Ada kutipan yang yang erat kaitannya dengan Kartini. Kuambil dari buku Menemukan Sejarah karya Prof. A. Mansur Suryanegara, seorang gurubesar sejarah di Univ. Padjadjaran Bandung. Begini isinya:
Di sana hampir tiada seorang juga laki-laki yang perempuannya hanya seorang, dalam kalangan bangsawan terutama lingkungan susuhunan, seorang laki-laki lebih 26 orang perempuannya (23 Agustus 1900).
Kalimat di atas bisa ditafsirkan menjadi tiga segi, yaitu (1) Kartini tak suka poligami yang sangat banyak istrinya, sampai puluhan; lalu yang (2) Kartini tak setuju poligami lebih dari empat orang atau Kartini setuju pada poligami empat orang; dan (3) Kartini menganut monogami. Jika dilihat dari tanggal suratnya, bisa disimpulkan bahwa itu dibuat atau dikirim oleh Kartini kepada sahabatnya sebelum ia menikah. Ada juga data bahwa Kartini belajar tafsir Al Qur’an tapi baru sampai beberapa juz saja. Barangkali Kartini sudah pernah membaca atau diberi tahu bahwa dalam Qur’an ada ayat yang membolehkan poligami. Itu pun hanya dengan empat perempuan. Jka tak mampu, sebaiknya satu saja.
Maka, apa yang terjadi selanjutnya? Kartini ternyata mau menjadi istri keempat dari Djojoadiningrat yang sudah punya tujuh anak. Berikut ini saya kutipkan kolom di majalah Tempo, 17 April 2006.
Kartini menikah dengan Djojoadiningrat, yang sudah punya tiga istri dan tujuh anak. Bahkan putri tertua suaminya hanya terpaut delapan tahun dari sang Raden Ajeng itu. Perkawinan yang berlangsung pada 8 November 1903 itu praktis menyudahi perlawanannya terhadap praktek poligami di masyarakat Jawa. Setelah diboyong ke Rembang menjadi raden ayu di kabupaten, Kartini tidak lagi bicara soal kedudukan perempuan atau menyerang poligami, bahkan juga cita-citanya mengenai pendidikan. Sangat boleh jadi ia sudah berdamai dengan lingkungannya. Ini memang aneh: seorang pemberontak bisa menjadi begitu lentuk.
Jika demikian, adakah Kartini setuju pada poligami? Betulkah dia telah menjadi begitu lembut dan pasrah? Untuk menjawab ini, saya hanya berpatokan pada analisis keumuman, common analysis dan lebih dititik beratkan pada sudut pandang Islam, pada fakta dalam Qur’an dan sejumlah pendapat orang-orang terkenal di kalangan barat.
Begini. Seratus persen saya yakin, tak ada seorang wanita pun yang mau dipoligami (saya sengaja menggunakan kata wanita dan perempuan). Hati kecil terdalamnya, relung kalbunya, pastilah ingin menguasai suaminya tanpa harus berbagi dengan wanita lain. Jangankan berbagi dengan tiga wanita lain, dengan satu wanita saja dia tak rela, syahdan deras mengalir frase ‘ikhlas dimadu’ dari mulutnya. Sebersit rasa waswas pasti muncul di hatinya. Kuyakin itu. Apalagi kutahu dari buku-buku kisah rasul atau sirah nabawiyah, bahwa Aisyah, istri termuda dan perawan ketika dinikahinya, sesekali protes. Aisyah mencemburui Khadijah, istri pertama dan utama Muhammad yang telah lama meninggal. Bayangkan, dengan orang yang sudah almarhumah saja Aisyah begitu cemburu.
Suatu kali Aisyah dibakar api cemburu yang menderu-deru. Sampai-sampai ia tega berkata, ‘Khadijah lagi... Khadijah lagi... Seperti di dunia ini tak ada wanita selain Khadijah!’ Tajam nian kalimat itu, lurus menghujam hati lelaki. Muhammad lantas meninggalkan Aisyah tapi tak lama kemudian kembali lagi. Ibu Aisyah, Ummu Rumman, ada di sampingnya seraya berkata,’ Wahai Rasulullah, ada apakah engkau dengan Aisyah? Aisyah masih sangat muda. Selayaknyalah engkau memakluminya.’
