PLTSa vs Kesuksesan Bau Busuk
Oleh Gede H.
Cahyana
Tidak ada satu
teknologi pun, khususnya di bidang pengolahan sampah yang memberikan solusi
tuntas. Ini berbeda dengan pengolahan air limbah yang relatif lebih mudah dan
jauh lebih mudah lagi adalah pengolahan air baku (mata air, air tanah, air
sungai/waduk, air laut) menjadi air minum. Sebab utamanya adalah variasi wujud
zat, yaitu padat dan cair serta variasi jenis sampahnya. Dua kategori variasi
ini yang menyulitkan dalam penerapan jenis teknologi yang aman bagi kesehatan
manusia, efektif dalam pengolahannya dan tinggi efisiensi atau kinerjanya.
Oleh sebab itu,
pendekatan sosiologi dan budaya menjadi hal utama, bukan sekadar pendukung.
Prinsip 3R: reduce, reuse, recycle
adalah pendekatan sosiobudaya dengan sentuhan teknologi sederhana dalam recycle. Masyarakat sebagai penimbul
sampah diajak ikut berperan dalam pengelolaan (management) dan pengolahannya (treatment)
dalam skala kecil seperti banyak dilakoni oleh saudara kita dari Madura. Bagi
kelompok ini, sampah adalah “serpihan emas” yang dibuang. Bagi warga masyarakat
lainnya, sampah adalah sumber daya yang dapat dijadikan pupuk dan produk olahan
sekunder lainnya. Tas, sandal, sepatu, bahkan baju pun ada yang dibuat dari
sampah atau bahan yang dianggap tak dibutuhkan lagi. Di sinilah peran pemulung
yang ikut mereduksi volume dan berat sampah yang akan ditimbun di TPA.
Sampah lainnya,
yaitu organik bisa dijadikan kompos dengan cara sederhana. Pengompos atau composter yang banyak dianjurkan adalah proses
aerob. Kondisi aerob ini dapat meminimalkan bau busuk, apalagi kalau diletakkan
di halaman rumah atau di sebuah sudut TPS di RT/RW. Bau busuk dari TPS inilah
yang diprotes warga. Selain itu, lalat dan tikus sebagai vektor penyakit dapat
menurunkan kesehatan warga sekitar. Bisa juga diterapkan proses anaerob,
misalnya dengan membuat lubang di halaman rumah kemudian sampah organik dimasukkan
dan diurug tipis dengan tanah setiap lima hari. Cara anaerob ini terutama yang
skala RT/RW bisa menghasilkan bau busuk yang masif kalau tidak dilapisi tanah. Untuk
menyiasatinya, sampah ini harus dijauhkan dari masyarakat sekaligus dimanfaatkan
potensi energinya. Bisa dikatakan, tanpa bau busuk, tidak mungkinlah energinya dipanen.
Hukum alamnya demikian. Di dalam bau busuk sampah tersimpan energi yang besar. Sebaliknya,
di dalam kemudahan PLTSa, karena asal dibakar saja, tersimpan bencana besar.
Patut dicatat, PLTSa
juga menebarkan bau busuk dari ceceran sampah di area sekitarnya dan dari
sampah yang menunggu giliran dimasukkan ke dalam tungku. Terlebih lagi
lokasinya di dalam/pinggir kota, bukan di luar kota (remote area). Tetapi sayang, bau busuk selama 24 jam per hari ini
tidak bisa dimanfaatkan sebagai sumber energi. Sebab, energi dari PLTSa ini akan
dihasilkan setelah sampah kering (sampah basah dikeringkan dulu) dibakar
kemudian panas yang dihasilkannya digunakan untuk menguapkan air dan membangkitkan
generator listrik (power plant). Ini berbeda dengan TPA sanitary landfill (sanfil) yang menggunakan
kebusukan sampah sebagai sumber energi. Sanfil
serupa dengan pengomposan anaerob. Sumber energinya adalah metana yang
konsentrasinya bisa mencapai 50% landfill
gas (LFG). Sisanya karbondioksida dan gas yang menimbulkan bau busuk
seperti H2S, NH3, dll.
Pemerintah
dapat memanfaatkan metana ini sebagai sumber energi dan bisa dijual ke
masyarakat atau industri atau digunakan untuk kebutuhan internal TPA. Bisa
dikatakan, LFG to energy ini akan
ekonomis pada kisaran satu juta ton sampah. Kota Bandung dengan penduduk 2,5
juta orang dan asumsi timbulan sampah 2,5 liter per orang per hari, maka
jumlahnya menjadi 6.250 m3/hari. Apabila berat jenis sampah 0,3 maka diperoleh
1.875 ton per hari. Dalam setahun 684.375 ton. Untuk mencapai 1 juta ton,
dibutuhkan waktu 1,5 tahun. Dengan
pertimbangan jenis sampah anorganik, maka diperkirakan satu juta ton sampah
organik bisa dicapai dalam waktu 2 s.d 2,5 tahun. Menurut Joe Constance di
dalam The Rotten Smell of Success (1997),
setiap pound sampah yang
didekomposisi menghasilkan 4,5 cubic feet
gas (LFG) dan bisa berlangsung selama 30 tahun, jauh lebih lama daripada lifetime PLTSa. Ketika PLTSa hanya
memberikan solusi parsial karena tidak bisa membakar 100% sampah Bandung, sanfil justru bisa menerima semuanya.
Kesimpulan,
setiap teknologi ada positif dan negatifnya. Yang dipilih adalah yang
manfaatnya lebih banyak daripada mudaratnya alias ramah lingkungan, sesuai
dengan amanat pasal 28 ayat (1) huruf d Peraturan Daerah Kota Bandung nomor 09
tahun 2011 tentang Pengelolaan Sampah. Menurut pasal tersebut, sanitary landfill akan ramah lingkungan
justru dengan memanen gasnya yang berbau busuk (rotten smell) menjadi
listrik. Sebaliknya PLTSa, ia akan menimbulkan gas berbahaya dan beracun di
antaranya dioksin dan abu (fly ash) yang tersebar luas di langit
cekungan Bandung.
Dampak ekologis
inilah yang harus dipertimbangkan bukan praktik tender PLTSa yang dipertanyakan
oleh KPPU (Komisi Pengawas Persaingan Usaha). Kejadian ini, seperti kata
sejumlah akademisi dan LSM di Bandung, kian meyakinkan warga bahwa PLTSa adalah
sekadar bisnis semata tanpa peduli pada ancaman bahayanya. Masyarakat Bandung
berharap, semoga tidak demikian. ***
Dimuat di Pikiran Rakyat, Selasa, 21 Oktober 2014.
PLTSa Lebih Cocok di Pantai
Tidak ada komentar:
Posting Komentar