• L3
  • Email :
  • Search :

28 Oktober 2007

Haruskah PLTS?



Yang di KOMPAS.


Bupati Kabupaten Bandung telah meletakkan batu pertama pembangunan pembangkit listrik tenaga sampah atau PLTS. Ketika rencana Pemerintah Kota Bandung ditolak warga, Kabupaten Bandung justru mencuri peluang dalam mewujudkan rencana itu. Yang dikedepankan ialah soal sumber air dan lokasinya. Airnya banyak dan jauh dari permukiman, demikian katanya. Kondisi ini memang berbeda dengan di Kota Bandung yang menempatkan PLTS di antara permukiman di Gedebage.
Meski demikian, tak berarti efek bahayanya berkurang apalagi hilang. Kota Bandung, Kabupaten Bandung, Bandung Barat, dan Cimahi berada di cekungan raya yang dikelilingi pegunungan. Karakter udaranya sama, yaitu sulit lepas ke luar cekungan dan senantiasa berputar-putar di dalam "lembah" raya. Inilah batu sandungan terbesar bagi PLTS di pegunungan. Lain halnya kalau PLTS dibuat di pantai. Keuntungannya malah ada tiga. Selain sampah dan raihan energi listrik, PLTS juga bisa menjadi sumber air minum dari proses desalinasi air laut.
Betulkah airnya tak bermasalah? Dalam hierarki kebutuhan air, yang primer adalah untuk air minum, lantas disusul oleh kebutuhan domestik lainnya. Keperluan bebersih di PLTS menduduki peringkat terakhir dalam hierarki itu sebab disetarakan dengan kebutuhan flushing air limbah (sewerage). Bisa saja sekarang kuantitasnya terpenuhi, tetapi lima atau sepuluh tahun ke depan dapat berkurang drastis, sementara penduduk terus bertambah. Sudah rahasia umum pula, Cekungan Bandung sedang mengalami krisis air.
Masalah kedua, akan dibuang ke mana air limbah yang kaya polutan B3 itu? Ke anak-anak Sungai Citarum? Lalu, bagaimana dampaknya pada Waduk Saguling, Cirata, dan Jatiluhur? Bagaimana warga yang air PDAM-nya berasal dari waduk-waduk itu? Bagaimana kesehatan mereka? Tak usah pedulikah kita karena bukan kita yang meminum air olahan PDAM yang air bakunya dari waduk itu? Apalagi, banyak instalasi pengolahan air limbah (IPAL) di Bandung yang terbukti sekadar ada tetapi "tiada". Buruk kinerjanya dan sekadar proforma. Mari, kita lihat fakta di lapangan dengan mata batin (nurani) sambil mengenyahkan hasrat politis dan ekonomis.
Perihal lokasi termasuk yang ketiga. Untuk saat ini bisa saja dikatakan jauh dari permukiman. Bagaimana pada masa yang akan datang? Siapa yang menjamin warga tidak akan tinggal di sekitar lokasi dan tak terjadi perluasan permukiman ke arah PLTS? Ke mana lagi warga Bandung harus tinggal (beli tanah dan rumah) kalau bukan di Bandung juga? Apalagi, polutan udara tak pandang jauh dekat dengan PLTS. Semua pelosok di Cekungan Bandung bisa terkontaminasi dengan mudah!
Sosiobudaya
Kecepatan pembakaran bukanlah jaminan atas solusi masalah sampah. Ada aspek lain, seperti ekonomi, sosial, dan ekologi, yang konjugasinya disebut sosioekologi (sosiobudaya, ekonomi, dan ekologi atau ekonologi).
Berbeda dengan negara di Eropa, Amerika, Jepang, China, dan Singapura yang tinggi taraf kesehatannya. Sebagai negara agraris dan agamis, masalah sampah bisa didekati dari sosiobudaya. Dengan memasukkan rohaniwan, tetua adat, atau tokoh masyarakat, pembiasaan reduksi sampah bisa dilakukan. Apalagi, kalau dibantu penyuluhan oleh dinas-dinas. Ini serupa dengan evolusi keberterimaan program keluarga berencana (KB) oleh masyarakat.
