• L3
  • Email :
  • Search :

2 April 2006

ATM Kondom: de Facto, de Jure?

Mulia sekali keinginan pemerintah untuk mengurangi penderita HIV/AIDS. Itu sebabnya, di koran, radio, televisi dan internet digerakkan kampanye anti-AIDS. Kaum selebritis, pedoyan pesta, dan LSM tertentu juga ikut berbusa-busa mengumandangkan anti-AIDS. Bahkan sekarang (di Jakarta sejak medio 2004) media kampanyenya bertambah lagi, yaitu lewat ATM kondom. Ternyata, tak hanya uang yang bisa didapat lewat ATM, tapi juga kondom. Orang tak perlu lagi membeli kondom di apotek, toko obat atau warung remang-remang.

ATM tersebut akan disebar Jakarta, Jawa Tengah, Jawa Barat, Jawa Timur, Bali, NTB, Lampung, Riau, dan Irian Barat. Lalu dipasang di sejumlah sudut kota, terutama yang diindikasikan ramai aktivitas seksualnya. Dengan memasukkan tiga uang koin Rp 500, keluarlah alat kontrasepsi itu. Tak usah khawatir, ATM ini akan disuplai terus-menerus yang berarti bisnis kondom akan laris, ekonomi pabrik kondom dan distributornya akan makin mulus, menyaingi toko dan apotek yang telah lama menjual kondom. Di Jawa Barat, sebagai contoh, akan dipasang 10 unit; salah satunya ditaruh di Saritem, daerah pelacuran tua di Bandung.

Mulia sekali tujuan ATM ini, yaitu agar tak terjadi penularan HIV yang dapat berujung pada AIDS. Pencegahan. Inilah intinya. Ilmuwan percaya, bahan tipis kenyal itu begitu rapat sehingga virus pengurang kekebalan tubuh pun takkan mampu menembusnya. Begitulah kira-kira. Hanya saja, fakta bicara lain. Ada saja yang hamil padahal pasangannya sudah memakai kondom. Jika sperma saja bisa tembus, apatah lagi virus yang ukurannya lebih kecil. Namun sering hal ini dianggap kecelakaan saja, persentasenya dianggap kecil, seolah-olah kasusnya dipendam kuat-kuat agar tak menyebar.

Lewat kampanye gencar di media massa, dikabarkan bahwa kondom dapat mencegah penularan HIV. Lantaran takut kena HIV apalagi berkembang menjadi AIDS, orang-orang lantas memakai kondom. Mereka tak hendak berhenti berbuat maksiat. Mereka tetap ingin berseks bebas dalam “kondisi aman” dengan beragam pasangan, tak takut lagi akan ancaman HIV, terus saja gonta-ganti pasangan karena sudah berkondom. Pola hidup ini sebenarnya diambil dari budaya asing, umumnya budaya barat, yang bebas dengan siapa saja berelasi seks. Seorang ibu di AS memperingatkan anak perempuannya agar membawa pil (KB) setiap akan kencan dengan pacarnya. Jadi, bukan mewanti-wanti anaknya agar jangan berzina, tapi agar tidak hamil. Yang penting suka sama suka dan tak dapat dituntut di depan hukum. Alasannya adalah HAM, sebuah kebebasan yang digembar-gemborkan dan dijadikan tameng bagi pedoyan seks bebas.

Mereka ingin tetap bisa menikmati seks bebas dan cara pengabsahannya lewat kondom. Selain mudah memakainya juga murah harganya. Pemakainya hanyalah pria, tidak ada wanita. Kaum prialah yang memegang peran apakah ingin berkondom atau tidak. Banyak lelaki menganggap memakai kondom tak enak rasanya. Sensasinya kurang karena ada penghalang. Sering terjadi, seorang wanita ingin pasangannya memakai kondom tapi tak berdaya menyuruhnya karena tak ingin kehilangan teman kencan atau pacarnya. Kehilangan teman kencan berarti kehilangan uang, kehilangan pelanggan setianya. Atau, si wanita takut diputusi oleh pacarnya. Di Bali, menurut data, hanya 25% pejajan WTS yang mau memakai kondom. Sisanya “berbugil” ria. Mereka seakan-akan tak peduli pada HIV/AIDS.

