• L3
  • Email :
  • Search :

2 April 2006

Raport Merah atau Biru?

Artikel ini berkaitan dengan penilaian kinerja Walikota Bandung oleh LSM dan juga oleh orang/kelompok yang dekat dengan walikota.

Ini betul-betul kisah nyata. Pada sore hari 1 Februari 2006 saya dijajal pertanyaan oleh anak saya yang di SD. Dia rupanya bingung mendengar ribut-ribut di radio yang membahas raport merah dan raport biru. “Pak, kok baru dapat raport sekarang?” tanyanya. “Kenapa ada yang ngasi merah Pak. Ada juga yang ngasi biru? Kok orang itu marah-marah, Pak?” Saya jawab,” Ini beda dengan raport yang kamu terima di sekolah. Ini namanya raport-kerja, raport pemerintah. Dia marah karena dikasi merah dan senang dikasi biru. Persis seperti kamu. Kamu tidak senang kan raportmu merah?

Kisah warna
Karena pertanyaan tersebut saya lantas menulis artikel ini. Manakah warna yang paling penting, merahkah? Atau, birukah? Siapa yang berani memilih salah satu di antara dua warna itu dan 100 % yakin bahwa warnanyalah yang betul dan sesuai dengan hidup ini? Ada cerita, seorang anak pernah meraung-raung karena melihat warna merah yang diasosiasikan dengan darah. Dia pernah celaka, kepalanya luka parah sehingga darahnya mengucur. Anak yang lain justru gemetar melihat warna biru lantaran trauma terseret ombak laut biru dan orang tuanya tewas di laut, tak ditemukan jasadnya sampai sekarang.

Namun faktanya, dunia anak adalah dunia warna-warni. Sekolah TK pasti penuh dengan warna dan temboknya pun warna-warni. Sebuah lagu anak-anak bahkan berjudul Pelangi yang kaya warna. Cahaya penerang bumi pun warna-warni, bukan merah semata atau biru saja. Ini dibuktikan dengan melalukan cahaya matahari ke sebuah sisi prisma yang mampu membuat spektrum pelangi. Dengan sudut simpangan (deviasi) tertentu muncullah warna-warni mejikuhibiniu: merah jingga kuning hijau biru nila ungu. Nyatalah, tanpa warna merah tidak bisa disebut pelangi. Tanpa biru pun tak layak disebut pelangi. Tanpa salah-satu warnanya, tak layaklah spektrum itu disebut pelangi. Pelangi alami haruslah lengkap dengan tujuh macam warna tersebut. Itulah makna kesatuan ujud, makna kebersamaan.

Apa lagi yang merah...? Darah! Tanpa darah tak mungkin manusia bisa hidup. Itu pun harus darah bersih, darah kaya oksigen. Namun demikian, sesekali kita dengar orang berucap bahwa si Fulan berdarah biru, berdarah trah bangsawan. Di dalam merah darahnya tersimpan “biru” trahnya. Berbaurlah makna konotasi dan denotasi di dalam merah darah. Begitu pun, merah dinisbatkan pada keberanian dan biru dianggap warna berkabung, warna kematian, selain warna hitam versi Yahudi. Tapi ada yang sebaliknya, yaitu warna biru langit menandakan kecerahan dan Badan Meteorologi-Geofisika akan antusias menyebutnya sebagai langit cerah. Semua penerbangan pesawat berjalan lancar dan penjemur baju bersyukur cuciannya cepat kering. Tapi kesenduan tampak juga dari biru laut yang paralel dengan kedalaman misterinya. Di peta, laut dangkal ditandai dengan biru muda. Makin dalam makin biru warnanya, dan samudra pasti biru warnanya. Biru laut menyimpan “dendam” di kedalaman pusat gempanya yang menimbulkan tsunami. Biru pun lantas dianggap menghanyutkan sehingga pamali berbaju biru jika ke laut.

Ada yang tak tahu merah-putih? Siswa kelas satu SD pun sudah tahu warna bendera negara kita ini. Merah berarti berani, putih artinya suci. Selain berani, merah pun dijadikan simbol kemarahan, misalnya dengan cap dan tanda tangan darah. Wajah merah, kecuali pertanda marah, juga simbol rasa malu karena bersalah. Di lalu lintas angkutan jalan raya, merah dijadikan tanda larangan. Di dunia perbukuan, merah dicap sebagai kekiri-kirian, ekstrim kiri. Namun ada juga kebiasaan masyarakat kita yang membuat bubur merah dan bubur putih dalam perayaan agama tertentu. Bunga mawar merah berduri berani bersanding dengan warna putih melati yang mungil nan harum. Dan yang pasti, keduanya menabur semerbak di tamansari.

