Penulis Bonceng dalam Artikel di Jurnal
Ilmiah
Oleh
Gede H. Cahyana
Isu
tentang penulis bonceng ini sudah lama santer terdengar. Tidak hanya terjadi di
artikel di dalam jurnal nasional tetapi juga di jurnal internasional. Bahkan,
dalam tawaran itu, ada yang berindeks Scopus. Atau diiming-imingi indexed by
Scopus (mungkin juga yang lainnya). Seperti sebutannya, penulis ini tidak ikut
menulis artikel tetapi hanya namanya saja yang dicantumkan. Tentu saja tidak
ada makan siang gratis. Begitu katanya. Sebab, yang harus dibayarkan bisa
mencapai 200-300 USD per artikel. Bergantung pada level jurnal yang akan memuat
artikelnya itu.
Bisnis
adalah bisnis. Pendidikan pun menjadi ladang subur bisnis tulisan. Ada grup WA,
FB, dan aplikasi lainnya yang membahas perdagangan jurnal, baik dalam bahasa
Indonesia maupun Inggris. Bahkan tawaran itu hadir person-to-person. Bisa
face-to-face, bahkan. Umumnya lewat perangkat ponsel berupa SMS, WA, atau aplikasi
lainnya. Pertanyaannya, haramkah memungut uang dalam penerbitan jurnal? Dengan
mudah bisa dijawab: tidak. Uang pasti dibutuhkan karena akses teknologi apapun
memerlukan biaya. Reviewer juga harus
dihargai waktunya, diberikan honor (penghormatan) yang memadai. Begitu juga
pengurusan DOI dan pencetakan jurnal. Termasuk anggota tim yang mengurus jurnal
agar selalu bisa diakses dari seluruh dunia, dirawat, dipelihara dengan energi listrik,
pulsa, tenaga, dan pikiran anggota tim.
Adakah
mafia dalam penerbitan jurnal? Tidak perlu dijawab. Yang transparan atau malah
terang benderang, ada “sesuatu” dalam penerbitan sejumlah jurnal. Tidak semua. Ada
yang jujur mengakui tetapi banyak juga yang seperti kura-kura dalam perahu. Dalam
acara Bimtek tentang jabatan fungsional dosen, ada narasumber yang berkata polos,
jujur, apa adanya tentang fakta ini, dalam penerbitan jurnal ilmiah nasional dan
internasional. Sebagai dosen yang juga rektor di sebuah PTS tentu pendapat yang
disampaikan di depan forum yang dihadiri oleh dosen dari berbagai PTS ini
sungguh “berani”. Tanpa tedeng aling-aling. Beliau berkata apa adanya. Praktik
seperti itu terjadi dan trennya terus tumbuh. Betapa tidak, dengan blak-blakan
beliau pun berani menawari hadirin untuk
menulis artikel dan kalau mentok dalam publikasinya maka beliau dan tim akan siap
membantunya.
Bantuan
tersebut tentu dalam tanda kutip. Ada yang mesti dikeluarkan. Bisa uang, bisa
juga uang dan berbagi persentase atau angka kum artikel. Artinya ada penulis
lain yang dicantumkan di dalam artikel tersebut. Tawaran ini memesona. Hadirin
menjadi ramai. Saling pandang dan bicara dengan rekan duduk di dekatnya.
Bayangkan, dalam waktu satu atau dua bulan setelah tulisan diserahkan, maka
tulisan tersebut akan sudah terbit di jurnal internasional. Tahun 2020 nanti ada
5.000 slot artikel di jurnal luar negeri yang beliau miliki akses atau
koneksinya (mayoritas Eropa, Amerika dan Amerika Latin, karena beliau tidak
menyarankan yang di Asia, terupa BIP: Bangladesh, India, Pakistan). Slot ini beliau
bagikan kepada dosen-dosen di kampus yang dipimpinnya. Juga ditawarkan kepada
semua dosen yang hadir dalam acara yang digelar di kantor LLDikti 4 tersebut.
