• L3
  • Email :
  • Search :

30 Desember 2019

Menuju Sanitasi 4.0

Menuju Sanitasi 4.0
Oleh Gede H. Cahyana
Associate Professor Teknik Lingkungan Universitas Kebangsaan
Koran Pikiran Rakyat, 28 Desember 2019

Berita di Pikiran Rakyat edisi 19 Desember 2019 menjadi eye catcher bagi siapa saja. Tidak harus kalangan yang bertugas di bidang water and sanitation, yaitu air minum, air limbah, dan persampahan, orang awam pun berkernyit dahinya. Persentase orang yang BABS (Buang Air Besar Sembarang) di Kota Bandung mencapai 37%. Bisa dikatakan, pembangunan sanitasi di Kota Bandung belum berhasil. Kapan Kota Bandung mampu mencapai Akses Universal 100-0-100?
Universal Akses
Ide rasional water and sanitation adalah keterpaduan infrastruktur dasar permukiman dengan program prioritas nasional agar tercapai target Akses Universal (100 - 0 - 100) air minum, kawasan kumuh, dan sanitasi. Dalam program ini, angka 100 yang pertama adalah akses air minum terpenuhi untuk masyarakat dengan capaian 100 persen. Angka 0 artinya tidak ada lagi kawasan kumuh. Angka 100 yang kedua adalah sanitasi lingkungan terpenuhi dengan maksimal. Artinya, upaya pemerintah untuk mencapai universal akses tahun 2019 adalah 100% akses air minum, 0% kawasan kumuh, dan 100% akses sanitasi layak. Pertanyaannya, berhasilkah?

Dalam empat tahun terakhir, Kementerian PUPR dan Kesehatan sudah bergerak. Dinas Cipta Karya dan Kesehatan juga melaksanakan program sanitasi. Kekuatan kelembagaan sudah beraksi dengan pendekatan Sanitasi Total Berbasis Masyarakat (STBM) sesuai dengan Keputusan Menteri Kesehatan RI nomor 3 tahun 2014 tentang STBM. STBM ialah pendekatan pembangunan sanitasi yang mengedepankan upaya pemberdayaan masyarakat dan perubahan perilaku. Pendekatan ini bertujuan mewujudkan perilaku masyarakat yang higenis dan saniter secara mandiri untuk meningkatkan kualitas kesehatan masyarakat.

Namun, melihat hasil yang dikabarkan oleh Pikiran Rakyat tersebut, targetnya masih jauh. Ini terjadi karena hanya melibatkan sebagian kecil komunitas masyarakat. Kalangan “think tank” di perguruan tinggi belum disertakan. Padahal program ini bisa masuk ke semua ranah Tridharma Perguruan Tinggi, yaitu Pendidikan dan Pengajaran, Penelitian dosen dan mahasiswa, serta Pengabdian kepada Masyarakat. Ego sektoral masih kuat. Dinas - dinas merencanakan dan melaksanakan programnya masing-masing sehingga tumpang-tindih.

Sanitasi Total Berbasis Masyarakat
Akses menuju sanitasi bermutu tentu melewati jalan terjal sebab objek yang ditanganinya adalah limbah manusia. Tinja dan urin. Meskipun dua benda ini dihasilkan dari tubuhnya, banyak orang “buang muka” setelah membuang hajatnya di toilet. Akan tetapi limbah ini harus dikelola bersama dengan program Akses Universal. Peningkatan akses terhadap air minum yang berkualitas perlu diikuti dengan perilaku yang higienis untuk mencapai tujuan kesehatan melalui  pelaksanaan STBM. Dalam kerangka pembangunan kesehatan yang bersifat preventif, peningkatan kualitas layanan yang terpenting adalah sektor air minum dan sanitasi.

Sanitasi adalah mengumpulkan dan membuang kotoran dan limbah cair masyarakat secara sehat sehingga tidak membahayakan kesehatan individu dan masyarakat. Sanitasi juga meliputi sistem drainase, persampahan, daur ulang dan pengelolaan limbah cair rumah tangga, industri dan limbah padat berbahaya dan beracun (B3). Sanitasi yang optimal akan mencegah penyakit infeksi yang menyebar lewat tinja, urin, makanan dan minuman. Begitulah yang tertera di dalam peraturan pemerintah dan buku teks tentang sanitasi. Luas cakupannya. Tidak mungkin dilaksanakan oleh satu dua dinas pemerintah. Tidak efisien, tidak efektif pada sasaran.

Akhir tahun (sekaligus awal tahun) menjadi saat yang tepat bagi Pemkot Bandung untuk mengevaluasi kegiatan sanitasi selama 12 bulan terakhir. Aksi apa sajakah yang dilaksanakan untuk menghentikan orang buang air besar sembarangan? MCK umumkah? Adakah air bersih selama 24 jam sehari? Sudahkah masyarakat cuci tangan dengan sabun? Adakah sabun di setiap MCK dan sekolah-sekolah? Sudahkah masyarakat memperoleh air minum dan makanan sehat? Bagaimana dengan keluarga tidak mampu dan gelandangan pengemis? Sudahkah program Kang Pisman melahirkan duta-duta sampah sehingga efektif dalam pengelolaan sampah kota? Berapa persen masyarakat Kota Bandung yang memiliki septic tank, berapa persen yang menyalurkan air limbahnya ke IPAL Bojongsoang?

Lima poin di atas perlu dijawab sebagai evaluasi pelaksanaan sanitasi di Kota Bandung pada tahun 2019 dan digunakan sebagai acuan untuk mengurangi BAB Sembarang pada tahun 2020. Pelaksanaan tahun 2020 harus lebih praktis agar mengena ke sasaran, yaitu 37% populasi Kota Bandung. Masyarakat diberdayakan dengan melibatkan kalangan perguruan tinggi, yaitu dosen dan mahasiswa. Civitas academica ini ikut membantu penyebaran program strategis pemerintah. Apalagi mahasiswa banyak yang berasal dari luar Bandung. Mereka bisa menyebarkan ide dan kegiatan sanitasi ke kabupatennya, minimal kepada keluarganya di kampung. Dampaknya tidak hanya lokal Bandung tetapi menjadi regional Jawa Barat. Artinya, gubernur pun sebetulnya bisa ikut berperan dalam mengurangi problem sanitasi di Jawa Barat. Tidak hanya tugas bupati dan walikota.

Sejumlah agenda strategis itu misalnya menciptakan lingkungan sehat yang berakses air bersih. PDAM ikut diberdayakan. Menambah sarana sanitasi melalui peningkatan kesadaran mayarakat tentang konsekuensi BAB sembarang. Apalagi biasanya masyarakat berat mengeluarkan uang untuk kegiatan komunal yang dianggap kurang bermanfaat bagi diri dan keluarganya. Di sinilah peran akademisi dalam memberikan penyuluhan. Sebab, resistensi masyarakat terhadap akademisi, terutama mahasiswa, lebih rendah daripada kepada aparatur dinas pemerintah. Berdayakan mahasiswa. Jadikan mereka duta sanitasi lingkungan. Sekaligus sebagai agen untuk mengembangkan kepemimpinan di masyarakat. Memicu perubahan perilaku masyarakat dan mengembangkan sistem penghargaan kepada  masyarakat yang peduli sanitasi.

Sanitasi 4.0
Istilah sanitasi mungkin masih janggal bagi masyarakat. Apalagi diembel-embeli 4.0. Ini tidak latah. Tapi betul-betul untuk meluaskan pengetahuan dan ilmu masyarakat. Caranya dengan memanfaatkan media sosial Facebook, WA, blog, website, Instagram. Akan dengan mudah program pemerintah tersebar dengan biaya murah dan cepat. Malah bisa gratis. Mahasiswa pasti senang sharing foto kegiatannya. Inilah Sanitasi 4.0 itu. Apalagi Menteri Pendidikan dan Kebudayaan sekarang antusias di bidang internet. GoSan: Go Sanitation. Tinggal menunggu aksi pemerintah kota menuju solusi sanitasi 2020.

Mahasiswa dan masyarakat pasti mendukung. Mereka akan berupaya membuat solusi sendiri kalau dampaknya dirasakan positif. Tidak akan ada lagi kendala investasi dalam pelaksanaan STBM di bidang air minum dan sanitasi. Malah mahasiswa bisa memberikan advokasi untuk masyarakat miskin kota sekaligus meningkatkan pendidikan berperilaku sehat. Dibantu oleh mahasiswa, tahun 2020 bisa dijadikan tumpuan untuk meloncat yang lebih tinggi sehingga catatan sanitasi pada akhir tahun 2020 nanti jauh lebih baik daripada tahun 2019.

