• L3
  • Email :
  • Search :

10 Desember 2019

Penulis Bonceng dalam Artikel di Jurnal Ilmiah

Penulis Bonceng dalam Artikel di Jurnal Ilmiah
Oleh Gede H. Cahyana

Isu tentang penulis bonceng ini sudah lama santer terdengar. Tidak hanya terjadi di artikel di dalam jurnal nasional tetapi juga di jurnal internasional. Bahkan, dalam tawaran itu, ada yang berindeks Scopus. Atau diiming-imingi indexed by Scopus (mungkin juga yang lainnya). Seperti sebutannya, penulis ini tidak ikut menulis artikel tetapi hanya namanya saja yang dicantumkan. Tentu saja tidak ada makan siang gratis. Begitu katanya. Sebab, yang harus dibayarkan bisa mencapai 200-300 USD per artikel. Bergantung pada level jurnal yang akan memuat artikelnya itu. 

Bisnis adalah bisnis. Pendidikan pun menjadi ladang subur bisnis tulisan. Ada grup WA, FB, dan aplikasi lainnya yang membahas perdagangan jurnal, baik dalam bahasa Indonesia maupun Inggris. Bahkan tawaran itu hadir person-to-person. Bisa face-to-face, bahkan. Umumnya lewat perangkat ponsel berupa SMS, WA, atau aplikasi lainnya. Pertanyaannya, haramkah memungut uang dalam penerbitan jurnal? Dengan mudah bisa dijawab: tidak. Uang pasti dibutuhkan karena akses teknologi apapun memerlukan biaya. Reviewer juga harus dihargai waktunya, diberikan honor (penghormatan) yang memadai. Begitu juga pengurusan DOI dan pencetakan jurnal. Termasuk anggota tim yang mengurus jurnal agar selalu bisa diakses dari seluruh dunia, dirawat, dipelihara dengan energi listrik, pulsa, tenaga, dan pikiran anggota tim.

Adakah mafia dalam penerbitan jurnal? Tidak perlu dijawab. Yang transparan atau malah terang benderang, ada “sesuatu” dalam penerbitan sejumlah jurnal. Tidak semua. Ada yang jujur mengakui tetapi banyak juga yang seperti kura-kura dalam perahu. Dalam acara Bimtek tentang jabatan fungsional dosen, ada narasumber yang berkata polos, jujur, apa adanya tentang fakta ini, dalam penerbitan jurnal ilmiah nasional dan internasional. Sebagai dosen yang juga rektor di sebuah PTS tentu pendapat yang disampaikan di depan forum yang dihadiri oleh dosen dari berbagai PTS ini sungguh “berani”. Tanpa tedeng aling-aling. Beliau berkata apa adanya. Praktik seperti itu terjadi dan trennya terus tumbuh. Betapa tidak, dengan blak-blakan beliau pun berani  menawari hadirin untuk menulis artikel dan kalau mentok dalam publikasinya maka beliau dan tim akan siap membantunya.

Bantuan tersebut tentu dalam tanda kutip. Ada yang mesti dikeluarkan. Bisa uang, bisa juga uang dan berbagi persentase atau angka kum artikel. Artinya ada penulis lain yang dicantumkan di dalam artikel tersebut. Tawaran ini memesona. Hadirin menjadi ramai. Saling pandang dan bicara dengan rekan duduk di dekatnya. Bayangkan, dalam waktu satu atau dua bulan setelah tulisan diserahkan, maka tulisan tersebut akan sudah terbit di jurnal internasional. Tahun 2020 nanti ada 5.000 slot artikel di jurnal luar negeri yang beliau miliki akses atau koneksinya (mayoritas Eropa, Amerika dan Amerika Latin, karena beliau tidak menyarankan yang di Asia, terupa BIP: Bangladesh, India, Pakistan). Slot ini beliau bagikan kepada dosen-dosen di kampus yang dipimpinnya. Juga ditawarkan kepada semua dosen yang hadir dalam acara yang digelar di kantor LLDikti 4 tersebut. Syaratnya, satu atau dua orang nama dosen di kampus yang dipimpinnya dijadikan sebagai penulis juga.