Pendekatan sosiobudaya sulit ditempuh di negara yang kuat individualismenya sebab massa sulit dilibatkan untuk implementasi 7R (reduce, reuse, recycle, replace, recovery, relocation, dan responsible). Wajarlah insinerasi yang dipilih. Di Indonesia berbeda. Orang Indonesia berguyub. Paguyuban menjadi keseharian dalam bertetangga. Lewat sosiobudaya inilah sampah dikelola, diolah di RT/RW, melibatkan Karang Taruna, PKK, ormas, partai politik, pelajar SD sampai dengan universitas. Gerakan ini tak perlu teknologi mahal dan riskan serta nihil dari petaka ekologi (ecological disaster).
Itu sebabnya, yang dinilai bukanlah aspek kecepatan, melainkan efek terhadap manusia dan lingkungan. Ini yang dikhawatirkan. Manusia harus sehat, lingkungan harus dikonservasi. Berhati-hati (precautionary principle) dan mencegah lebih baik daripada mengobati atau rehabilitasi pascabencana. Memadaikah paramedis, dokter, dan fasilitas kesehatan di rumah sakit? Adakah prosedur operasi standar atas bencana PLTS? Bagaimana tindakan step by step yang dikaitkan dengan sosiobudaya orang Bandung?
Karena itu, pola yang bersahabat dengan lingkungan lebih tepat. Konsep 7R layak digunakan karena kita punya struktur formal-informal pemerintahan yang bagus. Ada tanggung jawab bersama antara pejabat dan rakyat. Solutif, murah, dan tahan lama tanpa batas waktu. Semua dilaksanakan dengan penyuluhan dan melibatkan pejabat dan perangkatnya, anggota DPRD, fungsionaris dan kader partai, ormas beserta keluarganya.
Ekonologi
Betul bahwa PLTS menghasilkan listrik. Namun, listrik itu dijual ke warga, padahal bahan bakarnya dari warga. Ini berbeda dengan sanitary landfill, composting, dan 7R yang keuntungannya justru untuk warga. Yang terlibat tak hanya 20 warga atau 200 warga, tetapi ratusan ribu warga. Warga se-Bandung bisa melibatkan diri dalam mengelola sampah sekaligus melestarikan fungsi lingkungan. Sampah dari rakyat, dikelola rakyat (plus pemerintah), dan untuk rakyat (juga untuk pemerintah yang diringankan pekerjaannya dan hemat APBD).
Bagaimana mekanismenya? Pemerintah lewat dinas-dinasnya dapat memulai pembuatan pabrik pengelola dan pengolah sampah. Selain membuat pabrik, pemerintah hendaklah membantu distribusi produk sekaligus menurunkan penganggur. Sektor hulu-hilir sampah ini dapat melibatkan ratusan ribu orang. Pemerintah tinggal mengatur tata niaganya. Misalnya, dalam proyek konstruksi (sipil) dan permesinan, benda olahan sampah dengan konsep reuse, recycle, recovery itu dapat digunakan.
Yang terakhir, aspek ekologi. Intinya, sanitary landfill yang sudah penuh bisa ditanami pohon menjadi hutan, penyumbang oksigen, dan kenyamanan, selain juga bisa dijadikan daerah tujuan wisata berwajah ekowisata, serta bisa dijadikan permukiman setelah tuntas biodegradasinya. Dalam hal ini PLTS tidak bisa!
Penanganan sampah yang solutif ialah berbasis masyarakat karena sampah bersumber dari masyarakat. Upaya ini butuh waktu. Pelajar pun perlu 12 tahun agar bisa menjadi mahasiswa. Mengubah karakter tak semudah membuang sampah sebab perlu ilmu, konsistensi kebijakan, dan pembiasaan. Ini harus dimulai dari pejabat publik agar praktik memilah-milah sampah kemudian diikuti masyarakat.
Janganlah PLTS menjadi bencana ekologi di Tatar Bandung.
----------------------------------------------------------------------------------------------
Pak Bupati, Haruskah PLTSa?

Di bawah ini adalah tulisan “asli” saya alias sebelum disunting (diedit) dan digunting oleh redaksi Kompas, dibuat dua hari setelah Bupati Kab. Bandung menaruh batu di lahan PLTSa Babakan.

Jumat, 28/9/07 Bupati Kabupaten Bandung meletakkan batu pertama pembangunan Pembangkit Listrik Tenaga Sampah (PLTSa). Ketika rencana Pemerintah Kota Bandung ditolak warga, Kabupaten Bandung justru mencuri peluang dalam mewujudkan rencana itu. Yang dikedepankan ialah soal sumber air dan lokasinya. Airnya banyak dan jauh dari permukiman, demikian katanya. Kondisi ini memang berbeda dengan di Kota Bandung yang melokasikan PLTSa di antara permukiman di Gedebage.

Namun demikian, tak berarti efek bahayanya berkurang apalagi hilang. Kota Bandung, Kabupaten Bandung, Bandung Barat, dan Cimahi, semuanya berada di cekungan raya yang dikitari pegunungan. Karakter udaranya sama, yaitu sulit lepas ke luar cekungan dan senantiasa berputar-putar di dalam “lembah”. Inilah batu sandungan terbesar bagi PLTSa di pegunungan. Lain halnya kalau PLTSa itu dibuat di pantai. Keuntungannya malah ada tiga. Selain sampah dan raihan energi listrik, juga bisa menjadi sumber air minum dari proses desalinasi air laut.

Ada tiga pertanyaan untuk Pak Bupati. Yang pertama, betulkah airnya tak bermasalah? Dalam hirarki kebutuhan air, yang primer adalah untuk air minum, lantas disusul oleh kebutuhan domestik lainnya. Keperluan bebersih di PLTSa menduduki peringkat terakhir dalam hirarki itu sebab disetarakan dengan kebutuhan flushing air limbah (sewerage). Bisa saja sekarang kuantitasnya terpenuhi tetapi lima atau sepuluh tahun ke depan dapat berkurang drastis sementara itu penduduk terus bertambah. Sudah rahasia umum pula, cekungan Bandung sedang krisis air.

Masalah kedua, akan dibuang ke mana air limbahnya yang kaya polutan B3 itu? Ke anak-anak Sungai Citarum? Lalu bagaimana dampaknya pada Saguling, Cirata, dan Jatiluhur? Bagaimana warga yang air PDAM-nya berasal dari waduk-waduk itu? Bagaimana kesehatan mereka? Tak usah pedulikah kita karena bukan kita yang meminum air olahan PDAM yang air bakunya dari waduk itu? Apalagi banyak IPAL di sekujur Bandung ini yang terbukti sekadar ada tetapi “tiada”. Buruk kinerjanya dan sekadar proforma. Mari kita tatap fakta lapangan dengan mata batin (nurani) sambil mengenyahkan hasrat politis dan ekonomis.

Perihal lokasi termasuk yang ketiga. Untuk saat ini bisa saja dikatakan jauh dari permukiman. Bagaimana pada masa yang akan datang? Siapa yang menjamin warga takkan tinggal di sekitar lokasi dan tak terjadi perluasan permukiman ke arah PLTSa? Ke mana lagi warga Bandung harus tinggal (beli tanah dan rumah) kalau bukan di Bandung juga? Apalagi polutan udaranya tak pandang jauh dekat dengan PLTSa. Semua pelosok di cekungan Bandung bisa terkontaminasi dengan mudah!

Sosiobudaya
Kecepatan pembakaran bukanlah jaminan atas solusi masalah sampah. Ada aspek lain seperti ekonomi, sosial, dan ekologi yang konyugasinya disebut sosioekologi (sosiobudaya, ekonomi, dan ekologi atau ekonologi).

Berbeda dengan negara di Eropa, Amerika, Jepang, Cina, dan Singapura yang tinggi taraf kesehatannya, sebagai negara agraris dan agamis, masalah sampah bisa didekati dari sosiobudaya. Dengan memasukkan ruhaniwan, tetua adat, tokoh masyarakat maka pembiasaan reduksi sampah bisa dilakukan. Apalagi kalau dibantu penyuluhan oleh dinas-dinas. Ini serupa dengan evolusi keberterimaan program KB oleh masyarakat.

Pendekatan sosiobudaya sulit ditempuh di negara yang kuat individualismenya sebab massa sulit dilibatkan untuk implementasi 7R. Wajarlah insinerasi yang dipilih. Di Indonesia berbeda. Orang Indonesia berguyub. Paguyuban menjadi keseharian dalam bertetangga. Lewat sosiobudaya inilah sampah dikelola, diolah di RT/RW, melibatkan Karang Taruna, PKK, ormas, partai politik, murid SD s.d universitas. Gerakan ini tak perlu teknologi mahal dan riskan serta nihil dari petaka ekologi (ecological disaster).

