi belum laku juga karena semua calon pembelinya selalu menanyakan airnya. Begitu tahu airnya jelek, mereka langsung pergi. Apalagi tak ada tanda-tanda air ledeng PDAM bakal masuk ke perumahan itu.

Dalam acara peringatan Hari Air Dunia, penulis sempat ditanya seseorang yang mengadu soal air. Bersama anaknya, ibu paruh baya ini bertanya, “Kenapa ya, air sumur saya kuning? Sudah disaring pakai kain, tapi tetap saja kuning. Pernah jernih sebentar tapi kuning lagi. Lantai pun jadi kuning. Ember juga kuning-coklat. Bahaya nggak, ya? Gimana cara menghilangkannya?”

Agar Sehat: Olah!
Air perlu diolah karena kualitas air bakunya berbeda dengan kualitas air minum yang sudah diatur dalam Keputusan Menteri Kesehatan No. 907/Menkes/SK/VII/2002, pada 29 Juli 2002. Perbedaan inilah yang harus diolah sampai ke taraf konsentrasi yang sesuai dengan surat keputusan tersebut. Aturan tersebut dibuat demi kesehatan manusia dan dibagi menjadi empat, yaitu kualitas bakteriologis (penulis cenderung menyebutnya bakteriologi), kimiawi (penulis menyebutnya kimia), radioaktivitas, dan fisik (penulis menyebutnya fisika). Dari sekian banyak parameter kualitas kimia dalam baku mutu tersebut yang sering menjadi masalah adalah kalsium, magnesium, besi dan mangan. Pada kesempatan sekarang, fokus tulisan ini adalah besi dan mangan.

“Musuh bersama” kita, kalau boleh disebut demikian, adalah kation besi (II) yang bersembunyi di dalam air. Kation ini hadir di dalam tanah dan air bersama dengan kation mangan (II) dan kation lainnya. Konsentrasi terbesarnya justru ada di dalam air tanah (groundwater) seperti sumur yang banyak dijadikan sumber air masyarakat tetapi relatif kecil di dalam air permukaan seperti sungai, danau, dan waduk.

Kation besi, selanjutnya disebut besi, menimbulkan banyak masalah dalam penyediaan air minum individual dan komunal termasuk masalah kesehatan manusia. Itu sebabnya, konsentrasi maksimum besi terlarut di dalam air minum yang tercantum di berbagai peraturan pemerintah atau menteri kesehatan adalah 1.0 mg/l. Tetapi faktanya, konsentrasi besi di dalam air tanah dangkal dan air tanah dalam (juga beberapa air permukaan) jauh di atas ambang batas tersebut. Agar dapat dimanfaatkan dan tidak menimbulkan masalah kesehatan, estetika, kerugian ekonomi, dll maka air tersebut harus diolah dulu dengan teknologi tertentu. Satu di antara teknologi yang bisa diterapkan adalah slow sand filter modifikasi.

Seperti tersirat di dalam namanya, slow sand filter adalah unit operasi filter yang laju aliran airnya relatif lambat dengan kisaran 0,1 – 0,4 m3/m2/jam yang dicapai dengan lapisan pasir berdiameter antara 0,1 – 0,35 mm. Lewat pertolongan gravitasi Bumi, air mengalir lambat menyusup di antara butir-butir pasir dari bagian atas filter ke bagian bawah. Jenis slow sand filter konvensional tersebut banyak diterapkan untuk mengolah air permukaan dengan kekeruhan rendah sehingga umur filter menjadi lebih lama dibandingkan dengan filter yang mengolah kekeruhan lebih tinggi. Operasi-rawatnya juga mudah dan tanpa penambahan zat kimia. Hanya saja, filter ini membutuhkan lahan yang luas dan media filter yang besar volumenya dibandingkan jenis lainnya.

Modifikasi Media
Terapan utama slow sand filter di atas adalah untuk menurunkan kekeruhan air baku yang disebabkan oleh koloid dan suspended solid berkonsentrasi rendah. Dampak tambahan positif lainnya ialah reduksi senyawa besi (dan sedikit mangan), baik oleh aktivitas biologi maupun kimiawi alami. Aktivitas fisika dapat juga terjadi kalau besi dan mangan mengalami oksidasi alami meskipun dalam jumlah yang sedikit. Hal ini akan terjadi optimal apabila lapisan tipis di permukaan media filter (schmutzdecke) berkembang dengan baik dan bertahan selama proses filtrasi. Meskipun dapat diupayakan, justru di sinilah letak kesulitannya.

Lain koloid dan suspended solid, lain juga besi. Agar dapat digunakan untuk mengurangi konsentrasi besi dan mangan dengan jumlah yang banyak maka perlu ada modifikasi media tanpa mengubah laju aliran airnya. Dengan mempertahankan lajunya yang rendah seperti slow sand filter konvensional maka mekanisme filtrasinya tetap sama dan tanpa zat kimia seperti pada rapid sand filter yang memerlukan proses koagulasi, flokulasi, dan sedimentasi di dalam unit yang terpisah. Satu cara modifikasi media ini ialah dengan memberikan tambahan kemampuan dalam penyisihan besi dan mangan. Di sini ada tambahan mangan karena di dalam slow sand filter konvensional relatif sulit untuk menyisihkan mangan karena persyaratan pH-nya relatif tinggi.

Untuk menambah daya-sisih (removal power) pasir terhadap besi (dan juga mangan) maka pasir diaktifkan dengan larutan KMnO4 yang lantas membentuk lapisan MnO2. Lapisan inilah yang bertindak sebagai katalisator (pemercepat reaksi) pada proses oksidasi kation Mn(II). Aktivasi media pasir dilakukan dengan larutan KMnO4 0,1 N. Pasir direndam selama 24 jam lalu dikeringkan dengan oven pada temperatur 150 derajat C selama 2 jam.

Selain sebagai katalisator reaksi oksidasi, pasir juga mampu memfilter presipitat besi dan mangan. Yang tidak teroksidasi akan diadsorpsi oleh lapisan besi hidroksida sehingga fenomena di dalam modifikasi media ini menjadi banyak, yaitu aerasi-oksidasi, filtrasi, sedimentasi, dan adsorpsi sekaligus disinfeksi sehingga air filtratnya sudah siap diminum (drinking water).

Kinerja Filter
Irmanto dan penulis sudah meneliti dan mengevaluasi kinerja slow sand filter modifikasi ini di Universitas Kebangsaan dengan sumber air baku dari air tanah di kantor Kopertis Wilayah IV (Jawa Barat-Banten). Dalam beberapa kali pengambilan sampel air tersebut diperoleh konsentrasi besi antara 1,85 mg/l – 2,61 mg/l, jauh di atas ambang batas maksimum 1,0 mg/l. Dengan konfigurasi filter seperti Gambar 1, efisiensi penyisihan besi di dalam slow sand filter modifikasi mencapai angka 95%.

Dengan latar penelitian di laboratorium tersebut, maka rancangan filter skala lapangan bia dibuat, baik untuk kebutuhan individual (rumah tangga) maupun komunal di kantor-kantor.*
ReadMore »

8 Agustus 2011

Penyediaan Air Minum di Dalam Gedung (Plumbing)

Penyediaan Air Minum di Dalam Gedung
(PLUMBING, PLAMBING)


Adakah peran PDAM dalam penyediaan air minum di dalam gedung? Sebagai sebuah sistem, penyediaan air minum di dalam gedung memang bukanlah tanggung jawab PDAM. Meter air menjadi titik demarkasi atau batas tanggung jawab antara PDAM dan pelanggannya. Namun demikian, peran PDAM sesungguhnya masih ada di dalam sistem penyediaan air minum di dalam gedung, biasa disebut sistem plambing, terutama yang berkaitan dengan kuantitas air, kualitas air, dan tekanan sisa airnya.

Dalam sistem plambing, terutama bangunan publik seperti kantor, mall, hotel, dan juga rumah pribadi berlantai satu atau dua, karakteristik hidrolis di daerah distribusi PDAM berpengaruh besar terhadap sistem plambing. Dalam sistem plambing air minum, selain syarat kuantitas dan kualitas, juga ada syarat tekanan sisa (residual head), khususnya di alat plambing yang kritis tekanan sisanya. Selain air minum, ada juga instalasi air limbah dan ventilasi, air hujan, pemadam kebakaran (sprinkler system), dan air panas. Oleh sebab itu, kehati-hatian dalam pemasangan atau instalasinya perlu diperhatikan agar tidak terjadi pencampuran antara pipa air minum dan air buangan (cross connection). Syarat ini diperlukan agar tercapai aspek kesehatan, kenyamanan dan menyenangkan (convenience and comfort) pelanggan dan pengguna gedung.

Identik dengan pola desain sistem PAM kota, sistem PAM dalam gedung pun mengacu pada besaran sistem yang dipengaruhi oleh populasi dan kebutuhan per kapita. Populasi dalam gedung ini dapat berupa orang, tempat tidur, luas lantai, porsi makanan, hewan, dll. Dalam praktiknya, besaran sistem bisa ditetapkan oleh pemilik gedung atas saran perencananya, dihitung berdasarkan populasinya, atau diperkirakan dari kebutuhan maksimum gedung. Biasanya, untuk keamanan sistem dan kenyamanan orang di dalam gedung, kebutuhan air dilebihkan 20% dari nilai riil perhitungan desainnya.

Pola dan Karakteristik Sistem
Seperti dalam PAM kota, plambing juga memiliki tiga komponen sistem, yaitu sumber air, transmisi, dan distribusi. Selain PDAM, sumber air bisa dari air tanah atau air permukaan dengan pengolahan terlebih dahulu. Mana yang dipilih bergantung pada kapasitas yang dibutuhkan gedung dan ada tidaknya sumber air alternatif. Dalam satu gedung boleh jadi ada lebih dari satu jenis sumber air dengan pengolahan atau tidak.

Sistem transmisi di dalam gedung biasanya pendek saja, bergantung pada tinggi-rendahnya gedung. Dihubungkan dengan peran kapasitas dan tekanan sisa air PDAM, sistem plambing ini dibedakan menjadi dua, yaitu gedung atau rumah berlantai satu dan dua serta gedung berlantai lebih dari dua. Pada rumah berlantai dua, peran PDAM dalam penyediaan tekanan air untuk menaikkan air ke lantai dua menjadi besar. Apabila tekanan air PDAM cukup tinggi, minimal 1 bar atau satu atmosfer, maka semua alat plambing seperti WC, kran, wastafel, dll di lantai dua dapat disuplai langsung. Kalau pasokan air PDAM konstan selama 24 jam sehari, maka pelanggan atau pemilik gedung tidak perlu menyediakan tangki air di atas lantai dua karena tekanannya sudah cukup. Ini tentu menghemat biaya yang harus dikeluarkan oleh pelanggan.

