• L3
  • Email :
  • Search :

2 April 2006

Hijrah Sosioekologi

Ada puisi yang menjambak-jambak rasa sombong kita atas kekayaan, kepintaran, kekuatan, kepejabatan, dan kehebatan kita yang dikira abadi sepanjang masa. Ia mengajak kita hijrah dari ketakaburan itu. Begini bunyinya.

Kalau ingin abadi, maka berubahlah.
Sebab, yang abadi hanyalah perubahan.
Kalau ingin kuat, maka hijrahlah.
Sebab, yang kuat hanyalah yang berhijrah.
Sekecil-kecilnya hijrah adalah menghijrahkan duri dari jalan.
Sebesar-besarnya hijrah adalah hijrah menuju kebenaran.

Hijrah. Pindah itulah hijrah. Pindah dari satu posisi ke posisi baru, dari satu maqom ke maqom baru, dari satu karakter ke karakter baru. Juga, dari satu status ke status baru, bukan status quo. Spirit hijrah tersebut bisa ditarik secara historis sampai ke masa sahabat Umar r.a. Tahun Hijriah memang tak bisa dipisahkan dari khalifah kedua itu, seorang perkasa yang pernah membenamkan anak perempuannya ke tanah Mekkah. Lewat diskusi alot dengan para sahabat, salah satu mertua rasulullah itu akhirnya berhasil meyakinkan sahabatnya untuk mengusung hijrah nabi ke Yatsrib sebagai awal tahun kalender Qomariyah. Itu terjadi 1427 tahun yang lalu menurut garis edar bulan. Dalam peristiwa itu, beragam-ragam kepahitan hidup menumpuk di pundak kaum muslimin. Namun sejarah mencatat, hijrah itulah titik balik bagi kaum musyrikin Quraisy dan kaum muslimin.

Bercermin pada “suratan takdir” titik-balik itu bisalah kita sekarang mencoba hijrah dari sisi lain, hijrah a la sosioekologi. Hijrah jenis ini menuntut nyali yang tak kalah hebat dibandingkan dengan hijrah fisik masa Nabi Muhammad. Semangat yang dibutuhkannya sama, yaitu semangat melawan rasa takut dan pengecut. Tapi perlu diingat, yang dikatakan melawan rasa takut itu bukanlah orang yang berani babi, membabi buta. Bukan itu yang dimaksud melainkan berani mengadu nyali dalam memasuki tahun baru Hijriah, bertempur dalam kehidupan. Berikut ini rincian hijrah sosioekologi itu.

Hijrah sosial. Bukan hanya penting, melainkan juga mendesak. Perilaku kita begitu dikuasai oleh karakter serakah sehingga menganggap orang lain sebagai pesaing dan musuh, bukan sebagai rekan dalam bermasyarakat. Fenomena ini kentara sekali di tempat-tempat kerja, di kantor-kantor, dan di tubuh partai politik. Rasa bersaing tak sehat begitu tinggi dan egois sehingga menggunakan cara-cara nista dalam bersaing. Hubungan sosial sudah tak harmonis lagi, tampak dari grup-grupan dan konco-koncoan. Padahal kalau kita mau mengambil ibrah dari peristiwa hijrah nabi, mereka justru saling tolong dan merasa bersaudara. Kaum Anshar (pribumi) menolong kaum muhajirin (pendatang dari Mekkah). Rasa empati, cinta-mencintai, ikhlas, dan tidak kikir meskipun dalam kesusahan diabadikan dalam surat Al Hasyr: 9. Persaudaran tersebut menjadi benchmarking bagi kekuatan dakwah, persatuan dan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Madinah masa itu. Andaikata betul kita dan pemerintah mampu hijrah sosial, maka gelandangan dan pengemis akan habis, anak usia sekolah bisa sekolah semua, kaum jompo/manula akan terawat baik di panti-panti wredha. Atau malah sebaliknya, panti-panti jompo itu kosong melompong karena semua orang merawat orangtuanya, kakek-neneknya di rumah masing-masing. Namun faktanya bertolak belakang. Orang jompo menggelandang di jalan raya, sama seperti anak-anak balita yang mengamen dengan alat musik ecrek-ecrek dari tutup botol. Kita terbukti belum berhasil hijrah sosial seperti amanat pasal 34 UUD 1945!

Hijrah ekonomi. Di Mekkah kaum muslim ditindas habis-habisan, diboikot ketat. Tak ada yang berani barter dan berjual-beli dengannya. Jika ada kabilah atau saudagar yang melanggar, maka permusuhanlah jawabnya. Putus hubungan ekonomi-politik. Putus pertemanan. Dan puncaknya, embargo ekonomi yang mendera-dera nabi dan sahabatnya itu berujung pada kelaparan. Kaum muslim Mekkah menjadi kaum marjinal secara ekonomi, masuk kelompok mustadh’afin. Tapi setelah hijrah, mulai tertatalah ekonominya, dibantu oleh kaum Anshar. Bisnisnya mulai berkembang. Bahkan ada kisah yang populer di kalangan pebisnis muslim, yaitu kisah Abdurrahman bin Auf yang menjadi kaya raya padahal berbekal dengkul saja. Dia hanya minta ditunjukkan pasar lalu dia menjual jasa di sana dan setelah itu mulai berniaga barang-barang. Menjadi kayalah dia, ikut menjadi penopang dakwah rasul secara finansial.

Apa hikmah hijrah ekonomi itu? Bahwa ekonomi bisa tumbuh jika orang-orang mau terjun ke dunia usaha, ke dunia bisnis. Jangan hanya berpikir untuk menjadi pegawai dan pekerja saja. Jangan berharap menjadi karyawan seumur-umur. Sebab, kalau banyak orang yang masih bermental amtenaar saja, maka negara tak bakal mampu membayar gajinya karena strukturnya menjadi sangat gemuk. Banyak pekerja tapi tak ada pekerjaan. Bekerja tapi menganggur. Dan ironisnya, semuanya menerima gaji setiap bulan. Ini sangat-sangat membebani anggaran belanja negara/daerah. Itu sebabnya, jika mental ingin menjadi pegawai ini terus dipupuk maka tak akan ada perbaikan ekonomi nasional. Jadi, cobalah hijrah dari pola pikir ke-PNS-an menuju kemandirian. Bekerja dalam ujud kreativitas yang bisa dijual demi mendapatkan uang. Inilah hijrah ekonomi, hijrah kewirausahaan.

Hijrah ekologi. Tahun baru Hijriah kali ini bertepatan dengan deretan bencana lingkungan, mulai dari Jember, Banjarnegara, banjir di mana-mana dan sampah di Bandung. Yang disebut terakhir belum tuntas juga masalahnya sampai sekarang padahal sudah dimulai sejak longsor TPA Leuwigajah setahun lalu. Perkara hukumnya bahkan ada yang berlangsung di lokasi kejadian. Tak hanya di Bandung, kasus PT Freeport yang membuang limbah tailing-nya juga sangat menyusahkan suku asli di sana. Belum lagi kasus PT Newmont dan pabrik tekstil. Tapi anehnya, pemerintah bergeming saja menatap degradasi ekologi yang diakibatkannya. Tak hendakkah pemerintah merevolusi pola peduli ekologi kaum industrialis itu? Jika hendak memperbaiki ekologi, meregenerasi lingkungan, patutlah kita belajar dari Alquran. Kitab suci ini sarat dengan bela ekologi. Yang paling sering dikutip ialah ayat 41 surat Ar Ruum, sebuah ayat yang tegas-tegas menyatakan bahwa kerusakan di bumi lantaran polah tingkah manusia. Lantaran perilaku serakah dan egois kita. Tingginya spirit Islam dalam hijrah ekologi ini dapat dibaca di buku karya Maurice Bucaille, orang Prancis penulis Bibel-Al Qur’an, Sains. Isinya luar biasa. Pembaca bisa terkaget-kaget dibuatnya lantaran Alquran begitu banyak mengupas fenomena alam lingkungan ketimbang ibadah ritual.

