Air PDAM keruh. Berisi cacing-cacing kecil. Warnanya kuning dan sering bau sehingga kami tak sudi meminumnya. Kami takut dampak buruknya pada kesehatan. Begitulah keluhan pelanggan yang ditulis di koran. Betulkah kualitas air PDAM seburuk itu? Tak mampukah “dapur” instalasinya memproduksi air layak-minum? Bagaimana caranya mengolah air sungai yang keruh menjadi jernih?
Sebelum masuk ke teknologi pengolahan air, berikut ini dibahas dulu jenis-jenis sumber air yang bisa kita manfaatkan buat kebutuhan sehari-hari. Umumnya, ada tiga macam sumber air. Yang pertama adalah air hujan. Biasanya ditampung di bak atau dimasukkan ke kolam. Cara ini diterapkan di daerah kering dan krisis air seperti Nusa Tenggara Timur dan Gunung Kidul. Bisa juga dibuatkan bak-tampung atau cistern buat kapasitas besar, misalnya untuk satu RT/RW.
Sumber kedua ialah air tanah, baik air tanah dangkal maupun air tanah dalam. Sumur gali ialah sumber air dari air tanah dangkal. Ini banyak diterapkan di Indonesia. Adapun air tanah dalam biasanya disedot oleh pabrik. Di Bandung, mayoritas pabrik memompa air tanah dalam. Malah kapasitas pemompaannya jauh melebihi kemampuan suplainya sehingga muka air tanahnya turun terus dari tahun ke tahun dan lama-lama ambles membentuk cekungan.
Sumber air yang ketiga ialah air permukaan seperti sungai, danau, dan waduk. Bisa juga air laut. Namun yang paling sering dieksploitasi adalah air sungai. Sebagai contoh, PDAM Kota Bandung mengambil air baku dari Sungai Cisangkuy dan Cikapundung. Dari ketiga jenis sumber air itu, air sungailah yang paling panjang dan lama tahap pengolahannya. Air hujan biasanya hanya dididihkan saja lalu didinginkan dan diminum. Air sumur pun begitu. Air tanah seperti air dari mata air juga dididihkan saja. Namun, kalau kadar besi dan mangannya tinggi, air tanah harus diaerasi dulu.
Berbeda dengan air hujan dan air tanah, air sungai perlu diolah secara bertahap. Tahap pertama adalah penyisihan pasir dan partikel kasar penyebab kekeruhan. Namanya unit endap 1 atau prasedimentasi. Di sini pasir dan butir-butir lainnya (kerikil kecil) diendapkan lalu dibuang. Pada tahap ini air olahannya masih sangat keruh, tak jauh beda dengan air sungai.
Selanjutnya adalah unit pengaduk atau mikser yang terdiri atas “aduk lambat” dan “aduk cepat”. Zat yang biasa terlibat adalah tawas (alum sulfat). Koagulan tawas ini, setelah dibuatkan suspensinya, dimasukkan ke unit aduk cepat agar tawas tersebar merata. Setelah itu barulah dialirkan ke aduk lambat atau flokulasi. Fungsinya membentuk flok atau gumpalan. Gumpalan ini makin lama makin berat lalu diendapkan di endap 2. Aliran di endap 1 dan endap 2 harus pelan sekali atau laminar. Mengalir airnya tapi kelihatan seperti tidak mengalir. Keluar dari unit ini, air sudah agak jernih tetapi bakterinya masih ada.
Filter adalah unit selanjutnya. Selain filter pasir lambat, ada juga filter pasir cepat. Dinamai lambat dan cepat merujuk ke kecepatan olahnya yang lambat dan cepat. Ada bermacam-macam model filter. Media filternya juga demikian. Ada yang satu media, ada yang dua atau bahkan tiga media. Yang satu media hanya memakai pasir silika. Yang dua media ditambah lapisan antrasit. Antrasit, selain menahan flok yang besar-besar juga menyerap bau dan zat kimia lainnya.
Setelah sekian waktu filter lantas mampat sehingga perlu dicuci. Caranya dengan membalikkan arah aliran air dari bawah ke atas sehingga dinamai backwash. Bisa digunakan air saja atau didahului oleh udara dari blower agar flok yang melekat erat pada pasir bisa diacak-acak sehingga terkikis lalu lepas. Karena memakai udara, dinamailah air scouring. Baru kemudian dialirkan air dari tangki-tinggi (elevated tank) atau dipompa dari tangki-rendah (ground reservoir). Ada juga cara lain, yaitu air pencuci berasal dari filter di sebelahnya. Ini dinamai interfilter backwashing sehingga tidak memerlukan tangki-tinggi maupun tangki-rendah. Semua cara tersebut ada kelebihan dan kekurangannya, baik dari sisi biaya investasi maupun operasi-rawatnya.
Keluar dari filter, air yang sudah jernih ini masuk ke tangki-rendah sekaligus diberi kaporit. Selain kaporit bisa juga digunakan gas klor, ozon atau ultraviolet. Hanya saja, dua disinfektan yang disebut terakhir itu biasa diterapkan di pabrik amik dan depot amiku. Keuntungan menggunakan kaporit ialah ada sisa klornya. Sebaliknya ozon dan UV tidak ada sisanya di air. Ini berbahaya kalau ada pipa bocor atau sambungannya tidak ketat (merembes). Air kotor berisi kuman dan zat racun bisa masuk lagi ke dalam pipa distribusi. Tercemar lagilah air olahan itu. Kualitasnya malah bisa jauh lebih buruk daripada air bakunya dan berbahaya bagi kesehatan ginjal dan hati (lever) kita.
Lepas dari reservoir, air lantas disebar lewat pipa ke pelanggan PDAM. Dari sisi bakteriologi, air yang di tangki-rendah ini sudah bebas bakteri. Artinya, sudah siap diminum. Asalkan kualitas kimianya juga sudah terpenuhi. Sebab, kualitas kimia seperti mineral dan zat berbahaya-beracun mesti dievaluasi juga apakah sudah terolah dengan baik ataukah baru sedikit saja yang tersisihkan. Di sinilah kelebihan amik dan amiku yang sudah mengolah kualitas yang satu ini.*
Tidak ada komentar:
Posting Komentar