Sekalimat kata mutiara: sanitasi itu seperti menenun, harus sabar dalam jangka panjang. Sekali selesai, indah selamanya. Apabila habitasi sikap dan perilaku masyarakat sudah kuat, maka hidup dengan sanitasi sehat sudah menjadi kebutuhan utama. *
ReadMore »

27 Desember 2019

Wajah Lembut Karena Facial Siput

Wajah Lembut Karena Facial Siput
Oleh Gede H. Cahyana

Bermula di Jepang. Wanita di sana senang memoleskan lendir siput di wajahnya. Tentu saja lembut. Halus. Lendir berisi protein, asam amino, dan antioksidan. Kulit menjadi lembab. Kulit tua rapuh terangkat, lepas, lalu dibaluri lendir yang kaya asam hyluronic. Zat ini meresap ke pori-pori kulit wajah, membersihkan keringat, debu, dan melepaskan jerawat.
Setelah Jepang, kini berkembang di Prancis. Beauticians di negeri pusat mode ini memanfaatkan ekstrak atau saripati lendir yang diekskresikan oleh siput. Lalu dicampurkan dengan bedak perawatan wajah sebagai foundation. Tetapi ahli kecantikan di sana tetap mengatakan bahwa terapi langsung dengan siput lebih positif hasilnya daripada dengan bedak foundation yang diisi ekstrak lendir.

Kalau di negeri para samurai dan negeri Napoleon Bonaparte sudah sejauh itu, bagaimana dengan di Indonesia? Siput banyak berkeliaran di halaman rumah. Apalagi musim hujan seperti sekarang. Tinggal ambil, lalu tempelkan ke wajah.. hi hi hi… yakin berani? Geli? Atau gleg gleg gleg…badan menggigil tiga kali? Sama. Saya juga hiii… gleg gleg gleg… badan bergetar.

Tentu tidak begitu. Ada prosesnya. Siput harus dikarantina dulu. Bersihkan cangkangnya dengan lap bersih basah. Masukkan siput, misal tiga ekor (eh siput punya ekor gak?) ke dalam wadah kaca. Misal toples besar transparan. Pelihara, sayangi. Kasi makan daun bayam. Irisan wortel tipis. Juga lendir bagian dalam tomat. Tutup bagian atas wadah dengan kawat kasa. Udara (oksigen) bisa masuk. Tiga hari sekali diganti dengan sayur yang baru. Yang fresh. Tiap pekan wadah dibersihkan sambil mengganti sediaan makanannya. Biarkan selama tiga pekan. Siap untuk terapi.

Mudah caranya. Bersihkan dulu wajah dengan air hangat. Seka lembut sambil dipijat-pijat lembut agar peredaran darah lancar. Sambil berbaring, letakkan siput di kulit wajah. Berdoa dulu. Agar berani dan rileks. Nyaman. Hasilnya, menurut ahli kecantikan di Jepang, Inggris, dan Prancis itu, bisa melenturkan kulit, elastis, mengurangi kerut. Melancarkan peredaran darah di wajah.

Berapa biayanya kalau di salon? Mencapai tiga juta rupiah di Jepang. Artinya, ini adalah bisnis serius dengan memanfaatkan hewan yang di Indonesia nyaris dianggap sebagai hama. Hama di kebun sayur. Padahal, logikanya, karena yang dimakannya adalah sayur, maka badan siput pastilah sangat banyak berisi vitamin, mineral, dan asam amino yang bermanfaat bagi manusia. Artinya lagi, cocok untuk kesehatan. Kalau tidak untuk facial, bisa disate bukan?

Mari manfaatkan siput ini untuk facial dan makanan penambah gizi masyarakat. Tinggal ahli kuliner yang memikirkan dan mencobanya agar daging siput menjadi menu familiar bagi kita. Kalau mau tentu mudah karena mereka ahlinya. Beauticians juga bagusnya terus mencoba. Mungkin kolaborasi dengan ahli farmasi atau dokter kulit dan kecantikan atau yang lainnya.

Indonesia punya jutaan siput. Banyak jenisnya. Sampai-sampai ada gedung yang bernama Teater Imax Keong Emas di TMII. Indonesia kaya sumber obat dari berbagai hewan dan tumbuhan. Sebaiknya generasi muda banyak yang kuliah di bidang farmasi berbasis SDA lokal ini. 
ReadMore »

26 Desember 2019

Ranah 3 Warna Sequel Negeri 5 Menara

Ranah 3 Warna Sequel Negeri 5 Menara
Oleh Gede H. Cahyana

Tahun 2020 nanti bakal heboh lagi. Setelah Negeri 5 Menara, berikutnya adalah Ranah 3 Warna. Novel ini difilmkan dengan sutradara Guntur Soeharjanto. Lokasi shooting di Karawang, Bandung, Maninjau, dan Eropa.
Banyak hal menarik terkandung di dalam R3W, mulai dari nama tempat, bahasa asing dan daerah, tatakutip yang berkaidah tatatulis ilmiah, hingga isi yang menjadi benang merah novel. Kali ini saya hendak berbagi tentang bagian akhir R3W yang mudah-mudahan bermanfaat bagi pembaca.

Di halaman 467 novel ini ada kutipan bernas. Berasal dari tulisan tangan Kiai Rais di Pondok Madani, lembaran fotokopian itu menggaet pikiran dan tangan saya sehingga muncullah “catatan” ini. Tulisan Kiai Rais bagai pelita di atas batu hitam, pada temaram gulita malam. Untaian katanya yang kaya makna bak ragam warna dan kurva liukan Aurora borealis. Kebeningannya laksana kristal guguran gunung Larsen Ice yang pecah di Antartika dan tulisannya yang melegenda itu tak lekang oleh waktu bagai Titanic yang seolah-olah legenda, padahal fakta.


---------

Anak-anakku...

Akan tiba masa ketika kalian dihadang badai dalam hidup. Bisa badai di luar diri kalian, bisa badai di dalam diri kalian. Hadapilah dengan tabah dan sabar, jangan lari. Badai pasti akan berlalu.

Anak-anakku...

Badai paling dahsyat dalam sejarah manusia adalah badai jiwa, badai rohani, badai hati. Inilah badai dalam perjalanan menemukan dirinya yang sejati. Inilah badai yang bisa membongkar dan mengempaskan iman, logika, kepercayaan diri, dan tujuan hidup. Akibat badai ini bisa lebih hebat dari(pada) badai ragawi. Menangilah badai rohani dengan iman dan sabar, kalian akan menjinakkan dunia akhirat.

Anak-anakku...

Bila badai datang, hadapi dengan iman dan sabar. Laut tenang ada untuk dinikmati dan disyukuri. Sebaliknya laut badai ada untuk ditaklukkan, bukan ditangisi. Bukankah karakter pelaut andal ditatah oleh badai yang silih berganti ketika melintas lautan tak bertepi?

Hidup ini dimozaiki oleh aneka ragam kepingan pazel badai dengan menimba ilmu dari ranah kognitif di beragam jenis ilmu (al ‘ilm), sains (empirical science), pengetahuan (knowledge), dan teknologi. Ada yang berhasil menyusunnya menjadi ornamen indah setelah menapaki jejak panjang ranah psikomotorik man jadda wajada, tetapi ada juga yang kandas kemudian karam seperti Titanic karena gagal dalam ranah afektif man shabara zhafira.
---------------

Di halaman 468 ada tulisan penutup yang layak diserap maknanya. Ditulis di puncak Saint-Raymond, AF: pengarang novel ini, menulis tentang peran signifikan sabar yang ia alami mulai dari Bandung, Amman, hingga Saint-Raymond kemudian diramu dengan usaha dan doa sehingga menjadi adonan yang lengkap: usaha, sabar, doa (USD). (Ada juga akronim yang seide dengan USD (US Dollar), yaitu DUIT: Do’a, Usaha, Ikhtiar, Tawakal.

Di dalam lembaran diary-nya yang bersampul kulit hitam, AF menulis begini: "Hidupku selama ini membuat aku insaf untuk menjinakkan badai hidup, “mantra” man jadda wajada saja ternyata tidak cukup sakti. Antara sungguh-sungguh dan sukses itu tidak bersebelahan, tapi ada jarak. Jarak ini bisa hanya satu sentimeter, tapi bisa juga ribuan kilometer. Jarak ini bisa ditempuh dalam hitungan detik, tapi juga bisa puluhan tahun."

Jarak antara sungguh-sungguh dan sukses hanya bisa diisi sabar. Sabar yang aktif, sabar yang gigih, sabar yang tidak menyerah, sabar yang penuh dari pangkal sampai ujung yang paling ujung. Sabar yang bisa membuat sesuatu yang tidak mungkin menjadi mungkin, bahkan seakan-akan itu sebuah keajaiban dan keberuntungan. Padahal keberuntungan adalah hasil kerja keras, doa, dan sabar yang berlebih-lebih.

Bagaimanapun tingginya impian, dia tetap wajib dibela habis-habisan walau hidup sudah digelung oleh nestapa akut. Hanya dengan sungguh-sungguhlah jalan sukses terbuka. Tapi hanya dengan sabarlah takdir itu terkuak menjadi nyata. Dan Tuhan selalu memilihkan yang terbaik dan paling kita butuhkan. Itulah hadiah Tuhan buat hati yang kukuh dan sabar.