Lain lagi makna warna di hati muda-mudi. Mereka senang mengenakan kain biru, kain blue jeans. Dulu warna biru sangat digandrungi kawula muda sehingga celana jeans yang hebat adalah yang betul-betul biru. Lantas ada pergeseran mode, pada paruh kedua dekade 1980-an, celana jeans yang dianggap “sakti” justru yang tidak biru, tetapi sudah belel keputih-putihan. Berkembanglah tren jeans baru yang belel tapi mahal harganya. Akhirnya berkembang menjadi jeans belel berlubang-lubang, sobek di sana-sini tapi mahal. Lain blue jeans, lain pula blue film. Isinya sudah jamak diketahui, yaitu film yang berisi adegan suami-istri, diminati tidak saja oleh penyuka jeans biru, tapi juga oleh para pekerja kerah biru dan eksekutif berkrah putih. Yang ramai sekarang justru masalah biru-biru itu, yaitu majalah biru Playboy, majalah panas, majalah merah membara. Bolehlah disebut, majalah Playboy adalah majalah biru yang merah. Aneh juga?!

Nilai guna tertinggi warna ternyata ada di dunia industri, di dunia pabrik tekstil. Ini bisa dilihat pada air limbahnya yang warna-warni, termasuk merah dan biru. Kedua warna ini, ditambah warna-warna lainnya, membentuk kesatuan artistik dalam ujud kain yang lantas menjadi baju dan celana. Tanpa kedua warna itu niscaya tak lengkaplah corak baju kita. Ini indentik dengan warna biru dan merah bunga-bunga di taman. Kalau merah saja, bakal tak elok panoramanya. Warna-warni taman, keberagamannya adalah ciri taman “Narmada” dan “Suranadi” di masa lalu.

Warna raport
Bagaimana dengan raport? Awalnya raport ditulis dengan warna biru untuk nilai enam ke atas. Demi pembedaan, dan memberikan dampak psikologis, nilai kurang dari enam ditulis dengan merah. Jadilah warna merah sebagai “hantu” menakutkan bagi siswa. Hanya saja sekarang warna itu diupayakan tidak digunakan lagi untuk meniadakan kesan seram dan frustrasi sehingga nilai kurang dari enam tetap saja ditulis dengan biru. Malah ada guru yang tidak loyal lagi pada warna biru dan merah lalu menulisi raport siswanya dengan tinta hitam. Saya lihat warna hitam justru gagah berwibawa dan anak didik tidak merasa “divonis mati” secara psikologis, tapi digugah gairah belajarnya agar lebih bagus pada semester berikutnya.

Warna-warni terbukti sebagai anugerah Sang Mahawarna. Dalam Alquran Allah berfirman, dan siapakah yang lebih baik shibghahnya (celupannya) selain daripada Allah? (Al Baqarah: 138). Celupan merahkah yang terbaik ataukah yang biru? Ternyata semua celupan itu baik-baik saja bergantung pada orangnya yang mampu memaknainya demi kejernihan moral, kebeningan akhlak. Ini intinya. Di ayat tersebut Allah bertanya secara retoris alias proklamasi bahwa “warna” Allahlah yang terbaik. Itulah agama (Islam) yang mampu memberikan corak, warna, dan motif bagi penganutnya. Apalah artinya sebuah warna jika hakikatnya kamuflase bunglon belaka. Tak ada warna yang mutlak baik kecuali “warna” atau shibghah Allah. Apalagi semua warna di bumi ini, termasuk warna pelangi, warna bunga, warna tekstil dan warna-warni tinta pulpen kita berasal dari Allah, Sang Mahasumber.

Jika kedua warna yang menjadi pokok tulisan ini, merah dan biru, tak mampu bekerja sama tapi malah membuka perlawanan, ini mirip dengan pakaian yang warna-warnanya tak bisa akur sehingga luntur. Bayangkan, ada baju yang warna birunya luntur dan merahnya juga luntur. Hasilnya, baju menjadi belang-belang sehingga tak sudilah kita mengenakannya. Persis seperti itulah perilaku kita andaikata kita terlalu memuja egoisme warna masing-masing tanpa mau bersinergi menjadi warna yang saling melengkapi seperti pelangi. Inilah teori relativitas warna yang “aksiomanya”: tak ada yang mutlak bagus dan tak ada yang jelek total.

Jika demikian, kenapa mesti bertengkar soal warna dan bukan bertengkar soal hakikat yang inheren di dalam warna tersebut? Janganlah lupa pada esensi makna warna dan hanya terpaku pada penglihatan mata yang bisa menipu. Jadikan saja kedua warna itu sebagai masukan atau kritik. Semua kritik pasti membangun, tak ada kritik yang tidak membangun. Tinggal kita saja yang mau dan mampu mengubah sudut pandang agar kritik yang seperti kripik pedas pun tetap bermanfaat. Ada ungkapan, jangan dilihat siapa yang mengritik, tapi renungkanlah isi kritiknya. Jangan marah pada yang berteriak awas ular, tapi lihat dan waspadailah ularnya. Inilah orang-orang tawadhu, orang-orang rendah hati. Jadikan saja warna merah dan biru itu sebagai objek yang komplementer dan berjejer menjadi spektrum warna pelangi nan indah.

Akhir kata, jangan menjadi shibghah (celupan) yang luntur karena palsu, pura-pura, dan sarat kemunafikan, penuh rekayasa pembual. Tetapi, jadilah celupan abadi seperti shibghah Allah dalam ujud bebas KKN, bebas manipulatif, tinggi akhlak-moral dan bebas pembelaan primordial. Lazuardi menanti. *

Tidak ada komentar:

Posting Komentar