Beliau tidak meninggalkannya, bahkan memegang dagu Aisyah seraya berkata,’ Bukankah engkau yang berkata seakan-akan di dunia ini tak ada lagi wanita selain Khadijah?’
‘Buat apa engkau mengingat perempuan tua renta dan ujung mulutnya sudah merah, padahal Allah sudah menggantinya dengan yang lebih baik bagimu?’ kata Aisyah.
‘Demi Allah, Dia tak pernah mengganti dengan yang lebih baik daripada Khadijah. Ia beriman kepadaku ketika semua orang mendustakanku. Dia ulurkan hartanya saat orang lain menahannya. Dia memberiku anak sedangkan yang lainnya tidak,’ jawab Muhammad. Bagaimana kalau, ini sekadar andaikata, Khadijah masih hidup dan punya madu seperti Aisyah, apa yang bakal terjadi? Terhadap madu-madunya yang lain pun, seperti Shafiah dan Ummu Salamah, Aisyah menaruh rasa cemburu.
Begitulah fakta ketakrelaan wanita dimadu, seorang wanita yang menjadi istri nabi, yang tingkat keimanannya jauh di atas wanita zaman sekarang. Jika istri nabi saja cemburu satu sama lain, apatah lagi wanita yang dimadu zaman sekarang. Pasti api cemburunya jauh lebih panas lagi. Sebagai manusia, Muhammad begitu piawai menangani semua istrinya. Tapi kemampuan itu tak bakal dimiliki oleh lelaki sekarang. Takkan ada lelaki sekarang yang mampu seadil Muhammad. Aku bulat seratus persen meyakini hal ini. Yakin seyakin-yakinnya. Bagi manusia biasa, lelaki zaman sekarang, jangankan sembilan istri, empat istri saja sudah rumit. Hanya lelaki ‘luar biasa’ saja yang mampu adil atas semua istrinya pada masa sekarang. Lelaki demikian memang ada, tapi sedikit jumlahnya. Hanya saja, aku tak punya datanya. Aku tahu, ada orang-orang terkenal dan kaya beristri lebih dari satu. Namun, aku tak berani menilainya, karena aku tak tahu betul kehidupan rumah tangganya. Dari luar, dari jauh, kulihat mereka akur-akur saja dan sering tampil di televisi atau ketika acara tabligh di sejumlah daerah.
Setahuku, wanita pun memiliki nafsu setara dengan lelaki. Hanya saja, wanita tak mau menunjukkan rasa tertariknya itu secara ekspresif dan eksplisit. Malu-malu... tapi mau. Lihatlah kasus Juleha dan Nabi Yusuf. Siapa yang hendak memperkosa? Siapa yang dilanda birahi tak terkendali? Yusuf bukannya tak berbirahi ketika itu. Dia juga tertarik, tapi bisa menahan dirinya. Tapi si cantik bernama Juleha itu malah tak tertahankan hasrat hatinya. Demi ‘kehormatan’ permaisuri, Yusuf justru dijebloskan ke penjara. Juga lihatlah betapa wanita-wanita ‘seteru’ Juleha sampai teriris jejarinya lantaran terpukau melihat ketampanan Yusuf. Mereka tertarik pada Yusuf dan, dalam bentang hatinya, masing-masing ingin memilikinya, menjadikannya suami yang penuh gairah cinta. Deburan hatinya itu tak bisa disembunyikan dan kisahnya abadi dalam Al Qur’an.
Bayangkan saja, berderet-deret wanita cantik dari kalangan bangsawan takluk tak berdaya melihat Yusuf. Mereka begitu ‘tersihir’ oleh keelokan paras pemuda yang pernah dibuang ke sumur tua oleh saudaranya itu. Andaikata, Yusuf hendak memperistri semua wanita itu (berpoligami seperti raja Jawa di atas), tentulah semua wanita itu mau-mau saja. Pasti mereka saling bersaing merebut api cinta Yusuf dan saling cemburu! Maka, ketika Muhammad menjadi nabi, Al Qur’an membolehkan muslimin memperistri empat wanita dalam satu waktu. Namun tetap harus diingat, raja-raja dan pejabat masa lalu sangat banyak istrinya. Orang-orang biasa pun berbilang istrinya. Islamlah yang mengerem poligami tak terhingga itu. Hanya empat yang diizinkan-Nya, itu pun dengan wanti-wanti harus adil. Adil. Dan Adil.