Sabar itu awalnya terasa pahit, tetapi akhirnya lebih manis daripada madu. Dan alhamdulillah, aku sudah mereguk madu itu. Man shabara zhafira. Siapa yang sabar akan beruntung.

AF, di puncak Saint-Raymond
ReadMore »

23 Desember 2019

Kang PisMan di Universitas Kebangsaan

Kang PisMan di Universitas Kebangsaan
Oleh Gede H. Cahyana

Kang PisMan. Inilah tema MoU antara Pemkot Bandung dan Universitas Kebangsaan yang ditandatangani oleh Walikota Oded M. Danial dan Rektor dr. Boyke Setiawan, M.M pada Rabu, 18 Desember 2019 di Pendopo Kota Bandung.
Program Kang PisMan di kampus Universitas Kebangsaan dilaksanakan mulai tahun 2020 ini (beberapa hari ke depan, satu tahun setelah pencanangan) dan akan terus dilanjutkan karena sampah selalu saja timbul dari bermacam-macam kegiatan di kampus. Apalagi kalau fasilitas berupa “Rumah Kang PisMan” sudah siap dan programnya berjalan lancar dengan melibatkan mahasiswa dan dosen. “Rumah Kang PisMan” ini menjadi objek dalam Tridharma Perguruan Tinggi, yaitu sebagai objek informasi dalam (1) Pendidikan dan Pengajaran, menjadi bahan kajian dalam (2) Penelitian, dan sebagai pelaksanaan (3) Pengabdian kepada Masyarakat.

Untuk mencapai keajegan operasionalnya, maka ada lima unsur utama yang saling berkaitan dan perlu dukungan parapihak, yaitu masyarakat, civitas akademika, dan pemerintah Kota Bandung. Secara ringkas disebutkan di bawah ini.

1. Partisipasi masyarakat
Partisipasi masyarakat di dalam kampus adalah civitas akademika dan masyarakat yang masuk ke dalam kampus untuk keperluan tertentu seperti pedagang di kantin, warga yang ikut seminar, kajian ilmiah, melihat pameran, pertandingan olah raga, satuan pengamanan (security), dan kegiatan lainnya. Karena sampah berasal dari individu maka setiap orang menjadi sumber sampah. Apabila semua orang yang masuk ke dalam kampus sudah menaati peraturan pengelolaan sampah, misalnya menaruh sampah di bak sampah, maka 20% dari masalah sampah sudah selesai. Artinya, ada peran sosial budaya masyarakat sehari-hari. Positifnya, kampus memberikan penyuluhan, pelatihan, pendampingan kepada masyarakat yang terdekat dengan kampus agar mau dan mampu melaksanakan program Kang PisMan. Sebagai tanggung jawab lembaga pendidikan maka kegiatan tersebut bisa dilaksanakan oleh kampus sebagai wujud dari mata kuliah Kerja Praktik, Kuliah Kerja Lapangan, atau bagian dari penelitian (riset) dosen dan mahasiswa dalam penulisan skripsi (Tugas Akhir).

2. Kelembagaan
Kegiatan pengelolaan sampah melibatkan semua orang yang berada di dalam kawasan pengelolaan sampah sehingga perlu lembaga atau organisasi khusus. Lembaga ini bertugas melaksanakan kegiatan sehari-hari berkaitan dengan sampah dan memastikan penanganan sampah dalam kondisi baik, lancar, aman, terkendali. Oleh sebab itu, diperlukan personil yang mengisi struktur organisasi dengan tugas pokok dan fungsi masing-masing. Tupoksi disiapkan sesuai dengan regulasi pengelolaan sampah dengan mengacu pada peraturan pemerintah pusat dan daerah.

3. Pendanaan
Sampah memiliki nilai ekonomi, baik langsung maupun tidak langsung (setelah diolah baru muncul manfaatnya). Pengelolaannya juga memerlukan biaya. Mulai dari biaya pengumpulan, pemilahan, pengolahan, pengiriman, dan pemeliharaan alat dan bangunan. Termasuk biaya honorarium orang yang mengelola sampah. Biaya operasional diperlukan agar siklus bisnis sampah dapat dilaksanakan dengan baik dan benar sesuai dengan SOP. Oleh sebab itu, pada tahap awal operasinya, bantuan dari kampus dan pemerintah pusat dan daerah sangat diperlukan. Diharapkan “Rumah Kang PisMan” di kampus Universitas Kebangsaan ini bisa membiayai dirinya sendiri, minimal untuk honorarium operator-operatornya. Namun demikian, alokasi dana dari pemerintah pusat, terutama pemerintah Kota Bandung diharapkan masuk di dalam pos anggaran rutin pengelolaan sampah di dalam APBD. Kajian aspek pendanaan ini meliputi perkiraan biaya kegiatan pengelolaan sampah jangka pendek (tahunan) dan jangka menengah (lima tahunan).

4. Teknologi
Teknologi yang diterapkan berkaitan dengan jenis sampah yang dikelola dan kemampuan sumber daya manusia yang mengelolanya. Umumnya dibagi menjadi dua, yaitu teknologi untuk mengolah sampah organik berupa komposter dan teknologi pengolah sampah anorganik. Pada tahap awal ini, tahun 2020 ini, pengelola “Rumah Kang PisMan” hanya akan memilah sampah anorganik, mengumpulkannya kemudian menyerahkan hasil pilahan tersebut kepada pengepul dengan imbalan rupiah yang akan digunakan lagi untuk biaya operasional. Bagian yang lebih khusus dalam aspek teknologi ini adalah aspek teknis dan aspek operasionalnya. Ini berkaitan dengan SDM operator yang memiliki ilmu dan keterampilan dalam melaksanakan tugasnya.

5. Regulasi
Tidak ada keteraturan yang bertahan lama tanpa peraturan. Regulasi persampahan di kampus Universitas Kebangsaan dikeluarkan (disahkan) oleh rektor setelah memperoleh masukan dari Program Studi Teknik Lingkungan sebagai pelaksana operasionalnya. Regulasi selalu mengacu ke UU RI No. 18 tahun 2008 tentang Pengelolaan Sampah dan peraturan internal kampus Universitas Kebangsaan. Regulasi diterbitkan agar pengelolaan sampah bisa ajeg (kontinyu) selama-lamanya dan memiliki standar sebagai acuan dalam operasi, perawatan, dan pengembangannya ke depan (rencana strategis lima tahun ke depan). Tujuan regulasi adalah pengelolaan sampah yang efektif dan efisien.
ReadMore »

14 Desember 2019

Untuk Mas Nadiem Menghapal dan Kecerdasan

Untuk Mas Nadiem Menghafal dan Kecerdasan
Oleh Gede H. Cahyana

Sebelum sampai pada bahasan judul tersebut, mari dibaca kembali tentang jenis-jenis kecerdasan. Kita mulai dari Daniel Goleman yang bukunya menjadi rujukan ESQ-nya Pak Ary Ginanjar Agustian. Kalau disuruh memilih, dengan orientasi pada keselamatan dan keamanan hidup bermasyarakat, maka yang layak dipilih adalah orang yang cerdas emosinya. Daniel Goleman menyebutnya Emotional Intelligence. Kecerdasan emosi ini didudukkan lebih tinggi dan lebih penting daripada kecerdasan intelektual atau biasa disebut IQ (Intelligence Quotient). Uji IQ atau biasa disebut “tes Ai Kiu” lebih pada kemampuan pikiran dalam pelajaran matematika, bahasa, dan logika. Uji IQ ini, dalam ingatan atau hafalan saya, marak mulai tahun 1970-an dan menjadi bahan perbincangan di sekolah-sekolah, bahkan di tataran kabinet pada zaman Presiden Soeharto.
Setelah masuk ke tahun 2000 yang lalu, di Indonesia mulai ada pergeseran persepsi tentang jenis-jenis kecerdasan. Lantas muncul pertanyaan, waktu dulu itu, kecerdasan yang mana yang lebih penting atau paling penting? Jawabannya, sesungguhnya separasi multi-kecerdasan itu tidaklah mutlak. Bahkan tidak bisa dipisahkan dalam diri seorang manusia, sebagai personal. Kecerdasan manusia itu berganda, berjalin dan saling menguatkan. Saling berkaitan. Pengaruh mempengaruhi. Keliru apabila dikatakan bahwa kecerdasan IQ itu tidak penting. Lantas mengatakan bahwa Kecerdasan Emosi atau Kecerdasan Spiritual lebih penting. Bagaimana dengan Kecerdasan Kekuatan? Bagaimana dengan Kecerdasan Aspirasi seperti disitir oleh Dale Carnegie? Begitu juga menurut Stephen Covey?