Syaratnya, satu atau dua orang nama dosen di kampus yang dipimpinnya dijadikan
sebagai penulis juga.
Harapannya,
nama kampusnya akan ikut terangkat apabila ada yang menyitasi artikel tersebut.
Sebelumnya, kampus ini diminta membuat MoU antarrektor, dengan implementasi di
bidang penulisan dan pembimbingan penulisan artikel untuk jurnal ilmiah
internasional. Kerjasama penulisan sebuah artikel ilmiah, demikian katanya,
akan bernilai lebih tinggi karena melibatkan lebih dari satu kampus. Bisa juga
lebih dari satu prodi. Begitu pun, apabila artikel tersebut sudah dimuat di
jurnal, bisa juga digunakan untuk bahan akreditasi dengan cara membuat proposal
penelitian dengan cara tanggal, bulan, dan tahunnya ditarik lebih awal. Laporan
riset bersama ini akan menambah nilai tentu saja. Apalagi laporan yang didesain
menjadi hibah kompetitif internal ini akan berujung pada publikasi di jurnal
ilmiah (yang sudah terbit itu). Bahkan bisa dijadikan bahan laporan riset yang
bekerja sama dengan kampus asing (luar negeri). Kampus asing itu ikut mendanai
misalnya sepuluh atau duapuluh persen kegiatan tersebut. Logis dan rapi.
Namun
demikian, dalam kelogisan tersebut ada sesuatu yang kurang sreg. Ini lantaran
penulis bonceng tersebut sama sekali tidak ikut bekerja. Lain halnya kalau ia
atau mereka ikut menulis bagian tertentu dalam artikel yang diterbitkan itu.
Sekecil apapun hendaklah para penulis artikel memberikan kontribusinya. Ada
sumbangan pikiran, tidak berupa uang saja. Kalau hanya uang maka akan terjadi
orang kaya raya akan banyak menulis. Namanya ada di banyak artikel. Ia bisa
membeli boncengan di semua artikel ilmiah yang ia inginkan, nasional dan
internasional, dengan dalih kerja sama antarkampus atau antarperiset di banyak
kampus dalam negeri dan asing. Sehatkah yang seperti ini?
Karena
sudah jamak terjadi, bahkan cenderung menjadi hal biasa, maka hanya nurani saja
yang bisa menjawabnya. Dalam bicang-bincang saat makan siang dan mendengar
obrolan dosen lainnya, beberapa dosen dalam acara Bimtek Jabatan Fungsional
tersebut menyatakan tidak setuju pada cara “boncengan” itu. Alasannya, semua
penulis harus berperan. Siapa sebagai penulis pertama, kedua, ketiga bergantung
pada kontribusinya. Urutan ini pun bergantung pada kesepakatan di antara
penulisnya dan kepada siapa korespondensinya. Bisa juga dalam satu penelitian
dihasilkan dua artikel ilmiah sehingga posisi penulis pertama bisa saling tukar
yang juga sesuai dengan kesepakatan di antara penulisnya. Namun yang setuju
juga banyak. Ada yang merespon positif dan akan menghubungi narasumber. Diucapkan
atau tidak, masalah terbesar dalam kenaikan jabatan fungsional adalah publikasi
artikel di jurnal internasional bereputasi dan berfaktor dampak (Impact
Factor).
Pada
Januari 2020 nanti akan mulai berlaku Pedoman Operasional Penilaian Angka
Kredit (PO PAK) terbitan tahun 2019. Yang pasti, persyaratan menjadi profesor
semakin berat. Di antaranya, menjadi promotor atau co-promotor mahasiswa doktoral
atau sudah memperoleh hibah riset dengan akumulasi dana mencapai minimal
seratus juta rupiah. Problemnya adalah banyak kampus yang belum memiliki program
doktor. Program magister juga banyak yang belum punya. Karena sudah dirilis,
maka peraturan dan pedoman itu tentu harus diberlakukan. Kecuali, Mendikbud Nadiem
Makarim berinisiatif merevisinya dengan berbagai pertimbangan yang disesuaikan
dengan pesan-pesannya yang viral itu.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar