Guruku, Pak Ngenteg dan
Pak Mara
Banyak tentu saja,
guruku. Tapi kali ini, untuk mengingat perayaan Hari Guru Nasional, yang
dikisahkan adalah dua guru SMAN 1 Tabanan, Bali. Beliau adalah Pak Ngenteg dan
Pak Mara.
Kelas satu SMA pada
awal 1980-an adalah tahap penjurusan. Ada IPA dan ada IPS. Cita-cita ingin
dapat IPA.
Di kelas satu, pada
awal pertemuan, seorang bapak guru masuk kelas. Memegang buku cukup tebal. Buku
paket. Sambil mengambil kapur, beliau menuliskan namanya di papan tulis hitam
dengan kapur putih merek Sarjana.
“Ngenteg. Nama saya
singkat saja.” Ujar beliau sambil melihat seisi kelas. Sapuan kanan kiri, depan
belakang, sekilas. “Saya mengajar Biologi.” lanjutnya.
Biologi adalah
pelajaran penting. Sepenting matematika, fisika, dan kimia. Nilai harus bagus. Teman-teman
berbisik-bisik. Saling pandang. Entah apa yang dipikirkan. Kelas relatif sepi-ramai.
Pelajaran pertama berkesan. Pandangan pertama begitu menggoda. Selanjutnya
terserah. Begitulah kira-kira.
Selama belajar biologi,
beliau nyaris hapal materinya. Jarang melihat ke buku paket yang tebal itu.
Belajar tentang jamur. Tentang amoeba. Tentang paramaecium. Juga yang lainnya.
Hapal di luar kepala. Semua teman bilang, dalam bahasa Bali tentu saja, “Hebat
ya… hapal hingga titik koma!”. Keren dech. Beliau mengajar hingga kami
di kelas dua. Di kelas tiga gurunya beda.
Guru kedua adalah Pak
Mara. Singkat juga namanya. Beliau guru matematika. Di kelas tiga. Jadi baru di
kelas tiga diajar beliau. Rumahnya waktu itu di dalam area sekolah. Ada tiga
guru yang tinggal di dalam sekolah. Rumah dinas. Beliau guru yang sangat
dihormati.
Mulai belajar diawali
oleh limit. Beberapa kali pertemuan belajar filosofinya. Apa itu limit? Selanjutnya
belajar diferensial. Turunan. Turunan kesatu, turunan kedua. (Sssttt.. tidak ada
tanjakan ya. Ini bukan jalan mobil, he he he). Beliau juga hapal. Kalkulus
pun hapal. Hapal “jalannya”, langkah-langkah solusinya. Terjawab semua
soal-soal di buku paket.
Begitu juga pelajaran
integral. Bagi kami, integral lebih sulit daripada diferensial. Apalagi banyak
yang harus dihapal. Pusing tentu saja. Lebih puyeng lagi ketika bahasan luas di
bawah kurva. Lantas sempurnalah pusingku pada waktu pembahasan isi benda putar.
Waduh. Menghitung volume benda…
Tapi luar biasa. Beliau
berorientasi pada soal-soal masuk ke perguruan tinggi. Waktu itu namanya
Sipenmaru. Kami yang tidak kuat. Nyerah. Tapi terus di-drill. Apalagi menjelang
Ujian Nasional waktu itu. Untuk memperoleh NEM: Nilai Ebtanas Murni. Sungguh besar jasa beliau. Bagaimanapun, dalam suka
dan duka diajar oleh guru-guru, tetap saja jasa mereka tak ternilai harganya.
Mau dibayar dengan uang pun, takkan terbayar, hakikatnya.
Selamat merayakan Hari
Guru Nasional, untuk semua guru, yang dulu hingga yang sekarang.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar