Artikel ini pernah dimuat di koran Pikiran Rakyat sebagai Catatan Tutup Tahun pada 31 Desember 2005. http://www.pikiran-rakyat.com/cetak/2005/1205/31/0813.htm
Leuwigajah menyejarah. Baru kali inilah di dunia, tak hanya di Indonesia, TPA menelan korban 176 orang tewas. Longsor TPA pada 21 Februari lalu menjadi pintu masuk bencana lingkungan di Bandung dan kasusnya belum juga tuntas sampai bulan terakhir 2005 ini. Waktu itu pemerintah betul-betul kalang kabut, ada yang saling lempar tanggung jawab, dan tampak dari putusannya yang tergesa-gesa dalam mengalihkan sampah ke sejumlah TPA, syahdan ke TPA yang sudah tak layak lagi beroperasi. Bersamaan dengan itu sampah menumpuk di berbagai sudut kota, tak hanya di TPS tapi juga di bak-bak sampah rumah warga. Puluhan ton sampah tak terangkut sementara retribusinya mesti dibayar terus. Lewat perangkat RT/RW dan kelurahan warga ikut sibuk mencari jasa pengangkut sampah swasta secara swadana.
Masih untung masyarakat mau turun tangan. Warga dan mahasiswa gotong-royong di bidangnya masing-masing, sesuai kemampuan dan keahliannya. Protes keras politisi dan ahli tak hanya datang dari Bandung, tapi juga dari Jakarta. Satu bulan pertama pemerintah bergeming atas protes keluarga korban. Juga diam saja atas “jeweran” warga Bandung yang tampak pasrah dan berusaha mengerti kesulitan pemerintah, mau menerima sampahnya tak terangkut berminggu-minggu. Sampai penutup tahun 2005 ini masalah sampah itu ternyata belum juga tuntas. Akhir Desember ini adalah akhir “izin” warga kepada pemerintah dalam memakai TPA Jelekong, sekaligus menjadi awal masalah baru bagi sampah Bandung. Seolah-olah selama hampir setahun ini masalah sampah sudah selesai tapi ternyata hanyalah semu. Solusinya maya belaka.
Yang juga sempat ramai adalah Punclut. Daerah di Kawasan Bandung Utara (KBU) itu adalah titik sentral polemik ekologi setiap tahun. Penguasa dan pengusaha malah nekat membangun kawasan itu. Padahal daerah itu, sebagai bagian dari KBU yang telah rusak 70 %, adalah reservoir air yang memasok 60 % air tanah Bandung. Begitu tandas Prof. Dr. Mubiar Purwasasmita dalam orasi ilmiahnya pada wisuda Universitas Kebangsaan 26 November lalu. Ketika penguasa lewat pengusaha mendatangkan bulldozer dan shovel ke sana, memangkas pohon-pohonnya, di lain tempat penguasa justru agresif membuat taman. Bahkan melombakan taman antar kelurahan, kecamatan, dan sekolah. Katanya, untuk penghijauan sehingga air bisa meresap, polusi berkurang, dan menjadi indah. Setiap pojok, sisi dan median jalan lantas ditanami bunga-bungaan. Yang paling “aneh”, taman mini” itu dibuat di atas tanah yang di bawahnya aspal. Tanah gembur dicampur tanah Lembang dan pupuk organik, ditanamlah bunga-bunga di sana. Yakinlah, taman itu takkan mampu meresapkan air hujan. Sebagai pengindah kota tak seorang pun menyangkal asalkan bersih dan harmoni, bukan asal tanam dan asal tumbuh. Sebagai sumber oksigen semua orang setuju. Pertanyaannya, signifikankah? Sebab, yang dibutuhkan adalah hutan kota yang kini tinggal 1,5 % dari luas kota Bandung dan bukan taman kota, apalagi taman kota tanpa kemampuan meresapkan air hujan.
