Untuk
Mas Nadiem Menghafal dan Kecerdasan
Oleh
Gede H. Cahyana
Sebelum
sampai pada bahasan judul tersebut, mari dibaca kembali tentang jenis-jenis kecerdasan.
Kita mulai dari Daniel Goleman yang bukunya menjadi rujukan ESQ-nya Pak
Ary Ginanjar Agustian. Kalau disuruh memilih, dengan orientasi pada keselamatan
dan keamanan hidup bermasyarakat, maka yang layak dipilih adalah orang yang
cerdas emosinya. Daniel Goleman menyebutnya Emotional
Intelligence. Kecerdasan emosi ini didudukkan lebih tinggi dan lebih
penting daripada kecerdasan intelektual atau biasa disebut IQ (Intelligence Quotient). Uji IQ atau
biasa disebut “tes Ai Kiu” lebih pada kemampuan pikiran dalam pelajaran
matematika, bahasa, dan logika. Uji IQ ini, dalam ingatan atau hafalan saya, marak
mulai tahun 1970-an dan menjadi bahan perbincangan di sekolah-sekolah, bahkan
di tataran kabinet pada zaman Presiden Soeharto.
Setelah
masuk ke tahun 2000 yang lalu, di Indonesia mulai ada pergeseran persepsi
tentang jenis-jenis kecerdasan. Lantas muncul pertanyaan, waktu dulu itu, kecerdasan
yang mana yang lebih penting atau paling penting? Jawabannya, sesungguhnya
separasi multi-kecerdasan itu tidaklah mutlak. Bahkan tidak bisa dipisahkan
dalam diri seorang manusia, sebagai personal. Kecerdasan manusia itu berganda,
berjalin dan saling menguatkan. Saling berkaitan. Pengaruh mempengaruhi.
Keliru apabila dikatakan bahwa kecerdasan IQ itu tidak penting. Lantas
mengatakan bahwa Kecerdasan Emosi atau Kecerdasan Spiritual lebih penting. Bagaimana
dengan Kecerdasan Kekuatan? Bagaimana dengan Kecerdasan Aspirasi seperti disitir
oleh Dale Carnegie? Begitu juga menurut Stephen Covey?
Hakikatnya,
semua kecerdasan yang dikelompokkan menurut penelitian para ahli di bidang
tersebut, ada di dalam pikiran manusia. Danah Zohar dan Ian Marshal dengan Spiritual Intelligence-nya lebih cenderung meninggikan SI ini. Agama menjadi
basis sandaran terkuat dalam SI. Wujudnya adalah sikap dan perilaku dalam
kehidupan sehari-hari, dalam berteman, bertetangga, berinteraksi dengan orang
yang tidak dikenal di tempat umum seperti sekolah, kampus, terminal, stasiun,
di dalam bis, di dalam kereta api, pesawat, di angkot. Sikap dan perilaku ini
bisa diperoleh dengan ilmu yang dipelajarinya sejak kanak-kanak, baik di
sekolah maupun belajar dari tangkapan panca indra terhadap ilmu dan pengalaman
di sekolah, di kantor, di masyarakat.
Di
sinilah nilai penting dari “menghafal” itu. Relasi menghapal terhadap daya
pikir manusia justru makin menemukan kekuatan korelasinya karena memberikan latihan
dan penguatan terhadap kemampuan mengingat atau menancapkan memori ke dalam
pikiran. Menghapal menjadi penting karena memberikan input kepada pikiran agar
terus hidup (dalam makna berpikir) dan kekuatan daya ingat sehingga tidak
pikun. Menurut etimologinya, spiritual itu berasal dari kata spiritus yang
artinya memberikan kehidupan atau vitalitas. Bisa dimaknai menghidup-hidupkan
atau ihya seperti dalam Ihya Ulumuddin tulisan Imam al Ghazali. Hafalam akan
menghidupkan daya pikir seseorang, tidak pikun. Tentu banyak faktor yang
menyebabkan seseorang bisa mengingat sesuatu selama-lamanya, tetapi mengingat
sesuatu yang lain hanya sebentar saja. Misal, murid atau mahasiswa hanya
belajar membaca sehari sebelum ujian. Ini pasti daya ingatnya terhadap
pelajaran itu sifatnya sementara saja. Berbeda halnya kalau dibaca
berulang-ulang. Daya ingatnya akan lama.
Secara
ringkas bisa dikatakan bahwa menghafal sangat dibutuhkan oleh siapa saja karena
justru hafalan itu menjadi latihan penguatan daya pikir dan menghilangkan
potensi pikun. Tentu yang harus dikaji itu adalah materi atau tema apa yang
harus dihafalkan oleh murid dan mahasiswa. Ini tentu banyak pendapat yang
berbeda…
Tidak ada komentar:
Posting Komentar