Oleh Gede
H. Cahyana
“Diktator” banyak ada di
perguruan tinggi, baik swasta maupun negeri. Kata yang sering berkonotasi
negatif ini merujuk pada dosen yang menulis diktat (“yang melulu mengacu pada satu
textbook”). Yang bagus adalah dosen
merujuk ke sejumlah textbook lalu
meramunya menjadi satu “buku baru” berujud diktat. Ini jauh lebih bagus
ketimbang bersumberkan pada satu textbook dan hanya mencomot atau dalam tata-tulis memakai komputer disebut
“copy-paste” saja. Apalagi kalau textbook yang diacunya sudah tua sekali,
misalnya terbitan tahun 1990-an atau lebih lama lagi.
Yang lebih dari lima tahun saja, terutama dalam ilmu-ilmu yang pesat
perkembangannya, bisa jauh ketinggalan. Lain halnya dalam bidang ilmu yang lamban
pertumbuhannya, terbitan lawas boleh jadi masih relevan. Jadi, tak bisa dipukul
rata dalam menilai suatu partisi keilmuan.
Dalam ilmu teknik misalnya, entah karena banyak berisi
gambar-gambar rekayasa, entah karena tak bisa atau malas menggambar lagi, entah
karena gambarnya rumit, kebanyakan diktat nyaris merupakan ambil sana ambil sini
dari textbook. Kalimat yang dibuat
pun nyaris terjemahan murni tanpa polesan dari dosen atau bisa juga
dari penterjemah komersial yang dibayarnya. Setiap
paragraf disalin (diterjemahkan) begitu saja tanpa memasukkan pandangan atau
pendapat dosen atas apa yang diambilnya itu. Yang elok adalah dosen punya
pandangan sendiri atas apa yang diambilnya dari textbook, sesedikit apapun pendapatnya itu. Ini akan
menjadi sumbangan (kontribusi)
pemikiran dalam khazanah sainstek.
Namun, bagaimanapun, dosen yang mau menulis diktat jauh lebih
baik ketimbang dosen yang tidak menulis diktat. Bayangkan kalau seumur-umur
sampai pensiun dosen tidak menulis diktat, bagaimana kira-kira mutu alumni
perguruan tinggi terutama kalau budaya baca mahasiswanya tidak tumbuh. Otomatis ilmu yang dimiliki mahasiswa atau
alumninya akan sangat rendah, sebatas apa yang diucapkan dosen ketika kuliah.
Belum lagi kalau mereka lupa semua apa yang pernah diterima di bangku kuliah
setelah sekian tahun. Yang tersisa hanya selembar kertas bernama ijazah dan
transkrip akademik serta gelar sarjananya.
Kalau menulis diktat saja sudah demikian bermasalah,
bagaimana dengan menulis textbook
yang khusus untuk kalangan mahasiswa (dan dosen)? Bagaimana dengan menulis buku
yang bukan textbook, katakanlah buku
ilmiah populer yang ditujukan bagi pembaca umum? Bagaimana dengan menulis
artikel ilmiah yang dimuat di jurnal untuk masyarakat khas dalam sainstek yang bersangkutan? Yang dimuat di media massa cetak
dan internet bagi masyarakat umum bagaimana? Bagaimana pula dengan makalah
seminar dalam berbagai temu-ilmiah, semi-ilmiah dengan pemerintah atau dengan populasi masyarakat tertentu?
Menulis buku yang bukan textbook tentu jauh lebih mudah apalagi kalau data dalam textbook itu tidak perlu riset yang berbiaya
besar dan waktu lama. Beda halnya dengan textbook
yang harus mencantumkan data akurat terbaru dalam khazanah ilmu. Untuk dapat
mencantumkan data terbaru ini dosen harus riset dulu. Waktunya bisa bulanan, bahkan tahunan. Kalau risetnya kelar, dia boleh (wajib)
mempublikasikannya di jurnal ilmiah agar bisa dibahas dan dievaluasi oleh rekan
sejawatnya di seluruh Indonesia (atau dunia). Di
tahap ini pun, yaitu penulisan artikel ilmiah sudah merupakan kendala
tersendiri. Tak banyak dosen yang mampu menuliskan apa yang telah dirisetnya.