Itu sebabnya, yang dinilai bukanlah aspek kecepatan melainkan efeknya atas manusia dan lingkungan. Ini yang dikhawatirkan. Manusia harus sehat, lingkungan harus dikonservasi. Berhati-hati (precautionary principle) dan mencegah lebih baik daripada mengobati atau rehabilitasi pascabencana. Memadaikah paramedis, dokter, dan fasilitas kesehatan di rumah sakit? Adakah prosedur operasi standar atas bencana PLTSa? Bagaimana tindakan step by step yang dikaitkan dengan sosibudaya orang Bandung?

Lantaran itulah pola yang bersahabat dengan lingkungan lebih tepat. Konsep 7R (reduce, reuse, recycle, replace, recovery, relocation, dan responsible) layak digunakan karena kita punya struktur formal-informal pemerintahan yang bagus. Ada responsible, tanggung jawab bersama, pejabat dan rakyat. Solutif, murah, dan tahan lama tanpa batas waktu. Semua dilaksanakan dengan penyuluhan dan melibatkan pejabat dan perangkatnya, dewan, fungsionaris dan kader partai, ormas plus keluarganya.
EkonologiBetul bahwa PLTSa menghasilkan listrik. Tapi listriknya itu dijual ke warga padahal bahan bakarnya dari warga. Ini berbeda dengan sanfil, composting, dan 7R yang keuntungannya justru untuk warga. Yang terlibat tak hanya duapuluh atau duaratus warga tapi ratusan ribu. Warga se-Bandung bisa melibatkan diri dalam mengelola sampah sekaligus melestarikan fungsi lingkungan. Sampah dari rakyat, dikelola rakyat (plus pemerintah), dan untuk rakyat (juga untuk pemerintah yang diringankan pekerjaannya dan hemat APBD).

Bagaimana mekanismenya? Pemerintah lewat dinas-dinasnya dapat memulai pembuatan pabrik pengelola dan pengolah sampah. Selain membuat pabrik, pemerintah hendaklah membantu distribusi produknya sekaligus menurunkan penganggur. Sektor hulu-hilir sampah ini dapat melibatkan ratusan ribu orang. Pemerintah tinggal mengatur tata niaganya. Misalnya, dalam projek konstruksi (sipil) dan permesinan, benda olahan sampah dengan konsep reuse, recycle, recovery itu dapat digunakan.

Yang terakhir, aspek ekologi. Intinya, sanitary landfill (sanfil) yang sudah penuh bisa ditanami pohon menjadi hutan, penyumbang oksigen dan kenyamanan. Juga bisa dijadikan daerah tujuan wisata berwajah ekowisata. Pun bisa dijadikan permukiman setelah tuntas biodegradasinya. Dalam hal ini PLTSa tidak bisa!

Gerakan Massal
Sampah itu produk massal sehingga warga wajib ikut bertanggung jawab. Warga harus berdaya, meskipun tak bisa instan. Namun pendekatan paguyuban inilah opsi positif bagi Bandung, bukan untuk negara lain yang tinggi income per kapitanya, baik fasilitas kesehatannya, dan sudah memilah sampahnya. Di Indonesia, yang tinggi pendidikannya belum tentu memilah sampahnya. Inilah kesempatan untuk memassalkan gerakan 7R.

Penanganan sampah yang solutif ialah berbasis masyarakat karena dari masyarakatlah sumber sampahnya. Upaya ini butuh waktu. Murid pun perlu 12 tahun agar bisa menjadi mahasiswa. Mengubah karakter tak semudah membuang sampah. Perlu ilmu, konsistensi kebijakan, dan pembiasaan. Ini harus dimulai dari pejabat publik agar memilah-milah sampahnya lantas diikuti oleh masyarakat.

Karena diapit pegunungan, selayaknya warga Bandung bersahabat dengan lingkungan sekaligus mengasah kecerdasan intelektual (intelectual intelligence), beretika baik (emotional intelligence) dan cerdas lingkungan (enviro intelligence) yang diharapkan bermuara di spiritual intelligence. Pak Bupati perlu mengajak tokoh agama selain PNS, anggota dewan, tokoh partai, ormas, perusahaan, dan sekolah s.d perguruan tinggi untuk mengelola sampah.

Tata kala masa..., janganlah PLTSa menjadi bencana ekologi di tatar Bandung.*


Tidak ada komentar:

Posting Komentar