• L3
  • Email :
  • Search :

7 April 2006

Cover Mencari Allah



Inilah Isi dan Resensinya

Sekapur sirih 3
Daftar Isi 13

Kuta Bali Surga Dunia 15
Masa Kecil di Bali 36
Sembahyang di Pura 49
Kasta, Catur Varna, dan Gelar 66
Telur Pengganti Babi 81
Hanya Ada Satu Masjid 86
Belajar Agama Sekota 89
Siasat Ujian 92
Hafal Ayat Kursi Nilai Delapan 100
Beratnya Puasa di Bali 104
Puasa, Rehat Fisiologis, & Sakit Jiwa 118
Puasa, Kartini, dan Pornografi 125
Orang Bali kok Shalat? 135
Ikut SII di Salman ITB 149
Haruskah Syahadat Lagi? 161
Bukan NU, Bukan Persis, Bukan Muhammadiyah 159
Guru-Guru Imajiner 177
“Kenal” Allah di Air 193

Daftar Pustaka 209
Penulis 211


Inilah isinya.

Rambut ikalnya yang pirang masih basah dan dikepang kuda. Buti-butir air asin menotol-notol di sekujur tubuhnya. Kaki putihnya yang jenjang diselonjorkan lalu kepalanya direbahkan di atas lipatan handuk tebal. Mata birunya menerawang ke awan putih di sela-sela sinar matahari jam dua siang. Ombak dan riak terus bekerja, datang dan pergi, gemuruh suaranya.

Seorang ibu tua berkulit agak gelap terbakar matahari, kontras dengan kulit bule itu, mulai membalurkan minyak di paha atasnya sampai ke jari-jari kakinya lalu memijat-mijatnya. Sejurus kemudian ibu berkain batik yang agak lusuh ini membalikkan tubuh putih itu sehingga tengkurap. Mulai tengkuknya, lalu ke punggungnya, sampai ke karet bikini bawahnya ia balurkan minyak lalu menekan-nekankan ujung jarinya, maju, mundur, maju, mundur... Yang dipijat memejamkan mata, nyaman sekali tampaknya. Mungkin tertidur oleh belaian desir angin pantai.

Sementara itu, kira-kira 12 meter dari gadis tadi ke arah bibir pantai berbaringlah dua wanita bule yang juga berbikini, sedang mandi mentari. Satu orang gemuk, usianya paruh baya dengan lengan dan paha bergelambir, kulitnya bercak-bercak coklat; satu lagi jauh lebih muda, tampak singset dan cantik bagi ukuran orang Indonesia, mungkin anaknya, sedang membaca buku tebal. Sekian meter dari sana, sekian meter lagi dari yang di sana dan sekian meter lagi dari yang di sebelah sana, juga ada pemandangan serupa di antara lalu-lalang orang-orang. Banyak sekali, tak terhitung lagi jumlahnya.

Begitulah keseharian di pantai “terpanas” dan terdemam di Bali, yaitu Kuta. Dulu John Travolta punya Saturday Night Fever, demam malam minggu, tetapi Kuta malah punya Every Night Fever, demam saban malam. Kuta, Legian, Sanur.... (dst).

Kuta, Tanah Lot, dll adalah objek wisata yang mengisi lembar-lembar hidup saya saat di Bali. Saya percaya, hidup ialah deretan waktu yang hasilnya disebut pengalaman dan prosesnya pengembaraan. Di buku ini kembara itu saya mulai dari Kuta yang kaya mimpi, menjadi idaman para turis, serpihan nirvana.

Kemudian saya kisahkan satu partisi masa kecil saya di bab 2. Lahir di Bali, sejak kecil akrablah saya dengan budaya Bali. Melihat orang menari dan main gamelan menjadi kebiasaan. Saya senang menonton Janger, Drama Gong dan tari Kecak. Pada masa 1980-an itu, Drama Gong di TVRI Denpasar menjadi acara yang ditunggu-tunggu orang Bali, muda-mudi dan orang-orang tua. Semasa hidupnya kakek saya menjadi anggota grup (sekehe) gong di banjar-nya. Sebagai tani, waktunya banyak untuk berkumpul di bale banjar. Pada perayaan hari agama kakek ikut menabuh gamelan dan begitu menjiwainya. Tangan dan jemarinya lincah meloncat dari satu bilah ke bilah lainnya sambil menggerak-gerakkan kepalanya.

Ketika di kelas tiga SD mulailah saya tahu cara sembahyang Trisandhya umat Hindhu. Saya rutin sembahyang sebelum & seusai belajar di sekolah. Ke pura dan perayaan hari-hari agama Hindhu pun saya lakoni seperti teman-teman saya. Suatu kali pernah saya bertanya kepada ibu kenapa pada setiap hari Saraswati buku-buku diberi sajen. Supaya pintar, jawab ibu saya. Senang sekali saya mendengar jawaban ibu. Semua buku-buku lantas saya atur yang rapi di meja dan diberi sajen agar saya pintar dan menjadi juara, menjadi bintang kelas.

Tapi sejujurnya, saya tidak merasakan apa pun pada setiap ritual itu. Saya merasa itu sebatas seremonial dan berlalu begitu saja bersama waktu. Tak ada pendalaman ruhani yang saya peroleh. Kawan-kawan saya malah banyak yang bermain-main saat sembahyang. Ada yang lempar-lemparan sajen atau canang, ada yang mengilikitiki pinggang atau dorong-dorongan dengan teman sebelahnya. Kenapa begini? Tidakkah Tuhan marah jika umatnya sembahyang sambil bermain-main, seolah-olah melecehkan-Nya?

Sampai SMA saya menjalani hidup beragama sekadar formalitas, asal-asalan dan tidak tahu apa gunanya agama bagi saya. Saya sering merasa takut akan ancaman neraka yang saya baca di buku-buku atau saya dengar dari orang-orang. Saya merasa lebih enak beragama Hindhu karena bisa ke surga kalau sudah ngaben. Ngaben ini akan me-moksa-kan orang yang meninggal dengan Tuhan, manunggal dengan Brahman, Hyang Widhi Wasa. Bahkan moksa pun bisa dicapai ketika hidup di dunia.

Kemudian muncullah periode pasca-Bali, yaitu masa ketika saya menjadi mahasiswa di Bandung. Saya diajak teman-teman muslim asal Sunda, Jawa, dan Minang belajar Islam. Saya mulai masuk Masjid Salman dan mendengarkan ceramah di sana. Juga membaca buku keislaman di perpustakaan ITB dan Salman. Saya diajak ikut SII (Studi Islam Intensif) lalu memaksa saya berkutat mencari Tuhan dan akhirnya “menemukan” Tuhan tapi saya merasa masih belum juga mengenal Allah. Masih jauh dari “kenal” Dia.

Dalam kelana ruhani itu saya belajar dari guru-guru yang saya sebut guru “imajiner”. Saya tak punya guru khusus semacam di pesantren. Saya hanya ikut “nyantri-nyantrian” di pendidikan formal dari (TK), SD, SMP, SMA, dan perguruan tinggi. Tapi saya merasa punya guru “imajiner” yang saya tulis di bagian akhir (sebelum bab terakhir) buku ini. Siapa saja mereka? Lewat merekalah saya mendapat sejumput ilmu keislaman.***


Ditulis di atas kertas HVS, setebal 212 halaman, 12 x 17 cm2, buku ini dilepas dengan harga Rp 23.000.

1 komentar:

  1. kasih resume, dong. biar dapat gambaran isinya mengenai apa.


    ...
    usepe

    BalasHapus