Banyak dosen yang piawai meriset namun lemah dalam menulis. Tapi banyak juga
(malah terbanyak) dosen yang tak mampu meriset sekaligus tak bisa menulis.
Lantas bagaimana kalau dosen tak mampu riset sendiri
dengan alasan, misalnya biaya, apakah peluang menulis textbook pupus begitu saja? Tentu saja tidak. Dosen bisa mencari
dan dia harus rajin mencari bermacam-macam jurnal ilmiah terbitan teranyar dari
dalam maupun luar negeri. Bisa lewat Perpustakaan Nasional di Jakarta atau
lewat internet. Peluang selalu ada asalkan dosen mau meluangkan waktu dan
berupaya maksimal. Semua data yang diperolehnya dari jurnal ilmiah
terakreditasi dan berkaliber internasional dapatlah dijadikan data dalam
rancangan textbook-nya. Andaikata
tidak demikian, yaitu tidak mencari data terbaru dari berbagai jurnal atau buku
teks terbaru, maka buku teks buatannya akan terasa kering dan out of date. Apalagi kalau datanya hanya
mengacu ke buku teks yang sudah tua, jadilah buku teksnya sekumpulan informasi
usang dan tak punya nilai jual.
Kembali ke soal riset yang sangat penting dalam penulisan
textbook. Budaya riset memang belum
tumbuh bagus di kalangan dosen kita. Ini melanda mayoritas dosen. Walau
demikian, dalam kasus orang per orang, banyak juga yang tuman meriset. Namun
sayangnya, riset dosen itu masih dalam taraf pemula. Jangankan di PTS (perguruan
tinggi swasta), di PTN (perguruan tinggi negeri) yang terkenal saja budaya
riset ini belum berkembang baik. Jumlah riset memang relatif banyak secara
aritmetika tetapi kecil sekali persentasenya. Apalagi kalau parameter mutu
dimasukkan ke dalam evaluasinya, sangat kecil. Kebanyakan risetnya hanya modifikasi kecil-kecilan
dari riset yang telah dilaksanakan di luar negeri, biasanya dari tempat mereka
meraih gelar master, doktor atau post-doctoralnya. Risetnya seputar itu ke itu
saja, seolah-olah hanya bertujuan meraih nilai kum dan uang. Selain itu, sang
dosen pun jarang terjun langsung dalam riset itu dan hanya menerima laporan apa
adanya dari mahasiswa S1, S2, atau S3. Kalau
demikian, bagaimana dengan standar kualitas riset tersebut kalau dosen tidak
terjun langsung, minimal secara berkala, ke laboratorium atau lapangan? Inilah yang banyak terjadi di perguruan tinggi
kita.
Dalam sebuah seminar
terungkap bahwa banyak riset yang menyimpang dari tujuan awal ketika
penandatanganan kontrak riset. Ada yang tujuannya menghasilkan prototipe tetapi
yang dilaporkan sekadar “temuan” yang mengarah ke riset fundamental. Artinya,
tak bisa langsung diterapkan sesuai janji semula. Memang ada juga riset
pengembangan teknologi tapi itu pun belum siap disadap oleh masyarakat, khususnya
kalangan industri/pebisnis. Malah muncul pendapat bahwa hasil riset itu
bukanlah inovasi melainkan baru dalam tahap invensi (invention), baru rekaan saja. Masih sangat mentah, masih prototipe
awal sehingga perlu diriset lebih lanjut. Namun demikian, bagaimanapun
hasilnya, kita wajib memberikan apresiasi kepada periset ini karena mereka
sudah lebih baik daripada dosen yang tidak meriset. Lebih dari itu, kita memang
wajib mengkritiknya agar upaya memajukan ilmu dan pendidikan berada di jalur
yang betul. Pandanglah kritik sebagai
sahabat yang peduli pada periset agar bisa lebih maju lagi.
