Dipublikasikan di
Majalah Air Minum, Edisi 114 Volume, Februari 2005
ISSN 0126-2785
Namun artikel ini tidak akan bicara soal Bojongsoang tetapi hal lain yang masih terkait dengan IPAL, yaitu IPAL tertua di Indonesia: Imhoff Tank. Pemerintah Kota Bandung berencana memfungsikan lagi IPAL Imhoff Tank tersebut. Dananya, menurut kabar, enam milyar rupiah! Belum termasuk ongkos operasi-rawatnya.
Warisan Belanda
Bagi orang Bandung, jalan Imhoff Tank pasti sudah tidak asing lagi. Letaknya di Kelurahan Pelindung Hewan, Kecamatan Astanaanyar. Akan tetapi, boleh jadi tidak semua orang Bandung tahu apa sesungguhnya “makhluk” yang bernama Imhoff Tank itu.
Secara ringkas, berikut adalah riwayatnya. Tahun 1916, sepuluh tahun setelah Bandung berstatus gemeente (21 Februari 1906), dan setahun sebelum Meneer B. Coops jadi walikota (burgemeester) Bandung yang pertama (1917), pemerintah Belanda giat membangun. Rentang tahun 1915-1925 banyak dibangun sekolah (HBS, THS atau sekarang kampus ITB), kantor, motel, jalan dan prasarana sanitasi.
Pada masa itu, kota Bandung dibagi menjadi dua wilayah, yaitu wilayah barat dan timur dengan Sungai Cikapundung sebagai garis sempadan. Hanya saja, dua pertiga warganya tinggal di belahan barat. Untuk memenuhi kebutuhan air dan sanitasinya, selain mendirikan “PDAM” yang dikelola oleh Technische Dienst Afdeling, Belanda juga membuat IPAL domestik di belahan barat, yaitu Imhoff Tank. Lewat saluran sepanjang 14 km air limbah domestik orang-orang Eropa itu diolah lalu dibuang ke Sungai Citepus.
Mengapa dipilih unit Imhoff Tank? Sampai saat ini alasan otentiknya belum diperoleh. Tentu pemerintah Belanda kala itu yang paling tahu. Tetapi, dari sisi historisnya, inilah unit yang lagi populer pada awal abad ke-20. Dari segi posesnya, inilah IPAL domestik terbaik kinerjanya ketika itu. Ia unggul daripada unit-unit lainnya karena berupa pengolahan bikamar atau “dual-purpose two-story tank”. Artinya, ruang hidrolisis dan ruang sedimentasinya terpisah, tidak satu ruang seperti unit-unit sebelumnya.
Meskipun belum ada datanya, boleh jadi Imhoff Tank inilah yang tertua di Asia. Minimal tertua di Asia Tenggara. Sebab, unit pengolah air limbah yang patennya dipegang oleh Dr. Karl Imhoff ini dibangun hanya 12 tahun berselang setelah ditemukan di Jerman, yaitu tahun 1904. Padahal pada masa itu komunikasi dan alat transportasi belum secepat sekarang. Terlebih lagi jarak antara Jerman dan Indonesia sangat jauh. Namun IPAL itu sampai juga ke Indonesia melalui tangan-tangan insinyur Belanda.
Evaluasi Proses dan Struktur
Pada dasawarsa 1970-an IPAL ini sempat diperbaiki tetapi tidak menyentuh strukturnya. Cuma proses pengolahannya yang diperbaiki dengan cara pengurasan lumpurnya secara besar-besaran. Namun pada tahun 1980-an, tamatlah riwayatnya. PDAM Kota Bandung beralih ke IPAL Bojongsoang yang merupakan mega projek saat itu.
Yang patut dicatat, ketika Imhoff Tank itu dibuat tentu tidak dimaksudkan sebagai pengolah air limbah domestik buat ratusan ribu orang. Apalagi jutaan orang seperti sekarang. Diperkirakan penduduk Bandung ketika itu sekitar 70.000 orang. Sebagai pembanding, pada tahun 1896 penduduk “kampung” Bandung (belum pantas disebut kota) sekitar 29.382 orang. Di antaranya 1.250 orang Eropa. Sedikit sekali jika dibandingkan dengan zaman sekarang.
Selanjutnya adalah sisi kualitas air. Walaupun sama-sama air limbah domestik tetapi kualitasnya berbeda dengan sekarang. Dulu belum ada bermacam-macam sabun, deterjen, karbol, insektisida, oli, minyak dll. Kondisi alam tatar Bandung pun waktu itu masih alami sehingga setiap hujan erosinya sedikit. Akumulasi pasir, lempung dan sampah tidak terlalu banyak. Jalan-jalan masih jarang. Polusi sepanjang sungai baik di hulu maupun setelah disposal point-nya Imhoff Tank masih rendah. Bahkan mungkin saja tanpa polusi sehingga Sungai Citepus bening airnya. Debitnya pun besar. Tidak seperti sekarang: debitnya susut dan kotor. Makanya, riskan sekali kalau efluen Imhoff Tank itu dibuang ke Citepus seperti masa Belanda dulu. Kondisinya sudah jauh berbeda.
