• L3
  • Email :
  • Search :

17 April 2006

Bandung Makin Panas

Gemeente van Bandoeng dibentuk tahun 1906, tepat seabad yang lalu. Namun, kota yang berada di cekungan Bandung itu disinyalir makin “cekung” dan “mendung”. Penyebabnya adalah untaian masalah pada agenda ekonomi, sosial dan lingkungan seperti eksploitasi air tanah, penyediaan air bersih, sistem koleksi dan pembuangan sampah, peningkatan polusi udara, zonasi industri dan pemukiman (kumuh), penyaluran air kotor dan drainase kota.

Kota yang dulu berjuluk Bunganya Kota-kota Pegunungan di Nusantara (menurut Haryoto Kunto) ini, memiliki daerah padat dan kumuh (slum area) di antaranya Cicadas. Buruknya fasilitas sanitasi kota mojang Priangan ini diindikasikan oleh lingkup distribusi air bersihnya yang masih rendah. Padahal salah satu penentu status sebuah kota adalah tingkat layanan air bersihnya. Begitu pun masalah sampah (seperti longsor TPA Leuwigajah dengan 150-an orang tewas), sistem koleksi dan tempat penampungan sementaranya tak terurus di sudut-sudut jalan. Malah sampai medio April 2006 ini Bandung belum punya TPA baru pengganti Leuwigajah. Apakah itu terjadi karena masalah sosioekonomi budaya masyarakat atau teknologinya?

Hal senada terjadi juga pada riol-riolnya yang dibangun oleh BUDP (Bandung Urban Development Project) pada era 1980-an lalu. Tak optimal kerjanya. Peningkatan layanan penyaluran air limbah di sekitar pipa induk dan cabang belum meluas. Dampaknya, banyak ruas pipanya tetap “kering” karena tak ada air limbah yang masuk tapi justru terisi dan tersumbat sampah. Celakanya lagi, riol itu telah berfungsi sebagai bioreaktor anaerob sehingga muncul bau busuk. Yang juga jadi masalah adalah buruknya kinerja Instalasi Pengolah Air Limbah (IPAL) di Bojongsoang, satu-satunya IPAL domestik milik kota peuyeum (tape) ini.

Makin cekung
Dengan elevasi di atas 650 m dari muka laut, dikelilingi gunung dan curah hujannya tinggi, secara teoretis cekungan Bandung takkan punya masalah air bersih. Artinya, kebutuhan domestik dan komersialnya tercukupi oleh air tanah dan air permukaan. Diduga, potensi air tanah cekungan Bandung sekitar 1.400 liter/detik. Namun, jika eksploitasi berlebihan atas air tanah itu terus berlangsung, ancaman krisis air makin serius dan di beberapa tempat terjadi ambles (land subsidence) sehingga tanah makin cekung.

Saat ini kapasitas pemompaan air tanahnya sudah kritis, antara 620-1.700 liter per detik. Air hujan yang jatuh di gunung perlu puluhan tahun untuk mengisi cekungan Bandung, karena kecepatannya sangat kecil, kurang dari 2 m/tahun. Itu pun kalau air hujannya tak langsung melimpas ke sungai menuju laut. Jika daerah tangkapan dan resapannya sangat sedikit, selain ancaman banjir juga bisa terjadi penurunan paras air tanah. Ini sudah terjadi di beberapa daerah seperti Batujajar, Cimindi, Buahbatu, Ujung Berung, Soreang, Majalaya, dan lain-lain dengan variasi penurunan 0,5 - 12 meter per tahun.

Mengingat pencekungan paras air tanah itu, maka harus ada penatalaksanaan dan diversifikasi sumber - sumber air. Pada tahap perencanaan, asumsi yang diambil oleh konsultan air bersih untuk kebutuhan air bersih orang kota agar bisa hidup higienis adalah 150 - 200 liter/orang/hari. Adapun orang desa 60 liter/orang/hari yang disuplai dari hidran umum. Namun pembagian itu sifatnya tidaklah exactly karena proyeksi kebutuhan air sudah makin kompleks. Di Parisj van Java ini (ini julukan seabad lalu, sebab sekarang sudah tidak demikian lagi), lebih dari 60% kebutuhan air masyarakatnya diambil dari air tanah. Sisanya diladeni oleh PDAM. Mestinya angka tersebut secepatnya dibalik.

Layanan PDAM untuk domestik, komersial dan industri diperluas dan pada saat yang sama sumber air baku PDAM jangan lagi dari air tanah dalam! Orientasinya harus pada pemanfaatan air permukaan (sungai, waduk) karena akan menguntungkan dalam jangka panjang. Selain itu, teknologi pengolahan air permukaan yang dapat diadopsi untuk menanggulangi pencemar telah berkembang pesat. Sampai sekarang, air permukaan dianggap tak ekonomis untuk sumber air baku, terutama dari sudut kualitas. Namun tetap harus berpikir ke depan bahwa potensi terbesar air minum adalah dari air permukaan dengan aplikasi teknologi yang tepat. Jika hal tersebut tak diindahkan, Bandung akan betul-betul makin cekung yang dampaknya tentu pada struktur bangunan khususnya bangunan tinggi dan jalan raya (tol).

Makin mendung
Relokasi dan zonasi industri harus diarahkan pada lokasi tertentu saja. Dengan kata yang strict, Bandung tak layak untuk kota industri tapi sebagai kota pendidikan dan pariwisata. Dulu memang ada ide pemerintah Belanda yang ingin menjadikan Bandung sebagai pusat gemeente menggantikan Jakarta (oleh Bandoeng Actie 1920, Harry Kunto). Namun, untung ide men-Jakarta-kan kota Kembang itu batal. Sebab, kalau jadi, betapa hancurnya kondisi kota pegunungan ini akibat berubah menjadi metropolis. Untung pula rencana Megapolitan dari Gubernur DKI Jakarta Sutiyoso pada bulan Februari 2006 lalu tak digubris oleh kalangan pencinta Bandung. Apalagi, kata sejumlah kalangan di media massa, ada nuansa politis di dalamnya.

Andaikata dua niat di atas terlaksana, maka pertumbuhan sektor industri dan transportasi di Bandung akan mempercepat polusi udara. Sirkulasi udara di cekungan Bandung menjadi sulit karena pegunungan yang ada menghambat arus udara dari luar menuju Bandung dan sebaliknya. Inilah sisi negatif pegunungan di Bandung, selain bahaya letusan dan gas serta logam-logam berat yang dihasilkannya. Tingkat polusi udara di Bandung saat ini sudah mengkhawatirkan. Inilah yang membuat langit Bandung makin “mendung”, walaupun tak semendung saat letusan G. Galunggung tahun 1982/1983. Kadar partikulat jauh melebihi ambang batas 260 mikrogram/m3. Selain debu (partikulat), pencemar yang lain adalah gas CO, CO2, NOx, SOx, H2S dan hidrokarbon dari kendaraan bermotor, industri dan gunung. Dampaknya meliputi kesehatan manusia, pertanian, properti dan kehidupan air.

Kini, medio April 2006 ini, Bandung sudah berada di gerbang musim kemarau. Siang hari, ketika saya mengetik tulisan ini pada Ahad, 16 April 2006, udara panas sekali. Langit menyapu biru dengan awan putih mengapas di sana-sini. Matahari terik menikam Bumi. Makin panas. Climate Change memang telah terjadi, di sini.*

Tidak ada komentar:

Posting Komentar