• L3
  • Email :
  • Search :

25 November 2019

Guruku, Pak Ngenteg dan Pak Mara

Guruku, Pak Ngenteg dan Pak Mara

Banyak tentu saja, guruku. Tapi kali ini, untuk mengingat perayaan Hari Guru Nasional, yang dikisahkan adalah dua guru SMAN 1 Tabanan, Bali. Beliau adalah Pak Ngenteg dan Pak Mara.



Kelas satu SMA pada awal 1980-an adalah tahap penjurusan. Ada IPA dan ada IPS. Cita-cita ingin dapat IPA.

Di kelas satu, pada awal pertemuan, seorang bapak guru masuk kelas. Memegang buku cukup tebal. Buku paket. Sambil mengambil kapur, beliau menuliskan namanya di papan tulis hitam dengan kapur putih merek Sarjana.

“Ngenteg. Nama saya singkat saja.” Ujar beliau sambil melihat seisi kelas. Sapuan kanan kiri, depan belakang, sekilas. “Saya mengajar Biologi.” lanjutnya.

Biologi adalah pelajaran penting. Sepenting matematika, fisika, dan kimia. Nilai harus bagus. Teman-teman berbisik-bisik. Saling pandang. Entah apa yang dipikirkan. Kelas relatif sepi-ramai. Pelajaran pertama berkesan. Pandangan pertama begitu menggoda. Selanjutnya terserah. Begitulah kira-kira.

Selama belajar biologi, beliau nyaris hapal materinya. Jarang melihat ke buku paket yang tebal itu. Belajar tentang jamur. Tentang amoeba. Tentang paramaecium. Juga yang lainnya. Hapal di luar kepala. Semua teman bilang, dalam bahasa Bali tentu saja, “Hebat ya… hapal hingga titik koma!”. Keren dech. Beliau mengajar hingga kami di kelas dua. Di kelas tiga gurunya beda.

Guru kedua adalah Pak Mara. Singkat juga namanya. Beliau guru matematika. Di kelas tiga. Jadi baru di kelas tiga diajar beliau. Rumahnya waktu itu di dalam area sekolah. Ada tiga guru yang tinggal di dalam sekolah. Rumah dinas. Beliau guru yang sangat dihormati.

Mulai belajar diawali oleh limit. Beberapa kali pertemuan belajar filosofinya. Apa itu limit? Selanjutnya belajar diferensial. Turunan. Turunan kesatu, turunan kedua. (Sssttt.. tidak ada tanjakan ya. Ini bukan jalan mobil, he he he). Beliau juga hapal. Kalkulus pun hapal. Hapal “jalannya”, langkah-langkah solusinya. Terjawab semua soal-soal di buku paket.

Begitu juga pelajaran integral. Bagi kami, integral lebih sulit daripada diferensial. Apalagi banyak yang harus dihapal. Pusing tentu saja. Lebih puyeng lagi ketika bahasan luas di bawah kurva. Lantas sempurnalah pusingku pada waktu pembahasan isi benda putar. Waduh. Menghitung volume benda…

Tapi luar biasa. Beliau berorientasi pada soal-soal masuk ke perguruan tinggi. Waktu itu namanya Sipenmaru. Kami yang tidak kuat. Nyerah. Tapi terus di-drill. Apalagi menjelang Ujian Nasional waktu itu. Untuk memperoleh NEM: Nilai Ebtanas Murni. Sungguh besar jasa beliau. Bagaimanapun, dalam suka dan duka diajar oleh guru-guru, tetap saja jasa mereka tak ternilai harganya. Mau dibayar dengan uang pun, takkan terbayar, hakikatnya.

Selamat merayakan Hari Guru Nasional, untuk semua guru, yang dulu hingga yang sekarang. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar