Merapi menyalak lagi. Ia galak lagi. Ia muntah lagi. Ia unjuk panas lagi. Wedus-wedus gembel mengintai lagi. Kudengar kisah, saat itu rembang petang di sebuah link radio terkenal di Jakarta. Waktu menunjukkan 16 April 2006. Beritanya, penduduk sekitar didata untuk evakuasi. Daerah setempat siaga. Tapi ada sejumlah orang tua yang tak hendak dievakuasi. Mereka masih percaya bahwa Merapi sayang pada mereka. Merapi adalah berkah. Kudengar juga, dan ini terjadi kemarin malam tanggal 17 April 2006, bahwa gunung-gunung lain di Jawa ikut-ikutan memanas, frekuensi gempanya meningkat.
Pikiranku lantas kembali ke masa-masa lalu, ke letusan lalu, ke kisah erupsinya dulu. Aku khawatir, bagaimana kalau gunung-gunung itu toleran terhadap Merapi dan sama-sama meletus? Semua meletus semau-maunya? Begitu marahkah Merapi sampai-sampai dia mengonsolidasi teman-temannya? Merapi memang pemimpin. Dia salah satu penggede gunung di Indonesia, minimal di Jawa. Dan aku masih ingat. Lima bulan lalu ketika sempat kutatap Merapi dari dekat, dia begitu kalem dalam diam. Awannya saja yang bertengger di sisi puncaknya yang angkuh. Ia memang angkuh. Bagiku, apalagi dia hanyalah gundukan tanah dan bukan manusia, wajar dia begitu. Dia adalah gunung api hebat dari 13% gunung api dunia yang berada di Indonesia! Ia adalah bagian yang hebat dari 35 gunung api aktif yang menjadi pasak-pasak Pulau Jawa. Jumlah 35 itu setara dengan 27% dari 129 gunung api aktif di Indonesia. Dia pulalah si jago bandel saat ini.
Perlukah kita menghindar dari Merapi? Mau migrasi ke mana? Bencana ada di mana-mana. Dekat gunung, kena letusannya. Dekat laut, kena tsunaminya. Di dataran rendah yang subur, kena gempanya. Di dekat hutan, binatang buas mengintai dan kebakaran hutan bisa terjadi. Mau tinggal di mana? Pindah ke mana? Tak usah ke mana-mana! Kita dikepung laut, juga dihadang gunung. Tapi tak berarti diam berpangku tangan. Berikut ini ada kisah tentang gunung.
Negara gunung
Kita ini, negara kita ini, betul-betul khas. Banyak kekhasannya jika mau dirinci satu per satu. Selain sebagai negara kaya pulau dan nusa, Indonesia juga kaya gunung. Tanah air dan laut kita tepat berada di sabuk gunung api sepanjang 7.000 km yang melintang dari Sumatera, Jawa, Bali, Nusa Tenggara, Kep. Maluku sampai Sulawesi Utara. Walaupun “orang gunung”, ternyata masih banyak aspek kegunungapian yang belum akrab di telinga kita, kecuali orang-orang yang bekerja di Vulkanologi dan kuliah di Geologi. Selama ini, jika mendengar kata gunung api maka yang terbayang adalah bencana letusan (erupsi) berwujud lahar, lava, debu, dan awan panas yang mematikan. Hingga kini secara total sudah 263.000-an orang tewas akibat letusan gunung api di Indonesia (jauh lebih kecil dibandingkan dengan korban satu kali tsunami yang hanya berlangsung beberapa menit dan tak terduga).
Sebagai contoh adalah erupsi G. Galunggung yang dikredit selama tahun 1982/1983. Bencana ini mengganggu aktivitas ekonomi, sosial, budaya, pendidikan dll. Namun di lain pihak, fenomena alam itu menjadi bahan studi para peminat gunung api, pertanian, kesehatan, lingkungan dan antropologi. Bencana lain adalah letusan G. Agung di Bali tahun 1963 dengan korban tewas 300 orang. Yang unik, pada erupsi G. Agung adalah munculnya bintang Kukus di Timur Pulau Bali. Orang lantas mengira-ngira akan ada bencana besar. Ternyata betul. Meletuslah G30S/PKI. (Hanya saja sekarang aku tak percaya lagi kaitan antara bintang Kukus dengan peristiwa itu). Korban erupsi G. Kelud (1935) tak kurang dari 5.000 orang. Yang paling menyejarah adalah letusan Gunung Krakatau tahun 1883. Debunya, konon, sampai ke Eropa. Korban yang tewas pasti sangat banyak, tapi aku tak punya datanya.
Selain akibat letusan, aspek bahaya gunung api yang lain adalah gas beracun yang dilepaskannya. Kawah Sinila (1979) di Pegunungan Dieng adalah contoh klasik saat ini. Minimal 150 orang meninggal pada bencana “selamat pagi” itu akibat gas CO dan CO2. Yang paling riskan adalah CO, karbonmonoksida. (Peristiwa Sinila inilah yang memicuku menulis puisi sekadar koleksi pribadi. Sebagai anak SD, waktu itu aku belum percaya diri mengirimkannya ke koran Bali Pos). Selain gas beracun, potensi bencana juga terjadi karena akumulasi gas di atmosfer yang menyebabkan hujan asam. Disebut hujan asam karena airnya memiliki pH (derajat keasaman) kurang dari 5,5 lantaran ada gas-gas SOx, H2S, CO2 dan NOx yang bereaksi dengan uap air lalu menghasilkan H2SO4, HNO3 dan H2CO3. Dampak negatifnya antara lain pH tanah jadi rendah, gangguan ekosistem perairan, kerusakan bangunan dan monumen karena korosi serta iritasi kulit.
