• L3
  • Email :
  • Search :

2 April 2006

Open Dumping Bernama Indonesia

Sebanyak 19 kontener berisi sampah berbahaya dan beracun (B3) direekspor ke Inggris. Sebelumnya telah dikembalikan kontener ke Taiwan, Filipina, dan sejumlah negara lain termasuk Singapura. Hanya saja, kiriman yang ke Singapura itu terkatung-katung di Kepulauan Riau dan Karimun. Semuanya melibatkan aparat pabean yang korup termasuk petugas lingkungan hidup di sana. Pemalsuan dokumen adalah buktinya.

Sebetulnya kasus impor sampah ini sudah berkali-kali terjadi. Pelakunya pun bukan pemulung miskin. Mereka justru pemulung kaya. Nilai pulungannya sampai miliaran rupiah per tahun. Dari setiap ton sampah yang didapatnya, mereka dibayar mahal. Yang membayarnya negara kaya, negara industri yang lahannya terbatas. Malah cenderung tak punya lahan untuk tempat buang sampah. Bagi mereka, lahan lebih baik digunakan untuk ladang uang, untuk daerah komersial dan industri.

Bayangkan, ribuan ton sampah negeri jiran masuk ke Indonesia, dipulung oleh pengusaha bermodal kuat. Sampah ini betul-betul sampah dalam arti harfiah, di negaranya. Betul-betul barang buangan yang tidak di-reuse lagi. Seandainya masih bisa digunakan tentu takkan dibuang oleh pemiliknya. Lantaran tak berguna itulah benda-benda rongsok itu dibuang menjadi sampah.

Sebaliknya, karena dianggap masih berguna oleh orang Indonesia, sampah itu pun dipungut. Ada yang dijual lagi, ada yang digunakan sendiri. Ada juga yang memang dibuang. Tapi masalahnya, sampah itu dibuang oleh pengusaha kelas kakap berjas di tempat orang lain, bukan di rumahnya. Tepatnya, sampah itu dibuang di pulau-pulau kecil tak berpenghuni. Walaupun sama-sama orang Indonesia, kaum pemulung jenis ini tak segan-segan merugikan sesama anak bangsa. Peduli amat, yang penting aku untung, begitu benaknya membatin.

Maka, usahlah heran kalau negara asing begitu senang punya rekanan bisnis pengusaha sampah di Indonesia. Irit biayanya. Jauh lebih irit ketimbang dibuang di negaranya. Bisa hemat sampai 70% sambil leluasa berproduksi lagi tanpa waswas sakit. Semua sampah beracun dan berbahaya yang mereka hasilkan telah dipulung oleh pemulung berdasi dari Indonesia dengan bayaran yang “kecil” dibandingkan dengan dampaknya bagi negara dan kesehatan mereka jika dibuang di negaranya.

Apa saja yang dibuang? Macam-macam. Mulai dari kertas, kain, baju, tas, sepatu, jaket kulit, wadah plastik hingga sampah cair B3 dalam kemasan tong. Ada juga sampah mobil, sepeda motor, skuter, dan komputer. Tempat pembuangannya rata-rata kota-kota besar dan/atau nusa-nusa terpencil yang tidak bakal didatangi orang. Pemulung jenis ini punya alat transportasi canggih. Ada kapal, ada truk, ada alat-alat berat dan aparat keamanan yang dibayar mahal lantaran besar risikonya.

Yang juga kerapkali “dibuang” ke negara kita adalah alat-alat perang. Ada tank, ada pesawat, ada kapal bekas pakai dari negara asing. Sampah yang satu ini tentu saja tidak seburuk sampah dapur. Masih bisa dipakai meskipun tua umurnya. Harganya pun tinggi. Malah ada yang ikut mendukung operasi di blok Ambalat. Pesawat dan kapal komersial banyak juga berupa sampah di negara asalnya lalu dibeli oleh pemerintah atau pengusaha kita.

