• L3
  • Email :
  • Search :

2 April 2006

Kota Hijau, PDAM Hijau

Artikel ini pernah dimuat di Majalah Air Minum, Juni 2005

Green Cities: Plan for the Planet! Muram wajah kota-kota kita. Polusi udara dari asap knalpot menutupi gedung-gedung tinggi. Kepul cerobong pabrik tersebar ke semua penjuru angin. Sesaklah napas orang-orang yang bergegas naik-turun kendaraan. Seram muka kota-kota kita. Selain air limbah dan sampah tumpah di mana-mana, di sudut-sudut kota orang-orang jahat mengintai setiap saat. Ada yang nekat beraksi di keramaian bis kota. Beringas kota-kota kita. Menindas yang lemah sampai lemas tak berdaya. Dengan harap-harap cemas, wong cilik ini, mengais-ngais ampas sampah dan remah-remah makanan.

Green Cities, kota-kota hijau, adakah ia? Di mana? Tepatkah label kota hijau disandang Jakarta? Metropolis berpenduduk 10 juta orang ini begitu panas. Bising menjadi keseharian. Hanya ada segelintir onggokan taman kota. Itu pun tak nyaman buat tempat rehat. Surabaya bagaimana? Belum pantas juga menyandang label hijau. Hawa panas laut menyusup jauh ke darat, mengeringkan pucuk-pucuk daun. Lalu Bandung, kota gunung yang dulu berjuluk Parijs van Java ini, layakkah bertitel kota hijau? Ternyata idem ditto. April lalu, ketika ulang tahun ke-50 Konferensi Asia-Afrika, pusat Bandung sempat bersolek. Gedung Merdeka dan lapangan Tegallega “disulap” menjadi asri. Namun, hanya dalam tempo dua minggu pasca-KAA layulah bunga, perdu, dan pohon di seputar jalan Asia-Afrika itu.

Di Semarang bagaimana? Di Medan ada apa? Semuanya belum layak dipredikati kota hijau. Kalau sekarang saja kota-kota itu sudah tak layak disemati kota hijau, bayangkan, apa yang akan terjadi 25 tahun lagi? Apa yang bakal terjadi ketika kota-kota madya dan kecil berubah menjadi kota-kota besar semacam Jakarta. Dan ketika itu, Jakarta bukanlah Jakarta sekarang. Ia sudah menjadi megapolitan. Owh... bukan, bukan megapolis, tetapi gigapolis atau bahkan terapolis. Atau, jangan-jangan Jakarta malah “tenggelam” lantaran sarat penduduknya. Pada masa itu, ini kabar dari PBB, 60% manusia tinggal di kota. Dua kali dari jumlahnya sekarang. Nanti, lebih banyak orang hidup di kota ketimbang di desa. Desa berproses menjadi kota; pengotaan atau mengikuti istilah salah kaprah: Desakotaisasi. Karakter Jakarta, seperempat abad ke depan, ditemukan di Sukabumi dan Rangkasbitung. Karakter Bandung sudah masuk Cianjur, Garut, dan Tasikmalaya. Bandung ya Jakarta; Jakarta ada di Bandung. Tol Cipularang (Cikampek, Purwakarta, Padalarang) yang baru dibuka awal Mei 2005 tapi sudah ambles pada medio Mei lalu, bakal macet, persis seperti jalan protokol di kota besar sekarang.

Hakikatnya, Green Cities adalah kota-kota yang hilang. Bisakah ditemukan lagi? Entahlah. Yang pasti, tiada yang tak suka kota hijau. Bagaimanapun kita butuh kota hijau sang sumber oksigen. Kita perlu vegetasi buat paru-paru kita. Hutan bukanlah paru-paru bumi melainkan produsen oksigen. Paru-paru justru pengguna oksigen sekaligus penghasil karbondioksida. Vegetasi sebaliknya, sumber oksigen dan siang hari pengguna karbondioksida. Tapi faktanya tak seindah cita-cita. Metropolis sudah tak hijau lagi. Sulit mencari kota yang mayoritas lahannya diliputi vegetasi. Yang ada hanyalah bunga imitasi dari plastik atau kertas yang dicat hijau. Warna buatan begitu dominan di sekitar kita. Sampai-sampai ada yang bilang pejabat kita tukang sulap semua. Sekejap saja semuanya menjadi indah. Sekejap berikutnya carut-marut kembali. Inilah budaya kilat, penganut Pytagoras. Kalau ada jalan menyiku, pasti jalan miring (hypotenuse) yang dilalui. Jalan pintas ini, buat kasus khusus yang baik dan benar, tentu sah-sah saja.

Maka, andaikata kota-kota hijau hanya utopia, parahlah dampaknya. Tak hanya orang tua yang rugi tapi juga anak balita hingga remaja. Udara kelabu berdebu, timbal, dan gas pencemar merusak alveoli paru-paru kita. Gas SOx dan NOx apalagi. Keduanya pencetus hujan asam dan mengiritasi paru-paru dan kulit. Belum lagi kerusakan logam, gedung, rel kereta api, dan taman. Riskannya lagi, timbal terbukti mengurangi taraf kecerdasan anak. Artinya, 25 tahun lagi angkatan kerja kita kurang cerdas dibandingkan dengan orang tuanya. Sekarang saja negara kita sudah ketar-ketir begini, apatah lagi pada masa itu lantaran mutu SDM kita jauh di bawah rata-rata dunia. Dalam rating IPM (Indeks Pembangunan Manusia), kita nomor lima dari bawah.

Kembali ke tema yang dirilis PBB. Spirit slogan Hari Lingkungan yang ditulis sebagai pembuka artikel ini ialah melawan polusi; semua polusi: udara, air, tanah, maupun moral. Yang disebut terakhir justru mesti dienyahkan dulu. Inilah prekursor kanibalisme. Ciri pokoknya ialah egois, rebutan posisi dan intrik-intrikan, main “domino” waktu pilkada dan asong (asal omong) alias nato (no action, talk only). Jadi, apabila kita rindu Green Cities, yang pertama harus dihijaukan tak lain dari moral politisi dan birokrat. Mereka yang ada di partai politik, di DPR-DPRD, juga yang menjadi kepala daerah, hendaklah orang-orang yang cinta hijau. Bukan yang ijo matanya ketika melihat fulus, bukan pula yang doyan “daun-daun hijau” dan/atau daun-daun “setan” (ganja dan narkotika lainnya).

Pada abad degradasi lingkungan ini yang dibutuhkan ialah politbiro (politisi-birokrat) yang sungguh-sungguh cinta lingkungan, yang tak sekadar beretorika saat pidato atau talkshow di radio/televisi. Kita perlu politbiro yang bukan penyetuju undang-undang yang anti lingkungan, yang memihak kapitalis semata. Rindulah kita pada peraturan tentang tambang, air, laut, hutan, tanah, dan pembuangan sampah yang prolingkungan, proekologi. Hanya saja, adakah politbiro hijau seperti senator Gaylord Nelson di negeri kita? Orasi ekopolitiknya di Seattle tahun 1969 menjadi embrio Hari Bumi (Earth Day). Kemudian, tanggal 22 April 1970 sekitar 20 juta orang pawai menyambut gagasan Nelson itu. Angka 20 juta itu mencengangkan. Jumlah simpatisan 35 tahun lalu itu sama dengan dua kali jumlah penduduk Jakarta sekarang. Sebagai introspeksi, adakah politisi dan partai politik kita yang peduli lingkungan, yang tak hanya berprogram di atas kertas? Adakah? Silakan elite parpol menjawab pertanyaan tersebut di MAM ini. Rakyat Indonesia yang memilih Anda ingin tahu kiprah Anda di dewan yang katanya terhormat itu. Mudah-mudahan stigma yang lengket di tubuh politisi bisa luruh di sini.

PDAM Hijau
Fosil. Inilah nasib mengenaskan Green Cities jika nihil dari langkah-langkah riil politbiro dan warga kota. Warga kota? Kenapa warga kota perlu dimintai tanggung jawab? Jawabnya jelas. Merekalah pereduksi vegetasi kota dan kontributor utama di semua lini pencemaran. Dari kaca mata zat organik (BOD, COD), limbah domestik jauh melebihi limbah industri secara rata-rata. Tubuh ini saja kaya pencemar. Tinja dan urin adalah pencemar perairan karena mereduksi oksigen terlarutnya. Limbah B3 juga banyak timbul dari rumah tangga. Sabun, deterjen, pembasmi nyamuk adalah contohnya. Lantai dan kamar mandi dibersihkan dengan antiseptik yang beracun. Beragam alat rumah tangga juga berasal dari bahan yang sulit dibusukkan bakteri. Namun demikian, secara jumlah, polutan domestik tidaklah sebanyak yang diemisi pabrik.

Malangnya, ketika sumber pencemar didominasi orang kota, mayoritas mereka malah tak peduli pada lingkungan. Inilah alasan PBB mengapa lebih fokus ke orang kota. Walau demikian, logikanya Green Cities tidak hanya bicara lingkungan hijau di kota. Di luar kota pun perlu diperhatikan. Sebab, sekarang ini sulit sekali memilah mana kota dan mana desa terutama di negara berkembang. Desa atau kampung pun banyak ada di kota. Manakala kota diupayakan hijau, pinggir kota pun harus ikut dihijaukan. Hutan-hutan di pinggir kota mesti dipelihara agar perannya optimal dalam menangkap dan meresapkan (tangsap) air hujan. Jika ini terlaksana, PDAM tak perlu pusing-pusing lagi mencari air baku, baik air tanah maupun sungai. Silakan hijaukan kota. Hijaukan juga pinggir-pinggir kota apalagi gunung dan hutan, maka amanlah air kita. Bersih pula udara kita.