Hakikatnya, semua kecerdasan yang dikelompokkan menurut penelitian para ahli di bidang tersebut, ada di dalam pikiran manusia. Danah Zohar dan Ian Marshal dengan Spiritual Intelligence-nya lebih cenderung meninggikan SI ini. Agama menjadi basis sandaran terkuat dalam SI. Wujudnya adalah sikap dan perilaku dalam kehidupan sehari-hari, dalam berteman, bertetangga, berinteraksi dengan orang yang tidak dikenal di tempat umum seperti sekolah, kampus, terminal, stasiun, di dalam bis, di dalam kereta api, pesawat, di angkot. Sikap dan perilaku ini bisa diperoleh dengan ilmu yang dipelajarinya sejak kanak-kanak, baik di sekolah maupun belajar dari tangkapan panca indra terhadap ilmu dan pengalaman di sekolah, di kantor, di masyarakat.

Di sinilah nilai penting dari “menghafal” itu. Relasi menghapal terhadap daya pikir manusia justru makin menemukan kekuatan korelasinya karena memberikan latihan dan penguatan terhadap kemampuan mengingat atau menancapkan memori ke dalam pikiran. Menghapal menjadi penting karena memberikan input kepada pikiran agar terus hidup (dalam makna berpikir) dan kekuatan daya ingat sehingga tidak pikun. Menurut etimologinya, spiritual itu berasal dari kata spiritus yang artinya memberikan kehidupan atau vitalitas. Bisa dimaknai menghidup-hidupkan atau ihya seperti dalam Ihya Ulumuddin tulisan Imam al Ghazali. Hafalam akan menghidupkan daya pikir seseorang, tidak pikun. Tentu banyak faktor yang menyebabkan seseorang bisa mengingat sesuatu selama-lamanya, tetapi mengingat sesuatu yang lain hanya sebentar saja. Misal, murid atau mahasiswa hanya belajar membaca sehari sebelum ujian. Ini pasti daya ingatnya terhadap pelajaran itu sifatnya sementara saja. Berbeda halnya kalau dibaca berulang-ulang. Daya ingatnya akan lama.

Secara ringkas bisa dikatakan bahwa menghafal sangat dibutuhkan oleh siapa saja karena justru hafalan itu menjadi latihan penguatan daya pikir dan menghilangkan potensi pikun. Tentu yang harus dikaji itu adalah materi atau tema apa yang harus dihafalkan oleh murid dan mahasiswa. Ini tentu banyak pendapat yang berbeda…
ReadMore »

10 Desember 2019

Penulis Bonceng dalam Artikel di Jurnal Ilmiah

Penulis Bonceng dalam Artikel di Jurnal Ilmiah
Oleh Gede H. Cahyana

Isu tentang penulis bonceng ini sudah lama santer terdengar. Tidak hanya terjadi di artikel di dalam jurnal nasional tetapi juga di jurnal internasional. Bahkan, dalam tawaran itu, ada yang berindeks Scopus. Atau diiming-imingi indexed by Scopus (mungkin juga yang lainnya). Seperti sebutannya, penulis ini tidak ikut menulis artikel tetapi hanya namanya saja yang dicantumkan. Tentu saja tidak ada makan siang gratis. Begitu katanya. Sebab, yang harus dibayarkan bisa mencapai 200-300 USD per artikel. Bergantung pada level jurnal yang akan memuat artikelnya itu. 

Bisnis adalah bisnis. Pendidikan pun menjadi ladang subur bisnis tulisan. Ada grup WA, FB, dan aplikasi lainnya yang membahas perdagangan jurnal, baik dalam bahasa Indonesia maupun Inggris. Bahkan tawaran itu hadir person-to-person. Bisa face-to-face, bahkan. Umumnya lewat perangkat ponsel berupa SMS, WA, atau aplikasi lainnya. Pertanyaannya, haramkah memungut uang dalam penerbitan jurnal? Dengan mudah bisa dijawab: tidak. Uang pasti dibutuhkan karena akses teknologi apapun memerlukan biaya. Reviewer juga harus dihargai waktunya, diberikan honor (penghormatan) yang memadai. Begitu juga pengurusan DOI dan pencetakan jurnal. Termasuk anggota tim yang mengurus jurnal agar selalu bisa diakses dari seluruh dunia, dirawat, dipelihara dengan energi listrik, pulsa, tenaga, dan pikiran anggota tim.

Adakah mafia dalam penerbitan jurnal? Tidak perlu dijawab. Yang transparan atau malah terang benderang, ada “sesuatu” dalam penerbitan sejumlah jurnal. Tidak semua. Ada yang jujur mengakui tetapi banyak juga yang seperti kura-kura dalam perahu. Dalam acara Bimtek tentang jabatan fungsional dosen, ada narasumber yang berkata polos, jujur, apa adanya tentang fakta ini, dalam penerbitan jurnal ilmiah nasional dan internasional. Sebagai dosen yang juga rektor di sebuah PTS tentu pendapat yang disampaikan di depan forum yang dihadiri oleh dosen dari berbagai PTS ini sungguh “berani”. Tanpa tedeng aling-aling. Beliau berkata apa adanya. Praktik seperti itu terjadi dan trennya terus tumbuh. Betapa tidak, dengan blak-blakan beliau pun berani  menawari hadirin untuk menulis artikel dan kalau mentok dalam publikasinya maka beliau dan tim akan siap membantunya.

Bantuan tersebut tentu dalam tanda kutip. Ada yang mesti dikeluarkan. Bisa uang, bisa juga uang dan berbagi persentase atau angka kum artikel. Artinya ada penulis lain yang dicantumkan di dalam artikel tersebut. Tawaran ini memesona. Hadirin menjadi ramai. Saling pandang dan bicara dengan rekan duduk di dekatnya. Bayangkan, dalam waktu satu atau dua bulan setelah tulisan diserahkan, maka tulisan tersebut akan sudah terbit di jurnal internasional. Tahun 2020 nanti ada 5.000 slot artikel di jurnal luar negeri yang beliau miliki akses atau koneksinya (mayoritas Eropa, Amerika dan Amerika Latin, karena beliau tidak menyarankan yang di Asia, terupa BIP: Bangladesh, India, Pakistan). Slot ini beliau bagikan kepada dosen-dosen di kampus yang dipimpinnya. Juga ditawarkan kepada semua dosen yang hadir dalam acara yang digelar di kantor LLDikti 4 tersebut. Syaratnya, satu atau dua orang nama dosen di kampus yang dipimpinnya dijadikan sebagai penulis juga.

Harapannya, nama kampusnya akan ikut terangkat apabila ada yang menyitasi artikel tersebut. Sebelumnya, kampus ini diminta membuat MoU antarrektor, dengan implementasi di bidang penulisan dan pembimbingan penulisan artikel untuk jurnal ilmiah internasional. Kerjasama penulisan sebuah artikel ilmiah, demikian katanya, akan bernilai lebih tinggi karena melibatkan lebih dari satu kampus. Bisa juga lebih dari satu prodi. Begitu pun, apabila artikel tersebut sudah dimuat di jurnal, bisa juga digunakan untuk bahan akreditasi dengan cara membuat proposal penelitian dengan cara tanggal, bulan, dan tahunnya ditarik lebih awal. Laporan riset bersama ini akan menambah nilai tentu saja. Apalagi laporan yang didesain menjadi hibah kompetitif internal ini akan berujung pada publikasi di jurnal ilmiah (yang sudah terbit itu). Bahkan bisa dijadikan bahan laporan riset yang bekerja sama dengan kampus asing (luar negeri). Kampus asing itu ikut mendanai misalnya sepuluh atau duapuluh persen kegiatan tersebut. Logis dan rapi.

Namun demikian, dalam kelogisan tersebut ada sesuatu yang kurang sreg. Ini lantaran penulis bonceng tersebut sama sekali tidak ikut bekerja. Lain halnya kalau ia atau mereka ikut menulis bagian tertentu dalam artikel yang diterbitkan itu. Sekecil apapun hendaklah para penulis artikel memberikan kontribusinya. Ada sumbangan pikiran, tidak berupa uang saja. Kalau hanya uang maka akan terjadi orang kaya raya akan banyak menulis. Namanya ada di banyak artikel. Ia bisa membeli boncengan di semua artikel ilmiah yang ia inginkan, nasional dan internasional, dengan dalih kerja sama antarkampus atau antarperiset di banyak kampus dalam negeri dan asing. Sehatkah yang seperti ini?

Karena sudah jamak terjadi, bahkan cenderung menjadi hal biasa, maka hanya nurani saja yang bisa menjawabnya. Dalam bicang-bincang saat makan siang dan mendengar obrolan dosen lainnya, beberapa dosen dalam acara Bimtek Jabatan Fungsional tersebut menyatakan tidak setuju pada cara “boncengan” itu. Alasannya, semua penulis harus berperan. Siapa sebagai penulis pertama, kedua, ketiga bergantung pada kontribusinya. Urutan ini pun bergantung pada kesepakatan di antara penulisnya dan kepada siapa korespondensinya. Bisa juga dalam satu penelitian dihasilkan dua artikel ilmiah sehingga posisi penulis pertama bisa saling tukar yang juga sesuai dengan kesepakatan di antara penulisnya. Namun yang setuju juga banyak. Ada yang merespon positif dan akan menghubungi narasumber. Diucapkan atau tidak, masalah terbesar dalam kenaikan jabatan fungsional adalah publikasi artikel di jurnal internasional bereputasi dan berfaktor dampak (Impact Factor).

