Gagal ber-K3. Ini ungkapan yang tepat untuk tiga pemerintah daerah yang bernaung di bawah langit Bandung Raya. Pasalnya, tak ada prinsip K3 dalam pengelolaan sampahnya. K3 ini bisa merunut pada Perda K3 Kota Bandung, bisa juga selain itu, yaitu spirit K3 versi pesantren Daarut Tauhid pimpinan Aa Gym. Jika istilah K3 yang dipopulerkan DT Bandung itu dipinjam, bisa disimpulkan tak ada Komunikasi, Koordinasi dan Kontrol dalam mengelola sampah Bandung. Andaipun ada, sekali lagi: andai kata ada, maka adanya sama dengan tiadanya. Sebab, sangat tak bisa dipahami bahwa tiga pemerintah daerah tersebut tak mampu menanggulangi sampahnya padahal sudah dimulai setahun lalu, sejak longsor TPA Leuwigajah. http://www.pikiran-rakyat.com/cetak/2005/1205/31/0813.htm.
Akibatnya, dua pekan berselang ini sampah di sekujur Kota Bandung tak jua diangkut. Setiap rumah yang sudah membayar retribusi tidak mendapat layanan angkut-sampah sehingga onggokannya kian hari kian tinggi. Sampai-sampai ada yang mengupah tukang becak untuk menyingkirkan sampah dari rumahnya tapi entah dibawa ke mana. Boleh jadi dibuang di TPS, bisa juga ditaruh di sembarang tempat. Yang lebih parah lagi di sekitar pasar. Apalagi sampahnya mayoritas dari jenis terbusukkan (biodegradable) sehingga bau asam tercium di mana-mana. Sekadar contoh, bagian bawah jembatan layang Kiaracondong seolah-olah menjadi etalase sampah. Di Pagarsih juga sama. Di Astanaanyar, di Simpang Dago, di Jalan Bengawan, di Kebon Binatang, di Elang, Kopo, dan juga Sukajadi. Masih banyak lagi tempat lainnya sehingga kasus ini setali tiga uang dengan bulan-bulan awal pascalongsor TPA Leuwigajah. Tak ada kemajuan sama sekali.
Tak tegas, inilah frase yang tepat untuk tiga pemerintah daerah di cekungan Bandung. Dalam rentang waktu sepuluh bulan masalah kelola-sampah itu belum juga tuntas. Kalaupun selama ini terasa tuntas, ternyata itu semu belaka lantaran sampah dipaksakan dibuang ke sejumlah “mantan” TPA seperti Cicabe dan Jelekong. Ada juga yang dipaksakan masuk ke Pasirimpun tapi mendapat resistensi tinggi dari warga sekitar. Bayangkan saja, hasil kerja dalam rentang waktu panjang itu ternyata nol besar sementara aparat pemerintah sibuk melontarkan pernyataan di media massa seakan-akan segera teratasi. Namun faktanya janji tinggal janji, TPA baru tak jua terjadi. Citatah masih di awang-awang, lokasi lain tak muncul keputusannya. Seharusnya pemerintah daerah merasa berpacu dengan waktu, berlomba dengan bukit-bukit sampah yang setiap detik terus menumpuk. Timbul dan timbul terus di setiap tempat, dari berbagai kegiatan.
Tujuh segmen
Menilik fenomena persampahan di Bandung Raya dapatlah dibuat analisis ringkas kenapa masalah sampah tak kelar-kelar sampai sekarang. Analisis ini bertitik tolak pada spirit K3: komunikasi, koordinasi dan kontrol yang lantas dijabarkan menjadi tujuh segmen.
Yang pertama, komunikasi tak maksimal antarpemerintah. Dalam poin pertama ini tak berarti tidak ada komunikasi sama sekali. Komunikasi tetap ada tapi hanya sebatas rapat dan urun rembuk tanpa hasil yang signifikan. Terfokus pada komunikasi internal pemerintah dan aparat terkait, tidak sampai melibatkan secara masif pihak lain, baik akademisi, LSM, maupun warga. Kalau sekadar rapat yang menguras dana APBD untuk akomodasi hotel, transport, konsumsi dll tapi tanpa hasil, itu bukanlah komunikasi hakiki. Itu hanyalah menghambur-hamburkan uang rakyat berkedok mencari solusi.
Munculnya kasus sampah yang serupa dengan kejadian pascabencana Leuwigajah mencerminkan kegagalan komunikasi tiga pemerintah daerah. Ketiganya tak serius mengelola dan mengomunikasikan kasus Leuwigajah, padahal ketiganya terlibat dan punya “saham” dalam longsor itu. Seolah-olah masalah sampah akan mudah selesai setahun kemudian jika dihitung sejak longsor di TPA itu. Nyatanya, ketika TPA Jelekong ditutup, pemerintah belum juga punya TPA pilihan. Yang ada hanyalah opsi tapi tak mampu diputuskan mana yang akan digunakan. Sejumlah bekas TPA malah disodorkan menjadi opsi, itu pun setelah berhari-hari sampah menumpuk di sudut-sudut kota. Tak ada rencana matang pemerintah untuk mengelola sampah yang menjadi kewajiban dan tanggung jawabnya.
Kedua, putus komunikasi dengan masyarakat. Egosentrisme masyarakat di opsi TPA memang tinggi, tampak dari sikap frontalnya atas upaya pemerintah. Mereka terus mematok harga mati atas daerahnya yang bakal di-TPA-kan dan sejumlah orang berusaha mereguk untung, baik secara ekonomi maupun politis. Kian semrawutlah masalah yang sebelumnya tak begitu besar itu. Namun setiap orang pasti bisa memakluminya ketika warga menolak daerah di sekitarnya dijadikan TPA. Semua orang pun takkan mau berkubang dengan sampah. Hanya saja, masyarakat hendaklah bisa menerima hasil studi yang dilaksanakan secara objektif oleh para pakar. Daerah pilihan pakar yang independen dan 100% demi membantu masyarakat sebaiknya dipercaya. Jika tidak, lantas siapa yang mesti diikuti? Sebab, TPA harus ada. Harus segera ada agar sampah dapat segera diurus dan meniadakan potensi bahaya yang lebih luas semacam penyakit menular di seantero kota.
Ketiga, komunikasi ganti rugi yang mandul. Semua orang yang “menderita” atau yang lahannya diambil wajib diberi ganti rugi. Andaikata pemerintah mau memberikan ganti rugi sepadan dan proporsional kepada warga di sekitar TPA, maka resistensi warga akan berkurang. Jumlahnya harus memadai dan jangan dipolitisir oleh oknum dan organisasi. Ketiadaan janji yang ditepati inilah yang menyebabkan warga bersikukuh untuk kontratindak. Apalagi selama ini mereka sudah terlalu dirugikan dalam setiap urusan dengan pemerintah daerah, selalu menjadi sapi perah dan dimarjinalkan. Contohnya, setiap bantuan yang menyangkut orang kecil, rakyat miskin selalu saja dibabat aparat. Inilah asal-muasalnya kenapa mereka menjadi antipati dan kontraopini terhadap setiap kebijakan pemerintah.
Keempat, koordinasi dengan LSM. Ini perlu dilakukan agar LSM tidak senantiasa mengambil sikap kontra atas rencana pemerintah. Membina mereka dalam ujud bantuan dari APBD memang sah-sah saja sebab itu pun bagian dari pembinaan sumber daya masyarakat yang diharapkan bisa membantu pemerintah dan warga. Hanya saja, koordinasi yang tak optimal antara pemerintah dan LSM menyebabkan sejumlah LSM mengambil sikap frontal. Sedikit-sedikit selalu “perlawanan” yang diunjukkannya sehingga kesan negatiflah yang muncul bagi upaya perluasan peran masyarakat dalam pembangunan daerah. Singkat kata, LSM hendaklah jangan asal teriak dan memproklamasikan perlawanan sembari tak memberikan usul positif. Kritik itu tak hanya boleh tapi justru harus ada agar sejumlah opsi bisa dikaji secara bebas terbuka (fair) lewat aspek sosioekologi: sosiologi, ekologi, ekonomi, dan teknologi.