Hanya saja, kondisi air bertekanan cukup ini jarang terjadi, kecuali di daerah-daerah tertentu yang dekat dengan pipa induk PDAM atau topografinya mendukung. Sering juga terjadi, tekanan airnya justru sangat tinggi sehingga airnya merembes dari sambungan pipa, bahkan merusak kran alat-alat plambing. Belum lagi masalah sisa klor (kaporit) yang bisanya relatif tinggi di daerah distribusi yang dekat dengan instalasi dan pipa induk PDAM. Opsi solusinya ialah dengan memasang filter karbon aktif. Rumah atau gedung yang kondisi seperti ini disarankan menampung airnya dulu di tangki air atas (roof tank) atau di tangki air bawah di tanah (ground tank) lalu memompanya ke alat-alat plambing atau ke roof tank. Dari tangki atas ini air lantas dialirkan secara gravitasi ke setiap alat plambing. Serupa dengan itu, PDAM pun bisa membangun beberapa tangki tinggi (elevated tank) di daerah distribusi dengan mempertimbangkan topografi dan jumlah pelanggannya serta proyeksi jumlah pelanggan pada masa depan sehingga tercapai kesetimbangan tekanan.

Pola sistem yang paling aman secara teknis bagi instalasi plambing adalah dengan menyediakan dua tangki air, yaitu tangki air bawah (ground tank) dan tangki air atas (roof tank) dengan volume total minimal 70% dari kebutuhan gedung. Volume tangki air bawah bisa 60 – 70 persen dari kebutuhan gedung, sedangkan volume tangki air atas antara 30 – 40 persen. Untuk gedung berlantai empat atau kurang, bisa saja tanpa tangki atas asalkan dipasang minimal dua pompa distribusi (1 aktif, 1 siaga) ke setiap lantai dengan tekanan sisa yang cukup untuk lantai paling atas dan tidak terlalu besar bagi lantai terbawah (basement dan lantai 1). Pemasangan seperti ini tidak membutuhkan katup pengatur tekanan (pressure regulating valve). Namun yang terbaik tentu saja dilengkapi dengan tangki atas karena secara hidrolis lebih stabil, lebih nyaman ketika listrik padam, dan lebih aman bagi lifetime kran-kran air.

Hal selanjutnya yang penting ialah headloss kritis yang terjadi di lantai teratas. Pada PAM kota, sebab utama kehilangan tekanan adalah major losses karena bentangan pipanya sangat panjang. Dalam sistem plambing, sebab utamanya ialah minor losses akibat banyak fitting dalam jarak yang pendek saja. Major losses dan minor losses di lantai teratas ini mempengaruhi ketinggian tangki atas, khususnya ketinggian permukaan air maksimum dan minimumnya. Variasi ketinggian muka air ini hendaklah mampu menyediakan tekanan sisa (residual head) di alat plambing yang paling kritis (biasanya paling jauh lokasinya dari tangki atas). Sisa tekanan di titik kritis ini tidak perlu terlalu besar, antara 2 s.d 3 meter kolom air saja sudah cukup. Kalau sisa tekanan ini sudah tercukupi maka dapat dipastikan sisa tekanan di alat plambing lainnya di lantai teratas juga tercukupi, termasuk lantai di bawahnya.

Yang juga perlu diperhatikan ialah efektivitas penempatan tangki atas agar tidak ada variasi sisa tekanan yang timpang antara satu ruang dan ruang lainnya, terutama ruang yang terjauh dari posisi tangki. Yang terbaik ialah ada kesetimbangan sisa tekanan di antara semua ruang agar semua pengguna fasilitas sanitasi di setiap ruang menjadi nyaman, sama persis dengan pola kesetimbangan sisa tekanan di sistem distribusi air PDAM. Dalam sistem PAM kota, maksud ini dapat dicapai dengan membuat elevated tank di beberapa lokasi sesuai dengan keadaan topografinya dan jumlah pelanggannya (serta proyeksinya). Bedanya, dalam sistem plambing, selain kesetimbangan horisontal, juga harus dipertimbangkan kesetimbangan vertikal antarlantai agar kenyamanan juga dinikmati oleh semua pengguna di setiap lantai. Yang sering menjadi masalah justru kesetimbangan sisa tekanan vertikal ini, terutama di gedung berlantai banyak (high rise building) sehingga harus dibuat beberapa pola sistem distribusi (zoning system) dengan perangkat mekanikal - elektrikal yang khusus untuk mengatur tekanan air.

Yang terakhir, tetapi penting, adalah menetapkan diameter pipa yang harus digunakan. Sama dengan sistem PAM kota, semua diameter yang harus dipasang hendaklah sudah dihitung dulu dengan menggunakan rumus-rumus baku dalam hidrolika, seperti formula Darcy-Weisbach, Hazen-William dengan nilai konstanta yang sesuai. Asumsi debit yang diterapkan ke dalam rumus adalah debit pada saat aliran puncak, jam puncak atau peak hour. Berbeda dengan sistem PAM kota yang biasanya menggunakan program perangkat lunak (software) seperti UNDP, Epanet atau secara manual dengan kalkulator untuk sistem distribusi yang sederhana, perhitungan diameter di dalam gedung biasanya menggunakan tabel-tabel. Tabel yang tersedia di antaranya ialah tabel beban (fixtures unit), tabel diameter yang dikaitkan dengan jumlah fixtures unit dan nomograf yang berisi informasi debit, kecepatan, headloss, dan diameter pipa. Dalam penerapannya ada sejumlah asumsi yang diambil dengan mempertimbangkan kelayakan sistem yang didasarkan pada pengalaman, baik yang ditulis di dalam buku-ajar maupun dari pengalaman pribadi perencana (konsultan).

Dalam sistem plambing ini, khususnya untuk gedung berlantai satu s.d empat, biasanya tidak membutuhkan kalkulasi yang rumit. Seorang arsitek pun bisa dengan mudah menetapkan sistem plambing tanpa bantuan sarjana teknik lingkungan, terutama yang berkaitan dengan diameter pipa. Berdasarkan pengalamannya, dalam beberapa kali pekerjaan plambing, arsitek akan dengan cepat menetapkan diameter pipa air minum. Di sisi lain, pada gedung berlantai banyak, yang sering berperan ialah sarjana teknik mesin dengan anggapan plambing adalah segmen pekerjaan M-E (mekanikal – elektrikal). Tidak salah memang, karena sarjana teknik mesin juga belajar mekanika fluida. Sebabnya, mungkin, adalah kepraktisan dalam bekerja dan ekonomis bagi konsultan dan kontraktor karena tidak perlu mempekerjakan dua orang sarjana.

Di bagian akhir tulisan ini penulis berharap agar sarjana teknik lingkungan dan jurusan teknik lingkungan di semua kampus lebih mengembangkan lagi segmen pasar kerja di bidang plambing ini. Ikatan alumninya (IATPI) juga hendaklah proaktif dan intensif menyebarkan image dan fakta bahwa anggotanya berkompeten dalam mendesain dan melaksanakan pekerjaan plambing. Alumni yang sudah punya ”nama” dan jabatan di pemerintahan, perusahaan swasta, BUMN, BUMD, janganlah diam saja apalagi acuh tak acuh pada pengembangan bidang teknik lingkungan karena eksistensi profesi ini bergantung pada peran alumninya juga. Ada tanggung jawab moral dan ilmiah di dalam sosok individu alumninya, apapun profesinya sekarang, asalkan ia adalah alumni teknik penyehatan atau teknik lingkungan.

Dengan demikian, suatu saat nanti, brand image atau persepsi orang terhadap produk plambing akan sama dengan brand image PDAM. Artinya, orang yang ingat PDAM, maka ia akan ingat pada sarjana teknik penyehatan dan lingkungan; saat ingat air limbah (pabrik, hotel, rumah sakit, dll), ia pun ingat sarjana teknik lingkungan, sama dengan orang yang ingat mobil, maka ia akan ingat sarjana teknik mesin, ingat rumah maka ia akan ingat arsitek. Semoga. *
ReadMore »

6 Juli 2011

Studi Sensus Domestik dan Reduksi Air Tanpa Rekening

Studi Sensus Domestik dan Reduksi Air Tanpa Rekening (Sebagai masukan untuk PDAM yang membutuhkan) 

Kehilangan air selalu terjadi di setiap jaringan pipa, tak hanya di PDAM tetapi juga di semua perusahaan air minum di seluruh dunia. Hanya tingkat atau persentasenya yang berbeda-beda. Namun demikian, istilah kehilangan air atau Unaccounted for Water, UfW ini sudah dihapus oleh IWA Task Force karena variasi interpretasinya terlalu luas sehingga tidak bisa dibuat perbandingan antarnegara atau tidak berlaku secara global, mendunia (Sumber: Water21, Allan Lambert, IWA Water Loss Task Force, 1996- 2001). 

Istilahnya telah diganti dengan sebutan Air Tanpa Rekening atau Air Tak Berekening (ATR) atau Non-Revenue Water (NRW). Ada banyak sebab kehilangan air (Water Losses menurut terminologi IWA Best Practice). Misalnya, karena kebocoran fisik (Real Losses) seperti pipa pecah, retak, sambungan tak ketat, juga karena kebocoran nonfisik (Apparent Losses) seperti pencurian air, kerusakan meter air, kesalahan (baca) data, dll. Selain itu, meskipun kecil persentasenya, ada juga akibat air tak berekening lantaran dipakai oleh pemadam kebakaran atau diberikan cuma-cuma (gratis) lewat kran umum. 

Kasus seperti ini dimasukkan ke dalam kelompok konsumsi resmi tak berekening (Unbilled Authorized Consumption). Jumlah Water Losses dan Unbilled Authorized Consumption disebut Non-Revenue Water (Air Tanpa Rekening, ATR). Tampaklah, konsep ini lebih luas cakupan maknanya ketimbang UfW di atas dan komparabel dengan negara lainnya. Kehilangan air dengan segala modusnya itu terjadi juga di PDAM Kota Bandung. Sekira 52% air produksinya masuk kategori ATR. Namun demikian, menurut hasil survei internal PDAM seperti tertuang dalam ToR-nya, kebocoran itu berada pada rentang 60-70% di Kel. Isola dan Ledeng, dua daerah yang dijadikan sampel dalam studi ini. 

Artinya, tingkat ATR di dua daerah tersebut lebih tinggi daripada angka reratanya. Andaikata bisa direduksi menjadi sama dengan reratanya sudah merupakan hal positif, apalagi lebih rendah daripada itu. Sebagai perbandingan, pada tahun 1989 tingkat ATR di Singapura 10,6%, menjadi 6% pada 1994 dan hanya 5% pada tahun 2000. Semua air produksi dan konsumsinya terukur akurat dan meter air produksinya ditera setiap tahun. Meter pelanggannya diganti setiap 7 tahun, meter industrinya setiap 4 tahun. (Sumber: Asian Water Supplies, Chapter 9: Non-Revenue Water). 

Di pihak Universitas Kebangsaan, keikutsertaan tim dalam tender Sensus Domestik dan Reduksi ATR ini dilatari oleh keinginan untuk memperoleh wawasan baru agar dapat merujukkan aspek teoretis dan praktis. Juga untuk menjalin kerja sama yang lebih luas pada masa mendatang agar peran kampus dapat dirasakan oleh PDAM dan masyarakat, khususnya pelanggan PDAM. Lewat peluang ini, UK membuka diri untuk bekerja sama dengan PDAM dan ESP dalam program penyuluhan masyarakat, misalnya pemberdayaan pelanggan, sosialisasi tarif baru atau perluasan sanitasi masyarakat perdesaan dan slum area di perkotaan, termasuk training pengolahan dan O-M instalasi paket, teknologi sederhana tepat guna dan seminar-seminar air.  