Pada Januari 2020 nanti akan mulai berlaku Pedoman Operasional Penilaian Angka Kredit (PO PAK) terbitan tahun 2019. Yang pasti, persyaratan menjadi profesor semakin berat. Di antaranya, menjadi promotor atau co-promotor mahasiswa doktoral atau sudah memperoleh hibah riset dengan akumulasi dana mencapai minimal seratus juta rupiah. Problemnya adalah banyak kampus yang belum memiliki program doktor. Program magister juga banyak yang belum punya. Karena sudah dirilis, maka peraturan dan pedoman itu tentu harus diberlakukan. Kecuali, Mendikbud Nadiem Makarim berinisiatif merevisinya dengan berbagai pertimbangan yang disesuaikan dengan pesan-pesannya yang viral itu.  

Setiap pemberlakuan peraturan, seperti galibnya, ada saja yang menjadi korban. Ada yang jatuh satu demi satu. Akankah jumlah profesor berkurang dari tahun ke tahun lantaran peraturan baru tersebut? Di LLDikti 4, tiga tahun lalu ada 96 orang profesor. Pada akhir tahun 2019 ini turun menjadi 87 orang.
ReadMore »

1 Desember 2019

Pidato Mendikbud: Diskusi dan Murid Mengajar

Pidato Mendikbud: Diskusi dan Murid Mengajar

Ada dua lembar pidato Mendikbud yang viral. Isinya yang dikupas singkat di sini hanya sedikit saja. Ada dua poin yang akan disajikan: 

1. Ajaklah kelas berdiskusi, bukan hanya mendengar
2. Berikan kesempatan kepada murid untuk mengajar di kelas.

Poin 1, sudah lama programnya, yaitu CBSA: Cara Belajar Siswa Aktif. Murud, siswa, atau mahasiswa lebih banyak aktif belajar dan “mengajar” (dalam tanda kutip). Guru dan dosen berperan sebagai pengamat, pengarah, wasit, dan pengayom. Ini dihangatkan lagi oleh Mendikbud Nadiem Makarim dan direspon positif masyarakat.
Guru dan dosen memberikan materi atau tema bahasan yang sesuai dengan kurikulum dan diracik kebaruannya dengan informasi dari jurnal, artikel ilmiah populer, penelitian, dan peristiwa yang terjadi di masyarakat yang berkaitan dengan materi atau tema bahan ajar. Murid dan mahasiswa mengolah bahan ajar tersebut, bisa diramu dari buku teks, dari website, blogspot, atau portal berita dalam dan luar negeri.

Poin 2, ini masih berkaitan dengan poin 1. Dalam diskusi kelas, akan terjadi interaksi sesame murid atau mahasiswa. Yang satu bertanya, yang lain menjawab. Dilanjut dengan respon positif dan mungkin juga negative secara alamiah. Ini disebut sistem perkawanan (Buddy System), yaitu murid atau mahasiswa yang lebih pandai membantu yang kurang pandai dan keduanya mendapatkan keuntungan. Guru dan dosen tinggal mengendalikan dan memberikan supervisi. Syaratnya, guru dan dosen harus sudah lebih dulu mempelajari bahan atau tema diskusinya.

Untuk dua poin tersebut, guru dan dosen memberikan contoh tentang tata cara pembuatan peta pikiran atas bahan ajarnya. Peta pikiran adalah cara mudah untuk mengulangi dan menulis catatan secara praktis dan karib dengan indra kita. Peta Pikiran pasti memiliki banyak cabang da ranting pikiran yang polanya serupa dengan pola otak (pikiran) dalam penyimpan informasi.

Poin selanjutnya pidato Mendikbud akan dibahas hari-hari kemudian ini,
ReadMore »

27 November 2019

Training Legislatif Mahasiswa seJawa Barat

Training Legislatif Mahasiswa se-Jawa Barat

Dibuka oleh Dr. Abdy Yuhana, Anggota DPRD Provinsi Jawa Barat, acara Training Legislatif Mahasiswa se-Jawa Barat mulai pada Senin, 25 November 2019 hingga Selasa, 26 November 2019. Dalam sambutannya, diharapkan kegiatan ini bisa menambah wawasan ilmu mahasiswa tentang legislasi. Sebab, mahasiswa suatu saat adalah pemimpin di masa depan. Mungkin ada yang menjadi anggota DPR(D) atau pejabat di eksekutif. Juga dibahas tentang peran GBHN sebagai haluan, pemberi arah negara yang berkesinambungan. MPR sepakat mengamandemen terbatas UUD 1945 yang berkaitan dengan perencanaan pembangunan seperti GBHN tersebut. Hal ini ditegaskan dalam paparannya yang bertema Tugas dan Kedudukan Legislatif dalam Sistem Politik di Indonesia.”


Setelah resmi menjadi anggota FL2MI (Forum Lembaga Legislatif Mahasiswa Indonesia) pada 2019, gelaran ini adalah yang kali pertama. Menjadi tonggak sejarah dalam “belajar materi tugas dan wewenang lembaga politik dari pelakunya”. Ini semacam quantum leap bagi mahasiswa Universitas Kebangsaan RI karena tidak semua kampus mampu dan pernah menggelar acara serupa dalam skala regional – nasional. Peserta yang hadir adalah mahasiswa Universitas Pendidikan Indonesia, Universitas Al-Ghifari, Universitas Garut, Universitas Pasundan, Universitas Bandung Raya, Universitas Buana Perjuangan, Universitas Galuh, Universitas Jambi, dan Universitas Kebangsaan RI. Selain mahasiswa yang jumlahnya sekira 300 orang, juga dihadiri tamu undangan dari kalangan dosen.

Kegiatan positif ini perlu rutin dilaksanakan agar mahasiswa memperoleh pengetahuan, ilmu terbaru dari para legislator, anggota dewan di daerah dan pusat. Informasi ini tidak hanya penting bagi mahasiswa, semua mahasiswa di semua prodi, tetapi juga penting bagi masyarakat yang mengetahui bahwa mahasiswa pun sudah sejak di kursi kuliah belajar tentang ketatanegaraan dalam makna praktis dari praktisi (pelaku, anggota dewan), tidak teoretis belaka dari buku teks. Ini dapat menambah kepercayaan masyarakat terhadap kemampuan mahasiswa dalam hal pengelolaan negara di masa depan, berharap ada pemimpin, tidak sekadar pejabat, di semua tingkat lembaga negara, mulai dari desa, kelurahan, kecamatan, kabupaten, kota, provinsi hingga negara. Juga di berbagai departemen, dinas, kementerian, sekolah, kampus, dan perusahaan swasta.

Bravo mahasiswa, vivat academia, belajar-mengajar selamanya. *

ReadMore »

25 November 2019

Untuk Mendikbud Bapak Nadiem Makarim: Adab dan Ilmu

Untuk Mendikbud Bapak Nadiem Makarim: Adab dan Ilmu
Oleh Gede H. Cahyana

Perihal kesuksesan Gojek, saya salut. Salam hormat ya Pak. Penggunaan internet, kata para pakar, dalam aktivitas transportasi adalah cara cerdas berbisnis zaman ini. Saya memberikan apresiasi tanpa banyak bicara. Setuju. Tapi yang ingin saya sampaikan kepada Bapak Mendikbud pada peringatan Hari Guru Nasional tahun 2019 ini adalah yang berkaitan dengan pendidikan dan pengajaran. Aspek mata pelajaran dan titik fokus pengembangan generasi muda dan aspek kesejahteraan guru.



Belum lama berselang setelah menjadi Mendikbud, ada berita di media massa cetak dan online tentang jumlah dan nama mata pelajaran. Yang akan ada menurut kabar itu ialah pelajaran Bahasa Indonesia, Bahasa Inggris, Matematika, pendidikan karakter berbasis agama dan Pancasila. Dengan tetap menghormati ide tersebut, sebaiknya pelajaran agama tetap ada, terpisah dari pelajaran Pancasila. Justru menurut Pancasila, negara RI ini ber-Ketuhanan yang mahaesa. Ditegaskan lagi di dalam Pembukaan UUD 1945 alinea keempat dan pasal 29 ayat 1 UUD 1945. Di ayat 2 disebutkan tentang kebebasan beragama yang artinya WNI wajib beragama karena menjadi bagian fundamental dalam bernegara. Agar benar dalam melaksanakan ajaran agama masing-masing maka perlu pendidikan dan pengajarannya.