Masalah lingkungan yang juga besar di Bandung tak lain daripada polusi udara. Bandung yang berada di daerah cekung kini sering mendung, bukan oleh awan hujan saja, melainkan oleh asap dan debu. Terlebih lagi udara Bandung cenderung calm, berkecepatan rendah. Apalagi deru knalpot kendaraan sudah tak terhingga lagi menyemprotkan asap, jelaga, dan timbal. Tak hanya kendaraan roda empat yang terus membengkak jumlahnya tapi juga yang roda dua. Efek kesehatannya, timbal mampu menurunkan tingkat kecerdasan anak-anak dan penyebab keropos tulang akibat reposisi ion kalsium dalam tulang. Adapun CO merusak metabolisme aerobik kita atas hemoglobin (Hb). Tingkat keasaman air hujan pun turun sehingga sudah bisa disebut hujan asam (hujas). Hujan dengan pH kurang dari 5,6 ini potensial merusak vegetasi dan bangunan. Jumlah hari sehatnya hanya 55 hari, tak sampai dua bulan per tahun. Temperatur maksimumnya juga meningkat pesat menjadi 34 derajat Celcius, dari sebelumnya 27 derajat Celcius.
Yang bisa dikatakan “aneh” tapi nyata berkaitan dengan udara adalah pemasangan alat pemantau kualitas udara yang terkesan gagah-gagahan. Malah dicurigai sekadar projek agar dana keluar dan pihak terkait mereguk untung. Banyak yang bertanya-tanya, adakah manfaat fixed station dan public data display itu bagi masyarakat? Mengertikah orang awam akan makna di balik angka-angka itu? Jangan-jangan tak ada yang mengerti maksud alat dan display-nya itu sehingga sekadar menjadi pajangan monumen milyaran rupiah. Adakah itu untuk memberikan image saja bahwa pemerintah sudah peduli lingkungan? Sekadar “tipuan” lewat alat ber-display hebat dengan angka kelap-kelip yang bisa membuat decak kagum orang awam. Yang ditakutkan banyak kalangan, pemerintah justru tak paham apa yang dipasangnya. Apalagi operasi-rawatnya begitu mahal sampai-sampai sudah dua tahun terakhir ini tak beroperasi. Sayang sekali inventaris milyaran itu hanya kena panas-hujan dan makin rusak saja. Itulah nasib uang orang Bandung. Andaipun dicarikan dana lalu dioperasikan lagi, sekali lagi, apakah manfaatnya? Apakah sekadar informasi (itu pun kalau masyarakat peduli dan mau berpikir atas apa yang dilihatnya) atau dapatkah itu menurunkan polusi udara di Bandung? Bisakah menyolusi cemaran udara?
Potret buruk berikutnya adalah soal “klasik”, yaitu air dan banjir. Banjir yang terjadi bersamaan dengan longsor TPA Leuwigajah sudah bukan bencana lagi karena sudah biasa. Desember ini pun banjir sedalam satu meter di Citepus menyeruak lagi. Orang Bandung kian akrab dengan banjir, seperti halnya orang Jakarta. Tak hanya di Bandung Selatan yang banjir, di sekitar By-Pass dan bahkan di Supratman pun terjadi banjir. Malah sebagian Bandung Selatan sudah mirip Venesia Italia saja layaknya. Itu terjadi lantaran limpasan air hujannya nyaris maksimum, 90 % sehingga 46 utas sungai sepanjang 268 km ikut meluap-luap. Sebaliknya, 77 mata airnya justru kritis, muka air tanah dangkalnya turun 10 m, muka air tanah dalamnya turun 80 m. Bisa diduga dampaknya, PDAM sulit mendapatkan air baku lagi sebab potensi airnya yang bisa dimanfaatkan hanya 10 % atau 28.750.000 m3/tahun sedangkan kebutuhannya 182.500.000 m3/tahun. Defisit air di Bandung kian parah lagi sepuluh tahun ke depan, tahun 2015. Saat itu, tulis Prof . Dr. Mubiar mengutip National Geographic, dengan 5,3 juta orang warga, Bandung perlu air 386.900.000 m3/tahun dengan basis 200 liter per orang sehari.