Tujuan 

Reduksi ATR adalah tujuan utama studi ini. Untuk memperolehnya digunakanlah pendekatan langsung, yaitu serveyor berkunjung ke setiap pelanggan dan penduduk di daerah studi. Fokus kunjungan ini ialah mencatat sejumlah poin yang sudah disiapkan dalam kuesioner, seperti mendeteksi dan supervisi perbaikan kebocoran pipa dan fitting, dan menduga lokasi terjadinya kehilangan air nonfisik (pencurian air, illegal connetion). Termasuk data potensi perluasan pelanggan yang mungkin berminat menjadi customer PDAM suatu saat kelak. 

Tujuan berikutnya, memperbaiki database pelanggan di daerah studi agar dapat digunakan oleh PDAM untuk meningkatkan kualitas layanannya, juga untuk meraih peluang perluasan (penambahan) jumlah pelanggan potensial. Sisi ini tentu berkaitan dengan raihan data dan gambaran akurat tentang kondisi sosial ekonomi warga di sana. Juga untuk menghitung persentase ATR dan mereduksinya sampai sekecil-kecilnya sehingga “air yang terselamatkan” dapat dijual kepada (calon) pelanggan baru. Penambahan pelanggan potensial ini akan dapat mereduksi ATR. Sebab, ada “aturan tak tertulis”, bahwa daerah yang rendah layanan PDAM-nya justru tinggi ATR-nya. Paparan Kegiatan Merujuk pada tujuan di atas, disusunlah rencana kegiatan. 

Daerah studi dibagi menjadi dua zone, yaitu Isola dan Ledeng. Keduanya menerima air dari BPT3 yang terletak di Jl. Sersan Bajuri. Dari BPT3 ini dipasang dua ruas pipa: yang pertama sepanjang kurang lebih 800 meter, melayani 26 konsumen (sambungan rumah, SR) di Cihideung; ruas kedua berupa pipa transmisi, berada di Jl. Sersan Sodik, sepanjang kurang lebih 3 km, berakhir di BPT5. Di BPT5 ini belum ada flow meter. Dari BPT5 ini air dialirkan ke Kelurahan Isola dan Ledeng (termasuk perumahan Dream Hill). Batas Selatan daerah layanan berada di Jl. Geger Kalong Girang untuk zone Isola dan Jl. Kapten Abdul Hamid (Panorama) untuk zone Ledeng. 

Dua zone tersebut lantas dibagi menjadi tiga subzone, yaitu daerah Utara (disebut subzone 1), daerah tengah (subzone 2), dan daerah Selatan (subzone 3). Masing-masing melayani sekira 300 SR. Menurut ToR, jumlah total pelanggan di dua zone studi tersebut 1.000 SR. Tak dijelaskan ada tidaknya kran umum di sana. Debit air yang dialirkan pipa transmisi sekira 40 l/d, dengan ATR antara 60% dan 70%. Dari sisi tekanan, terdeteksi reratanya lebih besar daripada 1 atm dan pasokannya 24 jam. Berdasarkan kondisi eksisting daerah servis itu dan untuk memperoleh data yang valid, maka perlu dilakukan survei lapangan. Sebaran rumah dan jumlahnya yang mencapai 3.000 unit membutuhkan waktu untuk mengumpulkan datanya. 

Dengan kalkulasi sederhana, diperkirakan waktu yang dibutuhkan untuk mengisi tiga lembar kuesioner yang tersedia sekira 30 menit. Ini demi ketelitian pencatatannya dan upaya antisipasi kalau sulit meminta izin kepada yang empunya rumah atau sedang tidak di tempat (terkunci). Kendala seperti ini juga ikut dipertimbangkan dalam survei. Dengan waktu kerja 8 jam sehari, dikurangi waktu untuk pindah lokasi/rumah, mencari rumah, dan jalan kaki, maka dalam sehari tersedia 7 jam sehingga jumlah responden yang bisa didata 14 unit. Kalau kegiatan ini dilaksanakan dalam waktu 30 hari kerja sesuai ToR, maka per surveyor akan dapat mengumpulkan 420 unit data responden. 

Jadi, untuk menangani 3.000 responden dibutuhkan 8 orang surveyor. Sambil survei, tenaga ini akan mengolah data lapangan sekaligus memverifikasinya agar tidak menyimpang dari data yang dikumpulkannya. Masukan data dan mengolahnya diperkirakan membutuhkan waktu 25 hari kerja yang dikerjakan bersamaan dengan hari survei (overlapping), seperti jadwal terlampir. Yang kedua ialah survey kebocoran dan sambungan liar (illegal connection). Ini terdiri atas dua bagian, yaitu bagian pertama berupa deteksi kebocoran dan supervisi perbaikannya serta survei ke pelanggan untuk melihat kondisi meter air, mengecek keakuratannya, dan audit bacaan meter airnya. Setelah itu dibuatkan analisis hasil kegiatan seperti tingkat reduksi ATR, distribusi tekanan sisa, dan analisis biaya, termasuk saran dalam sistem distribusi untuk meratakan sisa tekanan dan perataan debit yang sampai ke pelanggan.  

Tahap kegiatan  

A. Sensus Domestik. 

Mengacu pada ToR yang diberikan, ada tiga tugas utama, yaitu: A1. Pelatihan Surveyor. Trainernya adalah PDAM, ESP dan provider. Provider memberikan sesi “prosedur sensus”. Adapun PDAM dan ESP memberikan materi sesuai dengan tugasnya masing-masing. A2. Pelaksanaan Sensus. Menyensus sekitar 3000 responden di daerah studi dan mengontrol kualitas dengan bekerja sama dengan PDAM dalam hal verifikasi data. A3. Input dan Verifikasi Data Masukan data dan verifikasinya ke komputer dan program database-nya diberikan oleh ESP. Terakhir adalah penyusunan laporan sensus.  

B. Kegiatan Reduksi ATR. 

Kegiatan ini diharapkan selesai dalam 3-4 bulan, dengan rincian sbb:  

B1. Persiapan, Koleksi, Analisis Data Sekunder Menyiapkan rencana detil pekerjaan. Mengumpulkan dan menganalisis data sekunder, menghitung tingkat ATR yang ada, baik skala PDAM maupun skala pilot studi.  

B2. Pembentukan Pilot Zone Membantu PDAM merencanakan sistem zoning, memeriksa kondisi katup dan meter induk air yang terpasang, mengawasi perbaikan dan pemasangan katup/meter air dan test isolasi zone.  

B3. Pengukuran dan Survei Lapangan Provider melaksanakan tugas sbb: • Pengukuran “minimum night flow”, “pola aliran”, dan “tekanan air” di lokasi zone selama 2 x 24 jam (2 kali pengukuran). • Mengukur konsumsi air konsumen, 2 x 24 jam (2 kali pengukuran). • Mengukur tekanan air di 8 titik di pilot zone selama 2 x 24 jam (2 kali pengukuran). • Memimpin dan memberikan dukungan pada pencarian kebocoran. • Memimpin pelaksanaan step test. • Mensupervisi perbaikan kebocoran. • Menginspeksi ke sekitar 350 pelanggan PDAM untuk memeriksa kemungkinan kebocoran pada pipa dinas dan untuk mengukur akurasi meter air dan mendeteksi sambungan ilegal. • Mengaudit 40% meter air. • Jika diperlukan, lakukan pengukuran minimum night flow tambahan 1 x 24 jam (maksimum 2 kali).  

B4. Analisis dan Laporan • Menganalisis Water Balance nol (sebelum pelaksanaan program) dan Water Balance satu (setelah pelaksanaan program). • Menganalisis hasil program ATR, termasuk tingkat ATR-nya, tekanan air dan cost benefit analysis. • Menyiapkan laporan akhir. B5. SOP dan On the Job Training • Menyiapkan SOP pelaksanaan ATR • Melaksanakan On the Job Training. Berkaitan dengan pelaksanaan survei tersebut, provider harus menyediakan spesialis ATR dan PDAM menyediakan peralatan dan material lainnya. Yang berkaitan dengan sumber daya manusia (SDM) dapat dilihat pada subbab Personalia di bawah.  

Strategi Implementasi 

Strategi implementasi merupakan uraian tata-cara survei yang tetap mengacu pada Jadwal Kegiatan terlampir. Secara garis besar, berikut ini diberikan poin-poinnya sebagai kerangka (frame) dalam melaksanakan tugas demi kelancaran survei. Telah disebut di atas, dibutuhkan 8 surveyor untuk menyensus properti dan penghuni daerah studi selama 30 hari kerja. Sambil menyensus, mereka membuat input data dan mengolahnya dalam bentuk tabel dan grafik. (Apabila diinginkan waktu kerja yang lebih cepat atau singkat, maka jumlah surveyor bisa diperbanyak). Pengarahan sensus atau prosedur kerjanya diberikan oleh provider. Setiap hari, surveyor mendata properti di daerah studi dengan target minimal yang ditetapkan sebelumnya, yaitu 14 rumah (kalkulasinya sudah ditulis di atas). 

Sesuai dengan ToR, khususnya Appendix 2, maka perlu pengurusan surat menyurat kepada pemerintah kota, kecamatan, kelurahan, RW dan RT. Perlu diperoleh peta daerah studi dan/atau data lokasi rumah yang akan disurvei. Data ini harus jelas agar menghemat waktu ketika pelaksanaan survei. Alamat rumah dan posisi pelanggan dapat dibantu oleh PDAM yang sudah memiliki basis data. Dari paket alamat ini, dikelompokkanlah daerah survei untuk setiap surveyor. Misalkan ada 8 RW (dengan asumsi jumlah propertinya merata), maka setiap surveyor akan bertanggung jawab pada satu RW saja. Pembagian daerah survei juga bisa dilakukan dengan acuan pada jumlah propertinya sehingga bisa terjadi lintas RW. 

Tetapi tetap diupayakan agar jarak rumah/properti itu saling berdekatan untuk satu surveyor. Agar terlaksana sesuai dengan program, setiap surveyor akan diminta membuat target responden yang lebih besar daripada 14 unit. Misalnya, 15 atau 16 unit. Ini dilakukan untuk antisipasi rumah yang tak ada penghuninya (sedang pergi, terkunci, sedang bekerja, dll). Kalau terjadi “gagal-temu”, yaitu pemilik rumah tak ada atau terkunci terus, maka surveyor hendaklah mencari informasi (misal ke tetangganya) untuk mengira-ngira kapan sang pemiliknya datang lagi. Kasus seperti ini hendaklah ditulis dalam buku khusus agar tidak terlupakan (jika tak dicatat, bisa saja terlupakan kalau dalam satu bulan pemilik rumah tidak ada terus, sementara surveyor sudah mendata rumah lainnya yang jauh letaknya dari rumah kosong itu). 

Koordinasi surveyor dilakukan setiap hari di “kantor” yang akan ditetapkan. Tempat ini dijadikan pusat pertemuan, briefing harian, dan pusat pengolahan data. Setiap kelurahan dikoordinir oleh seorang penanggung jawab. Selain survei, penanggung jawab kelurahan juga bertugas menerima dan mengecek berkas survei dari setiap surveyor di dalam kelompoknya. Apabila lengkap, tak ada rumah yang terlewatkan, barulah diberikan kepada bagian administrasi untuk ditik dan dibuatkan laporannya. Setiap tiga hari sekali diadakan rapat gabungan di “kantor” untuk mendata kesulitan dan masalah selama survei yang ditemukan oleh setiap surveyor. 

