Sudah 67 tahun
usia proklamasi kita. Adakah rasa merdeka hadir di hati? Dibandingkan dengan
Malaysia dan Singapura, kondisi kita jauh tertinggal. Meskipun usia kemerdekaan
mereka lebih muda daripada Indonesia, apalagi “hanya” berupa hadiah dari
penjajahnya, ternyata mereka berada di depan, khususnya dalam pendidikan dan
ekonomi. Apa sebabnya demikian? Peran pemimpinlah yang mengubahnya.
“A leader is one who knows the way, goes the way, and shows the way.”
John C. Maxwell
Bukan Pejabat
Dalam lingkup
sempit, setiap diri adalah pemimpin. Andaikata seseorang tidak mampu memimpin
dirinya, pasti tak mampu pula memimpin orang lain. Yang bisa dilakukannya hanyalah
menjadi pejabat dan menyuruh-nyuruh ajudan, staf dan bawahannya. Semua orang
yang disuruhnya, rela tak rela, suka tak suka, akan melaksanakan perintahnya
selama dia menjabat. Setelah pensiun atau pindah jabatan, perintahnya tak lagi
dituruti, sebab pejabatnya telah berganti.
Mengapa
demikian? Pejabat adalah orang yang diserahi tanggung jawab mengelola suatu
fungsi tugas dalam organisasi. Ia diangkat untuk membantu atasannya dalam
melaksanakan kewajiban dan biasanya berkaitan dengan tugas-tugas negara atau
perusahaan. Seorang pejabat tak perlu mendapat persetujuan hati nurani
masyarakat. Jangankan persetujuan masyarakat, persetujuan bawahan atau rekan
kerjanya saja tak perlu. Kalau atasannya sudah memilihnya, dia akan segera
menjadi pejabat dalam kurun tertentu di lingkup keahliannya dan mendapatkan
bayaran atas tugasnya itu.
Bayaran berupa
tunjangan jabatan dan akses ke setiap projek itulah yang begitu menarik
sehingga berduyun-duyunlah orang hendak menjadi pejabat di suatu institusi.
Parahnya lagi, di setiap institusi itu kerapkali terjadi persaingan ketat yang
tak sehat. Kian sulit lagi kalau terjadi pembangkangan, grup-grupan dan
intrik-intrikan. Bisa terjadi, ketika satu orang dari grup tertentu menjadi
pejabat, semua jabatan di bawahnya dipegang oleh orang dalam kelompok itu.
Terjadilah mutasi besar-besaran. Program pun segera diganti, tidak mau
meneruskan program pejabat sebelumnya karena tak hendak lawannya itu menjadi
populer dan dianggap berjasa sebagai pemilik ide program tersebut. Seringlah
terjadi gonta-ganti program kerja dan tak peduli pada dana yang telah keluar
dan menjadi mubazir, sekadar pemutar roda ekonomi di antara mereka yang
terlibat dalam projek tersebut.
Begitulah terjadi
berkali-kali, bongkar pasang pejabat dan jabatan dalam arah horisontal dan vertikal.
Kesan egosentris, cinta diri dan kelompok yang berlebihan begitu menonjol dan
kantor menjelma menjadi ladang uang untuk diri dan grupnya. Mentalnya berubah
menjadi pangreh praja yang kental
sehingga sulit dicairkan agar mudah beradaptasi dengan lingkungan. Ia selalu minta
dilayani, tak hanya oleh ajudan, staf, dan bawahannya, tetapi juga oleh
masyarakat, bahkan oleh orang-orang yang justru memilihnya ketika pemilu. Yang
paling sederhana saja, seperti baju, tas, jas, sepatu, dan sandal minta
dibawakan dan bangga berperilaku demikian seolah-olah hidup kesehariannya
laksana upacara tujuh belasan yang sarat dengan ajudan dan tatakrama upacara.
Tetapi anehnya,
orang-orang yang berposisi sebagai ajudan, sopir, pembantu, atau bawahan pejabat
tersebut malah bangga dan senang berposisi demikian. Apalagi kalau pejabatnya
itu begitu mudah mengeluarkan uang, pastilah akan lebih disukai lagi dan segala
titahnya dilaksanakan. Namun demikian, ketaatan seperti itu hanya semu belaka dan
segera sirna ketika sudah tidak menjabat lagi atau dimutasi. Muncullah fenomena
post power syndrome, sindrom pascakuasa, sampai-sampai ada
yang tak mau lagi ke luar rumah bergaul dengan tetangga dan sejawatnya dan
hidup terasing dalam keramaian. Yang paling menyedihkan adalah ketika mantan
pejabat itu harus menghitung hari di balik jeruji besi lantaran kasus
korupsinya.