Pada Hari Guru Nasional yang ramai tahun ini, mungkin karena ada Mendikbud baru dan likuidasi nomenklatur Pendidikan Tinggi, izinkan saya menyatakan bahwa pendidikan jauh lebih penting daripada pengajaran. Pengajaran, pembelajaran, belajar – mengajar ilmu bahasa, matematika, IPA, IPS, dll lebih mudah daripada pendidikan adab. Ini merujuk ke sila kedua Pancasila, Kemanusiaan yang adil dan beradab. Inilah landasan pendidikan adab dan adab ini lebih penting daripada ilmu dan teknologi. Sila kedua tersebut menyatakan secara eksplisit perihal manusia dan kemanusiaan (human, humanism), adil dan adab. Manusia Indonesia, yaitu generasi muda, penerus zaman mendatang haruslah dididik agar memiliki afeksi adil dan adab. Terang benar dalam sila kedua tersebut bahwa arah pembangunan manusia Indonesia adalah makna luas kata adil dan adab itu. Kementerian Pendidikan memberikan pendidikan adab dan keadilan, serta Kebudayaan yang berisi ilmu, teknologi, dan hikmah (sila keempat Pancasila).

Perihal mata pelajaran tersebut, tentu semuanya penting. Bahasa Indonesia, Bahasa Inggris, Matematika, (termasuk IPA dan IPS) dibutuhkan dalam aktivitas ekonomi. Diperlukan untuk pengembangan ilmu dan teknologi. Berperan dalam penelitian dan pengabdian kepada masyarakat. Saya sepakat. Ibaratnya begini. Dalam pembuatan nasi goreng, maka nasi lebih banyak daripada garam. Nasi ibarat adab, garam ibarat ilmu. Adab jauh lebih banyak dan lebih penting daripada ilmu. Bagi seorang guru, bagi seorang pemimpin di level apapun, di lembaga apapun, adabnya lebih penting daripada ilmunya. Ini tetap berarti bahwa ilmu itu penting. Sangat penting. Tetapi lebih penting lagi adalah adab dan adil, merujuk ke sila kedua dan kelima Pancasila.

Begitu pula tentang kesejahteraan guru. Terlalu banyak berita di media massa cetak dan online tentang kondisi buruk ekonomi para guru di daerah dan pelosok. Apalagi yang masih honorer, bahkan hingga belasan tahun. Inilah saatnya Pak Mendikbud mengayomi guru dengan memperbaiki peraturan yang dirasakan mengekang pengembangan karir guru. Saatnya menaikkan taraf kesejahteraan guru ke tingkat yang tinggi dan layak jika dibandingkan dengan profesi lainnya seperti dosen, dokter, advokat, polisi, jaksa, tentara, dan lain-lain.

Demikian Pak Mendikbud, selamat bekerja. Semoga sukses memajukan pendidikan, pengajaran, pembudayaan, dan peradaban yang beradab bagi warga negara Indonesia, terutama generasi muda kita.*
ReadMore »

Guruku, Pak Ngenteg dan Pak Mara

Guruku, Pak Ngenteg dan Pak Mara

Banyak tentu saja, guruku. Tapi kali ini, untuk mengingat perayaan Hari Guru Nasional, yang dikisahkan adalah dua guru SMAN 1 Tabanan, Bali. Beliau adalah Pak Ngenteg dan Pak Mara.



Kelas satu SMA pada awal 1980-an adalah tahap penjurusan. Ada IPA dan ada IPS. Cita-cita ingin dapat IPA.

Di kelas satu, pada awal pertemuan, seorang bapak guru masuk kelas. Memegang buku cukup tebal. Buku paket. Sambil mengambil kapur, beliau menuliskan namanya di papan tulis hitam dengan kapur putih merek Sarjana.

“Ngenteg. Nama saya singkat saja.” Ujar beliau sambil melihat seisi kelas. Sapuan kanan kiri, depan belakang, sekilas. “Saya mengajar Biologi.” lanjutnya.

Biologi adalah pelajaran penting. Sepenting matematika, fisika, dan kimia. Nilai harus bagus. Teman-teman berbisik-bisik. Saling pandang. Entah apa yang dipikirkan. Kelas relatif sepi-ramai. Pelajaran pertama berkesan. Pandangan pertama begitu menggoda. Selanjutnya terserah. Begitulah kira-kira.

Selama belajar biologi, beliau nyaris hapal materinya. Jarang melihat ke buku paket yang tebal itu. Belajar tentang jamur. Tentang amoeba. Tentang paramaecium. Juga yang lainnya. Hapal di luar kepala. Semua teman bilang, dalam bahasa Bali tentu saja, “Hebat ya… hapal hingga titik koma!”. Keren dech. Beliau mengajar hingga kami di kelas dua. Di kelas tiga gurunya beda.

Guru kedua adalah Pak Mara. Singkat juga namanya. Beliau guru matematika. Di kelas tiga. Jadi baru di kelas tiga diajar beliau. Rumahnya waktu itu di dalam area sekolah. Ada tiga guru yang tinggal di dalam sekolah. Rumah dinas. Beliau guru yang sangat dihormati.

Mulai belajar diawali oleh limit. Beberapa kali pertemuan belajar filosofinya. Apa itu limit? Selanjutnya belajar diferensial. Turunan. Turunan kesatu, turunan kedua. (Sssttt.. tidak ada tanjakan ya. Ini bukan jalan mobil, he he he). Beliau juga hapal. Kalkulus pun hapal. Hapal “jalannya”, langkah-langkah solusinya. Terjawab semua soal-soal di buku paket.

Begitu juga pelajaran integral. Bagi kami, integral lebih sulit daripada diferensial. Apalagi banyak yang harus dihapal. Pusing tentu saja. Lebih puyeng lagi ketika bahasan luas di bawah kurva. Lantas sempurnalah pusingku pada waktu pembahasan isi benda putar. Waduh. Menghitung volume benda…

Tapi luar biasa. Beliau berorientasi pada soal-soal masuk ke perguruan tinggi. Waktu itu namanya Sipenmaru. Kami yang tidak kuat. Nyerah. Tapi terus di-drill. Apalagi menjelang Ujian Nasional waktu itu. Untuk memperoleh NEM: Nilai Ebtanas Murni. Sungguh besar jasa beliau. Bagaimanapun, dalam suka dan duka diajar oleh guru-guru, tetap saja jasa mereka tak ternilai harganya. Mau dibayar dengan uang pun, takkan terbayar, hakikatnya.

Selamat merayakan Hari Guru Nasional, untuk semua guru, yang dulu hingga yang sekarang. 

ReadMore »

21 November 2019

Disrupsi Perpustakaan

Disrupsi Perpustakaan
Oleh Gede H. Cahyana

Aula Timur ITB pada masa sebelum 1988 adalah perpustakaan pusat. Buku-bukunya berjejer di rak-rak. Angkuh. Tak berani menyentuh. Apalagi membuka-buka dan membacanya. Ada bahasa Belanda. Ada Inggris. Jerman. Yang bahasa Indonesia tentu saja ada. Fisika Dasar, Kalkulus, Kimia Dasar rerata berbahasa Inggris. Hardcover. Cetakan lama, sebelum tahun 1960. Cukup ramai. Gedung berarsitektur khas yang luas itu terasa sempit. Mahasiswa berduyun-duyun menjadi anggota perpustakaan dan pinjam buku.


Itu zaman dulu. Kini bagaimana? Adakah mahasiswa antri meminjam buku seperti masa jaya perpustakaan pada dekade 1980-an itu? Adakah mahasiswa duduk melingkari meja bundar dan persegi panjang dengan tumpukan belasan buku di mejanya? Adakah mahasiswa tidur ngorok di atas telekan buku setinggi 15 cm? Adakah mahasiswa duduk-duduk di sela-sela rak dan koridor ruang perpustakaan sambil tercenung, termenung dan mungkin bingung? Adakah mahasiswa yang diusir-usir oleh petugas dan penjaga perpustakaan  karena sudah tutup kantor? Adakah mahasiswa yang merobek lembar-lembar buku yang mungkin dibutuhkannya, tidak punya uang untuk fotokopi atau entah karena alasan apa???

Pertanyaan yang sama, untuk dosen dan guru. Adakah? Adakah? Adakaahh?

Ada! Adaaa .. .. ..  kalanya. Ada waktunya. Tidak setiap hari. Jam-jam tertentu saja. Umumnya mencari materi yang berkaitan dengan sejarah perkembangan dan penulisan materi tersebut di buku-buku lawas yang sudah tidak terbit lagi dan tidak diperoleh di internet. Aspek sejarah. Ini yang dicari. Diterbitkan sebelum dasawarsa 1970-an. Bahkan hingga tahun 1930-an. Ini hanya ada di perpustakaan. Maka, salah besar apabila pustakawan (atau pegawai perpustakaan yang bukan sarjana perpustakaan) menggudangkan buku-buku lawas itu. Bahkan dibakar. Atau dikilo menjadi bungkus pisang goreng. Ruang perpustakaan menjadi sepi. Buku menipis. Pemustaka habis.

Lenyapkah perpustakaan? Tidak. Di setiap sekolah dan kampus pasti ada ruang untuk menaruh buku, majalah, dll dan disebut perpustakaan. Ada juga petugasnya. Tetapi ruhnya yang hilang. Badannya ada tetapi ruhnya tiada. Tidak seperti dekade sebelum 1990. Begitu juga perpustakaan daerah di sejumlah provinsi. Gedungnya kian gagah, arsitekturnya megah, ruangnya luas, tetapi .. ... kalah ramai dibandingkan warung kopi dan cafe... 