Semua kejanggalan dan kesulitan survei dipaparkan di depan team leader dan dicarikan solusinya. Berkaitan dengan upaya pembuatan sistem zoning, perlu dipelajari dulu topografi dan kondisi debit dan sisa tekanannya. Ini pun baru dapat dilaksanakan kalau sistem pemipaannya sudah berupa loop dengan sesedikit mungkin dead end. Dengan kata lain, pembuatan zoning system mengacu pada kondisi lapangan dan rencana PDAM untuk meluaskan atau mengembangkan daerah distribusi di pilot area tersebut. Sesi pengukuran “minimum night flow”, menurut ToR, dilakukan dua kali. Sesuai dengan istilahnya, kegiatan ini dilaksanakan pada malam hari dan diharapkan bisa diperoleh data debit minimumnya. 

Variasi dan fluktuasinya dapat dibandingkan dengan kondisi siang hari atau pada jam-jam puncak dan digunakan sebagai penduga terjadinya konsumsi ilegal. Jika dianggap perlu, pengukuran bisa ditambah satu kali lagi dengan prosedur yang sama (menurut ToR, maksimum dua kali). Pengukuran juga dilaksanakan untuk mengetahui pemakaian air oleh konsumen. Ini pun dilaksanakan dua kali. Surveyor mengukur pemakaian air pelanggan dengan mencatat meter airnya pada rentang waktu yang sama. Informasi ini akan memberikan dugaan pemakaian air konsumen secara rerata per hari yang juga dapat memberikan gambaran konsumsinya per bulan, baik individual maupun perkiraan komunal (Isola dan Ledeng). 

Perlu disepakati dengan PDAM rentang waktu yang tepat dan mewakili kondisi fluktuasi air di daerah studi. Menurut ToR, diperlukan 40 orang surveyor untuk kegiatan ini. Berikutnya adalah mengukur tekanan air. Dilakukan di 8 titik selama 2 x 24 jam (2 kali pengukuran). Peralatan disediakan oleh PDAM yang memang sudah rutin mengukur tekanan sisa (residual head) di sistem distribusinya. Begitu pun alat untuk mengetahui posisi kebocoran, dipinjam dari PDAM (listening stick). Kalau tidak ada, maka poin sewa alat ini hendaklah dimasukkan ke dalam proposal biaya. Aktivitas step test dan deteksi serta reparasi kebocoran dipimpin dan diawasi oleh provider. 

Kegiatan yang perlu lebih diperhatikan adalah inspeksi ke 350 pelanggan PDAM. Lokasi rumah yang dipilih bisa ditetapkan bersama dengan PDAM. Maksud kegiatan ini adalah memeriksa secara seksama kemungkinan kebocoran pipa dinas, mengukur akurasi meter airnya dan kemungkinan adanya konsumsi ilegal. Juga kegiatan audit 40% meter air di daerah studi. Kegiatan lainnya ialah analisis Water Balance zero atau Neraca Air nol. Ini dibuat pada tahap awal, sebelum survei dilaksanakan. Analisis serupa dilakukan untuk Neraca Air satu (Water Balance one). 

Neraca Air nol (NA0) dibandingkan dengan NA satu NA1). Hasilnya adalah selisih (delta) yang akan dianalisis secara teknis dan biaya keuangan). SOP dan On the Job Training juga disiapkan oleh provider dan pelaksanaannya dibahas dengan PDAM. Pada dasarnya, semua kegiatan dapat dibahas bersama dengan PDAM agar diperoleh hasil survei dengan validitas data yang tinggi. Malah PDAM sebagai pihak yang “menguasai” lapangan hendaklah memberikan data dan masukan yang berguna agar studi yang dilaksanakan oleh provider menjadi efisien dan efektif, mengenai sasaran yang diharapkan.

ReadMore »

5 Juni 2011

Hutan Penyangga Kehidupan

Hutan Penyangga Kehidupan
Oleh Gede H. Cahyana

-----------------------------------------------------------------

Tema peringatan Hari Lingkungan Dunia (World Environment Day) pada Juni 2011 ini adalah Forests: Nature at Your Service dengan dukungan dari UN International Year of Forests. Di Indonesia, Kementerian Lingkungan Hidup merilis tema turunan dari UNEP, yaitu Hutan Penyangga Kehidupan. Karena sifatnya menyangga (buffer) maka perannya menjadi penting ketika terjadi perubahan lingkungan yang dimulai dari pergeseran dan gesekan antarspesies di dalam komunitas hutan. Pertanyaannya, cukupkah hutan di Bumi ini untuk menyangga dan memberikan layanan sinambung kepada manusia dan hewan? Mari disimak dulu komentar Persson (1974), “Banyak orang tahu tentang bulan tapi tak tahu luas hutan di bumi. Intinya, the world (forest) is not enough.

Tidak bisa disangkal, hutan adalah areal penting dalam hidup manusia dan hewan yang perannya dapat dipahami dari siklus hidrologi. Esensi hutan ialah penjaga kesetimbangan antarnusia dan makhluk hidup lainnya yang juga dipengaruhi oleh makhluk takhidup (abiotik). Fungsi itu dapat tercapai apabila hutan tetap terjaga kelestariannya. Wajarlah ada ungkapan di Tatar Sunda, yaitu Leuweng ruksak, cai beak, manusa balangsak: hutan gundul, air habis, manusia menderita. Penderitaan manusia ini sudah terbukti dalam skala global.

Fakta lainnya, menurut The World Bank, 900 juta orang di 100 negara menghadapi masalah desertifikasi (penggurunan hutan) disebabkan oleh interaksi kompleks antara faktor fisika, biologi, politik, sosial, budaya dan faktor ekonomi dengan kerugian mencapai US $42,3 miliar per tahun. Disinyalir, tahun 2025 nanti desertifikasi akan dirasakan oleh 1,8 milyar orang. Karena sejak tahun 1960 lebih dari 1/5 hutan tropis hilang dan laju kehilangan hutan tropis pada dekade 1970 sebesar 11,3 juta ha per tahun meningkat menjadi 15,4 juta ha per tahun pada dekade 1980-an. Di Indonesia, menurut International Union Concervation for Natural (IUCN), kerusakan hutan di Indonesia mencapai 2,4 juta ha/tahun dan kini tinggal 70 juta ha atau hanya 50%-nya.

Selanjutnya, keragaman hayati (biodiversity) daratan yang punah mencapai lebih dari 80% akibat pembukaan hutan dan pembakaran/kebakaran yang menyumbang 30% sumber emisi karbon atmosfer. Hal itu terjadi karena siklus bakar selalu terjadi di semua belahan Bumi. Di Indonesia, bencana nasional dengan taraf siaga satu telah mengganggu kenyamanan hidup 20 juta orang dengan taksiran kerugian 4,4 miliar dollar AS. Pertanyaan menggelitik lainnya, setelah sadar hutan sebagai penyangga kehidupan, lantas apa dan bagaimana tindakan pemerintah dan masyarakat (dunia bisnis hutan) agar hutan tidak drastis berkurang? Kebakaran dan pembakaran hutan tetap saja terjadi dan ini mengancam ekosistem hutan hujan tropis yang kaya dengan keragaman hayatinya. Kebakaran (pembakaran) hutan layak dimasukkan ke dalam skandal nasional, menjadi cause celebre, karena tindakannya tak bertanggung jawab, melawan konsep ecodevelopment, merugikan ekonomi dan kesehatan rakyat. Juga mempercepat pemanasan global akibat gas CO2. Karena itu, pelakunya dikategorikan sebagai teroris lingkungan.

Penyiksaan Hutan
Hutan yang dalam dunia pewayangan diekspresikan sebagai “gunungan” adalah lambang kemakmuran, gemah ripah loh jinawi. Fungsi estetika, dekoratif dan sosioekologinya mempengaruhi eksistensi manusia. Sebaliknya, manusia pun mempengaruhi kondisi lingkungan hutan, ada saling kebergantungan. Di antara manfaat hutan yang paling terasa adalah sebagai sumber pangan dan papan (perumahan). Visualisasi keindahannya dipertegas lagi oleh keajaiban mekanisme reproduksi hewan-hewannya yang berpasangan jantan-betina.

Interaksi historis hutan, bagai baju dan ornamen bumi, kaya dengan dinamika populasi, sangat kompleks bahkan acap bertentangan (ambivalen). Di satu sisi, perannya sebagai sumber daya kehidupan (resources) tetapi di lain sisi sering dianggap perintang (obstacle), dikhawatirkan menjadi kendala dalam kesejahteraan. Pembabatan hutan untuk pertanian, perkebunan dan permukiman adalah beberapa contohnya. Juga sering muncul konflik antara pemanfaatan hasil hutan dengan fungsi konservasi flora- fauna untuk riset obat-obatan dan rekreasi.

“Penyiksaan” hutan dalam wujud deforestasi, sebuah trend dominan di hutan tropis, sudah berjalan ribuan tahun sejak ditemukannya cara bertani dan berkebun. Sekelompok masyarakat yang homogen dalam perilaku sosial budaya, memiliki perspektif khas terhadap hutan. Model peladangan berpindah adalah satu fenomena yang masih berlangsung, dianut taat oleh sebagian suku di Indonesia. Cara pandangnya berasumsi bahwa hutan, sebagai bagian kehidupan, menjadi milik bersama dalam tradisi komunal kesukuan (tribalisme). Warga boleh mengambil manfaat dari semua komponennya tetapi dilarang keras merusaknya.

Secara temurun, para peladang berpindah itu memiliki kearifan yang tinggi, tidak serakah dan hanya untuk kebutuhan primer (subsistence goals). Selain itu, persepsi terhadap animisme dan dinamisme atau pada kalangan beragama yang percaya pada kekuatan supranatural atau mistik ikut melestarikan fungsi hutan. Mereka takut menjamah (apalagi merusak) daerah yang dianggap keramat berpohon besar atau ada satwa yang dianggap titisan dewa. Beberapa karakter itulah yang mendukung mereka dalam pemulihan (recovery) hutan.

Selanjutnya, perkembangan populasi manusia memperberat “penyiksaan” terhadap hutan. Itu terjadi karena manusia memerlukan lahan dan fasilitas perekonomian. Di antaranya berupa kebutuhan permukiman (daerah transmigrasi), perkebunan (sawit, karet) dan industri kayu (timber) dan yang berbasis kayu. Juga perubahan struktur sosial, pergeseran nilai budaya dan gaya hidup peladang yang terimbas westernisasi adalah kontributor peladangan yang destruktif.

Satu dampak perubahan pola peladangan dan konsep kepemilikan hutan yang menjadi causa prima kerusakan hutan dan lahan adalah pembakaran hutan. Awalnya hanyalah untuk membuka areal pinggiran hutan. Namun kondisi cuaca dan hembusan angin mengakibatkan terjadinya perluasan wilayah bakar. Faktor pendukung yang lain adalah kondisi geologi hutan (batubara), gunungapi dan peristiwa alam (jarang terjadi di daerah tropis) seperti kilat. Juga gesekan ranting dan daun kering saat kemarau. Tentu penyebab terbesar adalah pembukaan lahan dengan pembakaran.