Jadi kian jelaslah bagi kita bahwa menulis buku teks yang
betul-betul serius memerlukan jalan panjang riset mandiri dan studi pustaka (textbook dan jurnal). Riset adalah kendalanya. Risetnya pun memunculkan banyak
kendala lagi seperti biaya, materi riset, metodologi, analisis, dukungan jurnal
terbaru, kerjasama antarperiset. Lantas, setelah riset selesai dan andaikata
diperoleh data yang absah dan dipublikasikan di jurnal (diakui oleh rekan
sejawat di dalam dan luar negeri) barulah bisa dimasukkan ke dalam buku teks.
Artinya, sang dosen baru memulai menulis perihal temuannya itu dalam buku
teksnya, selain mengutip data dari buku teks lainnya atau mengutip data dari
jurnal ilmiah absah yang berkualitas tinggi. Inilah yang disebut dukungan data
yang absah pada setiap penulisan buku, baik buku ilmiah populer maupun textbook. Syahdan, novel pun yang
mengarah ke fiksi sainstek (sciencetech
fiction) wajib didukung oleh riset yang absah agar tidak menjadi bumerang
bagi penulis dan mutu novelnya.
Akhirnya, boleh dikatakan bahwa dosen sulit menulis buku teks
lantaran ada banyak hal yang mesti disiapkan sebelum kegiatan penulisan itu
dimulai. Ada prolog yang bisa jadi sama panjangnya atau bahkan lebih panjang ketimbang penulisan buku teksnya.
Begitu pun ketika dosen hendak menulis buku ilmiah populer, dia pun harus
mengumpulkan data yang mendukung paparan dan pendapatnya. Sumber data tidak
hanya dari buku teks, tetapi juga dari berbagai jurnal
ilmiah, semi-ilmiah, koran, radio, televisi, wawancara langsung dengan masyarakat atau direktur
perusahaan, politisi, pemerintah, atau tokoh masyarakat.
Sebagai penutup perlu ditulis di sini bahwa ilmu selalu
berkembang, siang malam mengalami pembaruan. Ada yang cepat berubah, ada yang
lambat. Yang penting adalah tersedia data yang bisa diasumsikan absah. Apalagi
ada dogma bahwa semua riset tidak ada yang salah sejauh ada alasan yang
diberikan dan masuk ke dalam logika sainstek. Istilahnya, tak ada riset
yang final. Semuanya masih perlu diuji dan diuji terus sepanjang zaman. Last but not least adalah dana. Dana
riset adalah kendala besar di perguruan tinggi kita.
Akhirulkalam, tulisan ini juga sebagai swakritik untuk penulis, entah sampai kapan dosen tak mampu menulis textbook yang diakui dunia akademik
internasional, dirujuk oleh jurusan dan program studi di seluruh dunia. Dalam skala kecil, minimal menjadi
rujukan di tingkat nasional. (Silakan direka-reka profesor kita, berapa banyak yang
menulis buku teks yang berkualitas baik, tak sekadar buku teks. Akan ada temuan yang
mengejutkan. Sebab, mayoritas profesor kita tak punya buku teks. Menulis buku
ilmiah populer pun tak banyak yang melakoninya. Begitu pun artikel pendek
populer di media massa). Dan
Tuhanlah yang Mahatahu. ***
Foto: blog.arjournals.com
Foto: blog.arjournals.com
sangat menyedihkan atmosfer akademis di Indonesia, dosen hanya sekedar menyampaikan materi dari buku, teori orang luar negeri. idealnya mereka melakukan penelitian dan menemukan teori dan metode baru lalu diajarkan ke mahasiswanya
BalasHapuskadang aneh juga kalo liat dosen gak bisa bikin paper yang bagus... keilmuannya patut diragukan...
BalasHapus