Saratnya peduli ekologi dalam Alquran tercermin pada frekuensi sebutan bumi dan tanah sebagai media pijak kita sebanyak 461 kali. Begitu pun udara atau angin yang berperan dalam siklus hidrologi sehingga tanah gersang kembali subur (al Baqarah: 164) dan angin membantu penyerbukan bunga (al Hijr: 22). Hamparan hutan dan kebun berbunga aneka warna dapat diibaratkan pakaian indah-harum bagi bumi (ar Rahman: 11-12). Alquran menegaskan fungsi estetika dan dekoratif tanaman yang berpengaruh pada manusia. Yang paling terasa manfaatnya ialah sebagai sumber makanan (padi, jagung, gandum), sumber buah-buahan berbagai bentuk, jenis, ukuran dan rasa serta papan untuk bahan rumah. Selain itu, keindahan tanaman tak hanya visual tapi juga mekanisme reproduksinya yang berpasang-pasangan secara seksologi (ar-Ra’du: 3), ada jantan ada betina.

Hijrah teknologi. Teknologi dan juga sains erat kaitannya dengan akal manusia. Lantaran akal dan olah pikirnyalah manusia menapak kemajuan sekarang. Hanya saja manusia tak boleh lupa bahwa dulu sewaktu kecil, ketika masih bayi merah, dia belum tahu apa-apa. Dia tak boleh takabur atas secuil ilmu yang dimilikinya sekarang yang katanya begitu hebat dan membuatnya terkenal, bahkan meraih piagam, award sainstek atau hadiah Nobel, misalnya. Sebab, bagaimanapun, ilmu manusia masih terbatas, paling-paling dia hanya tahu di bidang ilmu yang ditekuninya. Malah dalam pendidikan, makin tinggi strata pendidikan, misalnya S1, S2, S3 makin sempitlah lingkup studinya. Tak ada manusia yang menguasai segala ilmu, syahdan orang itu Einstein, Newton, Ibnu Sina, Archimedes, Hawking, dll. Apalagi kita yang untuk berperan di kancah lokal-nasional saja tak mampu, tak bisa meluaskan manfaat ilmu yang dimilikinya dalam ujud karya nyata. Karya yang sarat guna, berhasil-guna, berdaya-guna tinggi bagi orang lain.

Walau demikian, manusia diwajibkan hijrah teknologi, pindah dari satu “sumur” ilmu menuju “sumur” ilmu lainnya. Ini bisa dibaca pada kata pertama, ayat pertama firman Allah swt kepada Muhammad, yaitu baca. Soal baca adalah soal ilmu. Soal hijrah pengetahuan. Berikutnya disebutkan kalam, soal alat tulis yang menjurus ke kodifikasi ilmu dan teknologi. Jadi, ayat pertama pun sudah menyuruh manusia berhijrah dari kebodohan ke kepandaian. Hijrah dari kebodohan dan “kebodohan”. Bodoh dalam arti harfiah, yaitu tak mengerti apa-apa, dan bodoh dalam arti jahil, yakni orangnya pintar, bahkan bergelar profesor, doktor, berpangkat jenderal, menjadi pejabat tapi karakter jiwanya bodoh atau jahiliah. Malah bisa dipastikan, para koruptor kakap adalah orang-orang pintar, berpendidikan tinggi, sering muncul di televisi dan koran-koran. Maka, yakinlah, bukan orang pintar yang kita butuhkan melainkan orang jujur yang pintar. Minimal orang jujur yang biasa-biasa saja otaknya, asalkan tidak idiot. Sebab, orang idiot justru menjadi beban bagi orangtua /masyarakatnya atau, kalau kita berpikir positif, orang idiot adalah ladang ibadah, ladang kesabaran dan ladang kelapangan, semacam ladang hijrah bagi para penyabar.*

Tidak ada komentar:

Posting Komentar