Kepemilikan Hutan
Tentang kepemilikan ini (ownership), ada baiknya kembali ke spirit yang diilustrasikan oleh pasal 33 UUD 1945 ayat 3. Bahwa negara, empunya hutan, wajib memanfaatkannya untuk kemakmuran rakyat Indonesia. Dengan gamblang tanpa perlu penafsiran panjang dinyatakan bahwa hutan adalah milik negara (state ownership). Seperti tambang, dalam pemanfaatannya negara boleh melakukan kerjasama dengan perusahaan swasta (domestik atau asing) yang punya modal dan teknologi. Sebetulnya, spirit pasal ekologi di atas adalah menjadikan hutan sebagai milik bersama (common property). Kepemilikan komunal dengan kepemilikan negara seperti dua sisi mata uang, tidak dapat dipisahkan. Walaupun dari sisi historis, objek kepemilikan tersebut berbeda. Tujuan kepemilikan komunal atau kesukuan yang sudah berlangsung berabad-abad hanyalah konsumtif belaka sedangkan orientasi negara (state ownership) lebih luas lagi meliputi ekonomi global, proteksi lingkungan, riset dan preservasi.

Dari sisi peraturan, sebenarnya pemerintah telah memiliki perangkat hukum yang cukup. Paling tidak, sejak Konferensi Stockholm tersebut, produktivitas pemerintah pusat dan daerah sangat tinggi dalam merilis peraturan. Namun kesulitan penegakannya mungkin karena ada tarik ulur berbagai kepentingan. Saling lempar tanggung jawab. Bahkan diisukan justru aparat penegak hukumnya yang lemah. Mereka melecehkan etika lingkungan dan menganggap sepi bahaya yang akan muncul. Dengan alasan pertumbuhan ekonomi, tindakan hukum terhadap pelanggaran dinomorduakan. Penegakan hukum berada di simpang jalan, ragu mengambil arah pasti.

Sekali lagi, survivalitas hutan sangat bergantung pada kontrol dan regulasi. Berbagai kebijakan yang tertuang di dalam perundang-undangan harus dijamah dan ditegakkan (enforcement) untuk mewujudkan pentaatan hukum (compliance). Diperlukan penaatan hukum yang kredibilitasnya tinggi dengan peraturan yang jelas dan tegas. Ada konsistensi sanksi, adil dan ada kemauan politik penguasa dan pengusaha. Setiap keputusan perlu mempertimbangkan aspek ekonomi dan sosioekologi karena masyarakat selalu terpojok menderita social cost yang besar termasuk kenyamanan hidup.

Akhir kata, setiap orang punya hak atas hutan. Ia boleh dieksploitasi namun harus tetap berada di dalam daya dukungnya agar mampu menyangga kehidupan. Fungsi kontrol dan manajemen sumber daya dijalankan dengan pendekatan integratif multidisiplin sehingga eksploitasinya tidak destruktif. Masyarakat dilibatkan dalam fungsi kontrol karena ia menjadi subjek sekaligus objek. Maka, setujukah Anda jika hutan adalah titipan dari anak-cucu kita?*

Penulis, dosen Teknik Lingkungan Universitas Kebangsaan, Bandung.
ReadMore »

31 Mei 2011

Etika Terhadap Lingkungan

Menguatkan Etika Terhadap Lingkungan
Esensi Opsi Solusi, Konservasi Air dan Pengelolaan Sampah
-------------------------------------------------------------------------------

Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) merilis data sbb: sekitar 200 juta orang tidak memiliki sumber air bersih yang layak diminum, 350 juta orang tidak punya fasilitas sanitasi dasar yang sangat dibutuhkan, dan satu milyar orang tidak punya sistem pengelolaan sampah. Buruknya sanitasi dan penyediaan air minum itu meningkatkan kematian bayi/anak dan mengurangi umur harapan hidup. Data lain menyebutkan 1,3 milyar orang hidup tanpa air bersih dan 2 milyar tanpa sanitasi dasar (air limbah dan sampah). Bagaimana di Indonesia? Bagaimana di Kota Bandung?

Bagai gelindingan bola salju, isu lingkungan terus membesar dan meluas. Agama-agama besar di dunia sejak Deklarasi Stockholm pada Juni 1972 diarahkan untuk membantu menopang kesadaran pelestarian fungsi lingkungan melalui eksplorasi ajarannya. Ajaran agama dianggap mampu memperkuat kesadaran manusia untuk melestarikan fungsi lingkungan dan memperkaya konsep hukum kesinambungan ekologi. Selain peraturan, hukum dan undang-undang sekuler, juga perlu kesadaran otentik dari relung batin manusia berupa nilai-nilai etika, moral, akhlak menurut agama. Agama tidak hanya berkutat pada hal-hal spiritual transenden tetapi juga beranjak ke aspek riil pemeluknya. Dengan nilai-nilai etika manusia akan memiliki kemampuan untuk mengatasi masalahnya tanpa merusak keharmonisan dengan lingkungan.

Telah tampak kerusakan (lingkungan) di darat dan laut karena ulah manusia.
(Ar Ruum: 41)

“Krisis lingkungan terjadi bukan karena pengembangan sains dan teknologi, melainkan hasil dari sikap mental dan moral manusia serta life-style dunia modern”, kata E.F. Schumacher.

Dua kutipan di atas merujuk pada satu materi yang sama, yaitu Bumi dalam arti lingkungan, atau lebih khusus lagi ialah darat (termasuk udara) dan laut. Rujukan itu pun menegaskan kaitan antara komponen lingkungan abiotis: air, tanah (Bumi) dan biotis (makhluk hidup) yang merangkaikan tiga mata rantai peringatan, yaitu Hari Air (22 Maret), Hari Bumi (22 April), dan Hari Lingkungan (5 Juni). Berbicara tentang lingkungan berarti bicara tentang tiga komponen utama Bumi, yaitu tanah, air dan udara. Ketiganya tak dapat dipisahkan dari hidup manusia dan memiliki relasi timbal balik dengan manusia.

Tanah (Bumi) penting, air penting, udara juga penting. Ketiganya menjadi kekuatan bagi makhluk hidup karena sangat bernilai. Kata “nilai” atau value air misalnya, menurut Vandahana Shiva, berasal dari bahasa Latin valere yang artinya “menjadi kuat atau patut”. Air adalah kekuatan bagi makhluk hidup. Orang dan binatang akan mencarinya ke mana saja, di mana saja dan dengan kekuatan apa saja, termasuk kekuatan senjata alias perang. Film Water World yang dibintangi Kevin Kostner berintikan perjuangan merebut tanah dan air tawar. Begitu besar kekuatan air dan tanah (udara) itu sampai-sampai di tatar Sunda, Jawa Barat ada kata-kata hikmah: leuweung ruksak - cai beak - manusa balangsak, hutan hilang - air habis – manusia menderita.

Selain di tatar Sunda, kearifan lokal yang dapat melestarikan fungsi lingkungan air, tanah, dan udara juga dimiliki oleh komunitas masyarakat lain. Tradisi ujung ladang masyarakat Melayu Sumatera Utara misalnya, selalu berwawasan lingkungan kalau akan membuka hutan. Meski menebang pohon dan membabatnya, selalu ada vegetasi pelindung yang tersisa. Pola seperti ini membantu menahan tanah agar tidak erosi atau merusak tanaman. Begitu juga Suku Dayak di Kalimantan, mereka punya tradisi Nyaang. Mereka biasa membuat lajur isolasi pada ladang atau ketika membabat hutan untuk melokalisir kebakaran. Yang lainnya, awig-awig di Bali yang melarang menebang pohon (biasanya pohon bunut atau beringin). Kemudian, tradisi sasi di Saparua Maluku berlaku di darat atau di laut atas komoditas yang haram dieksploitasi untuk waktu terbatas. Semuanya adalah kearifan tradisional masyarakat yang sering dianggap awam atau ketinggalan zaman oleh orang kota yang justru sebagai perusak lingkungan.

Tampak bahwa kerusakan lingkungan, krisis air, tanah kritis, dan polusi udara terjadi karena perilaku manusia telah menyimpang dari tujuan penciptaannya sebagai insan pengelola Bumi. Mengubah cara pandang dan perilaku manusia terhadap lingkungan tentu tidak mudah. Beberapa perilaku yang harus diubah untuk menangani krisis lingkungan dunia modern, yaitu:
a. Bahwa alam semata-mata untuk manusia sehingga boleh sewenang-wenang.
b. Bahwa manusia adalah sumber semua tata nilai yang ada (antroposentris).
c. Bahwa kesuksesan hanya diukur dari materi.
d. Bahwa sumber daya materi dan energi tidak terbatas.
e. Bahwa produksi dan konsumsi barang dapat meningkat terus tanpa batas.
f. Bahwa tidak perlu beradaptasi dengan lingkungan karena ada sains - teknologi.

Dengan demikian, dapatlah disebutkan bahwa perilaku, etika atau akhlak menjadi opsi solusi dalam konservasi lingkungan: air, tanah, udara. Manusia perlu beretika terhadap air, tanah, udara karena hidup manusia bergantung kepadanya. Air misalnya, biasa digunakan untuk bebersih dan minum. Tubuh manusia 65 – 75% terdiri atas air. Tidak seperti planet lainnya, dua pertiga muka Bumi ini ditutupi air (danau, waduk, sungai, laut). Ada yang digunakan untuk pembangkit listrik, transportasi, rekreasi, olah raga, perikanan, dan sumber air baku untuk air minum.

Air itu sumber hidup (sakral). Tingginya kesakralan air tampak dari ungkapan ini: tirtha nirmala, tirtha kamandalu, amrta njiwani (Sansekerta), maaul hayat (Arab), nectar-ambrosia (Yunani), the elixir of life, the liquid of life (Inggris), air suci (Indonesia). Tapi jauh sebelum ini, pada masa silam nilai spiritual atau pendewaan air telah luas dikenal. Di Prancis, di dekat Sungai Seine, ada kuil suci untuk Dewa Sequana. Sungai Marne asal-usul namanya dari Matrona yang artinya Dewi Ibu. Cikal nama Sungai Thames di Inggris ialah Tamesa atau Tamesis yang terkait dengan makna ketuhanan. Sungai Nil di Mesir tak lepas dari Fir’aun dan Nabi Musa. Adapun Sungai Amazon di belantara Brasil, Amerika Latin dihuni suku pemulia dewa-dewi. Sungai Euphrates dan Tigris di Irak dihormati kaum Babylonia dan Mesopotamia.

