Pikiran Rakyat, Guru Para Penulis
Oleh
Gede H. Cahyana
Kebakaran kantor redaksi Pikiran Rakyat menjadi berita
utama di media elektronik dan media cetak terbitan Jakarta. Api yang melalap
dokumen tua dan bersejarah itu mulai membesar pada pagi hari Sabtu, 4 Oktober
2014. Mendengar dan membaca berita duka itu, hati ini sedih. Sebab, koran
inilah yang ikut memupuk semangat saya menjadi penulis. Mungkin saya belum
layak disebut penulis, baik secara kuantitas tulisan maupun kualitas tulisan.
Namun demikian, demi menyemangati diri sendiri, bolehlah saya menyebut diri
sebagai penulis, minimal sebagai “penulis” yang berproses menjadi penulis.
Kunjungan saya terakhir ke redaksi koran rintisan Pak
Atang Ruswita (alm) ini pada Rabu, 1 Oktober 2014. Waktu itu ada kunjungan
anak-anak sekolah yang ingin belajar proses penerbitan koran, mulai dari dapur
redaksi hingga ke distribusinya. Sudah banyak kalangan yang memperoleh ilmu
dari eksistensi Pikiran Rakyat. Hanya koran inilah yang bisa eksis di Jawa
Barat (Bandung) di tengah persaingan ketat penerbitan, apalagi setelah hadir
berbagai koran online. Banyak kalangan yang menduga bahwa koran akan tinggal
namanya.
Tetapi faktanya, koran ini tetap rutin menyambangi
khalayak pembacanya setiap hari. Bahkan tetap terbit pada Senin, 6 Oktober setelah
kebakaran itu. Mengharukan, khususnya bagi saya yang memang membutuhkan media
cetak yang dikenal luas di masyarakat untuk menyalurkan dan membagikan ilmu dan
teknologi lingkungan yang saya pelajari. Nikmatnya berbagi ilmu karena ada
banyak orang yang bisa membaca, bahkan ikut mempraktikkannya. Misalnya, tulisan
tentang filter air, begitu banyak yang bertanya dan ingin penjelasan cara
pembuatan dan apa saja media filter yang cocok digunakan.
Dalam penilaian saya, Pikiran Rakyat sudah banyak
membuat orang (rakyat) berpikir. Pikiran ini wujudnya adalah tulisan di bidang
masing-masing: ada yang senang menulis cerita pendek, puisi, menulis berita
kegiatan organisasi, menulis di kalangan guru, menulis sainstek, menulis opini,
termasuk halaman khusus untuk anak-anak. Ketika masih anak-anak, yaitu di SD,
tiga anak saya beberapa kali memperoleh hadiah kiriman dari Percil. Ada yang
mewarnai, ada kuis, dan ada juga cerita pendek anak-anak. Setiap tulisan atau
gambarnya muncul, tampak wajah mereka senang. Tambah senang lagi setelah
kiriman uangnya diterima, bisa untuk tambahan beli buku cerita. Sebagai
orangtua, saya berikan semangat untuk terus menulis dan membaca.
Pikiran Rakyat berperan besar menumbuhkan rasa percaya
diri saya dalam menulis. Ini lantaran pengaruh dari para penulis artikel di
Pikiran Rakyat. Penulis yang selalu saya nantikan karyanya pada masa-masa awal
saya belajar menulis, yaitu tahun 1994 adalah Pak Unus Suriawiria (alm). Selain
sebagai dosen saya waktu di ITB, beliau juga menulis artikel: tips agar tulisan
ilmiah populer dimuat di koran. Berikutnya, Prof. Otto Soemarwoto (alm), dosen
Universitas Padjadjaran. Karena latarnya ekologi, maka mayoritas tulisannya tak
pernah luput saya baca. Beberapa saya simpan, dikliping, khususnya tulisan tentang lingkungan dan persampahan di
Bandung. Hingga akhir hayatnya Pak Otto konsisten menulis di Pikiran Rakyat,
bahkan terus menulis tentang bahaya insinerator (PLTSa) di Kota Bandung. Lewat
artikel beliaulah saya tahu sebuah akronim NIMBY (not in my back yard), yang pernah beliau tulis menjadi judul artikel
opini di Pikiran Rakyat.
Ada satu orang lagi, yaitu Pak H. Usep Romli, HM.
Beberapa kali saya ikut pelatihan menulis yang salah satu pematerinya adalah
beliau. Pikiran Rakyat pun pernah menggelar acara serupa di kantornya di Jalan
Soekarno-Hatta. Selain acara tulis-menulis, sejumlah ceramahnya, terutama
tentang Palestina pun pernah saya ikuti di beberapa tempat di Bandung. Kalau
dicermati temanya, pria Asgar ini banyak menulis tentang materi di dalam ajaran
Islam, biasanya disesuaikan dengan tema atau peringatan hari raya dan peristiwa
di luar negeri yang berkaitan dengan Islam. Beliau concern di dalam tema ini.
Tentu ada lagi penulis artikel di Pikiran Rakyat yang
menjadi contoh dalam menulis. Minimal, tiga nama itulah yang saya kenal lewat
koran Pikiran Rakyat pada medio 1990-an. Merekalah yang menyulut api semangat
saya dalam menulis, khususnya di koran, berbagi tentang ilmu dan teknologi
lingkungan.
Mudah-mudahan Pikiran Rakyat mampu mempertahankan
eksistensinya, sekaligus mengembangkan jangkauan pembacanya. Riwayat hari ini
akan menjadi kekuatan pada masa yang akan datang, pada masa ketika teknologi
internet begitu melesat tinggi dan seolah-olah dapat membenamkan media cetak.
Apapun itu, media cetak berupa koran tetap dibutuhkan. Ia menjadi sumber berita
terpercaya karena rekam-jejaknya yang mengoyak dalam hati warga Jawa Barat
selama setengah abad.
Terakhir, ketahanan koran ini juga lantaran memiliki
SDM yang kuat. Pak Budhiana dalam twitnya menulis: Pagi ini kantor Pikiran
Rakyat terbakar. Tapi kami bertekad, Senin dan seterusnya koran PR tetap
terbit! Begitu juga Pak Islaminur Pempasa yang kerapkali tayang di radio PRFM news channel, mengulas garis-garis besar
isi koran di tengah deru debu kemacetan lalu lintas Kota Bandung.
Pikiran Rakyat, semoga selamat. *
Tidak ada komentar:
Posting Komentar