• L3
  • Email :
  • Search :

2 April 2006

Bumikan PDAM, Reposisi Kepala Daerah

Artikel ini pernah dimuat di Majalah Air Minum, April 2005.


Selain Indowater di Jakarta Convention Center, kegiatan Hari Air Sedunia (HAS) pada 22 Maret 2005 betul-betul sepi. Tak ada satu pun seremonial nasional yang dikemas pemerintah Indonesia Bersatu dalam kaitan dengan HAS itu. Padahal momen HAS tahun ini adalah titik tolak Millennium Development Goals 2015, sebuah program yang dirilis PBB. Apalagi Indonesia termasuk negara anggota PBB yang rendah suplai air bersihnya. Hanya 20% atau 40-an juta orang yang dilayani PDAM dengan debit 95.000-an liter per detik. Sisanya mendapat air dari sumur, mata air, atau sumber lain. Tidakkah ini paradoks bagi pemerintahan SBY dan Jusuf Kalla? Krisis air malah tak peduli pada air!

Lalu pada 22 April ada satu lagi momen penting bagi PDAM, yaitu Hari Bumi. Bumi, planet yang dijuluki si biru ini, kini sudah kelabu. Berbagai pencemar menyelimuti tanah, air dan udaranya. Hutannya dibabat dan mafia kayunya dilindungi aparat. Air pun ikut-ikutan habis. PDAM lagi yang kena getahnya. Selain tercemar, air bakunya terus berkurang. Sebaliknya saat hujan air bakunya membludak sampai banjir di mana-mana dan merusak bangunan sadap. Airnya pun keruh. Sangat...sangat keruh sehingga instalasi PDAM terpaksa dihentikan.

Kalau begitu terus, kapan PDAM mencapai cita-cita MDG? Apalagi di tubuhnya masih ada masalah struktur organisasi. Yang hangat ialah soal peran kepala daerah dalam menetapkan direksi dan Badan Pengawas. Semangat yang muncul ialah “membumikan” PDAM agar semua unsur di struktur organisasinya mengakar di masyarakat dan betul-betul mewakili pelanggan. Membumikan PDAM juga berarti mendekatkan PDAM ke pelanggannya dan “merajakan” mereka. Pembeli adalah raja, penjual adalah pelayan.

Reposisi Otoritas
Bagaimanapun, sudah bukan zamannya lagi bupati dan walikota memegang kendali tertinggi di PDAM. Tiga puluh tahun sudah hal ini berlangsung di perusahaan air yang tak jua beranjak dari masalah. Dari 306 PDAM dalam wadah Perpamsi, 90% di antaranya sakit. Sisanya sehat tapi tidak bugar. Potensial sakit sewaktu-waktu. Persentase itu makin tinggi jika embrio PDAM di daerah baru hasil pemekaran atau peningkatan status menjadi kota dimasukkan. Misalkan ada 400-an kabupaten/kota di Indonesia berarti ada sekian juga jumlah PDAM.

Sejauh ini, pemangku (stakeholders) PDAM bisa dibagi menjadi tiga, yaitu pemerintah daerah dan DPRD, direksi dan pegawai, dan Badan Pengawas (BP). Sebetulnya ada satu lagi, yaitu pelanggan. Hanya saja ia sudah dianggap diwakili oleh DPRD. Adapun keberadaan BP, dan ini terjadi di banyak daerah, faktanya tak bergigi. Serupa dengan, maaf, macan ompong. Sekadar formalitas untuk memenuhi aturan yang berlaku. Padahal idealnya, BP berada di atas direksi. Namanya saja pengawas, tugasnya pastilah mengawasi dewan direksi. Selain itu masih ada lagi tugasnya yang lain seperti memberikan saran dan timbang pendapat agar PDAM bisa berkembang. Termasuk kewenangan memeriksa direksi kalau dipandang menyimpang dari kebijakan yang telah digariskan. Artinya, memperkarakannya secara hukum tentu sah-sah saja. Tapi hal ini tak pernah terjadi di dunia PDAM kita.

Apa pasal? Jawabnya tentu peraturan. Dari undang-undang, keputusan presiden, peraturan menteri sampai peraturan daerah selalu saja tersedia celah untuk diakali. Dengan otoritasnya selama ini, kepala daerah selalu punya “senjata” yang siap-guna buat mematahkan atau paling tidak untuk mengurungkan niat anggota BP yang hendak melawan direksi. Sebab, melawan direksi sama dengan melawan kepala daerah dan ini pasti ditentang habis-habisan oleh kepala daerah. Ujung-ujungnya, anggota BP bisa saja kehilangan posisinya sekaligus kehilangan honorarium yang lumayan. Secara manusiawi mereka tentu takkan mau kejadian fatal itu menimpanya, bukan?

Itu semua asal muasalnya dari aturan yang berlaku selama ini, yang menjadi anutan PDAM kita, yaitu sebuah produk Orde Baru: BP diangkat oleh kepala daerah. Bupati dan walikota adalah “raja” PDAM sekaligus BP. Tentu sulit bagi anggota BP melawan pengangkatnya, bukan? Malah tak mungkin sama sekali. Di masyarakat liberal/barat saja melawan atasan sulit sekali. Apalagi di negara kita yang paternalistik, ditambah adatnya yang ewuh pakewuh dan tak enak hati kepada atasan. Atau takut disebut kacang lupa akan kulitnya, tak tahu balas budi.