Tak heran kalau PDAM terus mencari sumber-sumber air baru yang bisa dieksploitasi untuk warga Bandung. Yang paling hangat ialah rencana PDAM memanfaatkan mata air berdebit 20 l/d di Sukamiskin untuk suplai warga Antapani, Arcamanik dan sekitarnya. Tapi ini terkesan solusi jangka pendek karena mata air itu, jika dilihat tendensi mata air lainnya, akan berkurang debitnya. Yang perlu dipikirkan (mungkin juga sudah dipikirkan oleh PDAM) justru adalah mengambil lebih banyak lagi air Sungai Cisangkuy dan sungai lainnya yang relatif belum tercemar. Biayanya memang mahal tapi menguntungkan dalam jangka panjang dan menjadi warisan berharga bagi pejabat PDAM pada masa datang. Itu sebabnya, jangan terlalu mementingkan masa menjabat saja tapi hendaklah berpikir untuk masa depan ketika sudah tak menjabat lagi. Ini berlaku untuk semua insan PDAM.
Potret lainnya adalah polusi suara atau bising. Pada dekade 1980-an sampai 1990-an Bandung tak terlalu bising, malah terkesan adem-adem saja. Tapi sejak tiga tahun terakhir ini jumlah kendaraan meningkat pesat, terutama yang roda dua. Di setiap lampu-merah bisa disaksikan konvoi motor yang menyemut, dan mampu memerindingkan buku roma. Memang, polusi suara itu hanya terjadi di jalan raya pada jam-jam padat seperti pagi dan sore hari. Itu sebabnya, bising sering tak dipedulikan karena memang hanya terjadi sebentar, paling lama satu atau dua jam selama perjalanan pulang pergi ke kantor. Namun masalahnya bisa fatal juga walau tak sampai pada pergeseran ambang pendengaran. Ini beda halnya jika seseorang rutin berada di mesin-mesin pabrik. Walau demikian, persoalan psikologis pasti muncul. Orang menjadi sering stres yang berujud pada rasa ingin marah, malas, kesal, bahkan menjadi sakit kepala, sakit leher, sakit pinggang dll.
Yang terakhir adalah polusi karakter. Meskipun disebut terakhir, namun justru inilah akar tunggangnya. Sampah dari rumah, pasar, mall, supermarket, kampus, sekolah, mobil, toko dan banyak lagi yang lain selalu berkaitan dengan manusia. Orang yang tak peduli pada lingkungan akan membuang sampah di mana pun dia mau. Soal udara juga begitu, terkait dengan karakter manusia dalam berkendaraan dan pabrik. Sampah pun ikut menjadi pencemar udara karena aroma busuknya selain dapat mencemari air tanah dan sungai. Karakter kita dalam menggunakan air juga berpengaruh atas hemat dan boros atau terjadinya pencurian air PDAM, jebol-menjebol air irigasi sawah, dll. Karakter suka yang hijau-hijau akan membawa masyarakat untuk menanam pohon, minimal satu di rumahnya, sebagai penahan air, penghasil oksigen, dan kenyamanan.
Dari paparan tersebut bisalah dievaluasi potret lingkungan Bandung sepanjang tahun 2005. Dalam skala 0 sampai 10, angka yang layak untuk Bandung adalah 5,7 alias C minus. Lalu bagaimana kira-kira wajah lingkungan Bandung tahun 2006 nanti? Yang pasti, hanya orang pandirlah yang terperosok ke lubang yang sama dua kali. Kalau lebih dari dua kali, maka namanya... (tak kuasa saya menyebutnya).*
Tidak ada komentar:
Posting Komentar