Wanted: Pemimpin Sejati
Pejabat
berkarakter bagaimana yang dibutuhkan Indonesia? Yang dibutuhkan adalah pejabat
yang berkarakter pemimpin. Pejabat belum tentu pemimpin! Pemimpin pun memang belum
tentu seorang pejabat. Di Indonesia banyak ada pejabat, mulai dari tingkat
kelurahan (desa), kecamatan, sampai ke tingkat pusat. Di setiap
departemen-dinas, di setiap lembaga dan badan pun ada banyak pejabat tetapi
belum pasti diakui sebagai pemimpin. Pemimpin adalah orang yang merasa
terpanggil memimpin sekelompok orang dan orang-orang itu pun merasakan dan
mengakuinya sebagai pemimpin. Ada pelibatan rasa di sini. Tanpa interaksi kedua
rasa itu takkan ada kepemimpinan dan malah bertepuk sebelah tangan.
Itu sebabnya,
pemimpin bisa muncul di mana saja dan kapan saja. Ia tidak dibatasi ruang dan
waktu. Berbeda dengan pejabat yang harus patuh pada ruang, yaitu tempatnya
berkerja dan waktunya terbatas, misalnya empat atau lima tahun. Seorang
pemimpin pun tak harus bertitel sarjana, magister, doctor, profesor. Yang
titelnya berjejer banyak pula yang tak mampu memimpin, bahkan tak sanggup memimpin
dirinya sehingga berpredikat koruptor. Orang jenius pun tidak sertamerta atau otomatis
diterima oleh sekelompok orang sebagai pemimpinnya karena kepemimpinan tidak
berada di wilayah intelektual atau kecerdasan (apalagi sekadar deretan gelar palsu
atau minimal tak bermutu karena diperoleh dengan uang).
Yang dicari
kini adalah pemimpin sejati, yaitu orang-orang yang orientasinya melayani orang
lain. Hati nuraninya menyetir fisiknya untuk mengabdi dan mengerjakan tugasnya
sebagai tanggung jawab kepada masyarakat. Pada taraf yang lebih tinggi lagi,
pemimpin selalu berorientasi pada makna transenden, selalu mengaitkan tugasnya
dengan makna ketuhanan. Dia memimpin demi ibadahnya dan mendambakan pahala-Nya.
Itu sebabnya, orang yang berpredikat pemimpin sangat tidak mungkin berdusta, tidak
berbuat nista, dan tak mungkin korupsi. Yang sering terjadi justru harta
halalnya dibagi-bagikan kepada orang-orang yang sulit ekonominya, misalnya untuk
biaya SPP dan beli buku. Buat diri dan keluarganya, dia hanya mengambil
secukupnya agar bisa hidup sehat, bisa berpikir jernih, kuat belajar dan
mengajarkan ilmunya kepada orang lain. Danah Zohar dan
Ian Marshall menamainya servant-leader,
pemimpin pengabdi. Dia
memimpin demi menghidup-hidupkan nilai-nilai (values) kearifan atau sapientia.
Itu sebabnya kita digolongkan Homo Sapien, manusia berkearifan (Spiritual Quotient, SQ).
Sebagai
refleksi proklamasi, akankah kita terus berlomba meraih jabatan sambil sikut kanan-kiri,
sogok-sogokan dan intrik-intrikan? Akankah kita menyia-nyiakan nasib orang
banyak yang berada di bawah jabatan kita, bertingkah acuh tak acuh karena
menganggap mereka tak lebih daripada cacing tanah yang bisa diinjak dan
dipermainkan nasibnya? Akankah kita bermain sinetron bermuka manis pada setiap
menjelang pemilu?
Orang merdeka
adalah orang yang memerdekakan orang lain. Orang merdeka adalah orang yang
mampu membebaskan orang lain dan mau melayaninya. Menjadi “pelayan”! Dalam
lingkup inilah orang merdeka akan mampu menjadi pejabat sekaligus pemimpin. Menjadi
pejabat yang juga pemimpin. Wanted:
pemimpin sejati! *
Gambar: rumahfilsafat.com
Gambar: rumahfilsafat.com
maknailah "KEKUASAAN SEBAGAI WAKAF POLITIK". Jadilah Pemimpin yang merasa memiliki dan dimiliki oleh semua komponen masyarakat. Konsepsinya : jika seseorang atau Partai mencalonkan jadi eksekutif, maka hendaknya diniati memberikan dirinya / kader terbaiknya untuk dimiliki oleh seluruh masy/rakyat. (herry zudianto, penerbit Impuls cetakan ke 5)
BalasHapusijin share ya mas tulisannya
BalasHapus