• L3
  • Email :
  • Search :

28 April 2006

Tujuh Alasan Aku Menulis

1. Setahuku, hidup ini linier, garis lurus menuju firdaus atau neraka saqar. Tak ada siklus. Hidup ini pun mirip parabola: lahir, kecil, muda, dewasa, tua, lansia, mati. Yang juga pasti, hidup ini hanya sekali dan singkat. Apa yang bisa aku lakukan, kulakukan. Patokanku: baik dan (juga) benar. Baik belum tentu benar. Benar pun belum tentu baik dari sudut (nafsu)-ku. Maka, aku hidup untuk hidup. Hidup di dunia demi hidup di akhirat. Menulis adalah salah satu caranya. Kutulis tapak-jejak hidupku agar tak dihempas masa, tak dilupakan zaman, tak diburu waktu, tak dideru debu, tak digadai badai. Minimal aku dikenang oleh anakku, cucuku, dan buyutku nanti. Harapanku, tulisanku menjadi warisan buat zuriatku, turunanku, terutama spiritnya. Spirit membaca dan spirit menulis. Memberikan contoh bahwa eksistensi bisa ditempuh lewat menulis. Kutulis, aku eksis. Inilah mottoku.

2. Insan kamil. Kutahu, tak mudah mencapai derajat insan kamil. Tak cukup hanya dengan ibadah ritual lantas mengklaim diri sudah saleh. Tak layak mengaku-aku sudah mencapai maqam (bukan makam) tertinggi. Begitu pun menulis. Tak ada batas dalam statistik seseorang pantas disebut penulis besar. Semasih hidup, sekali lagi semasih hidup, belumlah ada karyanya yang besar apalagi terbesar. Bagiku, proses itu baru berhenti ketika jasad telah berkalang tanah dan ruhnya menanti Hari Hisab di alam kubur, bukan di kuburan. Kuburan hanyalah tanah bercampur jasad lapuk, ditemani cacing, belatung, dan bakteri. Kutak ingin lahir sekali lalu mati tak berbekas. Kutak mau jadi sampah. Maka, agar jejakku berbekas aku harus menulis. Tulisan adalah ukiran hidupku yang kutoreh di kertas, kupahat di komputer. Apalagi kusadari, aku bukanlah ulama, bukan kyai, bukan ustadz. Hanya menulislah yang kulakoni di antara lakon-lakon lainnya. Kata orang bijak bestari, karakter insan kamil adalah manusia pembelajar, manusia pembaca dan HARUS menulis. Jangan berhenti di ufuk baca, teruskanlah sampai di titik tulis!

3. Waktuku adalah pedangku. Ali bin Abithalib penggemanya. Merinding aku menyimaknya. Terbayang mata pedang menyelempang di leherku. Aku gentar, dadaku bergetar, takut mati tanpa arti, bagai duri tak bertaji. Maka kuupayakan agar sword, sang pedang itu, berubah menjadi words, sang kata-kata. Kulawan sword dengan words: dengan kata, dengan frase, dengan kalimat, dengan paragraf, dan... dengan tulisan. Itu sebabnya, aku bersuluk-suluk mencari waktu agar bisa menumpahkan lika-likuku sebagai lelaki lewat tulisan. Ditemani buku lusuh, dikawani teh-kopi dan ditingkah tik-tik kibor komputerku, aku terus saja melajukan huruf per huruf, kata per kata, kalimat demi kalimat. Kuuntai mereka menjadi jalinan bermakna yang mudah-mudahan membuahkan hikmah yang bisa dipetik pembacanya. Lantas, ketika tuntas satu tulisan, legalah hatiku, bebaslah diriku, terbanglah aku. FLY. Kuterbang dan menari diiringi gemerincing tari sufi yang bersuluk di sudut mihrab. Aku fly di awan ilmu, di langit buku, di atmosfer kalbu.

4. Orang ‘alim, orang berilmu. Sesungguhnya, aku ingin masuk kalangan orang-orang berilmu yang mampu memanfaatkan ilmunya demi tabungan Hari Depan. Tapi aku sadar sesadar-sadarnya, tak banyak ilmu yang bisa kuserap selama ini. Yang kutekuni saja, sainstek lingkungan, hanya secuil jua yang kubisa. Sebagian besar sisanya tak kuketahui, apalagi kukuasai. Malah kudengar, orang paling jenius pun tak bisa menguasai semua ilmu di jagat ini. Dia hanya jenius di bidang tertentu. Dulu, tahun 1990 atau 1991, aku lupa tahun berapa pastinya, aku menonton film Rainman. Ceritanya tentang orang idiot tapi jenius dalam hal tertentu. Idiot savant disebutnya. Aku tentu saja tak ingin seperti Rainman itu. Lebih senang aku menjadi diriku saja sambil terus belajar tanpa maksud menjadi pejabat, apalagi mengganti pejabat (emang ada yang mau diganti? ge er?). Belajar bukan demi jabatan. Ini bukan prioritasku. Yang utama bagiku adalah menjadi pemimpin (bukan pejabat) bagi diriku (silakan baca beda pemimpin dan pejabat di blog ini). Namun yang pasti, seorang pejabat haruslah sarat ilmu dunia (profesional) dan kaya ilmu akhirat (akhlak karimah) demi bebas KKN. Tapi sayang, yang terjadi justru yang miskin profesionalisme dan kaya manipulatifnya.