The silent killer yang lain adalah pencemaran sumber air tanah dan air permukaan oleh logam berat hasil erupsi dan aktivitas kawah gunung api. Contoh kasus ini adalah kematian ikan di Sungai Ciwidey dan Waduk Saguling yang sumber airnya berasal dari G. Patuha dengan Kawah Putihnya dan G. Tangkuban Parahu. Yang patut diwaspadai adalah dampaknya terhadap manusia jika makan dan minum dari air atau ikan dan bahan sayur yang berasal dari daerah tersebut. Masukan ini penting bagi PDAM agar jangan hanya mengolah air dari aspek fisika saja tapi mulai memikirkan untuk mengamankan generasi bangsa agar tidak teracuni oleh zat kimia dari aktivitas gunungapi, seperti dioxin dan logam berat.
Bahaya dan Peluang
Gunung api dapat dipandang sebagai pedang bermata dua. Satu mata dapat menebas eksistensi manusia dan satu lagi mempertajam kualitas hidupnya. Ancaman diubah menjadi tantangan dan peluang pengembangan ekonomi dan pendidikan. Memandang alam dengan “positive thinking”, menggeser bagian negatif menjadi manfaat. Demikian halnya dengan gunung api. Ancaman bencana disublimasi menjadi keuntungan. Erupsi adalah tantangan dan peluang perbaikan teori dan hipotesis sains yang telah ada dengan konsep mutakhir.
Tantangan bidang kesehatan seperti penyakit kelenjar gondok, gigi dan pernapasan harus dapat dilawan sampai seminimal mungkin. Termasuk sakit jantung, fibrosis, fluorosis dll. Di sinilah peran pakar kesehatan (kedokteran). Bagian pertanian, perkebunan dan kehutanan mengambil manfaat dari debu vulkanik yang sangat subur walaupun ketika erupsi komponen itu sangat berbahaya. Termasuk evaluasi kualitas panen agar tidak mengandung logam-logam berat di atas ambang batas. Instalasi pengolah air minum mesti dimodifikasi untuk menangani unsur yang berbahaya dalam air dan emisi gas beracun.
Peluang lain adalah semua komponen gunung api dijadikan “pencetak uang”. Namun, eksploitasi itu dilakukan dengan mengindahkan aspek kesinambungan fungsi lingkungan, kesehatan dan keselamatan pekerja dan masyarakat awam. Jadi keuntungan bukan hanya untuk para pengusaha atau pemilik modal saja. Contohnya adalah penambangan pasir-batu (sirtu). Sirtu hasil erupsi itu memang menggairahkan ekonomi masyarakat setempat. Di balik itu, aspek terpenting adalah perlindungan penambang bahan galian C tersebut agar tidak melalaikan aspek kesehatan dan keselamatan kerja.
Saat ini pengembangan wisata gunung api (volctourism) belum banyak. Hanya di gunung-gunung tertentu saja yang sudah dieksploitasi. Tapi segmen wisata ini sudah lama berkembang di Bromo, Tangkuban Parahu dan Batur di Bali. Khusus di G. Batur, selain Danau Baturnya yang eksotik, juga karena di sana ada masyarakat Trunyan yang khas. Aspek geologinya juga menarik minat peneliti dari luar negeri, termasuk wisata flora, fauna dan mata air panas (hotspring) yang merupakan komponen tak terpisahkan dari gunung api.
Memang sepatutnyalah kita menghindar dari terjangan lahar dan debu gunung api. Kita harus selamatkan diri. Tapi dalam batas-batas tertentu tak perlulah eksodus ke daerah lain. Apalagi teknologi pemantau aktivitas gunung api kian canggih sehingga sedikit gerakan saja sudah bisa diketahui. Bahkan simulasi letusan, arah debu, arah lahar dan jumlah korban jiwa dan kerugian materi pun sudah bisa diprediksi jauh-jauh hari oleh para ahli. Mari bersahabat dengan gunung, berkawan dengan hutan dan isinya, berteman dengan alam.
Waspadai Merapi, waspadai gunung api, waspadai kerusakan Bumi. Karena masih dalam progres menuju Hari Bumi, saya ucapkan: Selamat Hari Bumi, 22 April 2006, empat hari lagi dari sekarang, 18 April 2006. *
sebelumnya, saya sekedar prihatin saja terhadap penududuk sekitar gunung-gunung yang meletus. sejak saya beberapa kali mendaki volkano: semeru, merapi, merbabu... yang saya rasakan sekarang ketika mendengar gunung berapi meletus, jauh menjadi sedih.
BalasHapusbukan mau sok melankoli. sepertinya saya merasa ada ikatan bathin dengan mereka. bahwa gemunung dengan segenap kehidupannya, tentu juga akan mengalami kesusahan yang berat.
semoga tak terlalu besar dampak buruknya.