Imhoff Tank bukanlah IPAL ajaib. Jangankan Imhoff Tank yang termasuk generasi pertama IPAL anaerob, IPAL generasi kedua seperti UASB (Upflow Anaerobic Sludge Blanket) saja banyak yang gagal. Kebetulan pilot project UASB ini juga ada di Bandung yaitu di jalan Suling, dekat Sesko TNI di daerah Turangga. Dananya juga dari Belanda. Tetapi, dalam tempo beberapa tahun saja sudah gagal operasinya.
Padahal unit yang ditemukan oleh Dr. Lettinga dari Belanda ini cuma menangani air limbah dari satu rumah flat saja. Bagaimana dengan Imhoff Tank yang bakal mengolah air limbah dari ratusan ribu orang? Kalau rencana ini benar-benar terwujud berarti melebihi beban ketika didesain dulu. Efisiensinya pasti rendah. Malah tak mampu lagi diolah dengan baik. Apalagi ketika hujan, riol dipenuhi pasir dan lempung. Ruang dijester bisa segera penuh sehingga harus sering disedot. Ongkos operasi-rawatnya bertambah mahal.
Belum lagi kalau prosesnya rusak dan tidak berjalan sesuai desain. Sebagai proses anaerob, bakteri di dalam Imhoff Tank ini terkenal manja. Sensitif. Sedikit saja terjadi perubahan lingkungan hidupnya, dia langsung ngambek. Kalau tidak segera pulih, semua bakteri ini akan mati, berharakiri. Gagallah proses pengolahannya dan perlu tiga bulan lagi untuk memulai prosesnya agar kondisinya seperti sedia kala. Bisa begitu berulang-ulang.
Kalau pun berjalan sesuai dengan desain, ada hal lain yang menghadang. Yaitu, kualitas efluennya belum tentu sesuai dengan yang diinginkan. Sebab, Imhoff tank hanya mampu menurunkan BOD tak lebih dari 30%. Rendah sekali. Jadi perlu ada pengolahan tambahan. Tidak boleh langsung dibuang ke Citepus. Bisa memperparah polusi di sungai itu dan hanya memindahkan polutan dari rumah ke sungai melewati Imhoff Tank. Ujung-ujungnya Sungai Citarum lagi yang tercemar.
Adapun pasir dan suspensinya bisa disisihkan sampai 75%. Namun jika ini tidak efektif karena beban hidrolisnya berlebih lantaran ratusan ribu yang dilayani dari Bandung Barat dan Utara maka Citepus bisa cepat dangkal dan bau. Ini kontraproduktif dengan Gerakan Cikapundung Bersih (GCB) kalau nanti diperluas ke sungai-sungai lainnya.
Modifikasi
Ketika Belanda membangunnya dulu, Imhoff Tank ini belum disertai unit di hulu dan di hilirnya. Tidak ada unit-unit pengolah lainnya. Pada masa lalu kondisi tersebut mungkin tidak masalah. Aman-aman saja. Tetapi tidak demikian untuk kondisi sekarang. Inilah salah satu kekurangan IPAL tertua di Indonesia itu.
Belum lagi masalah air limbah yang kaya busa dan sabun yang mengganggu proses di dalam dijester dan sedimentasi. Lumpur atau sludge-nya bisa tidak tercerna dengan sempurna dan pengendapannya pun terganggu oleh gas yang muncul di bawah. Kemudian bagaimana penanganan sludge-nya? Diolah dengan apa lalu dibuang ke mana? Di sekitar instalasi saat ini dipenuhi perumahan. Apabila dibuang di luar kota, di mana dan bagaimana mekanisme transportasinya? Bagaimana dengan polusi bau dan estetikanya?
Yang juga tidak bisa dilihat dengan sebelah mata adalah pertimbangan konstruksinya yang umurnya hampir seratus tahun. Jangan sampai ketika sudah beroperasi lantas ambruk atau bocor di mana-mana.
Akhir kata, artikel ini hanyalah urun rembuk dalam wacana penanganan air limbah di Parijs van Java agar tidak ada sesal di kemudian hari. Terutama setelah utang milyaran rupiah itu tertanam di Imhoff Tank. Jangan sampai terjadi arang habis besi binasa, tak dapat apa-apa, malah sengsara.*
Saya hargai anda mengenal sejarah IPAL Inhoff Tank, bagi saya yang sekolahnya di Teknik Lingkungan ITB tentu tau hal tersebut tetapi masyarakat bandung yang rumahnya saja disebelah lokasi tidak tahu.
BalasHapussaya pernah di Bali lama (11Tahun) dan waktu menyusun Master Plan Air limbah, saya pelajari bahwa di Bali sejak dulu sudah dikenal saluran air limbah yang disebut "Tukad Loloan" dan penyaringan air dengan batu paras.
air limbah itu tanggung jawab bersama, siapa yang menghasilkan limbah harus mengolah secara mandiri limbahnya, membuat IPAL di tempat tinggal sendiri secara teknologi bukan hal yang sulit, tinggal kesadaran dan kemauan warga masyarakat saja.
BalasHapus