Tersebut adalah sampah fisik, baik padat, semipadat (lumpur), maupun cair. Selain itu, kita pun jadi sasaran empuk sampah nonfisik. Misalnya, sampah ilmu dan teknologi. Diakui atau ditolak, faktanya demikian. Kita menjadi gudang sampah ilmu dan teknologi. Silakan buka-buka buku-buku paket siswa dan textbook kita, siswa kita, mahasiswa kita, guru dan dosen kita, lantaran keterbatasan yang mereka miliki, akhirnya hanya mengkaji sainstek “sampah”, usang alias ketinggalan zaman.
Apa dampaknya? Keluarannya ialah orang-orang “sampah”. Minimal pola pikirnya yang sampah. Karakternya ikut-ikutan jadi sampah. Perilakunya persis sama dengan anak SD yang senang bohong, pura-pura menolong, dan suka nyolong. Dalam Republik Hancur-hancuran di Media Indonesia, Danarto menamainya DPR sontoloyo. Entah apa maksud sontoloyo itu. Tapi teman yang dosen di perguruan tinggi papan atas di Bandung berkata bahwa sontoloyo singkatan dari suka omong namun tak oke dan kerjanya loyo, tak semangat alias duduk, tidur, dan duit.

Dampak berikutnya, kita selalu ketinggalan kereta. Ini sekadar ilustrasi. Ingat longsor di TPA Leuwigajah, sebelah barat Bandung? Setelah menewaskan 143 orang, terkuaklah kondisi sebenarnya bahwa TPA itu sudah lama beroperasi tidak sesuai prosedur standar pembuangan sampah. Sebaliknya negara-negara maju sudah menerapkan teknologi ramah lingkungan, yaitu sanfil, sanitary landfill. Jika ditelusuri, asal-muasalnya ialah pola pikir pemerintah daerah yang primitif. Ibarat rumah, visi pemerintah cuma mengarah ke ruang tamu. Pendoponya elok tapi halaman belakangnya, WC, apalagi bak sampahnya sangat tidak layak. Lihat saja sekarang menjelang Konferensi Asia-Afrika ke-2 nanti, jalan-jalan, trotoir, tembok dan pagar diperbaiki tetapi yang jauh dari Hotel Savoy Homan dan Gedung Merdeka dibiarkan saja, tak disentuh.

Kondisi di atas adalah imbas dari paradigma berpikir yang menonjolkan gaya luar ketimbang jati diri. Senang pamer atau necis walaupun kempis (sakunya). Inilah salah satu penyubur kemunafikan, khususnya MKKN (manipulasi, korupsi, kolusi, dan nepotisme) yang takkan mampu dibasmi sampai kapan pun; hanya menjadi wacana di media massa dan sebagai peramai diskusi saja. Dan yang pasti, minimal secara moral, yang disebut sampah masyarakat bukan hanya pencuri, penggarong, dan pembegal saja, melainkan juga yang merugikan negara triliunan rupiah. Kalau mau jujur, sebetulnya inilah sampah terbusuk kita.

Yang terakhir, sampah ideologi. Anutan hidup kaum muda kita sudah bukan lagi ideologi “langit”, tapi ideologi “bumi”. Prinsip-prinsip kapitalisme egosentris yang individualistis kian digemari orang kota. Dampaknya, surutlah kekeluargaan kita dalam berbangsa. Pejabat publik tak peduli pada pemilihnya; pengusaha tak peduli pada buruhnya; buruh tak hormat pada majikannya. Produser entertainmen tak peduli pada sinetron dan filmnya yang meresahkan orang tua. Guru, dosen, dan gurubesar menganggap rendah siswa dan mahasiswanya; sebaliknya siswa dan mahasiswa tak menghormati mereka sambil menggosipkannya.

Jika demikian, layaklah nusantara ini dinamai open dumping raksasa. Segala sampah ada di dalamnya. Mulai sampah sampai “sampah”. Dan jangan-jangan kita pun menjadi bagian dari isi open dumping itu.*

Tidak ada komentar:

Posting Komentar