Maka, di atas anginlah direksi PDAM berada dan dipayungi oleh kepala daerah. Nyaris tak ada yang berani mengutak-atiknya kecuali pelanggan dalam urusan air yang keruh atau tak mengalir saja. Lain dari itu tak ada yang mampu mengusiknya. Tiadalah yang mengawasinya. Bebas-bebas saja sekehendak direksi, kepala daerah dan juga DPRD. Faktanya, DPRD pun hanyalah teman debat di setiap rapat dan belum mampu bertugas optimal. Apalagi kenyataannya anggota dewan banyak yang cacat moral, baik perilakunya yang seperti anak kecil maupun kejujurannya dalam mencantumkan daftar riwayat hidupnya, termasuk keabsahan ijazah-ijazah yang mereka lampirkan. Mampukah mereka membela kepentingan pelanggan PDAM? Kita pasti bisa menjawabnya, bukan?

Lantas adakah solusinya? Mengurangi otoritas direksi adalah caranya. Termasuk di sini mengurangi otoritas kepala daerah dalam kaitannya dengan PDAM. Selain harus orang-orang yang familiar pada perusahaan air, direksi pun jangan lagi ditunjuk oleh kepala daerah. Sedikit-banyak pasti ada rasa suka-tak suka, like-dislike. Bupati dan walikota jangan lagi punya hak prerogatif dalam pemilihan direksi. Cara terbaik ialah pemilihan langsung lewat ujian/testing. Samakan saja dengan pilkada, pemilihan langsung kepala daerah yang dimodifikasi. Bukalah pendaftaran di media massa, baik koran maupun TV. Semua orang boleh daftar. Nanti diadakan test berkenaan dengan ilmunya di bidang air minum dan juga psikotest tentang kecocokan dan kemampuannya memimpin. Inilah uji patut-layak (fit and proper test) itu. Namun demikian, hasil uji patut-layak itu jangan dikembalikan kepada kepala daerah. Ini mubazir. Sebab, yang akan dipilih jelaslah orang yang disukainya dan menyimpang dari hasil uji yang mahal ongkosnya itu. Inilah yang terjadi sekarang. Reformasi setengah hati, kepala dilepas, ekor ditindas.

Begitu pun Badan Pengawas, jangan lagi ditunjuk oleh bupati-walikota. Jika masih tetap begitu, tak mungkinlah BP bisa mandiri. Akan selalu ada perasaan tidak enak kalau ingin memberikan kritik. Kerjanya menjadi tidak optimal karena takut salah dan takut menyinggung pengangkatnya. Padahal mereka dipilih untuk ikut memikirkan PDAM agar maju. Ide-idenya mungkin saja brilian tapi tak tersalurkan. Akhirnya jabatan itu hanya menjadi hiasan. Apalagi kalau PDAM dijadikan lahan cari nafkah pastilah takut jabatan itu lepas sehingga takkan mau membuka front dengan direksi dan bupati-walikota.

Terbuktilah model di atas telah gagal mengawasi PDAM. Justru MKKN (manipulasi, korupsi, kolusi, dan nepotisme) yang merebak lantaran tak ada lagi keberanian dan independensi. Lantas mengimbas ke pola rekrutmen pegawainya atas dasar karib kerabat. Betapa banyak kasus korupsi dan manipulasi di PDAM yang disebabkan oleh hirarkinya yang samar-samar itu. Kerapkali terjadi, ada pejabat tinggi PDAM yang tak tahu menahu soal air tapi tiba-tiba saja menjadi ujung tombak PDAM. Mau dibawa ke mana PDAM kalau nakodanya tak tahu arah, tak tahu kompas, dan tak mengerti “rasi bintang” di langit perairminuman?

Karena itulah, perubahan pola rekrut direksi dan Badan Pengawas begitu mendesak. Komposisi terbesar BP hendaklah wakil pelanggan. Logikanya, jumlah pelanggan jauh lebih banyak ketimbang jajaran pemerintah daerah dan PDAM. Ini mirip dengan Dewan Perwakilan Daerah (DPD) di MPR. Harus ada wakil dari, misalnya, setiap kelurahan yang disuplai PDAM. Atau minimal ada satu wakil dari setiap kecamatan. Andaikata tidak bisa karena terkendala gajinya yang menjadi besar, minimal ada 3 wakil pelanggan, dan dua wakil pemerintah daerah. Semuanya wajib diuji dulu agar kompeten dalam tugasnya. Tak perlu ada wakil dari PDAM karena yang bersangkutan tidak bisa bebas dari tekanan direksi. Wakil pelanggan pun jangan dari PNS agar tidak terkendala hubungan bawahan-atasan dengan kepala daerah.

Berikut ini ada pertanyaan reflektif buat pelanggan PDAM. Tahukah Anda siapa presiden kita sekarang? Tahukah Anda siapa ketua MPR sekarang? Selanjutnya, siapa direktur utama PDAM di tempat Anda? Siapa direktur tekniknya, siapa pula direktur keuangannya, dan siapa direktur-direkturnya yang lain? Yang terakhir, tahukah Anda siapa ketua BP PDAM di daerah Anda? Siapa saja anggotanya?

Kalau Anda tak mampu menjawab dengan betul, Anda tak usah kecewa. Sebab, mayoritas pelanggan PDAM di seluruh Indonesia, jarang tahu siapa saja direksi PDAM tempat mereka langganan air. Terlebih lagi BP, nyaris tak ada yang tahu selain keluarga dan teman-teman yang bersangkutan. Hanya saja, karena kita ingin ada kemajuan di PDAM, sebaiknyalah pelanggan tahu siapa saja direksi dan BP PDAM. Ini akan dapat dicapai kalau penetapan mereka dilakukan lewat pemilihan langsung.

Terlebih lagi BP adalah “mesin” pelanggan untuk menyampaikan unek-uneknya kepada direksi. Idealnya, BP berwibawa di depan direksi seperti halnya MPR berwibawa di depan presiden. Tepatlah BP dipilih oleh pelanggan sebagaimana MPR dipilih oleh rakyat.*

Tidak ada komentar:

Posting Komentar