Oleh Gede H. Cahyana
Hari Bumi 22 April memang bercikal bakal dari Amerika Serikat sehingga selain mencap dirinya sebagai negara adidaya dan polisi dunia, AS juga mengklaim dirinya sebagai pembela HAM dan lingkungan nomor wahid. Betulkah demikian? Untuk yang disebut terakhir itu, dan ini ditunjukkan oleh Bush Jr., sudah jauh panggang dari api. Bush adalah penentang nomor wahid Protokol Kyoto dengan prinsip: anjing menggonggong kafilah berlalu. Pasalnya, Bush Jr. kewalahan atas penurunan ekonominya jika tetap dalam lintasan protokol itu lantaran wajib mereduksi produksi industri dan transportasinya.
Keputusan Bush Jr. ternyata sejalan dengan garis “kebijakan” ayahnya dulu ketika merusak Irak dengan bombardirnya. Betapa Sungai Tigris dan Eufrat terpolusi oleh serangan udara dalam Badai Gurun itu dan yang paling rusak adalah vegetasi dan lingkungan hidup. Kenyataannya, pepatah air cucuran atap jatuhnya ke pelimbahan juga berlaku pada ayah-anak Bush tersebut. Bush Jr. pun membantai Irak dengan pasukan koalisinya dan melebur ekologi dan situs purbakala yang sangat penting bagi dunia arkeologi. Sampai April 2006 ini pun Bush bersikukuh tetap mendekam di Irak meskipun telah 2.300-an orang tentaranya tewas di sana.
Itulah Bush sekeluarga yang selalu melawan ketenangan ekologi dunia, sebuah tindakan gegabah. Dia tak mau belajar dari Al Gore pada masa lalu yang pro lingkungan meskipun hal ini tak lazim selama dua ratus tahun lebih sejarah AS. Tema sentral yang biasa ″diumpankan″ ke khalayak, termasuk Bush, adalah soal ekonomi, reduksi pajak, tunjangan sosial, pendidikan dan keamanan. Tapi Al Gore pada masa itu muncul dengan sesuatu yang dianggap remeh, yakni lingkungan. Tapi hasilnya, tanpa diduga, mayoritas pemilih, konstituen, utamanya yang muak menatap kerusakan lingkungan, pencemaran, bom nuklir, atau pendeknya yang peduli pada ekologi, sangat surprised. Di antara isunya ialah pembangunan berbasis lingkungan (ecodevelopment) dan kerja sama internasional dalam perlindungan lingkungan. Waktu itu, materi ini dianggap visi baru yang kontan saja menarik perhatian publik.
Paralel dengan degradasi mutu lingkungan selama setengah abad ini, mantan senator dari negara bagian Tennessee itu hadir dengan publikasi buku ″hijau″-nya. Timing publikasi buku berjudul Earth in The Balance, Ecology and the Human Spirit itu memang diatur bersamaan dengan masa kampanyenya. Dengan idealismenya sebagai advokat lingkungan dan dengan kampanye yang bertema harmonisasi teknologi dengan lingkungan, tindakan tegas bagi perusaknya dan humanisme, calon dari Partai Demokrat itu berhasil meraih kemenangan telak. Setelah itu, kita tahu, bersama Bill Clinton, Al Gore memosisikan sejumlah jabatan untuk orang-orang berlabel hijau.
Masih berkaitan dengan kiprah politisi di AS. Secara historis, cikal bakal Hari Bumi (Earth Day) ini memang berasal dari seorang senator di sana. Peristiwanya terjadi sekitar dua puluh tahun sebelum Al Gore jadi wapres. Ia adalah Gaylord Nelson, politisi hijau yang memunculkan ide untuk menyelamatkan bumi atau paling tidak, mau peduli pada bumi. Hari Bumi adalah tindak lanjut dari substansi orasi ekopolitiknya di Seattle tahun 1969 yang berintikan advokasi lingkungan. Masyarakat luas menyambutnya dengan antusias. Kemudian tanggal 22 April 1970 diperingati sebagai Earth Day yang pertama. Dan tahun 2006 ini, usia Hari Bumi telah 36 tahun.
Memang diakui, jauh sebelum para politisi mengangkat isu ekologi ke pentas politik, telah ada sejumlah karya di tataran ilmiah populer. Rachel Carson misalnya, dengan realitas sehari-hari di daerahnya, telah merasa kehilangan nuansa ekologinya. Tak ada lagi burung berkicau dan sapi, domba banyak yang mati. Ada yang salah, pikir Carson saat itu. Berbekal riset lingkungan, dan dia seorang ibu rumah tangga, lalu terbitlah buku Silent Spring (Musim Bunga Yang Sunyi) pada 1962 yang kemudian menjadi best seller dan ikut membentuk pola pikir setiap politisi hijau di sana. Buku fenomenal itu telah menjadi isu penting di tataran akademis, bisnis dan politis.