Kini, internet dan perkembangan gawai ponsel sedang menumpas perpustakaan. Membasmi penerbit buku. Menangiskan atau mempertangiskan penulis buku. Membangkrutkan toko buku. Tidak hanya bajak-membajak buku, Tapi juga karena banyak buku yang dalam waktu singkat sudah bisa diunduh di banyak situs (website). Artikel ilmiah dengan cepat tersebar di setiap ponsel dalam waktu detikan saja. Maksimum menitan. Perpustakaan pindah ke dunia maya. Diskusi terjadi di dunia maya. Belajar digelar di dunia maya. Konferensi dan seminar pun di dunia maya.

Seorang asesor BAN PT yang juga profesor di kampus di Bandung pernah bilang dalam sebuah acara di Kopertis Wil. IV (sekarang LLDikti IV) bahwa tidak perlu lagi ada deretan buku di ruang perpustakaan. Yang penting kampus punya website yang berisi banyak buku dan bisa diunduh, bisa dibaca. Ini sama nilainya dengan kampus yang punya ruang besar perpustakaan. 

Begitulah. Disrupsi sedang masuk ke setiap lembar buku dan jurnal ilmiah di perpustakaan. Kutu-kutu buku (dalam arti jenis spesies hewan) suatu saat mungkin punah karena tidak ada lagi buku di relung sunyi keangkuhan ruang perpustakaan. Tetapi kutu-kutu buku dalam arti orang yang rakus membaca buku akan beralih menjadi kutu-kutu situs.

Disrupsi di perpustakaan adalah keniscayaan. Niscaya terjadi. Tinggal disiasati agar profesi pustakawan tetap eksis dan prodinya pun terus bergeliat. *

ReadMore »

16 November 2019

Disrupsi di PDAM

Disrupsi di PDAM
Oleh Gede H. Cahyana

Dalam satu dasawarsa ke depan akan hadir era baru di PDAM. Ini laju yang paling lambat. Bisa lebih cepat daripada satu dekade itu. Disrupsi akan merambah empat pilar PDAM. Pilar pertama yang kena adalah P: Pegawai. Otomasi dan terapan internet akan mengurangi jumlah pegawai PDAM. Mekanisasi tipe ini sudah lama dan lumrah terjadi. Mesin adalah substitusi manusia. Berapa persen reduksinya, ini bisa diperkirakan. Saya menduganya hingga 45% untuk satu dekade pertama. Internet ternyata lebih “kejam” daripada mesin (mekanikal). Semua bakal serba instan, serba otomatis, serba di tangan. Smart device..

Yang kedua adalah pilar D: Desain. Selama ini desain utama IPAM adalah untuk mengurangi kekeruhan. Semua instalasi lebih fokus pada koloid, suspended solid, dan coarse solid. Hanya sedikit yang dissolved solid. Padahal dissolved solid inilah yang paling bahaya dan makin banyak jumlah dan jenisnya. Termasuk limbah B3. Disrupsi terjadi sebagai pengganti unit operasi dan proses di PDAM. Akan muncul alat berdesain kecil, simple, tetapi kapasitas dan kapabilitasnya melampaui pengolahan konvensional. Akan jamak terlihat orang membawa alat ini (mobile device). Pada masanya nanti, puncak dari disrupsi adalah ketika orang hanya menenteng micro mobile-device yang mampu memproduksi air bersih, air minum dan siap digunakan untuk mandi, cuci, minum, dan lain-lain, di mana pun dan kapan pun. Nirbatas, nirwaktu.

Yang ketiga adalah pilar A: Area servis atau area layanan. Belum ada PDAM yang layanannya 100% sekarang. Tetapi nanti, semua PDAM akan melayani 100% pelanggannya. Pilar A ini adalah konsekuensi logis dari pilar D di atas. Semua orang memiliki alat untuk memproduksi air bersih, air minum. Daerah pelayanan tidak lagi berupa segmentasi geografis tetapi nirbatas. Bisa jadi tidak ada lagi istilah PDAM Kabupaten X, PDAM Kota Y. Yang ada adalah P(D)AM Indonesia. Huruf D: Daerah mungkin hilang. Pemerintah membuat regulasi yang berkaitan dengan lisensi mobile device tersebut. Bebas digunakan di seluruh Indonesia dan tercatat otomatis dengan bantuan internet. Juga langsung terjadi transaksi atau pembayaran biayanya secara real time.

Yang keempat adalah pilar M: Manajemen. Sudah disebut di atas, bahwa PDAM bukan lagi Daerah, tetapi nasional Indonesia. Andaipun tetap mempertahankan D atau Daerah, ini pun hanya untuk alokasi dan distribusi pendapatan (income) pelanggan yang menggunakan air. Tidak ada lagi batas-batas geografis pelanggan. Pelanggan yang tinggal di Jakarta, ketika berkunjung ke Bandung, maka dia membayar air untuk pemerintah daerah di Bandung. Mirip seperti saat ini, tetapi bedanya, orang perorang akan memiliki micro mobile-device yang terkoneksi internet dan internet banking. Inilah manajemen yang terpusat, semacam holding company skala nasional. Pengaturan tetap mengacu pada pasal 33 UUD 1945 dan UU Sumber Daya Air atau UU Air Minum (kalau ada pada masa depan).

Namun demikian, semua insan PDAM tidak perlu khawatir. Perubahan memang akan terjadi. Disrupsi sudah mulai secara perlahan, lewat dunia pendidikan. E-learning, Pendidikan Jarak Jauh (ini hanya istilah, sebab bisa jadi ada mahasiswa yang tinggal dalam satu kelurahan dengan kampusnya tetapi mereka kuliah dengan cara e-learning/PJJ).

Tetaplah optimis. All day long, we love PDAM.

ReadMore »

15 November 2019

RACUN di Dalam Telur

RACUN di Dalam Telur

Telur ayam itu dikumpulkan dari daerah Bangun dan Tropodo di Jawa Timur. Di daerah Bangun setiap hari ayam –ayam tersebut memakan sisa makanan di tempat sampah yang sering dibakar oleh warga setempat untuk mengurangi tumpukan.  Di Tropodo ayam-ayam sering makan di dekat pabrik tahu yang bahan bakarnya ada dari sampah plastik. (Deutsche Welle Indonesia, 14 November 2019).


Telur ayam tersebut terkontaminasi zat kimia beracun bagi manusia seperti dioksin, PFOS (perfluorooctane sulphonate), PCB (polychlorinated biphenyl), PBDEs (polibrominasi diphenil esters), SCCP (short-chain chlorinated paraffin). Semua zat sangat beracun tersebut diatur dalam perjanjian global di konvensi Stockholm oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB). Kemudian yang menyedihkan lagi adalah zat tersebut dengan mudah hadir di pengolahan sampah menjadi listrik berbasis insinerasi dalam skala regional, tidak hanya lokal. Ini terjadi karena kepul asap yang dilepas cerobong PLTSa menyebar luas ke segala penjuru angin.

Berkaitan dengan kejadian tersebut, sudah seharusnya pemerintah berorientasi pada kesehatan masyarakat. Tidak fokus hanya pada bisnis dan ekonomi dalam menanggulangi sampah. Tidak percaya semata pada satu pihak tetapi hendaklah memberikan akomodasi “second opinion” kepada parapihak yang berbeda pendapat dan latar belakang institusinya. Merujuk berita Deutsche Welle Indonesia tersebut, ini menjadi masukan untuk kita, betapa potensi Risiko PLTSa tersebut mengintai di mana-mana. Bahkan di dalam telur goreng, telur mata-sapi, telur rebus, dan semua penganan yang berbahan telur. Termasuk yang dimakan oleh bayi, batita, balita, dan anak-anak sekolah dasar. Belum lagi pada daging sapi, kambing, dan ternak lainnya. Termasuk sayur-mayur yang terpapar gas beracun di setiap helai daunnya.

Dalam catatan sejarah, di Seveso Italia, pada Sabtu, 9 Juli 1976 terjadi bencana dioksin. Dampaknya yang terverifikasi adalah ribuan orang menderita kanker darah, kanker hati, dan kandung empedu. Korbannya mencapai 17.000-an orang di Seveso dan 120.000-an orang di luar Seveso. Dioksin itu pun mengakibatkan 3.300-an ternak langsung mati dan dalam dua tahun pascabencana 80.000-an ternak yang teracuni dioksin terpaksa dibasmi agar tidak dimakan manusia. Belum lagi sayur, sumber air, sumur, serangga yang dimakan ikan, dan buah-buahan. Semuanya terkontaminasi dalam waktu puluhan tahun. 

Sekadar mengutip tulisan Dr. Paolo Mocarelli di Seveso: I think this accident teaches us that it is better to take care of the environment before these things happen. Not after. Teringatlah saya pada frase yang sering ditulis Prof. Otto Soemarwoto (alm): prinsip kehati-hatian (precautionary principle). Maka, berpalinglah dari Risiko PLTSa, mesin pembakar sampah yang lebih banyak mudaratnya daripada manfaatnya.