Perihal poligami tersebut, telah pula panjang dikupas oleh beragam kalangan. Yang paling sering kudengar, khususnya yang kontra adalah dari kalangan yang menyebut dirinya ‘pejuang perempuan’. Aku tak paham, dari mana saja dasar hukum dan pola pikir yang disadapnya itu. Sebab, pada saat yang sama kulihat mereka justru memorak-morandakan nilai-nilai seorang perempuan. Aku lihat mereka berdiri di atas ranting rapuh, tak kuat menyangga pendapatnya sehingga terkesan membabi buta, serampangan. Acuannya selalu saja ke Barat, dunia yang terbukti rapuh dan gagal dalam melawan arus freesex dan hancur akibat HIV/AIDS. Betul-betul aneh ada wanita Indonesia yang tergila-gila mengambil pola hidup orang yang terbukti gagal menata rumah tangganya. Mereka justru mengambil pola hidup orang yang doyan seks-bebas asalkan aman dengan memakai kondom misalnya.
Malah kudengar, ada wanita dari kalangan ‘pejuang perempuan’ itu yang lebih rela suaminya ‘membeli sate saja’ daripada harus memelihara kambing. Sebagai ‘pejuang’ dia tentu malu suaminya berpoligami. Ini bisa merubuhkan reputasinya sebagai ‘pejuang’ perempuan. Lebih senang suaminya ‘jajan’ saja daripada harus dimadu. Alasannya macam-macam, salah satunya adalah soal harta waris, agar semua warisan suami jatuh ke tangannya. Jadi, alasannya tak jauh dari sisi ekonomi. Barangkali, kalau suaminya sudah meninggal, dia bisa mendapat warisan banyak dan bisa mudah memilih lelaki yang gagah nan tampan sekeinginannya. Ini, memang pernah kulihat di film buatan sineas Indonesia tahun 1990-an.
Lantas, bagaimana pandangan bule pada poligami? Berikut ini kukutipkan seorang bule yang sangat dikagumi banyak orang, baik laki maupun perempuan. Begini katanya. ‘Muhammad mengurangi jumlah wanita yang boleh dikawini oleh seorang pria; sebelum ia muncul, poligami itu tak terbatas. Orang-orang kaya biasa mengawini sejumlah besar perempuan. Jadi Muhammad membatasi poligami.’ Inilah kalimat tegas dari Napoleon Bonaparte dalam Bonaparte etl’Islam oleh Cherfils, Paris.
Ada juga tulisan James A. Michener. Penulis barat telah mendasarkan tuduhan mereka yang penuh nafsu terutama pada masalah kewanitaan. Namun sebelum Muhammad, kaum lelaki dianjurkan supaya mengawini wanita-wanita yang tak terbatas jumlahnya. Muhammad memberikan batasan kepada mereka hingga empat saja. Dan Qur’an terang-terangan mengatakan bahwa suami yang tak sanggup berlaku seadil-adilnya di antara dua istri atau lebih, harus mengawini satu orang perempuan saja. (James A. Michener, Islam, The Misunderstood Religion, dimuat dalam Reader’s Digest, di USA pada Mei 1955 halaman 70)
Seorang pakar studi Islam, seorang orientalis bernama Prof. H. A. R Gibb berkata bahwa pembaruan Muhammad telah meninggikan status kaum wanita pada umumnya, sudah diakui dunia. ‘Hukum Al Qur’an tentang wanita lebih adil dan liberal. Islam sudah sejak dulu menghargainya.... Adalah suatu ketololan kalau orang mengatakan bahwa dalam Islam wanita itu dianggap tak berjiwa. (Annie Besant dalam The Life and Teaching of Muhammad).
Dari secuplik opini orang-orang bule itu bisalah ditarik simpul bahwa poligami memang alami. Hanya saja, jika lelaki tak mampu bertindak adil, jangan coba-coba bermain api.
Pamungkas, apa yang sudah dilakoni Kartini, itulah catatan sejarah. Seperti artikel kemarin, aku tetap salut pada Kartini. Ia suvenir dari abad ke-19. Ia putri sejati, putri Indonesia, harum namanya. *
ulasan yang dalem pak... bagus
BalasHapus