• L3
  • Email :
  • Search :

14 Desember 2019

Untuk Mas Nadiem Menghapal dan Kecerdasan

Untuk Mas Nadiem Menghafal dan Kecerdasan
Oleh Gede H. Cahyana

Sebelum sampai pada bahasan judul tersebut, mari dibaca kembali tentang jenis-jenis kecerdasan. Kita mulai dari Daniel Goleman yang bukunya menjadi rujukan ESQ-nya Pak Ary Ginanjar Agustian. Kalau disuruh memilih, dengan orientasi pada keselamatan dan keamanan hidup bermasyarakat, maka yang layak dipilih adalah orang yang cerdas emosinya. Daniel Goleman menyebutnya Emotional Intelligence. Kecerdasan emosi ini didudukkan lebih tinggi dan lebih penting daripada kecerdasan intelektual atau biasa disebut IQ (Intelligence Quotient). Uji IQ atau biasa disebut “tes Ai Kiu” lebih pada kemampuan pikiran dalam pelajaran matematika, bahasa, dan logika. Uji IQ ini, dalam ingatan atau hafalan saya, marak mulai tahun 1970-an dan menjadi bahan perbincangan di sekolah-sekolah, bahkan di tataran kabinet pada zaman Presiden Soeharto.
Setelah masuk ke tahun 2000 yang lalu, di Indonesia mulai ada pergeseran persepsi tentang jenis-jenis kecerdasan. Lantas muncul pertanyaan, waktu dulu itu, kecerdasan yang mana yang lebih penting atau paling penting? Jawabannya, sesungguhnya separasi multi-kecerdasan itu tidaklah mutlak. Bahkan tidak bisa dipisahkan dalam diri seorang manusia, sebagai personal. Kecerdasan manusia itu berganda, berjalin dan saling menguatkan. Saling berkaitan. Pengaruh mempengaruhi. Keliru apabila dikatakan bahwa kecerdasan IQ itu tidak penting. Lantas mengatakan bahwa Kecerdasan Emosi atau Kecerdasan Spiritual lebih penting. Bagaimana dengan Kecerdasan Kekuatan? Bagaimana dengan Kecerdasan Aspirasi seperti disitir oleh Dale Carnegie? Begitu juga menurut Stephen Covey?

Hakikatnya, semua kecerdasan yang dikelompokkan menurut penelitian para ahli di bidang tersebut, ada di dalam pikiran manusia. Danah Zohar dan Ian Marshal dengan Spiritual Intelligence-nya lebih cenderung meninggikan SI ini. Agama menjadi basis sandaran terkuat dalam SI. Wujudnya adalah sikap dan perilaku dalam kehidupan sehari-hari, dalam berteman, bertetangga, berinteraksi dengan orang yang tidak dikenal di tempat umum seperti sekolah, kampus, terminal, stasiun, di dalam bis, di dalam kereta api, pesawat, di angkot. Sikap dan perilaku ini bisa diperoleh dengan ilmu yang dipelajarinya sejak kanak-kanak, baik di sekolah maupun belajar dari tangkapan panca indra terhadap ilmu dan pengalaman di sekolah, di kantor, di masyarakat.

Di sinilah nilai penting dari “menghafal” itu. Relasi menghapal terhadap daya pikir manusia justru makin menemukan kekuatan korelasinya karena memberikan latihan dan penguatan terhadap kemampuan mengingat atau menancapkan memori ke dalam pikiran. Menghapal menjadi penting karena memberikan input kepada pikiran agar terus hidup (dalam makna berpikir) dan kekuatan daya ingat sehingga tidak pikun. Menurut etimologinya, spiritual itu berasal dari kata spiritus yang artinya memberikan kehidupan atau vitalitas. Bisa dimaknai menghidup-hidupkan atau ihya seperti dalam Ihya Ulumuddin tulisan Imam al Ghazali. Hafalam akan menghidupkan daya pikir seseorang, tidak pikun. Tentu banyak faktor yang menyebabkan seseorang bisa mengingat sesuatu selama-lamanya, tetapi mengingat sesuatu yang lain hanya sebentar saja. Misal, murid atau mahasiswa hanya belajar membaca sehari sebelum ujian. Ini pasti daya ingatnya terhadap pelajaran itu sifatnya sementara saja. Berbeda halnya kalau dibaca berulang-ulang. Daya ingatnya akan lama.

Secara ringkas bisa dikatakan bahwa menghafal sangat dibutuhkan oleh siapa saja karena justru hafalan itu menjadi latihan penguatan daya pikir dan menghilangkan potensi pikun. Tentu yang harus dikaji itu adalah materi atau tema apa yang harus dihafalkan oleh murid dan mahasiswa. Ini tentu banyak pendapat yang berbeda…

Tidak ada komentar:

Posting Komentar