Sedangkan di tingkat dunia, peran politisi hijau juga sangat besar. Stockholm, sebuah kota di Swedia, pasti selalu tersirat di benak pencinta lingkungan. Pada 5 Juni 1972 telah berlangsung konferensi PBB tentang lingkungan hidup (UN Conference on the Human Environment) di kota itu. Kota ini dipilih karena masalah lingkungan pertama kali dicetuskan oleh wakil dari Swedia ketika sidang PBB pada 28 Mei 1968. Hasilnya adalah Deklarasi Stockholm yang dijadikan acuan oleh negara peserta untuk peduli lingkungan, advokasi lingkungan dan membentuk kementerian lingkungan hidup. Di Indonesia diawali oleh Prof. Dr. Emil Salim. Namun personal yang memberikan atensi besar pada lingkungan sebelum dibentuk Menteri KLH adalah Prof. Dr. Sumitro Djojohadikusumo.
Demikianlah sekilas kepedulian politisi terhadap lingkungan. Itu di Eropa dan Amerika. Bagaimana di Asia? Mari belajar dari politisi Jepang. Negara Samurai ini kaya akan politisi gentleman, konsisten dan mau turun atau mengundurkan diri kalau digugat apalagi mendapat mosi tidak percaya. Betapa tidak, kita kerapkali melihat gonta-ganti menteri dan perdana menteri di sana, sekecil apapun aib yang terungkap. Mereka tak mau menunggu sidang pengadilan. Justru sidang itu belakangan setelah sang pejabat turun. Begitu pula dengan semangat bela lingkungannya, begitu tinggi. Kasus pencemaran lingkungan terbesar di Dai Nippon ini adalah kasus Minamata yang terjadi sporadis antara 1950-1970. Itu sebabnya, visi baru tentang lingkungan dengan cepat mencuat lantaran tuntutan warganya demi peduli lingkungan. Kemudian para politisi di Diet secara intensif membuat undang-undang yang jumlahnya relatif banyak, mencapai 14 buah. Maka muncullah sebutan Pollution Diet pada dekade 1970-an itu.
Sekarang bagaimana? Jepang telah begitu tertib dalam hal pengolahan air limbah domestik dan industrinya, mulai dari sistem on-site maupun off-site-nya. Satu di antaranya tersebar luas di setiap rumah, flat, dan kantor di sana, yaitu Johkasou, sebuah IPAL sistem paket yang dibuat dari fibreglass atau beton. Untuk yang satu ini kita sungguh jauh di belakangnya.
Bagaimana politisi kita?
Kebijakan soal Freeport yang melibatkan politisi sangat menguras perhatian dan selalu saja menjadi berita besar, sebesar gunung yang diterabasnya. Dari Maret sampai awal April 2006, ribuan beritanya di media massa cetak dan milis internet lalu-lalang berseliweran. Kasus ini tak hanya menjadi isu nasional tapi juga mondial, mendunia. Dulu, sebelum Orde Baru rubuh, ada ″arsitek″ bernama Amien Rais yang berani membuka tabir Freeport lewat artikel ″Inkonstitusional″-nya di koran Republika. Mantan ketua MPR itu telah mengungkap kasus ekologi berskala giga sepanjang sejarah Indonesia. Giga dalam dimensi ruang, giga dalam waktu (lebih dari dua setengah dekade), dan giga dalam dimensi politis karena hanya dialah yang berani berperilaku demikian ketika Orde Baru masih sangat-sangat kuat.
Saripati kegalauan mantan ketua PAN ini ketika itu (barangkali) adalah eksploitasi yang terlalu berbasis comparative advantage untuk kekayaan alam yang semestinya diarahkan ke competitive advantage dengan sesegera mungkin transfer teknologi. Jadilah bagi-hasil yang sangat njomplang, menurut istilah Amin saat itu, dan bahkan terjadi sampai sekarang. Tapi ajaibnya, pemerintah SBY-JK justru merasa itu bukan apa-apa dan oke-oke saja. Aneh tapi nyata. Itu semua lantaran, kata Amin, terjadi KKN dalam segala bentuknya, melibatkan aparat dari Papua sampai Jakarta. Tak hanya politisi dan eksekutif yang meraih percikan emasnya, tapi juga akademisi dari berbagai bidang ilmu yang sering diundang ke sana sekadar backing untuk konsumsi publik.
Maka, dapatlah disebutkan bahwa politisi kita sekarang sedang ″kurang darah″ dalam bela lingkungan. Jauh berbeda dengan pendahulunya, para pendiri negara (the founding fathers) ini yang menjadi embrio advokat lingkungan. Hasilnya adalah refleksi pasal 33 UUD 1945, sebuah pasal sosioekologi yang dibuat jauh sebelum terjadi polusi tanah, air, dan udara akibat industrialisasi dan perluasan permukiman. Kita tahu, tafsiran pasal itu pulalah yang menyebabkan Amien Rais didepak dari Ketua Dewan Pakar ICMI pada waktu itu. Dan pasal itu pun telah pula mendahului inventarisasi masalah lingkungan yang diagendakan oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa di setiap sidangnya.
Mengapa bisa terjadi the missing link antara politisi pada awal pendirian negara Indonesia ini dengan politisi setelahnya? Tak lain karena politisi Orla, Orba dan yang sekarang ini (juga pemerintah dan jajarannya) tidak mengakomodasi (secara baik dan benar) spirit konstitusi itu tapi malah melupakannya. Kini kita masih mencari politisi berlabel ekologi, para ecopolitician, envipolitician yang tak sekadar vokalis saja apalagi program advokasi ekologinya hanyalah proforma belaka.
Punyakah mereka sense of ecology dan sukakah mereka membaca buku-buku lingkungan?*
Tidak ada komentar:
Posting Komentar