Dalam agama Hindhu air digunakan untuk bebersih setiap hari, sebagai bagian dari kewajiban. Lihatlah betapa ritus Kumbh Mela dipadati 30 juta orang. Gangga, sungai tempat ritus itu bahkan dinobatkan dengan 108 nama-nama indah. Tempat sucinya, yaitu kuil banyak dibuat di dekat sumber air, mata air atau sungai. Berikut adalah komentar Dr. F.C. Harrison yang dikutip Shiva. “Menurut fakta yang janggal, yang belum pernah dijelaskan secara memuaskan, adalah begitu cepatnya (tiga sampai lima jam) kuman kolera mati di Sungai Gangga. Ketika seseorang mengingat banyaknya kotoran yang dibuang para penduduk, yang sering merupakan penderita kolera, dan ribuan penduduk yang mencebur ke sungai, tampak sungguh luar biasa bahwa kepercayaan orang Hindhu, bahwa sungai ini memiliki air yang murni dan tidak bisa tercemar dan mereka bisa dengan aman meminum airnya dan mandi di dalamnya, bisa dibuktikan dengan alat penelitian bakteriologi modern”. Tak heran, lanjut Shiva, masyarakat India begitu sayang pada Sungai Gangga dan sungai-sungai lainnya dan percaya jika sungai-sungai itu memiliki kekuatan misterius.” Bagaimana di Indonesia? Bagaimana Citarum?

Di Bali, pemeluk Hindu tak bisa dipisahkan dari air. Di setiap tempat dan masa perayaan hari agama selalu saja disertakan air. Air ini, bagi penganut Hindu di Pulau Dewata adalah air suci yang dinamai tirta. Selain dikibas-kibaskan atau dipercikkan ke kepala peserta ritual oleh pemimpin prosesi (Bali: pedanda, mangku) air itu pun didekatkan ke mulut sambil dicicipi. Simbol air sebagai sumber hidup. Luar biasa. Dalam Agama Kristen-Katolik, air digunakan dalam upacara baptis. Lokasi baptis dan gereja biasanya dipilih dekat dengan mata air atau ada sumber air. Dalam agama Budha, air dilibatkan dalam proses pemakaman. Yahudi juga menggunakan air dalam ritual mandi atau Mikveh khususnya pada hari Jumat atau sebelum perayaan besar. Perempuan Yahudi juga wajib Mikveh sebelum menikah dan setelah melahirkan dan menstruasi.

Dalam Islam air dinyatakan sebagai sumber segala yang hidup (Al Anbiyya ayat 30: “dan dari airlah Kami jadikan segala sesuatu yang hidup”. Air dibutuhkan dari hari ke hari, jam ke jam. Intensitas kata yang terkait dengan air itu mencapai 63 kali, tulis Othman dan Doi dalam jurnal Thought and Scientific Creativity di bawah judul Islamic Principles of Environment and Development. Tentu saja air di atas bisa juga ditafsirkan sebagai komponen utama dalam siklus hidrologi yang melestarikan fungsi Bumi dan menguatkan eksistensi kekhalifahan manusia atas makhluk lain, biotik dan abiotik. Esensi khalifah ialah memimpin, yakni pemimpin yang melayani, yang dalam istilah Danah – Zohar disebut the servant leader (pemimpin pengabdi). Artinya juga, manusia harus melayani lingkungan dengan cara beretika mulia, akhlak karimah.

Komponen lingkungan berikutnya adalah tanah. Tanah (debu) pun penting bagi manusia; bagi muslim digunakan untuk tayyamum ketika tidak ada air atau saat sakit. Dalam ritual wudhu dan tayyamum itu besarlah peran air dan tanah (debu) sehingga tercelalah apabila manusia mencemari airnya dan menggurunkan tanahnya dengan cara membabat hutan. Oleh sebab itu, perusak lingkungan bisa disebut teroris karena meneror kenyamanan hidup manusia, hewan dan tumbuhan. Para pembalak liar (illegal logging), sebagai misal, harus dihukum berat agar memberikan efek jera bagi pelaku lainnya. Dampak teroris lingkungan disebut dalam ar-Ruum: 41. Ayat ini mengulas kerusakan lingkungan akibat ulah manusia, secara perorangan maupun kelompok, dalam lingkup kecil maupun besar. Akibatnya, Bumi disesaki sampah, limbah cair, dan polutan udara.

Mengapa etika menjadi esensial dalam memberikan solusi bagi lingkungan (air, tanah, udara)? Karena manusia sulit dipisahkan dari planet Bumi dan tak mungkin bisa hidup di planet lain tanpa alat bantu oksigen. Jangankan di planet lain yang berada di lain tatasurya dan lain galaksi, di planet Mars saja belum ada manusia yang mampu hidup dengan alat-alat bantu sekalipun. Artinya, manusia memang dijadikan khalifah di Bumi dan dari planet inilah manusia harus mengabdi kepada Tuhannya. Salah satu caranya, bisa dengan Pendidikan Lingkungan Hidup (PLH) yang lebih menitikberatkan pada aspek afektif-psikomotorik, bukan kognitifnya.

Sekali lagi, esensi konservasi lingkungan (air, tanah, udara) tak lain adalah etika terhadap lingkungan. Alasan terkuatnya, manusia berasal dari tanah dan akan kembali menjadi tanah. Sumber makanan manusia, hewan dan tumbuhan, pun tak lepas dari tanah. Bahkan Bumi dideklarasikan sebagai tempat mengabdi bagi manusia. Begitu bernilainya Bumi, tak kurang dari 461 kali Allah menyebutnya di dalam Qur’an. Uniknya lagi, Bumi ini kaya tanaman. Hamparan hutan dan kebun berbunga aneka warna diibaratkan dengan pakaian indah dan harum bagi Bumi (ar-Rahman: 11-12). Qur’an pun menjelaskan fungsi estetika dan dekoratif tanaman bagi manusia. Keindahannya tak hanya secara visual tetapi lebih dari itu, mekanisme reproduksinya berpasangan secara seksologi (ar-Ra’du: 3), ada jantan, ada betina.

Selanjutnya ialah tentang keragaman (biodiversitas) binatang atau ternak (berkaki dua: unggas; berkaki empat: sapi, kuda, kerbau, unta, domba) yang menjadi ornamen Bumi. Ada yang digunakan untuk kendaraan, penggembala, dimakan atau dinikmati keindahannya. Binatang yang ‘menjijikkan’ seperti ular dan cacing yang berjalan dengan perutnya pun diciptakan Allah (an-Nuur: 45).Variasi cara berbiaknya (reproduksi) pun mencirikan keagungan Penciptanya.

Oleh sebab itu, demi mengurangi krisis air dan agar bencana lingkungan tidak meluas wajiblah kita mengelola sumber daya alam, sumber daya manusia dan sumber daya moral (etika, akhlak) agar kita (manusia) tidak berubah dari the best (terbaik, yakni bani Adam) menjadi the beast (buas, iblis). *


Daftar Pustaka

Al Qur’an al Karim.
1. Cahyana, G., H., PDAM Bangkrut? Awas Perang Air, Sahara Golden Press, 2004.
2. Mangunjaya, F., Konservasi Alam Dalam Islam, Yayasan Obor Indonesia, 2005.
3. Purwanto, A., Ayat-Ayat Semesta: Sisi-sisi Al Quran Yang Terlupakan, Mizan, 2008.
4. Shiva, Vandhana, Water Wars, Insist Press - Walhi, 2003.
5. Sunardi, Ph.D., Perlindungan Lingkungan: Sebuah Perspektif - Spiritualitas Islam, PSM Ilmu Lingkungan Univ. Padjadjaran, 2008.

Makalah ini disampaikan dalam Seminar Nasional untuk memperingati Hari Air dan Hari Bumi, dan menyambut Hari Lingkungan, 5 Juni 2011: The Smiling Earth, Jurusan Teknik Lingkungan, Universitas Kebangsaan, Bandung, Sabtu, 28 Mei 2011.
ReadMore »

5 April 2011

Air Limbah di Kota Bandung: Sebuah Catatan

Berita yang dirilis Pikiran Rakyat tentang 3.000 sambungan baru air kotor di Kota Bandung bagai air “bersih” yang menyegarkan bagi warga Bandung. Pasalnya, sudah lama warga yang dekat dengan akses pipa lateral sistem penyaluran air limbah (SiPAL) Kota Bandung mendambakan layanan dari PDAM Sektor Air Kotor (limbah).

Kalau dihitung sejak pencanangan BUDP pada awal 1980-an, maka ada rentang 30 tahun atau satu generasi untuk menikmati layanan air kotor PDAM Kota Bandung. Tak hanya itu, ada sejumlah warga kota yang sulit dilayani SiPAL karena alasan geografis meskipun sebetulnya bisa saja dipasang beberapa jalur pipa cabang dan induk (trunk sewer) untuk warga yang saat ini mustahil dilayani. Namun investasinya yang mahal menyebabkan upaya ini sukar diwujudkan.

Terapkan Dua Sistem
Kondisi topografis Bandung jauh berbeda dengan Denpasar, Jakarta, dan Medan sehingga pola penyaluran air limbah pun menjadi khas. Ada kesamaannya, ada pula kebedaannya. Kebedaan inilah yang justru menonjol sehingga jauh lebih mahal apabila diterapkan SiPAL berpola fan, perpendicular, radial. Oleh sebab itu, PDAM selayaknya mengadopsi beberapa sistem pengelolaan dan penyaluran air limbah yang berbeda dengan terapan di kota lain lantaran pola di satu daerah belum tentu cocok dengan kondisi Bandung yang berbukit, meskipun umumnya menurun ke arah Selatan menuju Sungai Citarum.

Ada dua sistem yang dapat diterapkan. Sistem pertama, ini sudah diterapkan, adalah offsite system, yaitu sistem pengelolaan air limbah yang memusatkan pengolahan airnya di satu lokasi dan menerima air limbah domestik dan efluen industri (pretreatment) dari daerah layanan. Pola ini disebut penyaluran air limbah secara mayor dengan memasang pipa kolektor, bangunan pelengkap dan IPAL dengan investasi luar biasa mahal. Berikutnya ialah cara minor yang dikelompokkan menjadi dua, yaitu sistem mikro atau individual dan sistem makro atau komunal.

Cara mayor banyak dianut oleh negara-negara di Eropa dan Amerika Serikat pada awal paruh kedua abad ke-20. Sistem ini memakan biaya tinggi, bahkan sangat mahal. Dengan layanan mencapai jutaan orang (konsumen), maka diameter atau ukuran pipa dan saluran yang digunakan pun menjadi besar, bahkan mobil truk pun bisa masuk di dalam saluran air limbah. Dampak berikutnya, lahan IPAL yang dibutuhkan menjadi luas, berkali-kali luas lapangan sepakbola kalau menggunakan sistem Kolam Oksidasi atau Stabilisasi dengan biaya operasi-rawat relatif murah. Luas lahan IPAL bisa dipersempit dengan menerapkan teknologi activated sludge dan kombinasinya tetapi biaya operasi dan rawatnya menjadi lebih mahal.

Namun demikian, cara mayor anutan Eropa dan Amerika tersebut umumnya tidak berkembang di negara-negara Asia. Di Jepang misalnya, yang dikembangkan justru onsite system dengan IPAL mikro - makro yang dipasang di setiap rumah, apartemen, kantor, kampus, asrama, dan bahkan pasar. Karena sejarahnya yang “gelap” dalam pencemaran air, sampai-sampai timbul istilah “Pollution Diet”, Jepang obsesif dalam pengolahan air limbah sehingga semua produk IPAL di Jepang selalu dilengkapi dengan disinfeksi. Dampaknya, biaya operasi dan rawatnya menjadi mahal sehingga berat kalau ditiru oleh negara berkembang seperti Indonesia.