Efektifkah ATM kondom? Untuk menjawabnya, kita kembalikan pada budaya masyarakat kita. Undang-undang, Peraturan Pemerintah, Peraturan Daerah, dll telah banyak dibuat tapi tetap saja dilanggar. Malah peraturan sering dijadikan alat pemeras rakyat yang melanggar. Atau, memeras rakyat yang jelas-jelas tidak melanggar, tapi dicari-cari kesalahannya. Begitupun ATM kondom. Orang-orang khususnya remaja akan “memanfaatkan” kebiasaan kita melanggar peraturan. Siapa yang bisa mencegah dan mengawasi remaja memasukkan koin lalu mengambil kondomnya? Andaipun remaja itu selalu memakai kondom, betulkah dapat mereduksi HIV/AIDS. Sebab, ada kondom di ATM yang kadaluwarsa dan potensial “meluluskan” sperma. Malah petugas BKKBN acuh tak acuh menangani kondom kadaluwarna di poliklinik Polda Metro Jaya. Artinya, penyebaran HIV/AIDS tetap saja tak tertahankan.

Tampaklah, secara de jure ATM memang bagus. Tapi masalahnya adalah de facto. Alih-alih mengurangi seks bebas, malah meluaskan remaja untuk berseks bebas. Mereka tinggal datang ke ATM, mungkin malam hari, lalu memasukkan uang dan keluarlah kondom. Sambil naik motor, mobil atau mungkin taksi mereka lantas bisa beraksi di mana saja yang diinginkan. Di alun-alun saja, tempat yang notabene ada masjid besar, petugas sampah sering menemukan kondom bekas pakai berserakan di sana. Padahal di sana tidak ada ATM kondom. Bagaimana nanti ketika ATM ini dipasang, tentu kian mudahlah pria hidung belang memperolehnya. Secepat kilat bisa didapat dan siap guna. Kalau dulu mereka malu-malu membeli kondom ke warung, toko obat atau apotek, kini mereka dengan mudah mendapatkannya di ATM. Mereka tak malu lagi antri sesama pedoyan kondom. Mereka sudah TST, tahu sama tahu rahasia masing-masing. Boleh jadi di sekitar ATM itu juga terjadi barter seks, bertukar pasangan dengan bergulirnya waktu.

ATM kondom memang mulia niatnya. Apalagi untuk memudahkan seorang suami yang akan berseraga dengan istrinya. Namun akan menjadi sebaliknya jika digunakan oleh lelaki yang bersebadan dengan wanita bukan istrinya, baik itu pacar, WTS, maupun teman selingkuhnya. Kehadiran ATM kondom akan mendukung budaya pemakaian kondom yang lepas dari cita-cita luhur BKKBN dan pemerintah. Yang terjadi malah pelegalan pelacuran, baik terselubung maupun terang-terangan. Juga diduga ada misi politis negara barat atas nilai suci virginitas. Di negara barat, meskipun kampanye kondom dan anti-AIDS sangat-sangat marak, faktanya di sana penderita AIDS justru bertambah terus. Mereka gagal. Gagal melawan AIDS lewat kondom. Sebab, cara yang tepat adalah lewat agama masing-masing. Tak ada agama, baik agama “langit” maupun agama “bumi”yang mengizinkan umatnya berzina. Perlu diingat, tujuan mulia agar tidak berdampak buruk, caranya pun harus mulia. Baik saja tidak cukup tapi mesti ditambah dengan benar. Baik dan benar! *

Tidak ada komentar:

Posting Komentar