Kelima, ketakharmonisan koordinasi. Ketiga pemerintah daerah tersebut mengedepankan egosentrismenya masing-masing, tak mau berpikir dalam satu tataran pijak. Merujuk aspek geologi, ketiganya berada di satu danau purba yang memiliki kesamaan temperamen formasi geologi. Artinya, pengelolaan sampah tak bisa dipagari hanya berdasarkan daerah administratif saja. Jika ini yang dikedepankan, maka Kota Bandung akan kalang-kabut mencari lokasi TPA. Mau dibuang di mana sampah penduduk kota? Terlebih lagi fakta di lapangan berkata bahwa sampah mukimin di Kabupaten Bandung ikut memperbanyak sampah Kota Bandung karena mereka bekerja di Kota Bandung. Dan bisa juga terjadi sebaliknya.
Ketumpulan koordinasi tersebut meniadakan saling pengertian antar pemerintah daerah dan seakan-akan terkotak-kotak dalam dinding yang kukuh. Kesan egois tampak kental di dalamnya. Setiap pernyataan pemerintah tak bisa dipegang kata-katanya dan sering bertentangan dengan kenyataan di lapangan. Kemarin berkata boleh memakai TPA A atau TPA B di Kecamatan C misalnya, tapi esoknya berubah lagi beritanya di koran. Tak ada koordinasi di antara elitenya dan terkesan aparat yang di bawah menunggu perintah atasannya. Tidak proaktif. Tak mungkinlah aparat demikian mampu tanggap-darurat dalam suatu musibah/bencana.
Keenam, kontrol koleksi di daerah layanan dan TPA. Koleksi sampah dari rumah tangga, pasar dan daerah komersial lainnya harus dibuat dan ditaati oleh petugas. Tak hanya “pasukan kuning” yang perlu ditata spirit kerjanya, tapi juga pegawai berkerah putih yang duduk di kantor. Pekerja kerah birunya, para pekerja kasarnya justru menjadi kaki-tangan terpenting dalam keseharian di lapangan. Tanpa pegawai kerah biru berbaju kuning ini tak bisalah sampah dikoleksi lalu ditampung di TPS untuk selanjutnya digiring ke TPA. Berikutnya yang tak kalah penting adalah kontrol di TPA, yang juga sering diabaikan sehingga desain TPA yang semula sanitary landfill berubah menjadi open dumping. Ini terjadi lantaran tidak taat asas dalam menata sel-sel sampah atau bisa juga karena kekurangan tenaga dan biaya operasi dan rawatnya.
Ketujuh, kontrol anggaran. Retribusi yang besar dari sektor sampah menjadi titik awal untuk melangkah ke pola pengelolaan dan pengolahannya. Semua tahap kelola dan olah sampah pasti membutuhkan dana, baik untuk operasi maupun rawatnya. Pemerintah harus transparan malah kalau dapat wajib translusen agar tak ada rahasia antara pemerintah dan warga. Berapa dana yang terkumpul dari retribusi itu dan berapa yang habis untuk operasi-rawatnya? Sebab, sudah jamak terjadi, dana projek yang keluar dari APBD banyak yang tak jelas pertanggungjawabannya. Gurita KKN membius aparat yang masuk dalam belitan tentakelnya. Tak satu pun yang mampu berteriak nyaring melawan KKN di setiap instansi dan projek, semisal projek pengadaan TPA yamg dimulai dari eksplorasi lokasi opsi sampai analisisnya yang diwujudkan dalam AMDAL serius, bukan AMDAL yang Amdal-amdalan. Instansi yang bertanggung jawab atas AMDAL ini hendaklah bisa diandalkan agar tak sekadar menjadi laporan aspal, asli tapi palsu seperti yang sudah menjadi rahasia umum di antara pekerja konsultan lingkungan.
Tujuh segmen di atas jika dikelola dengan baik dan benar, mengedepankan sisi kemanusiaan masyarakat, setia pada tujuan dan fungsi instansi pemerintah dan LSM, akan dapat meringankan beban sampah karena dipikul bersama. Tak hanya dipikul bersama, tapi juga diselesaikan bersama-sama sehingga tak ada pihak yang “mengail di air keruh” atau sekadar menjadi pahlawan kesiangan. Ini hanya akan terwujud jika dan hanya jika semua pihak yang terlibat di atas berada di rel yang sama, menuju arah yang sama. Beda tugas, beda fungsi tetapi satu tujuannya, yaitu mencari solusi sampah Bandung.*
Tidak ada komentar:
Posting Komentar