Tampak jelas betapa erat kaitan antara Green Cities, desa-gunung hijau dan suplai air PDAM. Timbul pertanyaan sama, adakah PDAM hijau? Lebih khusus lagi, adakah pejabat/birokrat PDAM yang hijau? Tentu bukan warna hijau logo PDAM dan Perpamsi yang dimaksud. PDAM disebut hijau jika melakukan tindakan nyata pada proteksi sumber air dan daerah tangsapnya. Selain peduli pada sumber air yang dieksploitasinya, pejabat dan pegawainya disebut hijau bila pelanggannya dipedulikan, mudah dapat air. Kebijakan manajemen pun mesti sesuai dengan prinsip peduli ekologi. Jika tidak demikian, PDAM juga yang bakal kena getahnya. Kerusakan lingkungan bergerak menurut deret ukur, sedangkan kepedulian lingkungan tumbuh menurut deret hitung. Jangan-jangan malah negatif gradiennya. Lingkungan akan kian rusak. Tak hanya air yang sulit didapat, tapi tanah dan udara pun ikut rusak.

Yang pasti, PDAM tak hendak disebut masih hijau alias kanak-kanak. Jika ditilik dari umurnya, PDAM sebetulnya sudah tua. Ada yang tua renta kalau diurut dari masa kolonial Belanda dulu. Hanya saja, manajemen PDAM masih banyak yang “hijau”. Masalahnya tak hanya soal manajemen, tetapi juga soal kapabilitas pegawainya, desain instalasinya, dan area servisnya yang lamban berkembang. Selain yang tua-tua umurnya, ada PDAM baru dan perlu orang-orang yang paham “darah-daging” perairminuman. Perlu orang-orang yang tak sekadar birokrat tapi juga berperilaku “malaikat”. Orang-orang “malaikat” ini besar potensinya dalam menghijaukan PDAM, menyejukkan PDAM, jauh dari tindakan perusakan. Inilah benang merah PDAM hijau itu.

Cara apa lagi yang bisa ditempuh untuk mewujudkan PDAM hijau? Dukung dan luaskanlah program Hari Lingkungan dengan langkah nyata. Walaupun kegiatan ini hanya seremonial rutin dari United Nation Environment Program (UNEP), PDAM bisa mengambil dampak positifnya asalkan mau kreatif membuat program aksi. Begitu pun ketika pemerintah sekarang tak peduli pada Hari Lingkungan dan cuma terbatas di Kementerian Lingkungan Hidup saja, PDAM tak perlu ragu menimba manfaatnya. Bergerak saja sendiri, biarkan pemerintah yang menilainya. Jangan ikut-ikutan diam seribu basa. Keterlibatan PDAM bisa berupa dana dan/atau tenaga. Ini bisa dicoba: adakan lomba foto lingkungan, bakti sosial, lomba tulis artikel lingkungan tingkat SD, SMP, SMU, lomba mewarnai TK, lomba taat bayar rekening air, lomba desain pengolah air yang terbaik dan murah, dan lomba-lomba lainnya. Atau, mendata orang-orang yang berjasa pada lingkungan khususnya pengadaan air seperti Mak Eroh (almh) yang meraih Kalpataru tahun 1988. Orang-orang semacam Mak Eroh yang menggali saluran dari Sungai Cilutung ke desa Pasirkadu sepanjang lima kilometer boleh jadi banyak ada di berbagai daerah dan belum kita ketahui. Mereka mungkin saja suku “terasing” tetapi ekotribalismenya, suku berwawasan ekologi, tergolong tinggi. Sangat tinggi ketimbang orang-orang kota.

Andaikan kegiatan tersebut terlaksana bisalah PDAM disebut peduli lingkungan, peduli ekologi atau PDAM hijau. Kalau UNEP punya slogan Green Cities, Plan for the Planet, bagaimana kalau PDAM punya slogan Green PDAM, Plan for the Future? Atau, Green PDAM, Plan for the Water. Bisa juga mengajak pelanggan dengan Green PDAM, Plan for the Customer. Merilis slogan penyemangat tentu boleh-boleh saja asal jangan obral slogan asal-asalan.

Akhirnya, semoga PDAM bukan dalam fase ulat yang banyak makan daun hijau dan “menakutkan”/“menjijikan” orang yang melihatnya, melainkan sudah fase kepompong yang segera menjadi kupu-kupu cantik. PDAM, kutunggu kau di batas cakrawala, sampai kapan pun kau tiba di sana setelah tuntas tapa metamorfosismu. Salam, ttd: pelanggan.*

Tidak ada komentar:

Posting Komentar