5. Suvenir fisiologis terbesar bagiku adalah otak. Sang Kreator menitipkan si kelabu kembar itu demi pembedaku dengan hewan. Ketika kera diberi insting, aku tak hanya diberi naluri dan otak tapi juga akal. Dengan otak dan akal itulah aku memilah lalu memilih mana yang baik dan mana yang buruk. Ini sebabnya aku tak setuju pada ungkapan Charles Darwin bahwa manusia dan kera berhulu pada nenek moyang yang sama. Dia memang tidak eksplisit menyatakan bahwa manusia dari kera tapi aku tak setuju pada ungkapannya bahwa kera dan manusia ber-evolusi dari nenek moyang yang sama. Kera adalah kera dan dia hanyalah hewan sedangkan manusia adalah insan yang diciptakan dari tanah (turab) lalu diberi bentuk. (Aku pun sadar bahwa manusia bisa jauh lebih hina ketimbang binatang, menjadi asfala saafiliin). Jelaslah benang merah hipotesis Darwin di dalam The Descent of Man and Selection in Relation to Sex adalah keliru. Harun Yahya terang-terangan menyebutnya pembohong besar, peremuk peradaban manusia, penista insan kamil. Apalagi hanya manusialah yang mampu membaca dan menulis, bukan simpanse. Kalau begitu, jika ada manusia yang tidak suka baca-tulis...?

6. Bukan katak dalam tempurung, melainkan manusia dalam langit makrokosmos. Ibrahim, seorang nabi yang insan kamil, jelas-jelas mengagumi makrokosmos bahkan nyaris menuhankan matahari, bulan dan bintang. Ia membaca ayat kauniyah lalu menganalisis fenomenanya dan menarik simpulan. Berbekal ilmunya, lewat uji hipotesis disimpulkan: ketiga benda angkasa itu bukan tuhan. Kini kita pun tahu lewat bacaan, bukan Pluto planet terjauh dalam tata surya kita melainkan planet ke-10 berkode 2003 UB313. Pasti ada lagi nanti temuan-temuan baru. Kalau tidak membaca pasti tak tahu temuan anyar itu. Maka, bacalah! Membaca adalah obeng pembuka tempurung katak. Menulis adalah pembuka langit semesta. Lewat menulis aku didaulat agar sabar membaca. Membaca apa saja: astronomi, ekonomi, ilmu Bumi, dll. Aku yakin, manusia akan picik dan sok tahu jika meniadakan aktivitas membaca. Seorang pembaca rakus pun hanya akan berguna buat dirinya saja andaikata tidak menulis. Menulis pun mesti dilanjutkan dengan distribusi agar makin banyak orang yang tercerahkan. Seorang pembaca rakus belum dianggap menembus relung langit al-qudus jika berhenti hingga di situ. Ia mesti menulis!

7. Iqra dan kalam. Baca dan tulis. Aku begitu surprised ketika diberi tahu bahwa ayat pertama yang diterima Nabi Muhammad adalah tentang membaca. Baca! Aku sudah mempelajari sejumlah kitab suci agama-agama lain, tapi hanya Al Qur’anlah yang peduli pada otak dan akal manusia. Bahkan kata iqra itu diulang dua kali dalam surat al ‘Alaq. Setelah itu barulah diperintah kalam, yaitu menulis. Sangat logis. Anak kelas satu SD pasti disuruh membaca dulu baru menulis. Seorang yang menulis tak mungkin tanpa didahului aktivitas membaca. Membaca dulu baru setelah itu bisa menulis. Tak mungkin dibalik. Yang juga hebat bagiku, Allah memilih orang yang tak bisa baca-tulis sebagai penerima risalah-Nya. Lantaran inilah kaum orientalis yang menyudutkan Islam tak bisa berkutik. Muhammad jelas-jelas buta huruf. Al Qur’an dengan gaya susastranya nan Mahaagung, tak tertandingi oleh sastrawan terhebat yang pernah ada, betul-betul wahyu Allah. Andaikata Muhammad bisa baca-tulis niscaya mereka tegas-tegas lugas-lantang berkata bahwa Qur’an itu hasil olah-pikir Muhammad, bukan firman Allah. Lantaran ada ayat yang menitahku untuk iqra dan kalam itulah aku membaca dan menulis. Bacalah.... Bacalah..... Tulislah. *

3 komentar:

  1. Hi...
    Thanks banget telah menginspirasiku tuk mencintai menulis lagi setelah ku dalam ke vakuman yang lama...
    Once more thanks...^_^

    BalasHapus
  2. Halow!!
    Thanx atas post kamu yang keren.
    Jadi tambah semangat menulis ni

    warmest regards,

    ivana

    BalasHapus
  3. hallo...
    alasan menulis itu bisa macam2..., yang pasti aku dapat hidup, tidak lain dari tulisan2 Sang Pemilik tulisan itu sendiri, maka hidupku juga harus ada yang bisa kutulis. yuk... tiada hari tampa menulis

    BalasHapus