Kita bersyukur sudah punya UU Pengelolaan Persampahan, UU No. 18 tahun 2008. UU ini lahir setelah longsor yang menewaskan lebih dari 150 orang di TPA Leuwigajah. Kisahnya ditulis di artikel Leuwigajah, Sebuah Catatan. *
ReadMore »

31 Oktober 2019

Kabinet Berasaskan SDGs

Kabinet Berasaskan SDGs
Dimuat di Majalah Air Minum, September 2019

Setiap pembentukan kabinet baru selalu saja hangat dibahas perihal zaken kabinet atau kabinet ahli yang diisi oleh orang profesional di bidangnya. Ia bisa dari partai, bisa juga non-partai. Yang penting mampu, memiliki kapabilitas yang diakui khalayak dan tercatat rekam jejaknya (track record) secara akademis, struktural, atau politis.

Namun sekarang usulan pembentukan kabinet didasarkan pada kesepakatan internasional yang melibatkan 193 negara. Berorientasi pada tujuan pembangunan berkelanjutan, SDGs (Sustainable Development Goals), maka kementerian yang dibentuk mengacu pada tujuh belas tujuan SDGs. Nomenklatur disesuaikan dengan sejarah penamaan departemen atau kementerian sejak Orde Baru hingga sekarang. Satu tujuan SDGs boleh jadi ekivalen dengan satu, dua atau tiga kementerian. Tujuh belas tujuan SDGs tersebut bisa dikelompokkan menjadi empat pilar, yaitu pembangunan manusia, ekonomi, lingkungan hidup, dan governance.

EW: Food, Energy, Water
Agar tulisan tidak terlalu panjang dan fokus pada bidang air, maka pilar yang akan dibahas adalah pilar pembangunan lingkungan hidup. Lebih khusus lagi adalah akronim FEW: Food, Energy, Water. FEW adalah bagian dari sumber daya alam. Dalam bahasa Inggris kata few artinya sedikit. Di sini dimaknai sebagai sumber daya alam yang kuantitasnya makin sedikit dan kualitasnya makin kritis.

Sebaliknya pada saat yang sama kebutuhan FEW justru meningkat. FEW sudah menjadi perhatian pemerintah Indonesia sejak awal pendirian negara. Spirit FEW tercantum dalam pasal 33 ayat 3 UUD 1945, disebut pasal sosioekologis. Wujud amanahnya berbentuk departemen atau kementerian dalam setiap pemerintahan. Kemudian dikuatkan di tingkat provinsi, kabupaten, dan kota dengan pusat penelitian, dinas, badan, dan balai.

Aspek Food misalnya, pemerintah sudah membentuk Departemen Pertanian sejak Orde Baru. Upaya ekstensifikasi pertanian diperluas ke semua provinsi dan pulau. Diikuti oleh intensifikasi pertanian. Berbagai bibit unggul padi ditemukan bersamaan dengan obat pembasmi hama dan penyakit tanaman. Mekanisasi (sekarang mekanisasi 4.0) makin mempercepat olahan lahan dengan traktor dan alat-alat panen tepat guna. Terakhir adalah inovasi vertical farming, modifikasi tumpang sari.

Di bidang E = energy juga berkembang. Pada masa Orde Baru ada Departemen Pertambangan dan Energi. Tambang primadona ialah batubara, timah, nikel. Juga tembaga dan emas di Freeport. Waktu itu kekuatan minyak bumi dominan dalam anggaran pembangunan. Indonesia menjadi anggota negara pengekspor minyak, OPEC. Sebagai sumber daya alam yang tidak bisa diperbarui, upaya pencarian energi alternatif terus dilaksanakan. Kemudian gas alam masuk menjadi energi penting, mensubstitusi minyak tanah.

Yang belum mendapat perhatian khusus adalah W: water (air). Belum ada kementerian yang khusus mengurus air. Sejak Orde Baru urusan air disatukan dengan Departemen Pekerjaan Umum dan Tenaga Listrik (PUTL), Pekerjaan Umum (PU), Kimpraswil, atau PUPR. Satu menteri membawahkan banyak bidang seperti jalan, jembatan, pengairan, perumahan, air limbah, sampah, drainase, dan air minum. Meskipun ada Direktorat Jenderal tetapi tidak bisa fokus dan optimal di bidang air.

Historisnya, bidang air minum, air limbah, irigasi, sumber daya air adalah bagian dari teknik sipil dan penyehatan. Dulu di dalam Departemen Pekerjaan Umum ada Bagian Teknik Penyehatan. Sekarang bidang ini sudah jauh berkembang. Sejak 1990-an ilmu dan teknologi penyehatan dan lingkungan sudah masuk ke dalam HSE (Health, Safety, Environment) atau kesehatan, keselamatan kerja, dan lingkungan di industri, pertambangan, minyak dan gas.

Urgensi Kementerian Air
Selain bumi (tanah/lahan), air adalah sumber daya alam esensial yang eksplisit disebut di dalam UUD 1945. Indonesia sudah pernah memiliki UU Sumber Daya Air, yaitu UU No. 7/2004. Karena menimbulkan masalah yang berkaitan dengan hak asasi manusia maka diprotes oleh akademisi, ormas, tokoh masyarakat adat, dan partai politik.

Akhirnya pada tahun 2015 Mahkamah Konstitusi membatalkan UU SDA dan kembali ke UU No. 11/1974 tentang Pengairan. Esensi pembatalan berkenaan dengan privatisasi (penswastaan) air minum di sektor SPAM dan penguasaan negara atas air. Isu SPAM ini pula yang tarik-ulur saat ini. Sektor ini berpengaruh kepada pengusaha air jeriken dan truk tangki, AMIK (Air Minum Kemasan atau AMDK) dan AMIKU (Air Minum Kemasan Ulang atau air isi ulang). Asasnya, sumber air berupa mata air, air tanah, sungai, danau, waduk, rawa, laut tidak boleh dikuasai oleh perseorangan atau swasta.

Penguasa air adalah negara, dikelola oleh pemerintah, dilaksanakan oleh BUMN atau BUMD seperti PDAM. PDAM idealnya pemberi solusi masalah air untuk masyarakat. Masyarakat yang tinggal di daerah kaya air tanah tentu tidak berlangganan PDAM. Apalagi kalau kualitas airnya bagus. Ini sesuai dengan pasal sosioekologis. PDAM dibutuhkan oleh masyarakat yang tidak memiliki sumber air layak guna karena berbagai sebab. Amanat pasal sosioekologis itu harus dilaksanakan dalam kondisi seperti ini. Haruskah full cost recovery? Bagaimana dengan subsidi? Di sinilah Kementerian Air menemukan urgensinya.  

Air Baku
Air baku bisa dimaknai sebagai air yang belum diolah. Sumber air baku antara lain air hujan, air permukaan (sungai, danau, waduk, muara, laut), dan air tanah (dangkal dan dalam). Air baku adalah tantangan utama PDAM. Ada PDAM yang beruntung karena memanfaatkan mata air yang debitnya besar. Ada PDAM yang harus mengolah air tercemar sehingga mengeluarkan biaya mahal untuk investasi IPAM dan operasi-rawatnya. Ada pula PDAM yang tidak memiliki sumber air potensial sehingga kewalahan pada musim kemarau. Tanpa air baku tidak mungkin PDAM beroperasi. Belum lagi sengketa sumber air antarprovinsi, kabupaten, kota. Inilah tantangan pemerintah dan insan PDAM, mampukah memberikan solusi terbaik?

Apabila UU SDA yang baru nanti eksplisit memberikan spirit kepada negara sebagai penguasa air untuk kemakmuran rakyat maka tepatlah Kementerian Air menjadi pengelola air baku, air minum, air limbah domestik dan industri. Kementerian Air bisa meningkatkan layanan air minum kepada masyarakat. Raihan 100% aman air minum bisa dicapai dengan cara mengubah tantangan di atas menjadi peluang. Air baku tercemar, air payau, air laut bisa diubah menjadi air minum. Newater Singapura contohnya, bisa menghasilkan air minum dari air limbah.

Tentu Kementerian Air berkoordinasi dengan kementerian lain yang sudah melaksanakan tupoksi air baku dan air limbah. Teknologi IPAM 4.0 mampu mengolah air baku air limbah menjadi air layak guna, bahkan air minum. IPAM 4.0 mampu menyehatkan PDAM berasaskan pasal sosioekologis, asas keadilan, dan kerjasama antardaerah.

PDAM yang rugi, menurut Mendagri Tjahjo Kumolo mencapai 70% tidak akan terjadi lagi. Suntikan dana lima triliun rupiah pertahun kepada PDAM bisa dialihguna menjadi dana investasi IPAM, sistem transmisi distribusi dan subsidi kepada masyarakat tidak mampu. Tampak peran negara dalam mengamalkan pasal sosioekologis sekaligus mencapai tujuan SDGs.

ReadMore »