Lantas di mana posisi Indonesia? Seperti umumnya di Asia Tenggara, kecuali Singapura, teknologi yang diterapkan cenderung untuk menyisihkan senyawa karbon sehingga orientasi IPAL di Indonesia sekadar menghilangkan zat organik dengan parameter konvensional BOD atau COD. Beberapa peraturan yang seharusnya berisi parameter nitrat, fosfat justru tidak ada tetapi malah parameter yang tidak dibutuhkan yang dimunculkan. Inilah kekeliruan peraturan yang ada di Indonesia dan perlu direvisi agar tidak salah kaprah. Pembekalan ilmu perairlimbahan juga perlu diberikan kepada staf dan pejabat di berbagai dinas atau badan lingkungan dan kesehatan, termasuk Pekerjaan Umum, Tata Ruang dan Permukiman di kabupaten-kota.

Masalah lainnya, kepedulian masyarakat terhadap air limbah yang dapat merusak kesehatannya tidak sebaik kepeduliannya terhadap air minum. Makanya, bisa dicek langsung ke masyarakat, mayoritas tangki septik di Indonesia hanya berfungsi sebagai bak penampung, bukan sebagai digester (pengolah tinja). Prosesnya adalah isi – sedot – buang ke sungai (selokan) atau ke IPLT (instalasi pengolah lumpur tinja). Yang paling parah adalah warga yang memasang “sistem meriam”, yakni air limbah (tinja) dari kloset langsung dibuang ke selokan atau sungai di belakang atau sebelah rumahnya dengan pipa PVC 4 inch. Faktanya jelas di depan mata kita. Seharusnya: isi – olah (digester anaerob) – buang (ke selokan) tanpa diolah atau diresapkan ke dalam tanah tanpa mencemari air sumur atau disedot oleh mobil tangki tinja lalu dikeringkan di sludge drying bed, bukan ditumpahkan di IPLT!

Minimal Tiga Zona
Mengacu pada topografinya, minimal Kota Bandung dapat dilayani dengan tiga zona. Yang pertama ialah zona eksisting Tengah –Timur – Selatan dengan IPAL Bojongsoang sebagai pusatnya. Namun demikian, ada perumahan yang sulit menyalurkan air limbahnya ke pipa lateral atau pipa cabang yang dibuat pada dekade 1980-an lantaran elevasinya rendah. Karena banyak yang menjadi pelanggan PDAM, maka selayaknya mereka diberi servis untuk pengurasan tangki septik. Sedangkan yang bukan pelanggan PDAM dilayani dengan membayar biaya penyedotan oleh truk tinja. Apabila dilaksanakan oleh perusahan rekanan PDAM, maka harus ada standar harga dan transparan diketahui warga. Volume air yang disedot dan lokasi rumah menjadi salah satu parameter dalam perhitungan biayanya.

Adapun warga kota yang tinggal di bagian Barat Bandung, yang dekat dengan Imhoff tank dapat memanfaatkan fasilitas IPAL peninggalan Belanda ini. Imhoff (Dr. Karl Imhoff) adalah seorang pakar air limbah di Jerman yang membuat unit pengolah air limbah itu dan diterapkan oleh Belanda dengan pipa (riool) sepanjang 14 km yang dinamai Jl. Imhoff Tank dan efluennya dialirkan ke Sungai Citepus. Tentu saja IPAL ini perlu rehabilitasi dan penambahan beberapa unit baru semacam grit chamber dan barscreen. Perlu juga pembebasan lahan di sekitarnya kalau IPAL ini serius dijadikan opsi pengolahan air limbah yang berada di pusat kota. Bahkan warga Kota Cimahi, kalau topografinya memungkinkan, bisa juga memanfaatkan Imhoff tank tersebut sehingga biaya operasi-rawatnya dapat dipikul bersama.

Zona ketiga adalah Barat – Utara. Apabila diinginkan menyalurkan air limbahnya dengan pipa, baik menuju Imhoff tank maupun IPAL Bojongsoang, maka perlu investasi yang mahal. Selain itu, perlu dikaji lagi ukuran pipa induknya apakah cukup untuk penambahan pelanggan dari kawaan Bandung Utara. Apalagi potensi infiltrasi air tanah dan air hujannya cukup tinggi karena pipanya menjadi lebih panjang. Kalau cara ini sulit diterapkan, maka opsi solusinya ialah dengan membangun sistem mikrokomunal, selain individual. Hanya saja, sistem individual ini sulit dideteksi dan dikelola sehingga dapat mencemari air tanah. Yang terbaik adalah mikrokomunal di beberapa lokasi yang tepat secara topografis kemudian dijadikan BLU (Badan Layanan Umum) sebagai lembaga yang bertanggung jawab.

Menjadi PDAL?
Mungkinkah PDAM Sektor Air Kotor Kota Bandung berkembang menjadi Perusahaan Daerah Air Kotor (PDAK) atau Perusahaan Daerah Air Limbah (PDAL)? Kalau berpikir positif, maka jawabnya adalah mungkin. Tetapi sebelum sampai pada jawaban itu, kondisi eksisting perairlimbahan di Bandung perlu diurai.

Berbeda dengan air minum, air limbah lebih sulit diolah untuk dijadikan air yang relatif bersih. Faktanya, air minum dibutuhkan oleh masyarakat sehingga berapapun harganya, dalam batas-batas kewajaran, pelanggan pasti mau membayarnya. Tetapi air kotor tidak dibutuhkan, bahkan ingin dibuang sejauh-jauhnya. Investasi air minum lebih murah per debit yang sama dengan air limbah dan setelahnya air minum bisa dijual sedangkan air limbah malah dibuang ke sungai. Ragam variasi unit operasi dan proses dalam instalasi pengolahan air minum tidak sebanyak air limbah dan tingkat keberhasilan air minum lebih tinggi daripada air limbah karena jenis zat di dalam air limbah banyak yang sulit diolah, apalagi pengolahan secara biologi sebagai peternakan bakteri atau konsorsium bakteri dan algae.

Pembangunan prasarana air limbah jauh lebih mahal dibandingkan dengan air minum per kapasitas yang sama. Ada sejumlah bangunan pelengkap khas yang tidak ada di dalam sistem penyediaan air minum seperti manhole, drop manhole, ventilator, terminal clean out, siphon dan bak gelontor, dll. Sebagai contoh, jembatan pipa air limbah harus diubah menjadi sifon atau dalam bentuk konstruksi yang berat dan besar kalau melintasi sungai. Perlu banyak bangunan manhole dan rumah pompa di beberapa tempat. Pelaksanaannya oleh kontraktor juga jauh lebih sulit daripada air minum, bahkan pembangunan manhole di Jln. Soekarno-Hatta Bandung menewaskan tiga buruhnya beberapa waktu lalu.

Yang terakhir, utang dan bunga pembangunan sistem penyaluran air limbah dan IPAL Bojongsoang masih besar. Utang total PDAM Kota Bandung kira-kira Rp350 milyar. Inilah yang ikut memberatkan apabila akan didirikan PDAK atau PDAL, terpisah dari PDAM. Akankah perusahaan yang baru lahir langsung menanggung utang sebesar itu? Berapa pendapatan dari pelanggan PDAM dan warga yang dilayani dengan mobil tangki? Bagaimana kemampuan pelanggan? Bagaimana caranya agar konsep polluters pay dapat optimal diterapkan? Berapa gaji dan tunjangan perbulan karyawannya?

Akhir kata, air adalah bagian yang tak terpisahkan dari hidup manusia sehingga apapun harus tetap diupayakan agar warga mudah memperoleh air dan relatif murah harganya. Setelah air minum itu berubah menjadi air limbah, harus juga dikembalikan ke alam dalam kondisi yang baik dengan cara diolah. Teknologinya sudah ada, bahkan beragam-ragam, sistemnya juga dapat dikembangkan dengan mengacu ke negara lain yang lebih dulu menerapkannya.*
ReadMore »

6 Februari 2011

PLTSa Ancam Kesehatan

Pemerintah Kota Bandung akan membangun instalasi pembakar sampah kota yang dikenal dengan istilah insinerator (incinerator). Semua sampah pasar, rumah tangga, kantor, sekolah, kebun, pinggir jalan, dan lain-lain akan dibakar di dalam tungku “raksasa” yang unitnya, setelah ditambah generator, dinamai Pembangkit Listrik Tenaga Sampah (PLTSa) oleh kalangan pemerintah kota.

Karena sampahnya dibakar, maka PLTSa menghasilkan partikulat debu dan abu, gas-gas pembentuk asam klorida, fluorida, sulfur dioksida, logam-logam berat seperti merkuri, kadmium, seng, nikel, timbal. Juga karbon organik volatil pembentuk furan (polychlorinated dibenzofurans, PCDF) dan dioksin (polychlorinated dibenzo-p-dioxins, PCDD). Semua polutan itu dengan mudah tersebar ke segala arah lewat udara, melekat di daun, sayur, buah, sumber air minum, paru hewan ternak lantas beredar ke seluruh dagingnya dan paru manusia lalu beredar ke pembuluh darahnya.

Parahnya lagi, semua uap logam dan campurannya dapat mengembun membentuk aerosol partikel submikron yang berbahaya bagi paru. Begitu pun senyawa lain dalam sampah dan campuran klor, fluor, sulfur, nitrogen dan lain-lain menghasilkan gas-gas toksik dan korosif. Ketika pembakarannya tak sempurna, muncullah produk pirolisis karbon monoksida, volatile organic compound seperti polycyclic aromatic hydrocarbon, dioksin, furan, jelaga, dan tar. Partikulat abu adalah pencemar yang paling jelas, tampak secara visual berupa kepulan yang mengandung uap logam berat, dioksin dan furan. Di permukaan jelaganya pun disarati gas-gas asam klorida, fluorida, sulfat, dll yang semuanya dipengaruhi desain insinerator, pemanggang, ukuran dan bentuk ruang pembakarnya.

Karena ukurannya variatif, mulai dari satu mikron (bahkan kurang dari satu mikron) sampai yang terbesar 75 mikron, ada partikulat yang mudah masuk ke sistem pernapasan kita. Kira-kira 40% partikel berukuran 1 sampai dengan 2 mikron akan tertahan di bronkioli dan alveoli paru. Yang ukurannya 0,25 sampai dengan 1 mikron justru mudah ke luar masuk lewat udara pernapasan. Tapi yang kurang dari 0,25 mikron akan melekat akibat gerak Brown (Brownian motion). Untuk menyisihkannya, biasanya ditangani dengan kolektor debu seperti mekanikal separator, wet scrubber, atau fabric filter. Partikel berukuran 15 s.d 75 mikron secara efektif dipisahkan dengan cyclones sampai efisiensi 85% dan yang ukurannya lebih kecil dipisahkan dengan fabric filter atau presipitator elektrostatik. Namun demikian, efisiensinya tidak bisa sempurna 100% dan yang tak tersisihkan itulah yang potensial membahayakan kesehatan karena makin lama makin tinggi konsentrasinya di udara kita.