Harapannya, nama kampusnya akan ikut terangkat apabila ada yang menyitasi artikel tersebut. Sebelumnya, kampus ini diminta membuat MoU antarrektor, dengan implementasi di bidang penulisan dan pembimbingan penulisan artikel untuk jurnal ilmiah internasional. Kerjasama penulisan sebuah artikel ilmiah, demikian katanya, akan bernilai lebih tinggi karena melibatkan lebih dari satu kampus. Bisa juga lebih dari satu prodi. Begitu pun, apabila artikel tersebut sudah dimuat di jurnal, bisa juga digunakan untuk bahan akreditasi dengan cara membuat proposal penelitian dengan cara tanggal, bulan, dan tahunnya ditarik lebih awal. Laporan riset bersama ini akan menambah nilai tentu saja. Apalagi laporan yang didesain menjadi hibah kompetitif internal ini akan berujung pada publikasi di jurnal ilmiah (yang sudah terbit itu). Bahkan bisa dijadikan bahan laporan riset yang bekerja sama dengan kampus asing (luar negeri). Kampus asing itu ikut mendanai misalnya sepuluh atau duapuluh persen kegiatan tersebut. Logis dan rapi.

Namun demikian, dalam kelogisan tersebut ada sesuatu yang kurang sreg. Ini lantaran penulis bonceng tersebut sama sekali tidak ikut bekerja. Lain halnya kalau ia atau mereka ikut menulis bagian tertentu dalam artikel yang diterbitkan itu. Sekecil apapun hendaklah para penulis artikel memberikan kontribusinya. Ada sumbangan pikiran, tidak berupa uang saja. Kalau hanya uang maka akan terjadi orang kaya raya akan banyak menulis. Namanya ada di banyak artikel. Ia bisa membeli boncengan di semua artikel ilmiah yang ia inginkan, nasional dan internasional, dengan dalih kerja sama antarkampus atau antarperiset di banyak kampus dalam negeri dan asing. Sehatkah yang seperti ini?

Karena sudah jamak terjadi, bahkan cenderung menjadi hal biasa, maka hanya nurani saja yang bisa menjawabnya. Dalam bicang-bincang saat makan siang dan mendengar obrolan dosen lainnya, beberapa dosen dalam acara Bimtek Jabatan Fungsional tersebut menyatakan tidak setuju pada cara “boncengan” itu. Alasannya, semua penulis harus berperan. Siapa sebagai penulis pertama, kedua, ketiga bergantung pada kontribusinya. Urutan ini pun bergantung pada kesepakatan di antara penulisnya dan kepada siapa korespondensinya. Bisa juga dalam satu penelitian dihasilkan dua artikel ilmiah sehingga posisi penulis pertama bisa saling tukar yang juga sesuai dengan kesepakatan di antara penulisnya. Namun yang setuju juga banyak. Ada yang merespon positif dan akan menghubungi narasumber. Diucapkan atau tidak, masalah terbesar dalam kenaikan jabatan fungsional adalah publikasi artikel di jurnal internasional bereputasi dan berfaktor dampak (Impact Factor).

Pada Januari 2020 nanti akan mulai berlaku Pedoman Operasional Penilaian Angka Kredit (PO PAK) terbitan tahun 2019. Yang pasti, persyaratan menjadi profesor semakin berat. Di antaranya, menjadi promotor atau co-promotor mahasiswa doktoral atau sudah memperoleh hibah riset dengan akumulasi dana mencapai minimal seratus juta rupiah. Problemnya adalah banyak kampus yang belum memiliki program doktor. Program magister juga banyak yang belum punya. Karena sudah dirilis, maka peraturan dan pedoman itu tentu harus diberlakukan. Kecuali, Mendikbud Nadiem Makarim berinisiatif merevisinya dengan berbagai pertimbangan yang disesuaikan dengan pesan-pesannya yang viral itu.  

Setiap pemberlakuan peraturan, seperti galibnya, ada saja yang menjadi korban. Ada yang jatuh satu demi satu. Akankah jumlah profesor berkurang dari tahun ke tahun lantaran peraturan baru tersebut? Di LLDikti 4, tiga tahun lalu ada 96 orang profesor. Pada akhir tahun 2019 ini turun menjadi 87 orang.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar