• L3
  • Email :
  • Search :

14 Oktober 2014

Pikiran Rakyat, Guru Para Penulis

Pikiran Rakyat, Guru Para Penulis
Oleh Gede H. Cahyana


Kebakaran kantor redaksi Pikiran Rakyat menjadi berita utama di media elektronik dan media cetak terbitan Jakarta. Api yang melalap dokumen tua dan bersejarah itu mulai membesar pada pagi hari Sabtu, 4 Oktober 2014. Mendengar dan membaca berita duka itu, hati ini sedih. Sebab, koran inilah yang ikut memupuk semangat saya menjadi penulis. Mungkin saya belum layak disebut penulis, baik secara kuantitas tulisan maupun kualitas tulisan. Namun demikian, demi menyemangati diri sendiri, bolehlah saya menyebut diri sebagai penulis, minimal sebagai “penulis” yang berproses menjadi penulis.

Kunjungan saya terakhir ke redaksi koran rintisan Pak Atang Ruswita (alm) ini pada Rabu, 1 Oktober 2014. Waktu itu ada kunjungan anak-anak sekolah yang ingin belajar proses penerbitan koran, mulai dari dapur redaksi hingga ke distribusinya. Sudah banyak kalangan yang memperoleh ilmu dari eksistensi Pikiran Rakyat. Hanya koran inilah yang bisa eksis di Jawa Barat (Bandung) di tengah persaingan ketat penerbitan, apalagi setelah hadir berbagai koran online. Banyak kalangan yang menduga bahwa koran akan tinggal namanya.

Tetapi faktanya, koran ini tetap rutin menyambangi khalayak pembacanya setiap hari. Bahkan tetap terbit pada Senin, 6 Oktober setelah kebakaran itu. Mengharukan, khususnya bagi saya yang memang membutuhkan media cetak yang dikenal luas di masyarakat untuk menyalurkan dan membagikan ilmu dan teknologi lingkungan yang saya pelajari. Nikmatnya berbagi ilmu karena ada banyak orang yang bisa membaca, bahkan ikut mempraktikkannya. Misalnya, tulisan tentang filter air, begitu banyak yang bertanya dan ingin penjelasan cara pembuatan dan apa saja media filter yang cocok digunakan.

Dalam penilaian saya, Pikiran Rakyat sudah banyak membuat orang (rakyat) berpikir. Pikiran ini wujudnya adalah tulisan di bidang masing-masing: ada yang senang menulis cerita pendek, puisi, menulis berita kegiatan organisasi, menulis di kalangan guru, menulis sainstek, menulis opini, termasuk halaman khusus untuk anak-anak. Ketika masih anak-anak, yaitu di SD, tiga anak saya beberapa kali memperoleh hadiah kiriman dari Percil. Ada yang mewarnai, ada kuis, dan ada juga cerita pendek anak-anak. Setiap tulisan atau gambarnya muncul, tampak wajah mereka senang. Tambah senang lagi setelah kiriman uangnya diterima, bisa untuk tambahan beli buku cerita. Sebagai orangtua, saya berikan semangat untuk terus menulis dan membaca.

Pikiran Rakyat berperan besar menumbuhkan rasa percaya diri saya dalam menulis. Ini lantaran pengaruh dari para penulis artikel di Pikiran Rakyat. Penulis yang selalu saya nantikan karyanya pada masa-masa awal saya belajar menulis, yaitu tahun 1994 adalah Pak Unus Suriawiria (alm). Selain sebagai dosen saya waktu di ITB, beliau juga menulis artikel: tips agar tulisan ilmiah populer dimuat di koran. Berikutnya, Prof. Otto Soemarwoto (alm), dosen Universitas Padjadjaran. Karena latarnya ekologi, maka mayoritas tulisannya tak pernah luput saya baca. Beberapa saya simpan, dikliping, khususnya tulisan tentang lingkungan dan persampahan di Bandung. Hingga akhir hayatnya Pak Otto konsisten menulis di Pikiran Rakyat, bahkan terus menulis tentang bahaya insinerator (PLTSa) di Kota Bandung. Lewat artikel beliaulah saya tahu sebuah akronim NIMBY (not in my back yard), yang pernah beliau tulis menjadi judul artikel opini di Pikiran Rakyat.

Ada satu orang lagi, yaitu Pak H. Usep Romli, HM. Beberapa kali saya ikut pelatihan menulis yang salah satu pematerinya adalah beliau. Pikiran Rakyat pun pernah menggelar acara serupa di kantornya di Jalan Soekarno-Hatta. Selain acara tulis-menulis, sejumlah ceramahnya, terutama tentang Palestina pun pernah saya ikuti di beberapa tempat di Bandung. Kalau dicermati temanya, pria Asgar ini banyak menulis tentang materi di dalam ajaran Islam, biasanya disesuaikan dengan tema atau peringatan hari raya dan peristiwa di luar negeri yang berkaitan dengan Islam. Beliau concern di dalam tema ini.

Tentu ada lagi penulis artikel di Pikiran Rakyat yang menjadi contoh dalam menulis. Minimal, tiga nama itulah yang saya kenal lewat koran Pikiran Rakyat pada medio 1990-an. Merekalah yang menyulut api semangat saya dalam menulis, khususnya di koran, berbagi tentang ilmu dan teknologi lingkungan.

Mudah-mudahan Pikiran Rakyat mampu mempertahankan eksistensinya, sekaligus mengembangkan jangkauan pembacanya. Riwayat hari ini akan menjadi kekuatan pada masa yang akan datang, pada masa ketika teknologi internet begitu melesat tinggi dan seolah-olah dapat membenamkan media cetak. Apapun itu, media cetak berupa koran tetap dibutuhkan. Ia menjadi sumber berita terpercaya karena rekam-jejaknya yang mengoyak dalam hati warga Jawa Barat selama setengah abad.

Terakhir, ketahanan koran ini juga lantaran memiliki SDM yang kuat. Pak Budhiana dalam twitnya menulis: Pagi ini kantor Pikiran Rakyat terbakar. Tapi kami bertekad, Senin dan seterusnya koran PR tetap terbit! Begitu juga Pak Islaminur Pempasa yang kerapkali tayang di radio PRFM news channel, mengulas garis-garis besar isi koran di tengah deru debu kemacetan lalu lintas Kota Bandung.


Pikiran Rakyat, semoga selamat. *

Tidak ada komentar:

Posting Komentar