Dari mana asal logam-logam berbahaya itu? Dari sampah tentu saja: timbal berasal dari sampah cat dan kaleng, merkuri dan kadmium dari baterei, aluminum foil, alat plambing, lembar seng, garam-garam volatil dst. Logam dan garam-garam itu mudah menguap karena titik didihnya rendah. Titik didih kadmium adalah 765 derajat Celcius, merkuri 357 derajat C, arsen 130 derajat C, PbCl (timbal klorida) 950 derajat C, dan HgCl2: 302 derajat C. Semua spesiasi logam tersebut bergantung pada keberadaan klor, sulfur, karbon, nitrogen, fluor dan lain-lain selama pembakaran dan pendinginan gasnya. Reaksi dengan klor menghasilkan metal klorida; merkuri misalnya, akan membentuk senyawa yang terikat dengan halogen, yaitu merkuri (II) klorida (ini yang dominan) dan merkuri (I) klorida. Hanya peralatan canggih yang dapat menghilangkan logam berat volatil seperti merkuri itu.

PLTSa Akibatkan Sakit
Dampak PLTSa pada kesehatan meliputi neurological atau nervous system (syaraf), hepatic system (hati), renal system (ginjal), hematopoietic atau blood-forming system (darah). Kadmium misalnya, menyerang pernapasan, ginjal, hipertensi, dan yang paling ekstrem adalah kerapuhan tulang dan sendi. Merkuri menyerang sistem syaraf pusat sehingga mengurangi penglihatan, sensori, pendengaran dan koordinasi tubuh. Timbal dapat mendisfungsi sistem hematologik dan syaraf pusat, merusak fungsi gastrointestinal, reproductive, endocrine, cardiovascular, immunologic, dan menurunkan taraf kecerdasan serta menyebabkan perilaku abnormal pada anak. Polycyclic aromatic compound, dioksin dan furan merusak paru, perut, ginjal, skrotum, dan liver. Beratnya lagi, dioksin dan furan dapat melekat pada abu dan air limbah PLTSa. Karena efek buruknya itulah dioksin dikenal sebagai “the most toxic chemical known to man”. Dampaknya mampu merusak generasi manusia lewat cacat genetis, merusak kromosom pembawa informasi keturunan (genetika), pencetus kanker (karsinogenik) dan mutagenik (pemutasi).

Daya rusak pencemar tersebut dicetuskan oleh senyawa berklor dari plastik, potongan PVC, kertas, karton dll. Dipastikan 60% asam klorida berasal dari PVC, 36% berasal dari kertas. Yang lebih reaktif dan korosif lagi adalah asam fluorida dengan emisi tipikalnya 3 sampai dengan 5 mg per m3. Begitu pun NOx dan SOx yang dapat berubah menjadi asam kuat: asam nitrat dan asam sulfat. Semuanya berkontribusi pada hujan asam yang kaya logam berat, lalu diserap tanaman sayur dan rumput pakan ternak. Efek lainnya ialah kerusakan bangunan, pagar, mobil, motor, kebun, tanaman, dan hutan, termasuk korosi logam di PLTSa sehingga perlu biaya perbaikan. Belum lagi iritasi kulit dan kerusakan sumber air. Luas sekali dampak buruknya, lebih banyak buruknya ketimbang baiknya. Lebih besar mudaratnya daripada manfaatnya.

Oleh sebab itu, disarankan Pemerintah Kota Bandung membatalkan niatnya untuk membangun PLTSa demi kesehatan kita dan keturunan setiap warga yang mukim di cekungan Bandung.*

Foto: romeltea.wordpress.com
ReadMore »

18 Januari 2011

Babakan Siliwangi

Jangan ada pembangunan lagi di Kawasan Bandung Utara (KBU), juga di Babakan Siliwangi! Inilah saripati kalimat yang dilontarkan pemerintah Provinsi Jawa Barat saat menanggapi rencana Pemkot Bandung mengeksploitasi Babakan Siliwangi. Ajakan tersebut adalah artikulasi kembali suara-suara “hijau” (green sound) pakar lingkungan dan pemerhatinya sejak 1993. Sejumlah unsur masyarakat yang “melek” lingkungan lantas berupaya “menyadarkan” pemerintah yang akan mengambil tindakan keliru atas nama pembangunan ekonomi. Silang pendapat inilah yang ramai dibahas sekarang.

Bagaimana kondisi Babakan Siliwangi pada masa lalu? Lain dulu, lain sekarang. Berikut ini adalah potret sepetak lahan di Babakan Siliwangi pada dekade 1980-an. Selain petak ini, ada dua petak lagi yang memiliki nilai jejak ekologis (ecological footprint) yang tinggi di Kelurahan Babakan Siliwangi, Kecamatan Coblong, yaitu Kebun Binatang dan Taman Ganesa di dekat area Salman ITB. Pada masa itu halaman ITB pun masih menjadi hutan kota yang betul-betul hijau karena masih banyak pohon, ramai oleh kicauan burung beraneka jenis, berbeda dengan masa 15 tahun terakhir ini yang berubah menjadi hutan beton.

Seperempat abad yang lalu, di petak tersebut masih terdengar ricikan air jernih dari sawah dan pancuran bambu. Hijaunya daun dan kuningnya bulir padi datang silih berganti setiap empat bulan. Burung-burung liar yang habitatnya di Taman Ganeca ITB dan Kebun Binatang sering terbang bergerombol ke pohon-pohon di Babakan Siliwangi. Panorama ini dapat dinikmati dari lereng atas Selatan yang berbatasan dengan jalan Tamansari, tepat di belakang ITB (d.h. Kantor Puslitbang Permukiman). Mahasiswa ITB yang kos di daerah ini (d.h Lebak Gede) akan melihat gerombolan burung terbang, barisan capung, juga loncatan belalang setiap pagi.

Dari rumah kos yang berada di tataran bawah kantor BATAN ada jalan setapak menuju jalan berbatu di bawah bibir jalan Tamansari. Berlebar dua meter, jalan berbatu ini selalu ramai dilewati masyarakat setempat kalau hendak ke Simpang Dago. Mahasiswa ITB yang kos di daerah ini pun kerapkali menginjak setapak di ”bebukitan” Lebak Siliwangi, di dekat rumah makan pada masa itu. Area parkir yang luas di depan rumah makan bersebelahan dengan kolam ikan tempat mancing walau hanya sesekali. Udara sangat sejuk, syahdan pada tengah hari bolong. Angin berembus terus-menerus mengacak-acak daun pinus dan palem sambil menebar oksigen. Sanggar Olah Seni pun ramah dan terbuka dikunjungi bagi warga sekitar.

Sebagai warga baru, saya sering keliling gang-gang di Lebak Gede (Siliwangi), mulai dari tepi Sungai Cikapundung di dekat bangunan Intake (penyadap air) PDAM Kota Bandung, sampai gang di dekat sawah di Babakan Siliwangi. Air PDAM sudah tersedia tetapi tidak semua warga berlangganan air ini. Lebih banyak warga mendapatkan air dari sumur dangkal dengan cara ditimba dan disedot pompa. Warga yang di dekat sawah memperoleh air dari rembesan air sawah selain air yang langsung dialirkan dari limpahan air selokan di Dago dan kawasan Cisitu. Air ini untuk mencuci dan bebersih rumah. Untuk minum hampir semua menggunakan air sumur. Semua warung nasi di Lebak Gede atau Babakan Siliwangi memperoleh air minumnya dari sumur dangkal kalau tidak dari PDAM. Waktu itu belum banyak dikenal air minum kemasan berukuran botol lima gallon. Masjid pun kebanyakan memiliki sumur dengan pompa di tempat wudunya.

Keelokan dan eksotika Babakan Siliwangi dapat dinikmati pada pagi hari ketika pucuk-pucuk pinus ”bebukitan” di lereng rumah A. Kasoem diselimuti kabut melayang di sela-sela daun jejari pinus. Kian indah lagi kalau dipandang dari rumah kos yang tepat berada di bawah kantor BATAN, di dekat lapangan voli saat itu. Pada pukul delapan pagi embun pembasah daun belum juga menguap. Itulah potret Lebak Gede dan Lebak/Babakan Siliwangi pada medio 1980-an. Di bagian atas, yaitu di jalan Siliwangi pohon-pohon pun masih banyak berdaun rimbun. Jalan Tamansari juga berpohon rindang, seperti sekarang.

Yang khas di Babakan Siliwangi, paling tidak ketika saya menjadi bagian dari warga di sana, adalah arena adu bagong dan anjing. Dua bagong (babi hutan bertaring) dikerubuti oleh beberapa ekor anjing ”kampung”, bukan sejenis bulldog, herder atau lainnya. Arena pertunjukan yang menurut pencinta hewan dianggap di luar perikehewanan ini berlangsung di lereng Timur Babakan Siliwangi, di dekat jalan Sumur Bandung atau tepat di pertigaan jalan Tamansari, Dayang Sumbi dan Sumur Bandung. Karena pagarnya berupa semak-belukar, ada beberapa pintu masuk yang terbuat dari dinding yang dilubangi. Yang tidak membeli karcis ada yang berupaya naik ke pohon-pohon di sekitar arena sehingga menjadi pemandangan khas ”pohon berbuah orang”.

Pada kali lain, ada juga pertunjukan ular dan orang yang hidup ”rukun” selama 60 hari. Ularnya banyak, besar-kecil, dari berbagai jenis, mulai dari yang tidak berbisa sampai cobra yang bisanya luar biasa. Arena ini selalu ramai dikunjungi orang, terutama pada hari libur dan Ahad, bahkan diramaikan oleh wisatawan dari luar Kota Bandung.

Di sudut lain Babakan Siliwangi adalah aktivitas seni dan ada mushala di sana. Warga dapat melihat-lihat dengan nyaman dan bebas tanpa banyak dijaga. Murid-murid TK dan SD beberapa kali saya lihat berkunjung dan tampak ceria, berbaur dengan alam sejuk di sekitarnya. Pendidikan lingkungan, seni, budaya sambil berjalan dan lari naik turun sekaligus memberikan efek olah raga.

Berkaca pada potret Babakan Siliwangi dua dekade lalu, muncullah pertanyaan sbb: akankah fenomena dulu bisa diperoleh sekarang? Akankah fungsi lingkungan Babakan Siliwangi tetap terjaga ketika diubah menjadi pusat bisnis? Kalaupun tetap hendak (dipaksakan) dibangun, sebaiknya berkonstruksi tiang pancang dan berbentuk panggung agar resapan airnya tetap optimal. Material pondasi bagunan lama harus diangkat semua. Aspalnya juga diangkat semua sampai betul-betul tampak tanah aslinya, kemudian dipasangi paving block yang dapat meloloskan air hujan. Jangan membuat taman hanya sekadar untuk raihan fotosintesisnya tanpa peduli pada aspek tangsap (tangkap-resap) air hujan. Apalagi sekadar tanaman bunga semusim yang orientasinya hanya aspek keindahan tanpa kemampuan tangsap air.

Akhir kata, Kota Bandung perlu sabuk hijau yang tak sekadar untuk faktor estetika, tetapi juga geohidrologis. Dengan luas wilayah 16.730 ha, Kota Bandung perlu 20 persen sabuk hijau berpohon 1,3 juta tegakan. Dapatkah ini dicapai kalau setiap sabuk hijaunya diubah menjadi ”sabuk beton” berupa mall, hotel, dan supermarket yang tak peduli pada lingkungan dan ekologi?*
ReadMore »